• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tuntutan elemen-elemen reformis agar UUD 1945 diamandemen agar tidak executive heavy ditanggapi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan pembuatan Tap MPR No V/1998. Ketetapan ini memerintahkan perubahan atas UUD 1945 yang mengatur secara jelas pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hasilnya, pada Amandemen Ketiga (2001) dan Keempat (2002) terdapat ketentuan yang mengatur kemandirian lembaga peradilan dan kontrol peradilan terhadap cabang kekuasaan yang lain. Amandemen ini menentukan bahwa ketua dan wakil ketua MA dipilih sendiri oleh para hakim agung.22

Selain itu dibentuk lembaga negara baru yaitu Komisi Konstitusi yang berwenang menguji undang-undang, memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atas dugaan pelanggaran oleh Presiden/Wakil Presiden, dan menyelesaikan sengketa antar lembaga negara.23

Perubahan ketentuan konstitusi mengenai kekuasaan yudikatif kemudian dilanjutkan ke tingkatan legislasi. Hanya setahun setelah pimpinan pemerintahan Orde Baru tumbang, UU No. 14/1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman diamandemen oleh UU No. 35/1999. Bersama dengan perubahan UU No. 14/1970 diundangkannya juga UU No. 43/1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian yang mengubah UU No. 8/1974.

Dalam rangka memulihkan kembali kemandirian lembaga peradilan dan sekaligus menghapuskan peluang intervensi oleh birokrasi, kedua UU ini menghapuskan dualisme administrasi peradilan dengan menyerahkan sepenuhnya urusan organisasi, administrasi dan keuangan kepada MA.24 Seperti disebutkan

22 Pasal 24A(4) UUD 1945 Amandemen Ketiga. 23 Pasal 24C(1&2) UUD 1945 Amandemen Ketiga.

154

Sejarah Peradilan, Perkembangan dan Tantangan Pengadilan Khusus di Indonesia

pada bagian sebelumnya bahwa selama masa Orde Baru ketiga urusan tersebut berada di tangan Departemen Kehakiman untuk peradilan umum dan tata usaha negara, Departemen Pertanahan dan Keamanan untuk hakim pengadilan militer dan Departemen Agama untuk hakim pengadilan agama. Pemusatan ketiga urusan tersebut kepada MA disebut penyatuan atap. Termasuk di dalam perubahan ini adalah pergantian status para hakim dari pegawai negeri menjadi pejabat.

Sekalipun disadari bahwa reformasi hukum memerlukan lembaga peradilan yang mandiri namun pada saat yang sama terdapat kekawatiran lembaga peradilan yang mandiri akan lebih menguatkan praktek koruptif. Oleh karena itu ketentuan peraturan perundangan yang baru tersebut membuat batasan dengan dibentuknya unit atau lembaga yang berperan mengontrol lembaga peradilan untuk mencegah tirani yudikatif (Assegaf 2004: 25). Pada UU No. 35/1999 diatur mengenai Majelis Kehormatan Hakim yang diberi tugas untuk mengawasi perilaku para hakim, mengusulkan promosi, pengangkatan dan pemindahan para hakim serta menyusun draf kode etik hakim. Komisi ini kemudian dihapuskan dengan didirikannya Komisi Yudisial pada tahun 2004. Pembentukan Komisi ini sesuai dengan ketentuan Amandemen Kedua UUD 1945 tahun 2001. Komisi Yudisial berwenang mengusulkan hakim agung dan menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran serta perilaku hakim. 25

Akibat konservatisme ketua-ketua MA sejak tahun 1998 sampai sebelum tahun 2004, reformasi lembaga peradilan berjalan lambat dan kurang menyentuh problem-problem mendasar.26

pembentukan Komisi Yudisial, sebelumnya diusulkan oleh sebuah Kelompok Kerja yang dibentuk semasa pemerintahan B.J. Habibie. Tim ini dibentuk untuk menindaklanjuti Tap MPR No. V/1998. Tugasnya menstudi dan merancang formula yang efektif mengenai pemisahan kekuasaan antara lembaga negara (Assegaf 2007: 13).

25 Lihat Pasal 24B (1) UUD 1945.

Sejarah Peradilan, Perkembangan dan Tantangan Pengadilan Khusus di Indonesia

Situasi demikian terus berlangsung sampai 4 undang-undang di bidang peradilan diberlakukan pada tahun 2004. Keempat undang-undang tersebut masing-masing (i) UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman27 yang menggantikan UU No. 35/1999; (ii) UU No. 5/2004 tentang Mahkamah Agung yang menggantikan UU No. 14/1985; (iii) UU No. 8/2004 yang mengubah UU No. 2/1986 tentang Peradilan Umum; dan (iv) UU No. 9/2004 tentang Tata Usaha Negara yang menggantikan UU No. 5/1986.

Namun, keempat undang-undang tersebut masih dianggap tidak meluruskan kelemahan UU No. 34/1999 dan bahkan menambah masalah baru. Mengenai kemandirian kehakiman undang-undang tersebut memiliki dua sifat yang bertolak belakang. Pada satu sisi, undang-undang tersebut mengakomodir tuntutan para pengelola lembaga peradilan agar urusan administrasi, organisasi dan keuangan peradilan diserahkan sepenuhnya kepada MA.

Selain ketentuan ini terdapat juga ketentuan lain yang mengatur bahwa pimpinan MA dipilih oleh hakim agung. Akan tetapi, di sisi lain, UU No. 8/20004 dan UU No. 9/2004 menganulir tujuan memandirikan lembaga peradilan oleh UU No. 34/1999.28

Kedua undang-undang ini menentukan bahwa status hakim dikembalikan dari pejabat menjadi pegawai negeri. Anehnya,

tidak jelas arahnya. Surowidjojo melihatnya seperti zombie, tanpa jiwa (dalam Reksodiputro 2004: 198).

27 Telah diubah oleh UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

28 Selain dua ketentuan yang dianggap akomodatif terhadap tuntutan para hakim tersebut, terdapat ketentuan lain yang bernafas serupa. Ketentuan-ketentuan lain tersebut adalah (i) perluasan struktur organisasi MA; (ii) pengetatan syarat menjadi hakim agung bagi calon hakim non-karir; (iii) kenaikan usia pensiun hakim MA, dan (iv) keharusan panitera MA berasal dari panitera karir. Lihat uraiannya dalam Assegaf (2004) dan Assegaf (2007). Menurut Assegaf (2004&2007)perubahan undang-undang di bidang peradilan yang akomodatif terhadap kepentingan sempit pengelola lembaga peradilan tidak lepas dari politik transaksional yang dilakukan DPR dengan lembaga peradilan. DPR mengakomodir hampir semua tuntutan pengelola lembaga peradilan dengan harapan lembaga peradilan bisa ‘lunak’ pada kasus-kasus yang melibatkan anggota DPR.

156

Sejarah Peradilan, Perkembangan dan Tantangan Pengadilan Khusus di Indonesia

ketentuan kedua undang-undang ini justru berbeda dengan UU No. 4/2004 yang masih mempertahankan status hakim sebagai pejabat. Munculnya ketentuan yang mengembalikan status hakim sebagai pegawai negeri menandakan keengganan pemerintah untuk melepaskan kewenangannya mengontrol para hakim (Assegaf 2004). Keinginan untuk mengontrol hakim juga ditunjukan oleh ketentuan dalam UU No. 4/2004 yang mengharuskan hakim untuk membuat pendapat tertulis mengenai kasus yang sedang ditangani sebelum musyawarah majelis hakim diadakan. Pendapat tertulis tersebut akan dilampirkan dalam putusan.29 Ketentuan ini dianggap sebagai cara untuk mendorong akuntablitas hakim (Assegaf 2004). Namun ketentuan ini dianggap kebablasan karena bisa mendatangkan efek negatif karena membahayakan independensi hakim dalam memutus perkara. Selain itu ketentuan tersebut juga dapat mengurangi tingkat penerimaan para pihak atas putusan pengadilan (Assegaf 2004; Assegaf 2007).

Terlepas dari tarik menarik soal kemandirian lembaga peradilan, ketentuan-ketentuan mengenai hal tersebut dianggap tidak sedang mengarah pada pencapaian tujuan kemandirian lembaga peradilan. Alih-alih menuju lembaga peradilan yang kompeten dan akuntabel, ketentuan-ketentuan tersebut dinilai justru mengarah ke arah sebaliknya yaitu lembaga peradilan yang koruptif. Dalam keadaan yang demikian, perubahan-perubahan pada lembaga peradilan dianggap tidak lagi vital karena lembaga peradilan tidak mengawasi pelaksanaan dan penegakan hukum untuk memastikan seberapa jauh agenda-agenda reformasi dilakukan oleh legislatif dan eksekutif (Lindsey 2004: 21-23&35).