• Tidak ada hasil yang ditemukan

Saat Kenikmatan Terusik

Dalam dokumen LBH Masyarakat Jejak Langkah Menciptak (Halaman 81-87)

Oleh: Ajeng Larasati

Siang hari di Rumah Sakit Fatmawai, tepatnya di bagian balai rumatan metadon, tampak beberapa orang sedang duduk di sebuah kursi panjang larut dalam sebuah obrolan yang menarik. Sesekali diiringi gelak tawa. Beberapa dari mereka terlihat memegang sebuah botol kecil berisi cairan berwarna merah yang ternyata adalah metadon, sebuah zat subsitusi heroin. Ada juga yang memegang botol lain yang berisi anggur. Sekelompok orang tersebut satu per satu meminum masing-masing botol metadon yang mereka pegang. Beberapa mencampurnya dengan setegak dua tegak anggur.

Mencampur dosis metadon mereka dengan anggur sebenarnya adalah pelanggaran terhadap pemakaian metadon. Demi sebuah kenikmatan, pelanggaran ini dianggap bukan sebagai hal yang berbahaya. Dengan mencampur metadon dan anggur, ternyata dapat memberikan efek nikmat yang lebih bagi mereka. “Bisa bikin kita lebih “high” kalo minumnya pake anggur”, informasi yang didapat dari rekan di komunitas Forkon beberapa hari kemudian.

Pukul 12.00, im penyuluh dari LBH Masyarakat yang kali ini terdiri dari Dhoho A. Sastro, Ajeng Larasai, dan Ronal Balderima, mahasiswa FHUI semester 7 yang sedang magang di LBH Masyarakat, iba di tempat tujuan, RS Fatmawai. Mereka telah menyiapkan materi upaya paksa untuk disampaikan kepada teman-teman peserta program rumatan terapi metadon, yang sebagian sedang berkumpul di bangku panjang itu. Seorang ibu yang mengenakan seragam perawat menyambut kedatangan kami dan langsung mengantarkan kami menuju sebuah ruang pertemuan dengan melalui ruang-ruang kerjanya yang dipenuhi dengan berbagai botol obat. “Di sini ruangannya, silahkan menyiapkan penyuluhannya. Saya akan panggil anak-anaknya,” ujar ibu itu seraya membuka pintu yang tadinya terkunci dari dalam.

Ternyata mengumpulkan mereka masuk ke dalam ruangan penyuluhan cukup sulit. Satu per satu datang, saat yang satu datang, yang satu pergi. Walhasil ruangan itu tak pernah penuh. Belum lagi ditambah kekacauan yang terjadi, keika ada salah seorang peserta yang beinisiaif untuk memanggil teman lainnya. Bukannya berhasil membuat orang yang di luar berhasil masuk, dia malah merangsang teman-temannya yang ada di dalam ruangan untuk turut membantu memanggil yang masih di luar. Jadilah ruangan itu bukannya bertambah penuh, malah semakin kosong. Butuh waktu lebih dari setengah jam untuk membuat peserta di ruangan itu relaif tenang dan duduk manis.

Keika penyuluhan akan dimulai, suasana yang terjadi idak sehangat suasana penyuluhan di komunitas lain. Kali ini peserta penyuluhan menatap im penyuluh dengan tatapan yang tajam serasa ingin menantang dan marah akibat kedatangan orang baru yang belum mereka kenal dan membuat kenikmatan mereka terganggu. Kami memulai penyuluhan dengan memperkenalkan proil LBH Masyarakat yang langsung mendapatkan serangan dari para peserta. Perkenalan

awal pun langsung mendapatkan respon yang mencemooh. “Halah, buat apa ada penyuluhan hukum ini. Toh prakteknya idak seperi itu,” ujar salah seorang anak. Respon ini kemudian berusaha diatasi dengan mengubah metode penyuluhan dengan menanyakan tentang bagaimana praktek yang terjadi. “Ok, kalau begitu sebaiknya teman-teman bercerita dulu tentang bagaimana praktek yang terjadi,” tanya Dhoho mengawali penyuluhannya.

Tiba-iba seorang pemuda kurus, sebut saja Doni (bukan nama sebenarnya), berkulit hitam dan berambut ikal berdiri dengan sedikit terhuyung-huyung. Dengan setengah berteriak, dia berkata, “Bapak mau pengalaman saya yang ke-berapa? Mau yang pasal berapa?” Doni kemudian melanjutkan dengan pengakuan kalau dia pernah berhadapan dengan polisi sebanyak tujuh kali. Mulai dari kasus narkoika, senjata tajam, sampai kriminal biasa seperi pembunuhan. Pengalaman Doni, yang mengaku tujuh kali berhadapan dengan pengadilan, membuat Doni jadi bersikap seolah-olah ani dengan teori hukum yang hanya akan jadi sekedar teori. Ia lebih mempercayai apa yang telah dialaminya. Begitu juga teman-teman lain yang punya pengalaman serupa dengan Toni.

Pengakuan Doni ini membuat suasana yang tadinya sudah susah dikendalikan menjadi semakin liar. Beberapa orang kemudian berebut berbicara, dan seiap kali berbicara mereka selalu berteriak-teriak dan mengumpat tentang kekesalan terhadap polisi. “Mereka itu biadab,” ujar pemuda lainnya yang berperawakan imur tengah. “Betul mereka itu biadab, saya juga mengalami dipaksa untuk mengaku, kalau idak mau mengaku saya dipukuli. Mereka betul-betul biadab,” tutur pemuda lainnya yang berpenampilan jauh lebih necis dan berkulit kuning. Sebenarnya hanya iga orang ini yang ‘merusuh’, tetapi hal ini memberi dampak pada pembangunan pola pikir teman-teman peserta lain yang masih kosong. Mereka pun jadi cenderung bersikap idak peduli dengan materi yang akan kami sampaikan. Karena mendengar celotehan ‘perusuh’ itu mereka jadi memiliki pemikiran yang sama, yaitu “nothing we can do about this”.

Keiga orang itu terus menerus berbicara berganian dengan nada inggi, dan apa yang “Kalau Anda gak pernah

berhadapan dengan polisi, Anda idak akan tahu bagaimana rasanya diinjak, dipukul dan juga perlakuan-perlakuan buruk lainnya. Anda idak akan pernah merasakan apa yang saya rasakan. Percuma kita mendapat penyuluhan ini”

disampaikan relaif sama, yaitu tentang kekesalan mereka terhadap aparat dan keidakpercayaan tentang aturan hukum yang ada. Suasana makin panas saat pemuda berkulit kuning itu bertanya apakah para penyuluh ini pernah mengalami penangkapan. Mereka menganggap kalau belum pernah mengalami, maka tak akan ada yang tahu bagaimana rasanya menjadi lemah idak berdaya di tangan polisi, di mana mereka bisa seenaknya memukul, menendang, dan bentuk-bentuk penyiksaan yang lainnya lagi. “Kalau Anda gak pernah berhadapan dengan polisi, Anda idak akan tahu bagaimana rasanya diinjak, dipukul dan juga perlakuan-perlakuan buruk lainnya. Anda idak akan pernah merasakan apa yang saya rasakan. Percuma kita mendapat penyuluhan ini,” teriak pemuda itu.

Saat penyuluh mengatakan bahwa penyiksaan itu adalah bentuk pelanggaran serius hak asasi manusia, mereka hanya bisa tersenyum miris dan mengembalikan pertanyaan kepada penyuluh “pernah ga bapak digebukin? Kita tuh ga bisa ngapa-ngapain pak. Hanya bisa pasrah. Harusnya bapak ngasi penyuluhan macem beginian ke polisi-polisi itu tuh, biar mereka tau kalo mereka ga boleh begini begitu, bukan ke kita. Kita mah cuma korban,” ujar pemuda berperawakan imur tengah itu. Miris, menyayat hai, sedih, dan sedikit sebal. Itulah perasaan yang dialami para penyuluh mendengar tanggapan seperi itu.

Apa kemudian yang bisa dilakukan para penyuluh mendengar hal itu? Apa yang dikatakan mereka sesungguhnya adalah hasil dari proses pembentukan mental yang selama ini berkembang di negara kita. Di mana polisi selalu benar, jangan membantah polisi, ikui saja apa kata polisi, kalau idak kita akan mengalami hal yang lebih gawat. Mental-mental pasrah. Kita para penyuluh merasa sebal dan kesal karena niat baik dan semangat 45 yang dibawa penyuluh jauh-jauh dari kantor ternyata mentah disini, dengan sikap idak kooperaif mereka. Padahal penyuluh ini ingin memberikan informasi yang pening, yang mana diharapkan berbekal informasi ini mereka memiliki keberanian untuk membela diri mereka apabila diperlakukan sewenang-wenang.

Suasana mulai sedikit terkendali keika salah seorang perusuh itu bertanya, apakah LBH mau mendampingi mereka keika mereka berhadapan dengan polisi. Pertanyaan ini langsung disambut jawaban yang justru mengagetkan semua peserta. “Kita siap untuk mendampingi,

bahkan kita sudah mendampingi. Sayangnya keika kita bertemu dengan klien-klien kami, orang-orang yang berada dalam tahanan, kita justru ditolak. Niat kami untuk membantu dan membela mereka justru ditolak oleh mereka. Padahal kita memberi bantuan hukum ini dengan cuma- cuma, idak minta bayaran apapun,” ujar Dhoho. “Sudah ada delapan kasus sejak kami bersahabat dengan teman-teman pemakai narkoika yang masuk ke kami, tapi hingga hari ini semua tawaran bantuan hukum kami justru ditolak oleh mereka,” tambahnya. “Betul itu, justru penyuluhan ini untuk memberi tahu teman-teman bahwa ada bantuan hukum. Selama ini memang teman-teman yang memberi bantuan hukum ini belum berhasil memenangkan hai teman-teman. Teman-teman LBH ini selalu ditolak, padahal awalnya kita sudah melakukan pendekatan. Seiap kali mau tanda tangan surat kuasa, pecandunya menolak untuk memberi kuasa dan menerima bantuan hukum,” tutur Sugi salah seorang penggiat di Yayasan Sigma turun tangan menenangkan suasana.

Di tengah-tengah kecamuk rasa heran di antara para pemakai itu, iba-iba Doni yang dari tadi mengacau itu masuk kembali dalam ruangan. Langkahnya gontai, dan ia tampak tak peduli dengan puluhan pasang mata yang menatap kedatangannya. Dia duduk kembali di kursinya, dan badannya langsung rebah di sandaran kursi. Kepalanya lemas, tak tertahan, dengan posisi wajah yang tengadah menatap langit-langit. Tiba- iba ia menghentakkan kepalanya itu ke depan, dan membuat kepalanya itu berayun dari posisi tengadah itu menjadi tertunduk. Punggungnya tak lagi bersandar di kursi. Seiring dengan ia mengayunkan kepalanya, dengan nada suara yang meracau, ia berteriak “gue gak peduli. Gue gak peduli dengan beginian.” Seisi ruangan terdiam, dan belum selesai dengan kaget yang diimbulkan oleh perilaku Doni, ia kembali berteriak dengan suara yang lebih kencang, “gue gak peduli”. Kali ini ditambah dengan hentakan kaki.

Teman-teman Doni yang dari tadi mengacau penyuluhan berusaha menenangkan Doni. “Doni..Doni...sudah, jangan malu-maluin. Ayo tenang-tenang,” ujar pemuda berkulit kuning itu. Doni yang tadinya berniat berontak, terlihat membatalkan niatnya. Ia kembali duduk bersandar. Melihat suasana yang sedikit tenang, pemuda dengan perawakan imur tengah itu kemudian merangkul Doni dan membawanya keluar. Tak lama kemudian pemuda berkulit kuning itu mengikui dua temannya ini keluar ruangan.

Suasana mulai terib saat keiga perusuh ini keluar ruangan. Peserta yang tersisa bersikap lebih kooperaif. Tetapi sayang waktu telah terbuang percuma, hari telah semakin sore dan mood untuk melanjutkan penyuluhan sudah idak ada, baik dari peserta yang tersisa maupun dari para penyuluh.

Di tengah-tengah suasana yang sudah idak kondusif itu, iba-iba ada satu pertanyaan dari seorang pemuda berkaca mata. Pembawaannya jauh lebih tenang dibandingkan dengan teman-temannya tadi. Dia bertanya, kalau kita mendapatkan perlakuan upaya paksa yang melanggar hukum, kita tentu dapat menuntut polisi, lalu apa yang kita dapatkan. “Memangnya kasus kita jadi selesai Mas? Kita tetap diproses kan, lalu apa yang jadi untungnya buat kita kalau kita mau menuntut polisi,” tanya pemuda itu.

Pertanyaan ini menyadarkan im penyuluh. Bahwa memang benar seiap indakan melawan hukum yang dilakukan oleh polisi memang bisa dituntut balik. Namun siapapun yang menuntut balik idak akan mendapatkan apa-apa. Sekalipun tersedia mekanisme gani kerugian, tapi tetap saja nilainya idak seberapa besar. Toh dia sudah habis dipukuli, dan penuntutan balik ini idak membuat proses hukum atas kasus mereka jadi berheni. “Kita memang idak mendapatkan apa-apa dari proses menuntut balik itu. Tapi kita membuat sebuah perubahan. Selama ini kalau ada orang yang digebuki oleh polisi, yang selanjutnya terjadi pasi korban yang digebuki akan meminta perlindungan pada polisi dan selanjutnya akan memberikan sejumlah uang,” jawab salah seorang penyuluh yang kemudian ditanggapi dengan anggukan tegas dari si penanya.

“Bagaimana kebiasaan memukul itu dapat berheni. Lha wong setelah mukuli orang, polisi itu justru mendapatkan hadiah, bukan mendapatkan hukuman. Padahal perbuatannya itu adalah perbuatan yang salah. Dengan menuntut kita memberikan hukuman kepada polisi. Kita memang bukan penerima manfaat. Yang akan menerima manfaatnya adalah orang-orang yang tertangkap berikutnya. Dengan menuntut kita mengubah situasi aman yang selama ini terjadi. Selama ini, polisi idak pernah merasa takut melakukan pemukulan karena idak pernah ada yang berani melakukan penuntutan. Alih-alih mendapat tuntutan, polisi

malah kerap mendapatkan uang. Semakin seringlah ia akan melakukan kekerasan,” tambah penyuluh tadi.

Apa yang dialami dalam penyuluhan di komunitas metadon Fatmawai ini adalah sebuah pelajaran yang sangat berharga. Walaupun proses memberikan penyuluhan dapat dikatakan gagal, namun ada pelajaran yang bisa kami peik. Ternyata perjuangan untuk melawan penyiksaan dan perlakuan-perlakuan melawan hukum lainnya, bukan bertujuan untuk mengatasi keadaan yang sekarang terjadi. Perjuangan ini adalah untuk perubahan di masa mendatang, dan penerima manfaatnya bukanlah mereka yang saat ini berhadapan dengan hukum, tapi umat manusia lainnya yang akan berhadapan dengan hukum di masa mendatang. Selain itu, pelajaran yang paling pening dan perlu selalu diingat adalah jangan pernah sekali-kali melakukan penyuluhan di tengah-tengah sekelompok orang yang sedang mabuk, karena ternyata metadon yang dicampur dengan anggur adalah minuman yang memabukkan. Pasikan situasinya kondusif untuk melakukan penyuluhan.

Dalam dokumen LBH Masyarakat Jejak Langkah Menciptak (Halaman 81-87)