• Tidak ada hasil yang ditemukan

Status ekploitasi Sumberdaya Ikan Selat Malaka Aceh

Dalam dokumen Media Sain dan Teknologi Abulyatama (Halaman 130-134)

105 IV KESIMPULAN DAN REKOMENDAS

ANALISIS STATUS EKSPLOITASI SUMBERDAYA IKAN DI PERAIRAN SELAT MALAKA PROVINSI ACEH

5. Status ekploitasi Sumberdaya Ikan Selat Malaka Aceh

waktu selama periode 20 tahun dari 1989 – 2008. Data yang digunakan adalah data yang dipublikasikan Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) Aceh.

5. Status ekploitasi Sumberdaya Ikan Selat Malaka Aceh

Plot antara produksi dan harga dengan menggunakan data 20 tahun dapat dilihat pada Gambar 3. Pada tahun 1989-1998 produksi perikanan terlihat rendah dan harga juga relative rendah. Hal ini berarti wilayah per- ikanan Selat Malaka Aceh masih dioperasikan pada posisi kurang dieksploitasi. Pada periode tahun 1999 - 2004 kelihatannya perikanan dieksploitasikan pada level MSY, yang ditandai dengan harga cenderung sedang dan produksi menengah. 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 0,00 200.000.000,00 400.000.000,00 600.000.000,00 800.000.000,00 1.000.000.000,00 1.200.000.000,00 0,00 20.000,00 40.000,00 60.000,00 80.000,00 n il ai produksi

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 1 April 2011 ISSN 2086 - 8421

Sumber: Statistik Perikanan Tangkap Aceh, DKP Aceh berbagai tahun

Gambar 3. Plot Harga dan Produksi Perikanan Selat Malaka Aceh Sedangkan pada tahun 2005 – 2008

terlihat arah kurva mulai meningkat dan melengkung. Jumlah produksi meningkat di atas MSY dan harga juga cenderung mening- kat. Indikasi ini memperlihatkan bahwa ada kecenderungan perikanan dioperasikan pada tingkat kelebihan eksploitasi (tahap ketiga), dan pertumbuhan stok ikan tumbuh pada level yang mulai menurun. Kondisi ini jika dibiarkan dapat terus berlanjut dan dapat mengancam sustainabilitas sumberdaya perikanan. Temuan ini sejalan dengan laporan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan tahun 2005 dalam Mallwa 2006 bahwa pada wilayah pengelolaan perikanan Selat Malaka secara umum sumberdaya ikan pelagis, ikan demersal dan ikan karang, se- muanya telah kelebihan eksploitasi.

Jika dikaitkan dengan jumlah armada perikanan yang beroperasi di wilayah per- ikanan Selat Malaka, pada periode tahun 1989

– 1998 terlihat bahwa armada perikanan lebih didominasi oleh motor tempel dan perahu. Sedangkan pada periode tahun 1999-2004 telah didominasi oleh kapal motor ukuran 5 GT, namun jumlahnya relative rendah. Sedangkan pada periode diatas 2004 jumlah kapal motor ukuran 5 GT meningkat dengan sangat tajam dan juga diiringi dengan peningkatan jumlah kapal motor ukuran lebih besar dari 5 GT.

Performan armada perikanan yang beroperasi di Selat Malaka kelihatannya mem- pengaruhi status ekploitasi perikanan dan ini nampaknya ditentukan oleh kapal motor ukuran 5 GT. Namun demikian, kapal motor ukuran 5 GT yang mendapatkan izin pengoperasian dari pemerintah Kabupaten dan beroperasi pada

wilayah 4 mil laut. Hal ini, memungkinkan bahwa kinerja perikanan Selat Malaka yang telah kelebihan eksploitasi (overexploited) adalah pada wilayah perikanan dekat pantai. Sementara sumberdaya perikanan yang berada pada area diatas 4 mil dan dibawah 12 mil, atau bahkan dalam area ZEE kemungkinan masih berada pada level MSY.

Dalam hal ini, Garces L dkk 2006, memperingatkan bahwa, penggunaan boat kecil yang lebih banyak, memungkinkan terjadi kelebihan tangkap (overfishing) pada area dekat pantai dan dapat mengancam keberlanjutan sumberdaya perikanan. Terkait dengan bantuan pasca tsunami kepada para nelayan, Tewfik dkk (2008) mencatat bahwa. distribusi kapal motor batuan (boat) tanpa mempertimbangkan struktur armada terdahulu dan menghasilkan keragaman armada yang lebih fokus pada katagori kapal motor kecil.

Indikasi adanya kelebihan eksploitasi pada area dekat pantai nampaknya juga didukung oleh kenyataan bahwa produksi perikanan Selat Malaka lebih didominasi oleh ikan pelagis kecil. Sumberdaya ikan pelagis kecil merupakan sumberdaya neritik yang penyebayannya terutama di perairan dekat pantai, di daerah dimana terjadi proses penaikan massa air (up welling) dan poorly behaved karena makanan utamanya adalah plankton sehingga kelimpahannya sangat tergantung pada faktor lingkungan. Sumberdaya ini dapat membentuk biomassa yang sangat besar, sehingga merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang paling melimpah di perairan Indonesia, Mallawa (2006).

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 1 April 2011 ISSN 2086 - 8421

Sumber : Dinas Perikanan, Statistik Perikanan Tangkap Prov.Aceh tahun 1994 s/d 2008 Gambar 4. Komposisi Armada Perikanan Aceh

Wilayah Perikanan Selat Malaka

Secara umum kebijakan perikanan di Indonesia umumnya dan di Aceh khususnya lebih berpihak pada pertumbuhan jangka pendek. Hal ini telah memicu pola produksi yang eksploitatif, dan ekspansif yang menyebabkan daya dukung lingkungan hidup mulai menurun. Bagaimanapun, setiap prog- ram pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan bukan hanya berdampak positif tetapi juga membawa konsekuensi biaya yang cukup tinggi akibat kerusakan lingkungan. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menggunakan model Schaefer untuk menduga potensi MSY(Maximum Sustainable Yield), seperti juga dilakukan oleh banyak institusi perikanan di dunia.

Dengan memperhatikan prinsip keha- ti-hatian, sasaran pengelolaan perikanan tang- kap Indonesia telah ditetapkan sebesar 80% dari potensi MSY. Namun demikian, keba- nyakan jenis perikanan tangkap di Indonesia ternyata mengeksploitasi stok ikan yang mengalami penurunan, bukan yang berada pada

kondisi keseimbangan. Oleh karena itu, penduga MSY bisa jauh lebih tinggi dari kondisi yang sebenarnya (over estimated), Wiadnya (2006) menyatakan formulasi kebi- jakan perikanan tangkap di Indonesia dikem- bangkan berdasarkan catch-effort dan model Tangkap Maksimum Lestari (MSY) yang mengandung beberapa kelemahan dan beresiko tinggi terhadap keberlanjutan dan keuntungan jangka panjang. Penduga MSY saja, jelas tidak cukup kuat untuk menjadi patokan dalam mengambil keputusan mengenai perlu tidaknya dilakukan ekspansi penang-kapan.

Dalam prakteknya, system kuota output sebesar 80% dari MSY tidak efektif, kenyataannya banyak wilayah pengelolaan perikanan mengalami over eksploitasi. Namun demikian, didorong oleh keinginan mening- katkan GNP dari hasil perikanan tangkap, maka DKP cenderung mempunyai kebijakan intensifikasi perikanan tangkap yang mendorong produksi besar-besaran. Kebijakan

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 5000 perahu S M M Tempel SM Kpl 5 GT SM Kpl > 5GT SM

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 1 April 2011 ISSN 2086 - 8421

ini diarahkan kepada wilayah pengelolaan yang diperkirakan masih kurang dieksploitasi.

Harus dipahami bahwa, bila stok mulai menipis maka diperlukan waktu yang lama untuk pulih kembali, meskipun penangkapan dihentikan. Karenanya, DKP perlu mempertimbangkan untuk menggeser kebijakan pengelolaan perikanan dalam rangka pemulihan stok sebagai berikut : 1) pergeseran orientasi kebijakan perluasan usaha menuju pada pengelolaan berkelanjutan, 2) mele- paskan diri dari ketergantungan pendekatan MSY dan beralih kepada pengelolaan berda- sarkan pendekatan ekosistem, dimana Kawasan Perlindungan Laut (KPL) akan memainkan peran yang cukup penting.

Meskipun masih terdapat perdebatan mengenai kontribusi KPL ini terhadap ke- untungan nelayan, tetapi ada kesepakatan bah- wa untuk stok yang telah kelebihan eksploitasi, KPL dapat memberikan solusi yang baik. Hal ini dapat dilihat bila dicermati studi yang dilakukan White dan Hart. White,dkk (2008) menyatakan bahwa performan ekonomi perikanan tergantung pada keuntungan eko- nomi bukan pada produksi ikan. Laba per- ikanan sering lebih tinggi dengan pengelolaan tidak ada cadangan laut pada pengelolaan konvensional itu sendiri. Biaya penangkapan yang melebihi biasa karena kepadatan populasi yang rendah (low density polulations) dapat mengikis keuntungan. Studinya menunjukkan bahwa cadangan masih dapat memberikan manfaat pada perikanan untuk spesies target yang mahal untuk dipanen. Terhadap kesimpulan ini, Hart (2009) menyatakan bahwa kesimpulan White,dkk didasarkan pada asumsi yang salah bahwa semua ikan yang didaratkan mempunyai nilai yang sama tanpa memper- timbangkan ukuran, dan asumsi mengenai density-dependence diragukan. Model dengan asumsi yang lebih realistik secara umum belum menunjukkan peningkatan hasil atau laba dari marine reserve kecuali untuk stok yang kelebihan eksploitasi.

6. Kesimpulan dan rekomendasi

Pemanfaatan sumberdaya perikanan di wilayah perikanan Selat Malaka Aceh telah mengalami kelebihan eksploitasi, utamanya di perairan dekat pantai, akibat kelebihan kapasitas armada tangkap ukuran kecil.

Pemberian izin kapal ukuran 5 GT ke bawah agar dapat dibatasi, dan mengawasi batas pengoperasian kapal-kapal ikan ukuran lebih besar untuk tidak beroperasi pada kawasan dibawah 4 mil laut. Sehingga tidak terjadi konflik antara nelayan kecil dan dan perusahaan perikanan yang lebih besar.

Pemerintah Aceh dapat mempertim- bangkan untuk menerapkan lebijakan Kawasan Perlindungan Laut sebagai kawasan perlin- dungan stok terutama untuk spesies ikan yang mulai menurun stoknya. Kebijakan ini dapat dipadukan dengan kebijakan MSY yang kurang stabil, dan mudah terjadi kesalahan estimasi.

Dalam dokumen Media Sain dan Teknologi Abulyatama (Halaman 130-134)