• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh variabel penentu besaran BCR

7 FAKTOR DETERMINAN PENGEMBANGAN KLUSTER DESA

7.2 Faktor Determinan Pengembangan Industri Perikanan Tangkap

7.2.5 Pengaruh variabel penentu besaran BCR

Peningkatan nilai BCR, sebagai indikator kelayakan usaha perikanan tangkap, merupakan tujuan akhir upaya pengembangan perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon melalui identifikasi faktor determinan yang berpengaruh. Menurut Kapp (1990), nilai BCR (Benefit Cost Ratio) menjadi ukuran layak dan tidak layaknya suatu usaha ekonomi untuk dikembangkan dalam mendukung program besar pembangunan ekonomi kawasan. Karena itu, nilai BCR usaha perikanan tangkap (UPT) di Kota Ambon akan sangat menentukan pola pembangunan perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon. Seperti halnya kajian faktor determinan lainnya, kajian faktor faktor determinan bagi peningkatan BCR UPT ini akan menjadi arah penting bagi pengembangan

151

kebijakan perikanan tangkap di Kota Ambon dengan berbasiskan pada kluster desa perikanan.

Model SEM pada Gambar 32, menyajikan teori bahwa peningkatan BCR UPT dapat ditunjukkan oleh pola interaksi pada dimensi/komponen modal kerja, pengembalian investasi, keuntungan, dan kontinyuitas usaha perikanan tangkap. Tabel 62 Hasil analisis koefisien pengaruh dan probabilitas keempat dimensi

peningkatan BCR UPT

Dimensi KP S.E. C.R. P

Modal Kerja (Y1) 1 Fix

Pengembalian Investasi (Y2) 1,141 0,095 12,064 0

Keuntungan (Y3) 0,861 0,079 10,845 0

Kontinyuitas (Y4) 0,52 0,073 7,104 0

Modal kerja (Y1) berpengaruh positif namun tidak signifikan dalam mendukung peningkatan BCR UPT di Kota Ambon (Tabel 62). Oleh karena itu, secara statistik dimensi/komponen modal kerja dalam model ini tidak menjadi faktor penting yang menentukan nilai BCR usaha perikanan tangkap, sehingga bukan menjadi perhatian dalam pengembangan kluster desa. Hal ini bisa jadi karena sebagian besar usaha perikanan tangkap (terutama yang berskala kecil) di Kota Ambon dioperasikan secara one day fishing sehingga tidak membutuhkan modal yang besar untuk setiap trip pengoperasiannya. Hermawan (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa usaha perikanan tangkap berskala menengah ke bawah banyak dioperasikan di Indonesia karena pengoperasiannya lebih fleksibel dan tidak membutuhkan modal besar dalam setiap trip pengoperasiannya. Hal yang sama didukung oleh Marijan (2005) yang menyatakan bahwa faktor kekuatan modal tidak banyak dibutuhkan usaha ekonomi yang stabil operasinya.

Pengembalian investasi (Y2) dan keuntungan (Y3) berpengaruh positif signifikan bagi peningkatan BCR usaha perikanan tangkap yang ditunjukkan oleh probabilitas (p) masing-masing yang nilai 0 (nol). Di samping signifikan, pengaruh positif pengembangan investasi juga termasuk kuat mendukung peningkatan BCR UPT (KP > 1,000). Hal ini disebabkan pengembalian investasi merupakan cerminan tingkat pemanfaatan atau sirkulasi penggunaan dari investasi yang dilakukan nelayan pada usaha perikanan tangkap. Bila tingkat pengembalian semakin cepat

maka benefit (manfaat) investasi tinggi yang secara otomatis nilai BCR juga bisa meningkat. Perbaikan pengembalian investasi perlu dipertahankan pada semua kluster desa yang BCR UPT-nya tinggi (>2,00), sedangkan yang tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkapnya rendah yang masih banyak terdapat di Kota Ambon (mengisi kluster 3-6) perlu ditingkat terus sehingga nilai BCR UPT tersebut meningkat (di atas 2,00). Ralahalu (2010) dan Nurani dan Wisudo (2007) menyatakan bahwa siklus usaha/pengembalian investasi yang cepat lebih memberi kesempatan kepada nelayan (termasuk nelayan buruh) untuk menabung, sehingga pada kondisi tertentu nelayan buruh mempunyai kemampuan untuk membeli/memiliki usaha perikanan tangkap sendiri.

Pengembalian investasi yang cepat mempunyai manfaat lanjutan pada peningkatan keuntungan usaha perikanan tangkap. Setelah investasi terbayar, maka biaya terkait dapat ditiadakan sehingga menjadi bagian dari keuntungan bersih yang didapat nelayan. Berdasarkan Tabel 62, keuntungan merupakan faktor determinan bagi peningkatan BCR usaha perikanan tangkap di Kota Ambon, capaian keuntungan ini perlu diupayakan terus untuk usaha perikanan tangkap bernilai BCR sedang (BCR = 1,50 – 2,00) dan rendah (BCR > 1,50) yang terdapat desa kluster 4- 6 (K4-K6), sedangkan untuk usaha perikanan tangkap bernilai BCR > 2,00 di desa kluster 1-4 (K1-K4) dipertahankan. Program pembinaan ketrampilan teknis dan manajemen usaha perlu ditingkatkan bagi nelayan di desa kluster ini. Oleh karena kondisi usaha perikanan tangkap dan masalah yang dihadapi nelayan di setiap desa kluster bisa berbeda-beda, maka substansi pembinaan SDM tersebut dapat disesuaikan dengan kebutuhan desa (berbasis kluster).

Kontinyuitas (Y4) berpengaruh positif signifikan dalam mendukung peningkatan BCR UPT di Kota Ambon yang ditunjukkan oleh nilai probabilitas (p) = 0 (nol). Hal ini memberi indikasi bahwa operasi usaha perikanan tangkap yang stabil meskipun dengan keuntungan yang kecil lebih berarti daripada operasi usaha perikanan tangkap dengan keuntungan besar namun setelah tidak jelas keberlanjutannya. Hal ini terkait dengan pemenuhan permintaan pasar, dimana bila hasil tangkapan selalu dapat disediakan secara kontinyu maka dapat menjaga kestabilan harga, kepastian pasar, dan menambah kepercayaan konsumen terhadap produk perikanan tersebut. Hal ini tentu membawa dampak yang baik bagi pengelolaan usaha perikanan tangkap, dan menurut hasil analisis Tabel 62, dampak

153

baik tersebut signifikan bagi peningkatan BCR usaha perikanan tangkap. Terkait dengan ini, kontinyuitas produk perikanan yang dikirim ke pasar perlu menjadi perhatian dalam pengembangan usaha perikanan tangkap di desa kluster.

Usaha perikanan tangkap (UPT) skala kecil yang terdapat di desa pesisir kluster 3-6 (K3-K6) umumnya tidak dapat menyuplai produk perikanan ke pasar secara stabil, dimana pada musim puncak banyak sedangkan pada musim paceklik rendah (bahkan tidak ada sama sekali). Disamping itu, hasil tangkapannya juga beragam, sehingga jenis produk perikanan yang dikirim juga berubah-berubah setiap saat, dan ini kurang mendukung untuk pengembangan bisnis perikanan dalam skala industri yang membutuhkan produk perikanan kontinyu baik jenis maupun jumlah. Khusus untuk desa pesisir kluster 5-6 (K5-K6), masalah kontinyuitas produk perikanan lebih diperhatikan untuk pencitraan pasar dan menarik minat investor. Kluster 5-6 (K5-K6) merupakan kelompok desa yang belum berkembang baik kegiatan perikanan dan BCR UPT-nya tidak terlalu tinggi, sehingga tentu membutuhkan upaya yang ekstra (berlebih) untuk berkembang sejajar/beriringan kegiatan perikanan tangkpanya dengan desa kluster lainnya. Widodo dan Nurhakim (2002) menyatakan bahwa kontinyuitas suplai merupakan salah satu kunci utama keberhasilan pembangunan perikanan suatu kawasan, dan hal ini hal selalu diupayakan dalam setiap program perinitisan dan pembenahan kegiatan perikanan daerah.