• Tidak ada hasil yang ditemukan

AFIKSASI INFLEKSIONAL DALAM BAHASA INDONESIA

2.3. Kerangka Teori

Penelitian ini berpegang pada prinsip kerja teori morfologi generatif, yang semula dicetuskan oleh Chomsky (1970), Halle (1973), Aronoff (1976), Scalies (1984), dan dimodifikasi Dardjowidjojo (1988). Pemilihan teori ini didasarkan atas pertimbangan bahwa teori morfologi generatif berpatokan pada cara kerja yang menekankan proses (Item and Proces) (IP) sehingga mampu menjelaskan bagaimana proses terbentuknya suatu kata baru. Cara kerja seperti ini mencakup semua proses yang lazim, mungkin, dan tidak mungkin. Oleh karena itu, pembahasan menyangkut produktivitas dan kendala produktivitas, sedangkan kajian afiksasi bahasa Indonesia yang telah dilakukan sebelumnya sebagian besar menggunakan teori struktural khususnya struktural Amerika yang menerapkan model Item and Arrangement (IA) sehingga kurang memberi penjelasan bagaimana proses terjadinya suatu bentuk.

Menurut Halle (1973), morfologi terdiri atas tiga komponen yang saling terpisah: (1) list of morphemes (daftar morfem, selanjutnya disingkat DM); (2) word

formation rules (kaidah/aturan pembentukan kata, selanjutnya disingkat APK); dan

(3) filter (saringan, penapis, tapis) (Halle, 1973 :3-8).

Dalam DM ditemukan dua macam anggota, yaitu akar kata (yang dimaksud adalah dasar) dan bermacam-macam afiks, baik derivasional maupun infleksional.

segmen fonetik, tetapi harus dibubuhi beberapa informasi gramatikal yang relevan. Misalnya, write dalam bahasa Inggris harus diberi keterangan : termasuk verba dasar bukan berasal dari bahasa Inggris dan lain-lain.

Komponen kedua adalah APK, yaitu komponen yang mencakup semua kaidah tentang pembentukan kata dari morfem-morfem yang ada pada DM. APK bersama DM menentukan bentuk-bentuk potensial dalam bahasa. Oleh karena itu, APK menghasilkan bentuk yang memang merupakan kata dan bentuk-bentuk potensial yang belum ada dalam realitas. Bentuk-bentuk-bentuk potensial sebenarnya dihasilkan dari kemungkinan penerapan APK dan DM, tetapi bentuk-bentuk itu tidak ada atau belum lazim digunakan. Misalnya, bentuk-bentuk mencantik dan

berbus dalam bahasa Indonesia dan ngejuk dan *nyelem dalam bahasa Bali adalah

hasil APK karena semua bentuk itu memenuhi syarat dalam penerapan APK. Komponen ketiga, yaitu komponen saringan atau penapis berfungsi menyaring bentuk-bentuk yang dihasilkan oleh APK dengan menempeli beberapa idiosinkrasi, seperti idiosinkrasi fonologi, idiosinkrasi leksikal, atau idiosinkrasi semantik. Idiosinkrasi merupakan keterangan yang ditambahkan pada bentuk-bentuk yang dihasilkan APK yang dianggap “aneh”. Hal ini, dimaksudkan agar bentuk-bentuk potensial/tidak lazim tidak masuk dalam kamus. Secara garis besar, pandangan Halle tentang morfologi dapat dilihat pada diagram di bawah ini.

DIAGRAM I

(Halle, 1973 : 8 ; Scalise, 1984 : 23--25 ; Dardjowodjojo, 1988 : 36). List of Morphemes Word Formation Rules Filter Dictionary of Words

Sesungguhnya, APK yang diusulkan Halle memakai morfem sebagai bentuk minimal yang dipakai sebagai landasan penurunan kata sehingga sering disebut morpheme based. Akan tetapi, pengertian morfem yang diajukan Halle sangat berbeda dengan yang lumrah dimengerti orang. Menurut Halle dalam kata

transformational dianggap ada lima morfem. Kelima morfem itu adalah trans-form-at-ion-al (1973 : 3). Cara seperti ini jelas tidak diterapkan karena tidak mungkin

menguraikan kata menjangan menjadi men-jangan hanya karena dalam bahasa Indonesia ada afiks men- seperti pada menjangan.

Daftar morfem yang memuat dasar dan afiks yang diusulkan Halle juga mengandung kelemahan karena tidak mempertimbangkan adanya morfem pangkal seperti yang terdapat dalam Bahasa Indonesia. Morfem pangkal juga berpotensi untuk membentuk kata. Jika mengikuti pendapat Halle, maka bentuk itu tidak mungkin diberi keterangan sintaksis karena kategorinya belum pasti sebelum mendapat afiks atau bergabung dengan bentuk lain. Misalnya, bentuk juang, temu dalam bahasa Indonesia berpotensi menjadi verba atau nomina, bergantung dari afiks atau morfem lain yang mengikutinya. Halle tidak menyediakan tempat untuk menampung bentuk seperti yang disebutkan di atas. Oleh karena itu, DM Halle harus diperluas sehingga DM tidak hanya menampung dasar dan afiks, tetapi juga bentuk yang sejenis temu (Periksa saran Dardjowidjojo, 1988 : 57).

Meskipun Halle mencantumkan kamus dalam diagramnya, ia tidak menganggap bahwa kamus merupakan bagian integral dari morfologi generatif. Kamus memiliki peranan dalam pembentukan kata karena APK dapat memanfaatkan leksikon yang tersimpan dalam kamus. Di samping itu, kamus juga menampung bentuk-bentuk yang lolos saringan. Oleh karena itu, Dardjowidjojo (1988 : 57) menganggap bahwa kamus merupakan bagian yang integral dalam morfologi generatif.

Bentuk-bentuk potensial menurut Halle tidak dimasukkan dalam kamus. Tidak diberi penjelasan di mana bentuk itu ditampung. Dardjowidjojo berpendapat bahwa bentuk-bentuk potensial ini dapat disimpan dalam kamus. Akan tetapi, untuk

e

membedakan dengan kata nyata ia mengusulkan agar bentuk potensial diberi keterangan tambahan atau diberi tanda (*).

Saringan atau penapis dengan beberapa idiosinkrasi dapat memberikan informasi mengapa bentuk tertentu dapat diterima dan mengapa bentuk lain tidak. Hal ini merupakan langkah maju dalam analisis morfologi yang selama ini hanya diterangkan sebagai perkecualian atau dihindari sama sekali. Oleh karena itu, penulis menganggap bahwa penerapan teori morfologi generatif dalam kajian afiksasi verba bahasa Indonesia sangat gayut.

Berdasarkan diagram yang diajukan oleh Scalise (1984 : 31), Dardjowidjojo merombak model Halle seperti tampak di bawah ini (Dardjowidjojo, 1988 : 57).

DIAGRAM II

Dengan merombak pandangan Halle, Dardjowidjojo mengusulkan adanya empat komponen yang integral dalam morfologi generatif. Keempat komponen itu

Kata dasar Bebas Terikat A f i k s a b c d i f k j h g

adalah DM, APK, saringan, dan kamus. Pada komponen DM dipisahkan antara bentuk bebas dan bentuk terikat. Ini dimaksudkan untuk menampung bentuk terikat, seperti morfem prakategorial. Mekanisme model ini adalah : bentuk bebas seperti

baju, sabit, dan lain-lain melalui jalur a. tanpa terhambat di saringan. Jalur b. untuk

bentuk bebas setelah mengalami afiksasi ; apabila tidak ada idiosinkrasi boleh langsung disimpan dalam kamus, sedangkan apabila dikenali idionsinkrasi harus lalui jalur c. Jalur d. untuk bentuk potensional yang tidak ada dalam pemakaian, melalui jalur d.g. dan disimpan dalam kamus dan diberi catatan (*). Untuk bentuk-bentuk yang mustahil seperti *berjalani, *melukisan akan melewati jalur d-h, dan akan tertahan di saringan.

Bentuk-bentuk terikat bisa tertahan di saringan apabila afiksasinya keliru. Misalnya, bentuk juang, selenggara apabila bergabung dengan afiks *ber-i atau *meN-an lewat jalur e-i. Pemisahan jalur d-g dengan d-h dimaksudkan untuk membedakan bentuk yang memang tidak mungkin, dan yang ketidakmungkinannya hanya kebetulan.

Jalur f. pecah menjadi f-j untuk bentuk yang tidak punya idiosinkrasi, sedang jalur f-k untuk yang memiliki idiosinkrasi. Menurut Dardjowidjojo bentuk

pegolf dianggap sebagai bentuk yang kena idiosinkrasi fonologis, walaupun bentuk

itu beranalogi pada bentuk pegulat dan petinju. Kata berjuang kena idiosinkrasi semantik.

III. AFIKSASI INFLEKSIONAL DALAM BAHASA INDONESIA 3.1. Jenis-Jenis Afiks Infleksional

Untuk mengetahui jenis-jenis afiks infleksional yang terlibat dalam afiksasi verba bahasa Indonesia, perhatikanlah kalimat berikut.

(1) Tak berpikir panjang, ia menombak babi hutan itu tepat pada lambungnya. (2) Burung merak yang biasa melakukan tugasnya segera hinggap di bagu Raja

Singabarong lalu mematuki kutu-kutu di kepala Raja Singabarong. (3) Teuku memerintahkan pengawalnya untuk menangkap Gama Dewa.

(4) Untunglah tindakan kasar Cah Saimin dapat dicegah oleh salah seorang dayang Putri Nini.

(5) Atas persetujuan mereka, setelah berdebat ramai, bayi yang berumur seminggu itu diberi nama Si Jampang.

(6) Dengan bahagia mereka berpelukan.

(7) Semua hewan kehausan dan kelaparan karena rumput dan tanaman tidak tumbuh lagi.

(8) Ia terpelanting jauh dan menggelepar-gelepar seperti ayam dipotong lehernya. Semua kalimat di atas (1-8) mengandung verba turunan. Secara garis besar, afiks yang membentuk verba itu dapat dipilah menjadi beberapa bagian, yaitu prefiks, sufiks, dan konfiks. Ketiga jenis afiks itu tergolong afiks infleksional. Untuk melihat bahwa ketiga afiks tersebut memiliki fungsi infleksi, seluruh kalimat di atas dapat dianalisis seperti terurai di bawah ini.

Verba menombak pada kalimat (1) dibentuk dari dasar verba tombak dan prefiksasi meN-. Verba tombak diturunkan dari nomina tombak melalui proses derivasi zero atau konversi. Perubahan tombak menjadi menombak merupakan proses infleksi karena di samping menombak sebagai verba, juga ditemukan verba

tombak. Misalnya, Tombak babi itu !. Jadi, proses prefiksasi nasal bukan

membentuk kata secara leksikal, tetapi membentuk satuan yang berfungsi untuk menandai diatesis aktif.

Verba mematuki pada kalimat (2) memiliki kedekatan makna dengan verba

patuki yang dibentuk dari dasar verba patuk dan sufiksasi -i. Perubahan dari patuki

menjadi mematuki bersifat gramatikal. Bentuk mematuki muncul dalam konstruksi gramatikal yang mementingkan subjek sebagai pelaku, sedangkan konstruksi patuki mementingkan predikat sebagai tindakan atau perbuatan. Oleh karena itu, sufiks -i pada mematuki disebut afiks infleksional. Hal ini sama dengan contoh kalimat (3) yang memiliki bentuk perintah sebagai verba dasar dan sufiksasi -kan, dan kemudian dibubuhkan prefiks meN-.

Dalam kalimat (4), verba dicegah berasal dari dasar verba cegah dan

prefiksasi di-, sedangkan bentuk aktif ditandai oleh meN-, yaitu mencegah. Jadi, di- termasuk afiks infleksional.

Afiks pada kalimat (5), (6), (7), dan (8) juga tergolong afiks infleksional, yaitu sebagai penanda resiprokal, penanda eksesif, dan penanda aksidental. Masing-masing ditemui pada verba berdebat (5), berpelukan, (6), kehausan dan kelaparan (7), dan terpelanting (8). Afiks infleksional yang ditemukan pada keempat verba itu adalah ber-, ber-an, ke-an, dan ter-.

Berdasarkan analisis seluruh kalimat di atas (1--8) dapat disimpulkan bahwa dalam afiksasi verbal bahasa Indonesia terdapat afiks infleksional. Adapun afiks infleksional ini meliputi : meN-, di-, kan-, -i, ber-, ber-an, ke-an, dan ter-. Jenis-jenis makna infleksi yang ditandai oleh masing-masing afiks tersebut akan diuraikan berikut ini.