• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 PENDAHULUAN

1.5 Kerangka Pemikiran Penelitian

Kegiatan perikanan yang berkembang di Kota Ambon terdiri dari usaha perikanan skala industri (industri perikanan) dan usaha perikanan tradisional. Usaha perikanan skala industri dimiliki oleh para pemodal yang rata-rata menggunakan armada penangkapan maupun alat tangkap yang relatif lebih moderen dan pada umumnya tidak bermukim di desa pesisir Kota Ambon. Sementara itu, usaha perikanan rakyat adalah usaha perikanan masyarakat yang bermukim di desa dan kelurahan pesisir Kota Ambon, menggunakan armada

penangkapan maupun alat tangkap yang relatif sederhana. Kedua kegiatan perikanan tersebut telah menjadi bentuk aktualisasi sektor perikanan selama ini di Kota Ambon dengan kontribusi dan masalahnya masing-masing. Namun demikian, keberhasilan pengembangan perikanan kedepan sangat tergantung pada arah kebijakan yang dipilih dalam memajukan industri dan usaha perikanan tersebut yang umumnya bertumpu pada potensi yang ada di desa-desa pesisir. Kondisi pengelolaan perikanan desa pesisir yang ada saat ini, baik menyangkut alat tangkap, teknologi, jasa perikanan, aktivitas ekonomi pendukung, dan fasilitas penunjang yang ada sangat mempengaruhi perkembangan perikanan tangkap di Kota Ambon ke depan. Hamdan, et. al (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kemajuan pembangunan perikanan di suatu wilayah sangat bergantung pada kesiapan komponen pendukung operasi perikanan dan sinergi stakeholders dalam berinteraksi terutama dukungan dunia usaha dalam memanfaatkan dan mengembangkan potensi sumberdaya wilayah.

Karena itu, penelitian ini memandang perlu untuk mengelobrasi status industri perikanan tersebut dengan potensi desa pesisir di Kota Ambon yang diharapkan menjadi pijakan awal bagi analisis dan pengembangan yang lebih baik bagi kegiatan perikanan Kota Ambon. Analisis ini akan memadukan konsep pengkategorian/klasifikasi desa menurut BPS (1990) dengan indikator umum yang mengacu pada karakteristik kawasan minapolitan sesuai Permen Kelautan & Perikanan No. 12/MEN/2010. Dengan konsep tersebut diharapkan dapat diketahui dan dikelompokkan jenis desa pesisir dengan kategori desa pesisir mina mula, mina mandiri, dan minapolitan, dalam kaitannya dengan pengelolaan perikanan. Dengan acuan dimaksud, desa pesisir tersebut juga dapat dikelompokkan berdasarkan keberadaan: (a) usaha perikanan, yang meliputi : unit usaha penangkapan, unit usaha budi daya, unit usaha pengolahan, unit usaha pemasaran, teknologi produksi, dan metode operasi; (b) sarana penunjang usaha perikanan, yang meliputi : pabrik es, koperasi, dan lembaga keuangan; serta (c) sosial budaya masyarakat, yang meliputi : spesifikasi mata pencarian penduduk di bidang perikanan, kualitas sumber daya manusia desa, kualitas tenaga kerja usaha perikanan, asal tenaga kerja usaha perikanan, tempat penjualan alat produksi, tradisi dalam menjalankan usaha perikanan, pembauran etnis dalam masyarakat, dan pengawasan sosial.

9

Bila melihat perannya terhadap ekonomi daerah, kontribusi kegiatan perikanan terhadap PDRB cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir, meskipun kegiatan perikanan tersebut cukup banyak di desa pesisir Kota Ambon. Kondisi ini tentu menimbulkan pertanyaan apakah kegiatan perikanan yang ada di desa-desa pesisir tersebut layak diusahakan secara finansial (ekonomis) atau sebaliknya. Karena itu, dipandang perlu untuk pengembangan suatu konsep analisis yang dapat melihat secara tepat kelayakan usaha perikanan (armada penangkapan) tersebut. Konsep analisis yang digunakan adalah konsep Benefit Cost Analysis (BCA). BCA dianggap lebih baik dalam menilai kelayakan usaha, karena dihitung dengan mengakomodir perubahan suku bunga yang terjadi setiap periode. Analisis BCA ini dapat mengidentifikasi armada atau usaha perikanan yang layak dan tidak layak secara ekonomi untuk dikembangkan di setiap desa pesisir Kota Ambon. Untuk mendukung analisis selanjutnya, armada/usaha perikanan tersebut kemudian diurutkan berdasarkan nilai BCR-nya.

Setiap desa pesisir di Kota Ambon mempunyai potensi perikanan dan karakteristik tersendiri yang mungkin sangat berbeda satu sama lain. Dalam upaya pengembangan perikanan, hal ini perlu dilihat secara positif, dimana desa dengan industri/usaha perikanan yang sama bisa saling memperbesar (semakin layak) dan yang beda bisa saling melengkapi. Brown and Smith (2005) dan Munasinghe (1993) menyatakan bahwa pembangunan ekonomi perikanan harus dilakukan atas prinsip keseteraan, saling menguntungkan, dan pengembangan bersama potensi yang dimiliki berdasarkan kesamaan visi dan karakteristik wilayah. Untuk maksud ini, maka desa pesisir tersebut perlu dikelompokkan (clustered villages) menurut karakteristik tiap desa, sehingga efektifitas dan efisiensi program pengembangan perikanan lebih baik. Pemikiran penelitian ini dilakukan dengan membuat kelompok desa pesisir berdasarkan armada/usaha perikanan dengan nilai BCR tertinggi, status desa berdasarkan karakteristik kawasan minapolitan, proporsi kepemilikan usaha perikanan, dan posisi strategis desa terhadap pusat pasar dan jalur distribusi setiap desa.

Untuk menetapkan arah kebijakan yang tepat ke depan, maka berbagai faktor-faktor determinan yang mempengaruhi tiap kluster desa diidentifikasi dan dilihat mana yang berpengaruh signifikan dan tidak signifikan, mana yang signifikan positif dan signifikan negatif. Hal ini akan membantu pengambil

kebijakan untuk memilih pola pengembangan yang lebih tepat, terutama bila kondisi anggaran yang terbatas. Signifikansi pengaruh dapat memberi arahan bagi pengambil kebijakan untuk mengurangi, mengabaikan, mempertahankan, atau mengembangkan faktor determinan tertentu yang kontekstual dalam pengembangan tiap kluster desa. Hal ini dapat dilakukan dengan mengembangkan konsep analisis menggunakan metode Structural Equation Modelling (SEM).

Dengan pendekatan yang dipadukan dari hasil analisis tersebut akan diketahui berbagai aspek pengelolaan yang dapat menjadi arahan kebijakan integratif yang memperhatikan potensi, status desa pesisir, jenis interaksi yang berpengaruh dan signifikan di setiap kluster desa. Menurut Hartoto, et.al (2009) penyusunan kebijakan perikanan yang mempertimbangkan semua aspek pengelolaan dan kepentingan stakeholders akan menjadikan kebijakan lebih dapat diterima, tahan banting, stabil terhadap berbagai intervensi pengelolaan yang terjadi. Supaya dapat diterapkan secara nyata dan lebih luas, maka arahan kebijakan tersebut perlu dibuat lebih makro dan berskala prioritas. Hal ini akan coba dilakukan dengan mengembangkan konsep hierarki interaksi dan kepentingan menggunakan Analytical Hirarchy Process (AHP). Penentuan prioritas kebijakan dalam AHP ini akan dilakukan melalui analisis terstruktur mulai dari analisis tujuan pengembangan, analisis kriteria pengembangan (berdasarkan kluster desa pesisir), analisis sub kriteria (beberapa syarat penting dalam pengembangan), dan analisis berbagai arahan/alternatif kebijakan pengembangan yang ditawarkan. Pengembangan integratif dari hasil identifikasi status desa, analisis kelayakan usaha (BCA), SEM, dan AHP ini diupayakan dapat menjadi Model Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Kluster Desa (Villages Clustered) yang tidak hanya dapat diimplementasikan di Kota Ambon tetapi juga di wilayah lain, terutama yang mempunyai karakteristik yang serupa, ataupun menggunakan pola klasterisasi desa seperti yang dikembangkan dalam disertasi ini.

Marijan (2005) dan Klapwijk (1997) menyatakan bahwa setiap wilayah mempunyai karakteristiktik dan kesiapan tersendiri dalam mendukung pengembangan suatu usaha ekonomi, dan oleh karenanya diperlukan strategi tepat yang mampu memaksimalkan potensi wilayah serta mengeliminasi konflik kepentingan yang mungkin terjadi. Karena itu, dalam konteks pengembangan desa berbasis kluster di Kota Ambon, perlu dikembangkan strategi yang tetap yang

11

sesuai dengan kondisi dan kebutuhan tiap kluster desa. Hesieh dan Li (2009) menyatakan klusterisasi dilakukan untuk memetahkan wilayah berdasarkan kondisi dan permasalahan-permasalahannya, sehingga strategi dan tindakan pengembangan dapat dilakukan secara tepat. Penelitian ini mengembangkan prioritas strategi kebijakan yang berkesesuaian untuk pengembangan perikanan tangkap setiap kelompok kluster desa di Kota Ambon, disamping prioritas strategi yang sifatnya makro atau lintas kluster desa. Strategi kebijakan makro (lintas kluster) akan menjadi panduan umum yang harus dilakukan dan mengikat bagi setiap kluster desa untuk mendukung pembangunan perikanan tangkap secara berkelanjutan di Kota Ambon. Agar strategi kebijakan berhasil maksimal, maka dalam pelaksanaan harus dikontrol, selalu dipantau dan dievaluasi kesesuaiannya dengan kebutuhan dan konsep pengembangan kluster desa di Kota Ambon.

Secara singkat, kerangka pemikiran yang dipaparkan di atas, digambarkan dalam sebuah diagram seperti ditunjukkan pada Gambar 2 di bawah ini.