Apa yang dialami oleh Casmana dan teman-temannya di balai warga tak lepas dari kesepakatan yang dibuat oleh warga beberapa hari sebelumnya. Masyarakat di Kali Adem, waktu itu sedang kebingungan menghadapi surat seruan yang dikeluarkan oleh Lurah Pluit. Dalam surat itu dikatakan, kalau dalam waktu tujuh hari sejak surat ini diterima, warga idak membongkar gubuknya, pemerintah akan melakukan pembongkaran paksa di tempat itu. Menghadapi penggusuran ini, warga yang telah memiliki kelompok atau paguyuban warga bernama Musika (akronim dari Mitra Usaha Tiian Kali Adem), mulai mengkonsolidasikan diri.
Balai warga yang dibuat sebagai tempat pertemuan masyarakat, selalu dipenuhi oleh banyak orang seiap malam setelah mendapatkan surat seruan itu. Di tengah kebingungan ini, warga berkumpul untuk mendapatkan informasi terbaru tentang rencanan penggusuran dan rencana perjuangan yang akan dilakukan oleh seluruh warga. Di Balai Warga ini juga terjadi kesempatan saling tukar pikiran tentang apa yang menjadi keinginan warga. Sekalipun masing-masing punya keinginan, masing-masing orang menyadari bahwa keinginan yang terwujud hendaknya adalah keinginan bersama. “Gak mungkin saya mewujudkan keinginan saya sendiri. Kalau saya ingin inggal di bantaran kali ini, sementara yang lain pada mau pergi, masa saya inggal di sini sendirian,” ujar Tuyat seorang bapak murah senyum yang sehari-hari bekerja sebagai tukang becak.
Pertemuan-pertemuan malam itu kemudian melahirkan sebuah ide bahwa harus ada buki kalau warga mau berjuang bersama-sama. Buki ini akan dijadikan alat untuk meyakinkan siapapun yang akan menjadi lawan berunding. Bahwa warga Kali Adem itu kompak, siap diatur,
dan siap untuk berjuang. “Kita butuh untuk idak sekedar ngomong, kita butuh buki kalau kita kompak,” seru Dhoho yang dikenal sebagai pembina di Kali Adem. “Apa kira-kira yang bisa kita jadikan buki?,” tanya Dhoho pada warga. Pertanyaan ini idak mendapatkan respon. Semua orang kebingungan, ada yang menunduk, ada yang berbisik-bisik dengan yang lain. Tak ada jawaban yang kemudian terlontar.
Ide tentang buki ini tercetus tatkala masyarakat menganggap bahwa rumah susun yang ada di Muara Angke mungkin bisa menjadi solusi. Rumah susun itu dikelola oleh Yayasan Kemanusiaan Tzu Chi, dan seiap orang yang inggal di rumah susun itu harus membayar sewa sebanyak Rp. 90.000,00/bulan. “Rumah susun itu masih ada yang kosong, dan kita sih idak keberatan kalau harus pindah ke sana. Yang jadi masalah kalau harus bayar sekaligus Rp. 90.000,00 mungkin berat,” kata Erman, salah seorang warga. Kulit mengkilat dan lengan ototnya yang kuat menandakan ia pasi salah seorang nelayan yang masih akif melaut.
Naling, sang ketua Kelompok Musika, menyambut kekhawairan itu dengan ide brilian, “kita kan ada kelompok. Bayar saja ke kelompok seiap harinya iga ribu rupiah. Nani biar kelompok yang bayar ke pengelola sebulannya Rp. 90.000,00. Kalau bayarnya harian itu kan lebih ringan, dan hasilnya sama saja,” ujar Naling yang bernama asli Mulyono. Beberapa orang terlihat manggut-manggut tanda setuju dengan pemikiran Naling. “Baik, sekarang begini. Rumah susun itu bisa dijadikan salah satu jalan keluar idak?” tanya Dhoho kepada masyarakat yang langsung diiyakan oleh masyarakat. Dhoho pun kemudian melontarkan gagasan kepada masyarakat, “Bagaimana kalau kita laihan membukikan kemampuan kita membayar uang sewa rumah susun. Caranya begini, kita membuat tabungan masyarakat. Masing-masing keluarga menabung sebanyak Rp. 3.000,00 sehari ke Musika. Nani pengurus Mustka akan berjaga di balai warga dan menerima tabungan itu. Tabungan ini akan dicatat. Uang hasil tabungannya akan dimasukkan ke bank. Jadi uangnya idak akan hilang. Kalau sewaktu-waktu masyarakat mau mengmbil tabungannya, karena idak mau berjuang lagi atau ada keperluan lain, boleh-boleh saja. Tidak ada larangan dan idak ada potongan. Bagaimana kira-kira? Masyarakat bisa mewujudkannya?” tanya Dhoho kepada masyarakat. Pertanyaan ini bukannya mendapatkan jawaban, malah mendapatkan pertanyaan
lanjutan, “Kapan kita mulai menabung Pak?” tanya salah seorang ibu. Pertanyaan ini kemudian disusul dengan pertanyaan-pertanyaan sama dari orang lain. “Kalau memang sudah mau mulai, kita segera saja mulai. Pak Naling, pengurusnya siap kan untuk besok mulai menerima tabungan warga? Musika kan sudah terlaih untuk membuat tabungan bersama,” tanya Dhoho. “Siap! Beres! Besok juga bisa,” kata Pak Naling. Tak lama kemudian, pertemuan malam itu ditutup dan masyarakat kembali ke gubuk masing-masing. Sementara pengurus masih inggal untuk mempersiapkan pembagian tugas menyambut tabungan masyarakat besok.
Tanpa banyak berdebat, pengurus-pengurus menyanggupkan diri untuk besok sudah ada yang bertugas. “Saya siap untuk bertugas, toh rumah saya kan di sebelah balai warga,” ujar Casmana. “Saya juga bisa membantu,” ujar Purwarga salah seorang warga yang dikenal keras dan suka berantem keika muda. “Kita besok beli buku kecil-kecil saja, jadi biar masing-masing warga punya catatan tentang tabungan mereka. Biar warga percaya kalau uangnya idak hilang,” ujar Ahmad Sukri, warga Kali Adem yang terlihat paling berpendidikan. Tanpa harus ada intervensi lebih jauh, pengurus-pengurus ini seperinya sudah punya cara sendiri untuk melakukan pencatatan. Mungkin cara mereka mencatat idak umum, dan berpotensi menimbulkan kesalahan, tapi ini adalah cara yang paling mereka pahami dan paling mungkin mereka lakukan. Jika cara ini langsung divonis sebagai cara yang idak tepat, justru akan membunuh inisiaif yang baru tumbuh itu. Selain itu, dengan cara baru masyarakat justru akan merasa kagok dan malah menimbulkan berbagai kesalahan baru. Biarlah cara mereka dijalankan, selanjutnya secara perlahan akan dilakukan evaluasi perbaikan.
Keesokan harinya, warga sudah mulai menabung. Mereka datang sendiri ke Balai Warga dan menyerahkan uang tabungannya. Warga membukikan janjinya. Demikian juga pengurus, sejak pagi sudah ada berbagai akivitas yang dilakukan pengurus, membeli buku kecil untuk dibagikan kepada warga dan juga membeli buku besar yang akan digunakan sebagai buku catatan utama. “Kita kaya anak mau sekolah lagi. Beli-beli buku,” ujar Rajak salah seorang pengurus dengan senyum bangga bercampur malu karena sudah tua masih membeli buku tulis. Andy Wiyanto, salah seorang penyuluh LBH Masyarakat yang malam itu
datang memantau perkembangan tabungan ini dapat merasakan aura keswadayaan warga. “Saya gak nyangka rapat kemarin benar-benar dipatuhi oleh masyarakat. Balai warga ramai sekali, banyak orang mau membantu untuk menerima tabungan, masyarakat pun juga antusias,” ungkap Andy yang malam itu harus pulang lewat dari tengah malam. “Uang ini besok jangan lupa disetor ke bank ya Pak,” ujarnya mengingatkan pengurus Musika.
Proses menyetor uang ke bank sendiri menimbulkan suatu masalah di awal. Masuk ke bank, dengan ruangan ber-AC dan pintu yang selalu terjaga satpam membuat orang-orang Kali Adem ini seperi memasuki dunia baru. Satpam yang dilaih untuk menyapa seiap orang dengan ramah, ditanggapi dingin oleh orang-orang Kali Adem ini. “Saya ditanya- tanya satpam, ada yang bisa saya bantu. Saya jadi malu, saya keluar aja lah,” kata Naling menceritakan pengalamannya ke bank. Pagi itu mereka menyetor uang tabungan apa adanya, masih belum dirapikan dan jumlah setoran yang idak lebih dari iga ratus ribu itu mayoritas terdiri dari
Gambar 11 - Pengurus Mustika tengah menerima uang tabungan dari warga Kali
Adem. Dengan tabungan Rp 3000,00 per harinya ini, warga Kali Adem ingin menunjukkan bahwa mereka adalah warga yang dapat melakukan sesuatu dengan bersungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.
uang ribuan. Jadilah petugas teller yang biasa menerima uang puluhan ribu, harus mendapatkan pekerjaan tambahan untuk merapikan dan menghitung lembar-lembar uang ribuan itu. “Lain kali kalau menyetor uangnya tolong dirapikan dulu ya Pak. Seperi ini,” ujar teller bank dengan senyum di bibirnya.