• Tidak ada hasil yang ditemukan

AFIKSASI INFLEKSIONAL DALAM BAHASA INDONESIA

1.6. Metode Penulisan

Dalam penelitian ini digunakan tiga macam metode, yakni 1) metode penyediaan data, 2) metode analisis data, dan 3) metode penyajian hasil analisis data. Ketiga metode tersebut akan diuraikan di bawah ini.

Dalam penyediaan data digunakan metode kepustakaan karena data diambil dari bahan tertulis, yakni kumpulan cerita rakyat yang berjudul Dongeng Rakyat

Se-Nusantara. Teknik catat digunakan sebagai teknik lanjutan, yakni penulis mencatat

setiap kalimat yang menggunakan verba berafiks infleksi.

Dalam analisis data, pertama-tama dilakukan pemilihan terhadap data yang terkumpul berdasarkan makna infleksi yang ditemukan, apakah aktif, pasif, resiprokal, aksidental, eksesif, iteratif, atau irregular. Langkah selanjutnya adalah penentuan jenis-jenis afiks infleksi. Dalam hal-hal tertentu, misalnya, untuk mengukur produktivitas afiks digunakan teknik seperti yang dianjurkan oleh Sudaryanto (1993 : 36), yaitu teknik substitusi, teknik penambahan, dan teknik parafrasa.

Setelah analisis data dilakukan, langkah selanjutnya adalah pengorganisasian dan penulisan hasil analisis data. Hasil analisis disajikan dengan metode informal (dengan kata-kata biasa) dan metode formal (dengan tanda dan lambang-lambang).

II. KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1. Kajian Pustaka

Kajian afiksasi bahasa Indonesia pada khususnya dan morfologi pada umumnya memang sudah cukup banyak. Akan tetapi, tidak semua hasil kajian itu akan dipetakan di sini. Uraian ini hanya mencakup hasil kajian yang dianggap gayut terhadap topik yang akan dibahas.

Ramlan dalam bukunya Morfologi: Suatu Tinjauan Deskriptif membahas seluk-beluk struktur kata dalam bahasa Indonesia yang dipergunakan dewasa ini. Ia berpegang pada teori struktural yang menggunakan model penataan. Seluruh proses morfologis yang ada dalam Bahasa Indonesia dibahas olehnya, yakni afiksasi, pengulangan, dan pemajemukan. Dalam subbutir fungsi pembubuhan afiks dan pengulangan, ia mengulas fungsi dan makna masing-masing afiks dengan sangat rinci (1987: 54-63; 106-175). Dalam buku ini, tidak ditemukan secara eksplisit pemilahan afiks nomina, verba, adjektiva, atau adverbia. Kelemahan lain yang dapat ditemukan dalam kajian tersebut adalah tidak adanya deskripsi tentang afiks derivasi dan infleksi. Di samping itu, ia juga tidak menjelaskan bagaimana proses afiksasi itu terjadi, dan apakah dalam proses afiksasi ini tidak menemukan kendala. Atas dasar kelemahan itu, maka kajian Ramlan belum dapat dianggap sempurna. Walaupun demikian, deskripsi tentang fungsi afiks, jenis bentuk dasar yang dapat diikatnya, dan sejumlah makna afiks yang muncul dalam proses afiksasi merupakan hal yang sangat berharga dalam kaitannya dengan kajian ini.

Pendekatan khas yang membedakan kajian proses morfologis Kridalaksana (1989) dalam Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia dengan kajian-kajian lainnya adalah adanya interaksi antara leksikon dan gramatika dan pemanfaatan konsep leksem. Meskipun ia bukan penganut aliran transpormasi generatif, model proses dimanfaatkan dengan dasar bahwa model proses ini cocok untuk menggambarkan morfologi bahasa Indonesia secara keseluruhan. Konsep afiksasi menurut Kridalaksana adalah proses yang mengubah leksem menjadi kata kompleks. Dalam proses ini, leksem (1) berubah bentuknya, (2) menjadi kategori

tertentu sehingga berstatus kata (atau setelah berstatus kata berganti kategori),dan (3) sedikit banyak berubah maknanya. Sekilas, tampak telaah yang dilakukan oleh Kridalaksana cukup mendalam dan menyeluruh karena dapat menampilkan 89 bentuk afiks dan sekitar 274 kemungkinan makna atau petanda yang bisa diungkapkan, belum terhitung perubahan-perubahan kelas yang dilibatkannya. Selain itu, ia telah mengklasifikasikan secara jelas fungsi afiks. Keunggulan yang lain tentang kajian ini adalah proses pembentukan kata yang dipaparkan tidak hanya mencakup kata-kata baku (ragam standar), tetapi juga yang nonbaku (nonstandar) (1989 : 25-85). Jadi, dalam ulasan ini, Kridalaksana banyak menampilkan hal yang baru yang belum pernah dibahas oleh ahli lain (1989 : 25-85). Di balik keunggulan-keunggulan tersebut, terdapat juga kelemahan dalam kajian ini, yakni tidak adanya pembagian yang eksplisit tentang afiks yang berfungsi derivasi dan yang berfungsi infleksi. Kridalaksana justru mengatakan bahwa afiks infleksional sangat tidak relevan dibicarakan dalam bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia tidak tergolong bahasa fleksi. Padahal seperti contoh-contoh yang diberikan dalam pembahasan derivasi dan infleksi oleh Parera dalam Morfologi Bahasa (1994 : 21-23) menunjukkan bahwa dalam bahasa Indonesia ada afiks yang berfungsi infleksi.

Parera (1994) dalam Morfologi Bahasa tidak mendeskripsikan morfologi bahasa secara khusus. Walaupun demikian, contoh-contoh yang diberikan lebih banyak dengan data dan model bahasa Indonesia, termasuk di dalam membahas derivasi dan infleksi. Pembahasan pada subbab derivasi dan infleksi ini dapat memberikan petunjuk bahwa secara garis besarnya afiks dalam afiksasi bahasa Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yakni afiks infleksional dan afiks derivasional. (1994 : 21-23; 123-128). Dari pembahasan ini dapat dilihat bahwa Parera memberikan contoh-contoh afiks derivasional yang jauh lebih lengkap dan rinci jika dibandingkan dengan contoh-contoh yang diberikan terhadap afiks infleksional. Ini membuktikan bahwa pembahasan-pembahasan tentang afiksasi infleksional bahasa Indonesia kurang mendapat perhatian, bahkan peneliti lainnya

Walaupun demikian, apa yang dilakukan oleh Parera merupakan langkah maju dalam kajian morfologi bahasa Indonesia, dan contoh-contoh yang diberikan dalam pembahasan derivasi dan infleksi ini dapat memberikan petunjuk, arah, dan informasi yang sangat berarti dalam kajian afiksasi infleksional yang penulis lakukan.

2.2. Konsep

Ada dua konsep yang perlu diuraikan pada subbab ini, yaitu derivasi dan infleksi.

Aronoff (1976: 1-2) mengatakan bahwa secara tradisional gejala morfologi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu gejala derivasional dan gejala infleksional. Gejala derivasional berkaitan dengan kategori leksikal. Artinya, proses derivasional menyangkut proses pembentukan kata baru. Gejala infleksional berkaitan dengan kategori gramatikal. Itu berarti dalam proses infleksional tidak terjadi proses pembentukan kata baru, tetapi terjadi pemrosesan kata sehingga dapat berfungsi dalam satuan gramatikal tertentu.

Malmkjaer dkk. (1991: 317-318) mengatakan bahwa infleksi menyangkut proses perubahan bentuk kata, sedangkan derivasi menyangkut proses pembentukan kata, baik yang mengubah kelas maupun yang mempertahankan kelas. Proses infleksi baru dapat dilakukan apabila suatu bentuk telah mengalami proses derivasi atau pemajemukan. Oleh karena itu, infleksi merupakan proses yang menutup kelas. Kategori infleksi mencakup kala, diatesis, jenis kelamin, dan jumlah yang merupakan kaidah terpenting dalam sintaksis dan sering disebut kategori morfosintaksis. Proses infleksi sangat produktif dan biasanya dilakukan pada stem (bentuk dasar) dan bukan root (bentuk asal). Makna infleksi teratur dan teramalkan.

Spencer (1991 : 20-21)berpendapat bahwa infleksi adalah varian dari satu kata yang sama dan cenderung tidak mengubah kelas. Derivari merupakan proses pembentukan kata, pada umumnya mengubah kategori bentuk dasar. Istilah derivasi zero atau morfologi konversi atau null atau zero afixation adalah untuk menandai

proses pembentukan kata yang tidak menunjukkan adanya perubahan bentuk dasar. Proses infleksi menyangkut proses penambahan unsur ekstra pada kata, misalnya penambahan makna (kala, aspek, modus, negasi, dan lain-lain) dan juga terjadi penambahan atau perubahan fungsi gramatikal. Dua prinsip dasar yang mencirikan infleksi adalah kesesuaian dan kepenguasaan (agreement and goverment).

Robins (1959 dan 1998) dalam tulisannya tentang sistem dan struktur bahasa Sunda yang diterjemahkan oleh Kridalaksana berpendapat bahwa sebagian besar pembentukan kata dapat diklasifikasikan sebagai derivasi, dalam hal kata itu dihasilkan dengan kelas yang tidak sama atau kelas yang berbeda dengan kata asal atau akar. Proses morfologis dalam bahasa Sunda berikut ini dapat dimasukkan dalam proses infleksi, yaitu (a) nasalisasi verba, sebagai penanda aktif; (b) prefiksasi

di- dan ka- untuk verba pasif; (c) Afiksasi yang menandai beberapa persona; (d)

pembentuk nomina jamak; (e) pembentuk verba jamak (1983 : 80,83).

Prinsip dasar derivasi adalah proses pembentukan kata, apakah kata yang terbentuk itu berubah kelas atau tidak. Prinsip dasar infleksi adalah pemrosesan kata menjadi satuan yang dapat digunakan dalam tataran gramatikal tertentu. Tidak menjadi soal, apakah proses itu mengakibatkan perubahan bentuk kata atau tidak.

Secara umum, infleksi selalu berkaitan dengan masalah kala, diatesis, jenis kelamin, dan jumlah. Oleh karena itu, proses infleksi--khususnya dalam bahasa Inggris--pada umumnya dikaitkan dengan pemakaian kata dengan kala yang berbeda, aktif-pasif, maskulin-feminim, dan tunggal-jamak. Bertolak dari prinsip dasar itu, maka Robins (1959) mengatakan bahwa nasalisasi verba sebagai penanda aktif, prefiksasi penanda pasif, afiksasi persesuaian persona, pembentuk nomina jamak, dan pembentuk verba jamak tergolong proses infleksi.

Dalam telaah afiksasi verbal bahasa Indonesia, konsep dasar infleksi yang diterapkan dalam penelitian ini, bersumber pada konsep dasar infleksi dalam bahasa Inggris yang telah dikemukakan para ahli di atas. Prinsip dasar ini akan disesuaikan dengan kenyataan yang ada dalam bahasa Indonesia. Atas dasar itu, maka telaah

pasif, infleksi aksidental, infleksi aksesif, infleksi jamak (iteratif), dan infleksi ketidakteraturan (irregular) (Bandingkan dengan Tampubolon, 1977 : 235-285).

Dari sejumlah pendapat yang dipetakan di atas, dapat disimpulkan bahwa a) secara umum afiks dapat diklasifikasikan ke dalam afiks derivasional dan afiks infleksional, b) afiks derivasional dapat membentuk leksem baru, sedangkan afiks infleksional tidak, c) bentuk-bentuk yang sudah mengalami proses derivasi masih dapat mengalami proses infleksi, tetapi tidak bisa terjadi sebaliknya, d) pada umumnya, proses derivasi terjadi lebih dulu sebelum mengalami proses infleksi, dan e) proses derivasi bersifat kurang produktif (ada beberapa idiosinkrasi), sedangkan proses infleksi bersifat produktif (hampir tidak ditemukan kendala).