Interaksi manusia-manusia di Kali Adem itu tentu idak cukup hanya antar manusia saja. Tentu ada interaksi antara manusia di Kali Adem dengan lingkungannya. Nelayan-nelayan pendatang ini sehari-hari inggal dengan kondisi yang memprihainkan, itulah yang ada dalam pikiranku keika pertama kali mengenal mereka. Tiap hari mereka kebanjiran karena air laut yang pasang, karena itu rumah mereka dibuat di atas panggung dari bahan kayu dan triplek seadanya. Bagi mereka yang memiliki kemampuan ekonomi lebih, akan memiliki gubuk yang terdiri dari beberapa sekat ruangan. Sementara mereka dengan kemampuan pas-pasan, hanya akan memiliki satu ruang dalam gubuknya itu. Di ruang itulah mereka melakukan semua urusan domesiknya, masak, makan, idur, menonton TV, dan lain sebagainya.
Terkait dengan kebutuhan sanitasi, seiap gubuk umumnya dilengkapi dengan kamar mandi. Jangan bayangkan kamar mandi ini adalah sebuah ruangan tertutup yang dilengkapi dengan bak mandi. Umumnya kamar mandi mereka adalah sebuah ruangan yang tak beratap dan hanya berdindingkan terpal, serta beralaskan papan. Di dalam ruangan ini, umumnya terdapat ember-ember yang dimanfaatkan untuk menampung air kali yang telah diendapkan. Dengan air inilah, masyarakat itu memenuhi kebutuhan sanitasinya (mandi, cuci, kakus). Sedangkan untuk kebutuhan air bersih untuk memasak, masyarakat memanfaatkan dari pedagang air pikulan yang mendapatkan pasokan air dari kamar mandi umum
Komunitas Kali Adem
yang pelanggan PAM. Sementara untuk air minum, masyarakat mendapatkannya dari pedagang air isi ulang yang sedang menjamur sekarang ini.
Kehidupan di pinggir kali ini selalu semarak dengan adanya pasokan listrik ilegal yang berasal dari perumahan mewah yang tepat berbatasan langsung dengan tempat inggal mereka. Perkampungan miskin ini berbataskan kali di sisi barat, dan di sisi imur ada sebuah tembok seinggi empat meter yang menjadi batas. Di balik tembok ini terdapat perumahan mewah.
Kemiskinan dan kemewahan hanya dipisahkan oleh tembok panjang dengan inggi empat meter itu. Oknum keamanan dari perumahan mewah inilah yang menyalurkan listrik ke perkampungan itu, dan memungut iuran listrik dari warga sebanyak tujuh ribu Rupiah per minggunya per rumah. Aliran listrik inilah yang memicu seiap rumah memiliki perabot elektronik seperi televisi, DVD Player, ataupun perangkat sound system yang seringkali mengeluarkan suara menggelegar.
Menghadapi kondisi seperi ini, tentu idak akan ada orang yang mengatakan kondisi ini layak huni dan akan memberikan kenyamanan bagi orang yang inggal di dalamnya. Orang-orang Kali Adem pun juga akan memberikan jawaban yang sama keika mereka ditanya apakah merasa nyaman untuk inggal di tempat tersebut. Namun jika mereka ditanya sebaliknya, apakah bersedia untuk pindah ke tempat lain, belum tentu mereka akan dengan tegas bersedia untuk pindah karena tempat inggal sekarang ini idak nyaman. Mereka akan memberikan jawaban- jawaban tak terduga yang menjadi penyebab kenapa mereka inggal di bantaran Kali Adem ini.
“Kalau kami pindah, bagaimana dengan perahu kami. Kalau nani hujan, siapa yang akan memasang tenda untuk perahu ini. Kita repot kalau harus sayit,” ujar keluarga yang berprofesi sebagai nelayan. Sayit adalah akivitas untuk menguras air yang ada di lambung perahu. Seiap kali hujan, nelayan akan memasang terpal untuk membuat air hujan idak masuk ke dalam perahu. Air yang membasahi dan masuk ke dalam perahu, akan tertampung di lambung perahu. Jika air ini idak dikuras,
Kemiskinan dan kemewahan hanya dipisahkan oleh tembok panjang dengan inggi empat meter itu. Oknum keamanan dari perumahan mewah inilah yang menyalurkan listrik ke perkampungan itu, dan memungut iuran listrik dari warga sebanyak tujuh ribu Rupiah per minggunya per rumah.
lama-kelamaan perahu akan tenggelam. Kegiatan menguras air dalam lambung perahu disebut dengan isilah sayit.
Sayit juga harus dilakukan secara reguler, karena bagaimanapun konstruksi perahu kayu ini keika berlabuh pasi akan kemasukan air. Apalagi kalau perahu tersebut memiliki kebocoran, sayit harus dilakukan lebih sering. Inilah yang menyebabkan keika mereka pergi lama, mereka pasi akan meniipkan perahu. Selain untuk alasan keamanan, alasan utamanya adalah supaya ada orang yang melakukan sayit secara reguler sehingga perahunya idak sampai tenggelam. Hal ini kemudian membuat ada orang-orang tertentu yang memiliki pekerjaan sebagai tukang jaga perahu.
Kelompok pedagang juga memiliki keberatan tertentu keika akan dipindahkan. “Langganan kita ini yang orang-orang yang inggal di sini. Nelayan-nelayan itu. Kalau kita pindah, lha bagaimana kita bisa dagangan. Pembeli kita kan mereka ini. Belum lagi karena hubugan kita sudah dekat, kita banyak memberi hutangan kepada mereka. Nani kalau pas lagi hasil, tangkapannya di laut lagi banyak, mereka bayar hutangnya ke kita,” ujar Nimah salah seorang perempuan yang memiliki warung di kampung itu. Sementara itu, perempuan-perempuan lain memberikan jawaban yang tak kalah lugu dan polosnya. “Tinggal di sini ini, membuat kami dekat buat kerja. Gak perlu repot-repot. Selain itu kalau kita mulung, barang itu kan gak bisa langsung dijual, kita kumpulkan dulu sampai banyak. Kalau kita pindah ke tempat yang lebih bagus, nani kita gak bisa menyimpan barang-barang hasil pulungan kita itu. Jadi repot dong kita bekerjanya,” ujar seorang perempuan.
Seluruh jawaban ini menunjukkan bahwa kondisi yang buruk sekalipun ternyata tetap memberikan insenif bagi orang-orang ini untuk tetap inggal. Kondisinya memang memprihainkan, tapi keika kondisi yang memprihainkan itu memberi rezeki yang menghidupi, mereka akan bertahan untuk inggal. Orang-orang miskin ini memberikan teladan untuk hidup idak cengeng dan mudah menyerah.
Keadaan yang buruk idak cukup memberikan penderitaan untuk membuat mereka menyerah dan berheni mencari penghidupan. Dengan apa Mereka idak merengek-
rengek meminta negara bertanggung jawab untuk kehidupan mereka, karena mereka berhasil membukikan bahwa mereka idak kalah dengan keadaan. Mereka juga terlalu bermartabat untuk mengiba-iba meminta belas kasihan orang lain. Mereka memiliki harga diri yang
yang mereka miliki, apa yang mereka mampu, mereka terus berproduksi menciptakan jalan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka idak merengek-rengek meminta negara bertanggung jawab untuk kehidupan mereka, karena mereka berhasil membukikan bahwa mereka idak kalah dengan keadaan. Mereka juga terlalu bermartabat untuk mengiba- iba meminta belas kasihan orang lain. Mereka memiliki harga diri yang tak bisa diremehkan.