• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kluster Desa Perikanan di Kota Ambon

5 KELAYAKAN USAHA PERIKANAN TANGKAP

6.5 Kluster Desa Perikanan di Kota Ambon

Bagian ini lebih bersifat merangkum dan memadukan semua ulasan yang telah disampaikan secara lengkap pada bagian 6.1 – 6.4, sehingga dapat ditetapkan kluster bagi setiap desa pesisir yang terdapat di Kota Ambon dalam mendukung pengembangan usaha perikanan tangkap yang prospektif di masa yang akan datang. Menurut Leadbitter and Ward (2007), evaluasi yang integratif dan menyeluruh dapat memberikan hasil yang akurat bagi penetapan pola pengembangan perikanan tangkap. Kluster desa perikanan menjadi acauan penting untuk maksud pengembangan tersebut.

Menurut Aleman (2005), pengklusteran dapat memudahkan penetapan pola/formasi pengelolaan, tingkat peran yang perlu diberikan oleh lembaga perikanan, interaksi usaha ekonomi lokal dengan nasional, serta memudahkan koordinasi pengelolaan baik terkait dengan proses produksi maupun pemasaran produk. Pertimbangan komprehensif terhadap kriteria/elemen nilai BCR (kelayakan usaha), status desa pesisir, tingkat kedekatan dengan jalur bisnis, dan tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap diharapkan dapat mewujudkan maksud tersebut. Sesuai dengan teori atau formula yang dikembangkan dalam penelitian ini, seperti dibahas pada Bab 3, maka kluster desa dapat berjumlah 9, yaitu mulai dari Kluster desa 1 dengan total bobot 12 hingga Kluster desa 9 dengan total bobor 4. Hasil analisis data lapang yang menyajikan gabungan pertimbangan empat kriteria/elemen tersebut dalam penetapan kluster desa perikanan di Kota Ambon, menunjukan dari 32 desa/kelurahan pesisir yang ada, total bobot tertinggi adalah 10 dan terendah adalah 5, sehingga pengelompokan desa pesisir terbagi dalam 6 kluster (Tabel 56).

Pada Tabel 56, ada satu desa pesisir yang termasuk Kluster desa 1 (K1), yaitu Desa Batu Merah (total bobot = 10). Hal ini karena Desa Batu Merah tersebut memenuhi secara sempurna minimal tiga dari empat elemen dasar penilaian yang mencakup nilai BCR (kelayakan usaha), status desa pesisir, kedekatan dengan jalur bisnis, dan tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap. Desa Batu Merah juga mempunyai BCR tinggi, berstatus mina mandiri, dekat jalur bisnis (rata-rata 8 km), dan tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap lumayan baik, yaitu 24 unit (proporsi = 0,031). Desa Batu Merah masuk Kluster desa 1 menunjukkan prospektifitas yang tinggi pengembangan usaha perikanan tangkap di desa tersebut di masa yang akan datang terutama dalam mendukung pembanguan perikanan tangkap Kota Ambon. Menurut Hesieh dan Li (2009), usaha perikanan tangkap yang prosfektif dapat mendukung komersialisasi sektor perikanan dan memberi dampat yang baik bagi pertumbuhan ekonomi, kehidupan sosial, dan pengembangan teknologi perikanan. Menurut Ralahalu (2010), potensi sumberdaya perikanan Maluku sangat tinggi, dan bila dikelol dikelola dapat dijadikan sebagai lumbung ikan nasional. Oleh karena dukungan usaha perikanan dan masyarakat pesisir menjadi penentu utama bagai tercapai maksud tersebut di masa datang.

135

Tabel 56 Kluster desa perikanan di Kota Ambon.

No. Nama Desa Nilai BCR Tertinggi Status Desa Kedekatan dg Jalur Bisnis Kepemilikan Usaha Perikanan Tangkap Total Bobot Kluster Desa 1 Batu Merah 3 2 3 2 10 1 2 Waihaong 3 2 2 2 9 2 3 Pandan Kasturi 3 2 3 1 9 4 Lateri 3 2 2 2 9 5 Naku 3 2 2 2 9 6 Hutumuri 3 2 1 3 9 7 Laha 3 2 1 3 9 8 Benteng 3 2 2 1 8 3 9 Hunut 3 2 2 1 8 10 Waeheru 3 2 2 1 8 11 Nusaniwe 3 2 2 1 8 12 Halong 3 2 2 1 8 13 Passo 2 2 2 2 8 14 Latta 3 2 2 1 8 15 Tawiri 3 2 1 2 8 16 Latuhalat 3 2 1 2 8 17 Rumah Tiga 3 2 1 2 8 18 Hukurilla 3 2 1 2 8 19 Seilale 3 2 1 1 7 4 20 Negeri Lama 2 2 2 1 7 21 Leahari 3 1 1 2 7 22 Nania 2 2 2 1 7 23 Hative Kecil 2 2 2 1 7 24 Poka 3 2 1 1 7 25 Galala 2 2 2 1 7 26 Amahusu 2 2 2 1 7 27 Silale 3 2 2 1 6 5 28 Wayame 2 2 1 1 6 29 Kilang 2 2 1 1 6 30 Rutong 3 1 1 1 6 31 Urimesing (Dn Seri) 1 2 1 1 5 6 32 Hative Besar 1 2 1 1 5

Kelurahan Padan Kasturi, Desa Hutumuri, Desa Waihaong, Desa Lateri, Desa Naku, dan Desa Laha masuk Kluster desa 2 (K2) desa perikanan. Keenam desa ini mempunyai BCR tinggi (>2,00), berstatus mina mandiri, cukup dekat dengan jalur bisnis (> 10 – 20 km), dan tingkat kepemilikan UPT sedang (proporsi 0,031 – <

0,083). Kelurahan Pandan Kasturi mislanya, mempunyai BCR tinggi (>2,00), berstatus mina mandiri (bobot = 2), dan dekat jalur bisnis (rata-rata 9,5 km). Di kelima kelurahan ini berkembang kegiatan jasa dan usaha pendukung, yaitu kegiatan bongkar muat di pelabuhan, kios perbekalan, dan pasar ikan. Di samping kegiatan utama perikanan, usaha pendukung dan kegiatan jasa perikanan juga berkembang dengan baik di ketiga desa pesisir ini. DKP (2004), menyatakan bahwa wilayah dengan infrastruktur perikanan yang lengkap, berkembang baik usaha pendukung dan jasa perikanan dapat cenderung lebih berkembang dibandingkan wilayah yang kegiatan perikanannya dlakukan secara tradisional dengan fasilitas pendukung seadanya. Strategi perikanan yang dikembangkan harus memperhatikan sebaran wilayah potensial tersebut sehingga pembangunan perikanan berkembang pesat.

Kelurahan Benteng, Desa Hunut, Desa Waeheru, Desa Nusaniwe, Desa Halong, Desa Passo, Desa Latta, Desa Tawiri, Desa Latuhalat, Desa Rumah Tiga, dan Desa Hukurilla merupakan desa/kelurahan pesisir yang masuk kluster 3 (K3). Dibandingkan Kluster desa 1 (K1) dan Kluster desa 2 (K2), desa yang masuk Kluster desa 3 (K3) ini umumnya terdiri dari desa pesisir dengan status mina mandiri, BCR usaha perikanan tangkap termasuk tinggi (>2,00) atau sedang (1,50 – 2,0), dan kedekatan dengan jalur bisnis perikanan tangkap yang sedang. Desa pesisir masuk Kluster desa 3 (K3) juga termasuk prospektif dalam mendukung pengembangan usaha perikanan tangkap di masa datang. Terhadap nelayan di keempat desa ini perlu diberikan berbagai pembinaan terutama manajemen usaha. Hal ini penting supaya usaha perikanannya lebih menguntungkan dan dapat secara nyata memberi kesejahteraan kepada mereka. Setiawan, et.al (2007) menyatakan bahwa manajemen usaha perikanan yang lebih baik, dapat meningkatkan pendapatan nelayan dan kontribusinya terhadap PAD, sehingga ketergantungan daerah kepada sumber luar dapat dikurangi

Berdasarkan Tabel 56, desa pesisir yang masuk Kluster desa 4 (K4) ada sembilan desa/kelurahan, yaitu Desa Seilale, Desa Negeri Lama, Desa Leaheri, Desa Nania, Desa Hatiwe Kecil, Desa Poka, Desa Tawiri, Desa Galala, dan Desa Amahusu. Secara umum, desa pesisir yang termasuk kluster 4 (K4) merupakan desa pesisir yang kondisinya biasa-biasanya dalam mendukung pengembangan usaha perikanan tangkap. Kalaupuan ada usaha perikanan tangkap dengan tingkat kelayakan tinggi (BCR tinggi), belum nelayan dan masyarakat desa memberi

137

perhatian lebih. Hal ini karena tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap belum tentu tinggi dan lokasi usahanya belum tentu dekat dengan jalur bisnis yang memudahkan distribusi/pemasaran hasil perikanan. Bila mengacu Dijten KP3K (2006), Anderson (2004), dan Depperin (2005), maka kluster 4 (K4) tidak mempersyaratkan kedekatan dengan jalur bisnis dan tingkat kepemilikan usaha, yang penting kierja usaha perikanan tangkap relatif baik dan status kegiatan perikanan di desa sudah cukup mapan. Sedangkan desa/kelurahan di Kota Ambon yang masuk kluster 5 (K5) ada enam desa (Silale, Negeri Lama, Wayame, Kilang, dan Rutong). Desa pesisir di kluster 5 (K5) kondisinya sedikit di bawah desa di kluster 4 (K4), di mana satu atau dua kriteria/elemen penilaian ada yang dipenuhi cukup baik (tidak semuanya dipenuhi rendah).

Melihat kondisi di atas, maka desa yang masuk kluster 4 (K4) dan kluster 5 (K5), perlu menjadi perhatian bagi Pemerintah dan pemerintah daerah bila ekonomi perikanan ingin dikembangkan di suatu wilayah. Berbagai program pembinaan (penyuluhan, pelatihan, dan pendampingan/pemberdayaan) dan perlu dilakukan pada usaha perikanan tangkap yang ada di desa/kelurahan yang masuk kluster tersebut. Pembinaan tersebut juga harus diiringi dengan pengembangan/pengaktifan beberapa fasilitas dasar yang mendukung kegiatan perikanan.

Desa Hative Besar dan Desa Urimessing merupakan desa pesisir yang masuk kluster 6 (K6). Status sebagai desa mina mandiri merupakan satu-satunya yang bisa dibanggakan oleh Desa Hatiwe Besar dan dan Desa Urimessing dalam mendukung pengembangan usaha perikanan tangkap di desa. Bila kelemahan yang ada dapat dibenahi, maka bukan tidak mungkin usaha perikanan tangkap yang ada di desa/kelurahan tersebut semakin prospektif dan memberikan kontribusi ekonomi nyata bagi Desa Hatiwe Besar, Desa Urimessing, maupun secara luas bagi Kota Ambon. Bila sebaliknya, usaha perikanan tangkap akan stagnan dan bahkan bisa mengalami kemunduran besar dalam beberapa tahun mendatang. Martosubroto dan Malik (1989) menyatakan bahwa peran aktif PEMDA dan petugas teknis di lapangan merupakan faktor yang penting dan serius untuk pengembangan perikanan berbasis kawasan. Kelompok nelayan terutama nelayan kecil akan termotiviasi menjalakan usaha perikanannya bila merasa terlindungi dan diperhatikan terutama distribusi dan mendapatkan harga jual yang layak.

Desa Hatiwe Besar mempuyai usaha perikanan tangkap (UPT) dengan BCR rendah (<1,50), berstatus mina mandiri, jauh dari jalur bisnis (26,5 km), tingkat kepemilikan UPT juga rendah (proporsi 0,025). Desa Urimesing juga mempunyai tingkat kelayakan usaha perikanan rendahnya (BCR = 1,31), jauh dari jalur bisnis perikanan tangkap (rata-rata = 29,2 km), berstatus mina mandiri (bobot = 2), dan tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap juga rendah (populasi hanya 12 unit). Sebagai kluster terendah, kedua desa pesisir yang masuk kluster 6 (K6) ini perlu terus dibina dan kontribusinya untuk sektor perikanan bagai pembangunan daerah dapat diabaikan sementara. Perhatian seperti juga bisa diberikan kepada desa pesisir setingkat di atasnya (kluster desa 5), sehingga perkembangannya juga bisa lebih cepat. Scott and Garofoli (2007) menyatakan bahwa dalam sistem kluster, wilayah yang masih rendah daya dukung tidak boleh dipaksakan berkontribusi, tetapi menjadi sasaran pembinaan dan promosi potensi. Kluster dikembangkan untuk menentukan tindakan pengelolaan yang paling tepat, sesuai dengan kondisi dan potensi kini yang ada di wilayah. Tindakan pengelolaan tersebut akan membantu pengembangan interaksi harmonis wilayah sebagai sebuah kesatuan kawasan.-

7 FAKTOR DETERMINAN PENGEMBANGAN KLUSTER