• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kendala yang dihadapi Imuem Mukim Dalam Penyelenggaraaan

Dalam dokumen Media Sain dan Teknologi Abulyatama (Halaman 98-100)

4 Soeyatno, Sejarah Sosial

IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan 4.1 Kedudukan, Tugas dan Fungs

4.2 Kendala yang dihadapi Imuem Mukim Dalam Penyelenggaraaan

Pemerintahan Mukim

4.2.1 Kendala yang dihadapi Imuem Mukim selaku Lembaga Adat

Masyarakat memahami Mukim adalah lembaga pemerintahan adat di luar struktur pemerintahan negara. Hal senada, sepertinya juga dialami oleh pemrakarsa. Untuk memperjelas posisi fungsi dan kedudukan Mukim pada masa lalu dapat dijadikan pengaturan sesuai dengan kebutuh- an masa kini.

Dahulu, keberadaan seseorang tokoh masyarakat: Gampong dalam Tuha Lapan kiranya tidak didasarkan pada pembagian unsur tertentu. Artinya, setiap orang tersebut dipandang memiliki kapasitas yang sama. Hal ini sesuai dengan logika hukum masyarakat Aceh pada masa itu, dengan tidak membedakan disiplin hukum yang satu dengan disiplin hukum lainnya. Semua itu hanya disebut dengan hukum adat. Jadi keanggotaan tuha lapan tersebut berdasarkan unsur-unsur tertentu adalah sesuatu yang dibuat-buat pada masa sekarang.

Kedudukan dan Tugas Imuem Mukim dalam menyelenggarakan pemerintahan Mukim selaku lembaga adat sangat berat, maka Camat harus memberikan petunjuk dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Imuem Mukim oleh Camat juga harus memberikan perbedaan tugas antara Imuem Mukim dengan Keuchik di dalam melaksanakan Tugas dan fungsinya di dalam menjalankan Pemerintahan Mukim.23

Sehingga dengan spesifikasi itu, banyak hal yang perlu mendapat perhatian ulang. Kembali ke Gampong, bukankah sebagai sesuatu yang logis keaneka ragaman merupakan sesuatu keadaan yang tidak dapat dihindari dalam wilayah Indonesia, sehingga

23

H. Zainal Abidin Nyak Syeck, S.Ag, Tokoh Masyarakat, Wawancara pada tanggal 23 April 2010 di keude linteng Kabupaten Nagan Raya.

pelaksanaan pemerintah Gampong perlu ditingkatkan keberadaannya di Prov. NAD. Masyarakat merupakan objek dari Pemerintah.

Demikian juga dengan formulasi Pemerintahan Mukim di Aceh. Terutama karena masa Orde Baru di Indonesia, telah banyak mengubah tatanan bottom-up menjadi top-down. Untuk mengubahnya, di samping membutuhkan kerangka dan paradigma yang jelas, juga membutuhkan waktu yang lama. Nuansa tersebut merupakan implikasi dari kehadiran UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang membicarakan tentang struktur pelaksanaan tentang pemerintahan di Aceh dan salah satunya adalah Pemerintahan Mukim.

Mengembalikan sistem Pemerintahan Mukim menurut keadaan masing-masing daerah. Masyarakat hidup dalam pola pikir yang dibentuk searah dengan kepentingan pemerintahan selaku pemegang kekuasaan di daerah. Dengan demikian, lembaga peme- rintahan yang sebelum diberlakukan UU Nomor 5 tahun 1979 sudah tidak difungsikan lagi sehingga lembaga tersebut mulai terasa asing dalam kehidupan masyarakat. Maka Pemerintahan Mukim lebih diarahkan kepada Lembaga Adat. Yang berarti Mukim adalah lembaga adat menurut adat daerah setempat. Akan tetapi setelah diberlakukan UU nomor 11 tahun 2006 maka Mukim mulai dilak- sanakan lagi, melihat secara yuridis jelas bahwa pelaksanaan sistem pemerintahan Mukim legal menurut Hukum. Tidak ada lagi berlaku peraturan yang dapat melarang terlaksananya sistem Pemerintahan Gam- pong di Aceh.

Dengan demikian, paradigma tersebut haruslah diubah. Pemerintahan Mukim dan Gampong haruslah dilihat sebagai kesatuan masyarakat hukum dan adat dalam struktur kekuasaan terendah dan mempunyai wilayah kekuasaan sendiri serta memiliki kekayaan atau sumber pendapatan sendiri pula. Pemerintahan Mukim dipimpin Oleh Imuem Mukim dan beserta Imuem Chik dan

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 1 April 2011 ISSN 2086 - 8421

Sekretaris Mukim sedangkan Gampong dipimpin Keuchik dan Teungku Imuem Meunasah. Keuchik bertugas di bidang administrasi pemerintahan dan berjalannya hukum (adat), sedangkan Teungku bertang- gungjawab atas terlaksananya kehidupan keagamaan masyarakat, berjalannya hukum (syariat), terselenggaranya pendidikan (agama dan moral), dan atas bidang-bidang lain yang berkaitan dengan kehidupan sosial dan kemasyarakatan umat.

Masyarakat juga lebih terobsesi dengan lembaga Imuem Mukim bila dibandingkan dengan lembaga Pemerintahan Kecamatan. Pertumbuhan budaya adat Aceh, andainya menjadi bagian kesetiaan dalam konteks harkat dan martabat identitas keacehan, menghadapi tantangan sebaran budaya global, maka wujud budaya idealis, akan mudah adaptatis, akselirasasi dan beraku- mulasi secara kompetitif dan terprogram. Maksudnya; Budaya adalah suatu peradaban yang mengandung berbagai nilai ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, kebiasan dan berbagai kemampuan rekayasa (keterampilan) seseorang sebagai anggota masyarakat, Mengaktualkan Adat dan Budaya Aceh Untuk memelihara tumbuhnya adat istiadat Aceh, ada dua ka- wasan yang perlu diprogramkan pengem- bangan apresiasi adat, dimana para tokoh adat (leading) sektor dengan perangkatnya amat berperan di dalamnya, yaitu kawasan Gampong dan kawasan Mukim:

1. Gampong: Kesatuan masyarakat hukum yang merupakan organisasi Pemerintahan terendah langsung di bawah Mukim yang menempati wilayah tertentu, dipimpin oleh Keuchik dan yang berhak menye- lenggarakan urusan rumah tangganya sendiri. Keuchik adalah Kepala Badan Eksekutif Gampong dalam Penyeleng- garaan Pemerintahan Gampong. 2. Mukim: kesatuan masyarakat hukum

dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas ga- bungan beberapa Gampong yang

mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah Camat yang dipimpin oleh Imeum Mukim. Imeum Mukim adalah Kepala Pemerintahan Mukim. Dalam konteks budaya ideal, aktualisasi produk paket-paket budaya adat, dapat memasuki pasar global, dengan memperhatikan beberapa unsur, sebagai berikut:

a. Berakhlak agamis: kuat aqidah dalam penegakan syiar dan syariat Islam.

b. Berjiwa adatis: Penampilan prilaku yang adatis, dengan norma-norma adat dalam upacara-upacara ke- khidmatan, bernilai ekonomi, har- kat dan martabat.

c. Bertata Etika: budaya adat yang transparan (bermasyarakat, ber- aturan, berencana, berorganisasi, bergerak dan rensponsif), dibawah manajemen Keuchik dan perang- katnya.

d. Bertata Estetika. implimentas kreasi, apersiasi dalam format dengan nilai-nilai seni keindahan, bersih anggun, menarik (cantik), penuh nilai-nilai martabat yang santun,kebanggaan dan berwiba- wa.

e. Pengembangan nilai-nilai sejarah: Gedung memorial, monumen Daerah Modal, Monumen Perju- angan, Istimewa, Serambi Mekah, Syariat Islam, musium alat-alat teknologi pertanian tradisional, transportasi, musium perikanan, musium kereta api dan lainnya. Oleh karena dengan telah adanya penyeragaman pola pemeritahan di daerah seluruh Indonesia melalui Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian diikuti dengan lahirnya Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, menunjukkan sistem pemerintahan ini menutup peluang bagi daerah untuk membentuk pola

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 1 April 2011 ISSN 2086 - 8421

pemerintahan daerah yang berdasarkan karakter dan budaya daerah yang sekaligus melemahkan posisi masyarakat dan lembaga adat terhadap akses kepemilikan atau penguasaan atas sumber daya alam. Dapat dikatakan bahwa kehadiran struktur politik desa selama masa orde baru telah mengikis eksitensi Mukim yang selama ini mampu memegang peranan sosial masyarakat, menjaga relasi harmonis antar gampong.

Keputusan adat yang telah dijatuhkan kepada pihak-pihak yang bersengketa dapat dijadikan salah satu pertimbangan oleh aparat penegak hukum dalam penyelesaian perkara. Mukim memiliki kuasa yang sah (legitimasi) untuk bertindak dalam hal pengurusan sumber alam, penyelerasan hu- bungan antara kampung dan menyeleng- garakan sejenis peradilan (mahkamah), Kuasa mukim dalam hal pengurusan sumber alam meliputi empat aspek. :Pertama, hak untuk mempertahankan pemilikan perse- kitaran dan sumber alam dalam wilayahnya. Kedua, hak untuk memanfaatkan perse- kitaran dan sumber alam. Ketiga, hak untuk mengatur tatacara pemanfaatan dan keempat, hak untuk mengurus atau menyelesaikan perselisihan yang berhubung kait dengan pemilikan dan pengurusan sumber alam.

Keempat hal tersebut dikawal sepe- nuhnya oleh Mukim melalui mekanisme tempatan dan tiap Mukim memiliki kekhas- annya masing-masing, dalam konteks hak untuk mengatur tatacara pemanfaatan sumber alam, Mukim merupakan institusi tertinggi di wilayahnya untuk merumuskan, menetapkan dan menguatkuasakan aturan-aturan tentang pemanfaatan sumber alam. Selanjutnya kampung melaksanakan aturan-aturan yang telah disepakati pada peringkat mukim secara outonom.

Berasaskan kepada adat pula, tiap Gampong dan Mukim di Aceh memiliki harta bersama berupa tanah dan perairan dalam wilayah tempatan. Istilah yang lazim dipakai untuk menyebut harta bersama pada tingkat gampong disebut tanahgampong dan pada tingkat mukim disebut tanah mukim.

Istilah tanah gampong digunakan untuk tanah-tanah bebas dan belum dimiliki secara pribadi yang terletak dalam wilayah sebuah kampung. Akan tetapi untuk saat ini semua itu dikuasai oleh Pemerintah Daerah sehingga mukim tidak ada lagi penghasilah didalam menjalankan pemerintahannya dan hanya mendapat insentif tiga bulan sekali mendapatkannya dari Pemerintah.24

4.2.2 Kendala yang dihadapi Imuem Mukim selaku Lembaga Pemerintahan

Merujuk kepada catatan sejarah, pada masa dahulu penghulu Mukim merupakan wakil Sultan di wilayahnya masing-masing. Penghulu memiliki kuasa untuk mengum- pulkan cukai untuk sultan. Atas tugasnya tersebut, penghulu mendapatkan imbalan dari sultan. Selain daripada itu, penduduk Mukim memberikan sokongan tenaga untuk mengerjakan sawah penghulu pada musim menanam padi. Hal seperti ini juga dite- ruskan oleh kolonial Belanda. Pada masa itu, penghulu menerima gaji bulanan untuk menunpang hidupnya sehari-hari. Keadaan tersebut berbeda dengan masa sekarang. Penghulu Mukim hanya mendapatkan insen- tif yang jumlahnya tidak mencukupi untuk kehidupan sehari-hari. Imuem Mukim bekerja untuk warganya dan menggunakan sebahagian waktu dan uangnya untuk kelancaran administrasi baik dalam mobiler maupun trasformasi sebagai Imuem Mukim.

Seperti hanya Kecamatan Seunagan fungsi dan tugas Mukim tidak mempunyai kesejahteraan bagi kehidupan Imuem Mukim sehingga lembaga pemerintahan tidak berjalan tetapi Mukim hanya sebagai lembaga adat yang menyelesaikan persoalan- persoalan di dalam gampong yang berada diwilayahnya. Wewenang yang ada pada Mukim saat ini hanya sebagai lambang.

Dalam dokumen Media Sain dan Teknologi Abulyatama (Halaman 98-100)