• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Usaha Perikanan Berbasis Kluster

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Pengembangan Usaha Perikanan Berbasis Kluster

Kluster usaha atau kluster industri dikembangkan oleh Porter (1990) yang dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing industri pada sebuah kawasan/wilayah tertentu, agar dapat berkompetisi di pasar global. Sejak itu, kluster industri menjadi model pengembangan daya saing industri maupun kawasan, sehingga bermunculan berbagai konsep ataupun definisi mengenai kluster industri dari berbagai sudut pandang. Terlepas dari berbagai definisi mengenai kluster industri tersebut, Porter berpendapat bahwa kluster berpotensi mempengaruhi daya saing melalui 3 cara, yaitu : (i) adanya peningkatan produktifitas perusahaan- perusahaan dalam kluster; (ii) penggerak inovasi dalam bidang tertentu; dan (iii) mendorong atau melahirkan bisnis baru dalam bidang tertentu.

Dengan berbasis pada berbagai konsep tentang kluster industri dan tujuan dari kluster industri seperti dikemukakan oleh Porter tersebut, kluster industri/usaha mempunyai ciri-ciri, yaitu : (1) pengelompokan usaha-usaha serupa atau saling terkait dengan fokus pada pasar bersama dalam suatu kawasan/wilayah; (2) pengelompokan usaha dalam suatu kawasan/wilayah yang dapat berinteraksi secara efektif dan efisien; (3) pengelompokan perusahaan atau organisasi dalam sebuah

kawasan/wilayah yang saling bergantung dengan beragam jenis hubungan yang berbeda; (4) pengelompokan usaha sejenis di sebuah kawasan/wilayah dalam pemanfaatan faktor produksi, barang, dan jasa; (5) pengelompokan atas dasar hubungan konglomerasi antar usaha dalam sebuah kawasan/wilayah; (6) pengelompokan usaha berdasarkan pada ketersediaan sumber daya alam maupun kompetensi tenaga kerja di sebuah kawasan/wilayah; dan (7) pengelompokan berdasarkan kesamaan skala usaha dan kesamaan berbagai faktor produksi serta sosial-ekonomi.

Menurut Zulham (2007), kluster usaha pedesaan umumnya berkisar pada usaha kecil dan menengah yang terkonsentrasi pada kawasan tertentu di pedesaan. Berdasarkan konsentrasi tersebut, maka bentuk kluster usaha pedesaan termasuk usaha perikanan dapat dibagi menjadi kluster menurut tingkat pembangunan dan kemampuan pengembangkan potensi desa, kluster usaha yang terbentuk secara alamiah dan kluster usaha yang terbentuk dengan intervensi pemerintah.

Kluster usaha/desa yang terbentuk secara alamiah dicirikan oleh skala ekonominya kecil, jumlah pekerja per unit usaha 5 – 10 orang, upahnya bersifat harian serta diinovasi sangat jarang dilakukan. Sedangkan kluster dengan intervensi pemerintah dibentuk untuk memanfaatkan peluang usaha usaha, untuk membuka lapangan kerja, memperbaiki kulitas produk, serta adanya kebijakan kerjasama ekonomi dengan negara lain. Kluster dengan intervensi ini mempunyai ciri-ciri skala ekonominya menengah ke atas, jumlah pekerja per unit usaha sekitar 20 orang, beberapa ada yang digaji tetap, inovasi sangat sering terjadi, persaingan kompetitif, dan beberapa fasilitas pendukung disediakan oleh pemerintah.

Kluster usaha pedesaan tersebut perlu mengembangkan kerjasama yang integratif vertikal termasuk usaha perikanan. Hal ini supaya suatu usaha pedesaan dengan kluster tertentu dapat menjadi mitra (pemasok bahan baku) bagi usaha yang lainnya. Pada usaha pedesaan bidang perikanan, hal ini dapat dilakukan diantara nelayan dengan usaha pengolahan. Untuk meminimalisir friksi diantara usaha yang sejenis, maka setiap usaha tersebeut perlu membangun jaringan bisnis sendiri. Hal ini supaya usaha pedesaan tersebut lebih stabil dan bertahan lama (Iskandar 2006).

2.4.2 Penerapan sistem kluster pada industri perikanan

Berbagai gagasan maupun tindakan pebisnis perikanan untuk meningkatkan daya saing di pasar global, maupun kebijakan pemerintah dalam pembinaan dan

23

pengembangan koperasi dan dunia usaha di Indonesia, dengan mengembangkan kluster industri perikanan. Menurut Marijan (2005), istilah kluster industri sebenarnya mulai dikenal dalam kegiatan ekonomi Indonesia yaitu pada masa Orde Baru, dimana pemerintah saat ini mengubah kebijakan pengembangan ekonomi dari berorientasi pertanian menjadi berorientasi industri. Sejak saat itu, industri mulai berkembang dari yang berskala mikro sampai ke yang berskala industri berat. Khusus untuk industri di bidang pertanian, perikanan, dan peternakan, berkembang cukup merata baik dari yang skala mikro maupun industri modern. Di banding dengan bidang lain, pengembangan industri di ketiga bidang ini cukup banyak melibatkan peran serta rakyat secara luas, dimana rakyat umumnya menjadi pemilik usaha atau industri mikro, kecil, dan bahkan menengah.

Menurut Klapwijk (1997), kluster industri/usaha tersebut umumnya tumbuh secara spontan. Khusus untuk bidang perikanan, usaha tersebut tumbuh secara spontan namun sangat tidak merata karena sangat tergantung pada tren pemanfaatan hasil laut dan tingkat pengusahaannya terhadap teknologi penangkapan. Selama ini, kegiatan penangkapan ikan di laut sebagian besar masih berkisar di perairan pantai yang padat penduduknya seperti perairan Utara Jawa, Selat Bali, dan selat Makasar.

Menurut Pratikto (2009), pengembangan usaha perikanan harus diorientasikan pada daerah-daerah masih jarang penduduknya terutama di kawasan pulau-pulau kecil. Hal ini karena selain sumberdaya ikannya yang masih tersedia cukup banyak, jumlah sangat mendukung penyebaran penduduk dari daerah yang padat ke daerah yang masih jarang penduduknya. Di lokasi tersebut, usaha perikanan dapat dikembangkan dengan satu kluster atau beberapa kluster yang diharapkan saling menopang satu sama lain untuk memenuhi permintaan produk asal daerah tersebut di pasar yang lebih luas.

Bila melihat mhal tersebut, maka pemanfaatan sumberdaya perikanan laut selanjutnya dihadapkan kepada tantangan untuk dapat memanfaatkan sumberdaya yang optimal dan merata serta sekaligus dapat mengurangi tekanan/intensitas pemanfaatan secara berlebihan di daerah-daerah yang kritis (daerah padat). Selain itu juga perlu meningkatkan pengoperasian di wilayah ZEE secara bertahap. Untuk itu perlu pengaturan zona, dimana zona atau daerah-daerah yang sudah mengalami tekanan yang tinggi penangkapan harus mengurangi armada perikanannya sedang untuk daerah-daerah yang masih memiliki potensi yang besar namun memiliki

sedikit armada kapal, harus mulai dilakukan penambahan armada secara proporsional dengan standing stock tiap area penangkapan. Selain itu perlu dibangun armada-armada kapal perikanan yang besar yang sanggup beroperasi di daerah ZEE. Hal ini perlu agar potensi perikanan laut di daerah ZEE dapat dimanfaatkan secara optimal. Aspek lain yang perlu mendapat perhatian ialah kebijakan impor kapal-kapal bekas dapat dilanjutkan tanpa mematikan pengadaan kapal-kapal dalam negeri. Karena itu perlunya dorongan bagi pembangunan industri kapal perikanan dalam negeri dan meningkatkan kemampuan rancang bangun serta perekayasaan kapal dan alat penangkapan ikan (Jusuf 1999).

Masalah pemasaran juga merupakan bagian yang sangat penting bagi usaha penangkapan ikan, berkaitan dengan sifat ikan itu sendiri yang mudah mengalami proses pembusukan (highly perishable food). Untuk menjaga tingkat kesegaran ikan yang dihasilkan oleh nelayan agar sampai pada tingkat konsumen dengan kualitas mutu yang baik, maka prinsip-prinsip dasar penanganan ikan dengan mata rantai dingin (cold chain) mutlak diperlukan dengan dukungan prasarana yang memadai kepada nelayan (Nikijuluw 2002).

Untuk mendorong upaya pengembangan usaha perikanan tangkap, terutama perikanan pesisir, agar dapat berkembang, sehingga menjadi salah satu instrumen peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir, maka kluster industri yang dikembangkan adalah kluster desa. Kluster desa yang dimaksudkan, adalah pengelompokan usaha perikanan tangkap dari setiap desa yang didasarkan pada kesamaan kelayakan usaha, aksesibilitas terhadap jalur bisnis, proporsi kepemilikan usaha perikanan, maupun status desa (sesuai kriteria yang digunakan dalam penelitian ini). Kluster desa dalam konteks pengembangan perikanan tangkap ini, bertujuan agar intervensi program pemerintah atau pun lembaga- lembaga non pemerintah, untuk mengembangkan usaha perikanan tangkap di suatu wilayah, didasarkan pada karakteristik permasalahan tiap kluster. Dengan demikian, tidak terjadi keseragaman program intervensi pada semua usaha perikanan tangkap di sebuah wilayah kabupaten/kota ataupun kecamatan, sehingga terjaminnya tingkat keberhasilan program intervensi dimaksud.-