• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam pembahasan mengenai Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (trafficking) oleh Kepolisian Daerah Sumatera Utara, teori utama yang digunakan adalah teori Lawrence M.Friedman, dalam bukunya yang berjudul “The Legal System A Social Science Perspective”, menyebutkan bahwa sistem hukum terdiri atas perangkat struktur hukum, substansi hukum (perundang-undangan) dan kultur hukum atau budaya hukum. Ketiga komponen ini mendukung berjalannya sistem hukum disuatu negara. Secara realitas sosial, keberadaan sistem hukum yang terdapat dalam masyarakat mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat pengaruh, apa yang disebut dengan modernisasi atau globalisasi baik itu secara evolusi maupun revolusi.17

Analisis yuridis terhadap perdagangan orang, dapat juga dilakukan melalui pendekatan legal system (sistem hukum) yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman. Sistem Hukum Harus Memuat Substantive Law, Legal Structure, dan

17

Legal Culture. Secara substansi hukum masalah perdagangan manusia diatur dalam kerangka hukum Internasional dan hukum nasional.

Ketiga komponen ini mendukung berjalannya sistem hukum disuatu negara. Secara realitas sosial, keberadaan sistem hukum yang terdapat dalam masyarakat mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat pengaruh, apa yang disebut dengan modernisasi atau globalisasi baik itu secara evolusi maupun revolusi.18

Menurut Lawrence M.Friedman, tegaknya hukum tergantung kepada budaya hukum masyarakatnya, sementara itu budaya hukum masyarakat tergantung kepada budaya hukum anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan, budaya, posisi atau kedudukan dan kepentingan-kepentingan.19

Menurut Mahmud Mulyadi dalam bukunya “Kepolisian dalam sistem Peradilan Pidana” bahwa pihak Kepolisian merupakan salah satu komponen sistem peradilan pidana yang menjadi ujung tombak dalam penanggulangan kejahatan dan Peranan Kepolisian kelihatannya lebih besar bila dibandingkan dengan komponen lainnya, sehingga Kepolisian disebut sebagai the gate keeper of Criminal Justice. 20karena Kepolisian merupakan subsistem yang secara langsung berhubungan dengan pelaku kejahatan dan masyarakat.

18

Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung : Refika Aditama,2007), hal 26

19

Bismar Nasution, Ekonomi Mengkaji Ulang Hukum sebagai Landasan Pembangunan

Ekonomi, disampaikan pada “Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Hukum Ekonomi

Universitas Sumatera Utara”, (Medan : Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara, 17 April 2004), hal 21.

20

Mahmud Mulyadi, Peranan Kepolisian dalam Penegakan hukum pidana, Medan 2009, hal 12

Fungsi Kepolisian (Pasal 2 UU No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI ) adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang :

1. Pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, 2. Penegakan hukum,

3. Perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Tujuan Kepolisian RI (Pasal 4 UU No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI) adalah mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi :

1. terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, 2. tertib dan tegaknya hukum,

3. terselenggaranya perlindungan, pengayoman, 4. dan pelayanan kepada masyarakat,

5. serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Pasal 5 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebutkan :

(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebutkan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Repulik Indonesia adalah :

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Menegakkan hukum;

c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

Pasal 14 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebutkan :

(1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia brtugas :

a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas jalan;

c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;

d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;

e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

f. melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khususnya penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;

g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidna sesuai hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;

h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian,kedokteran

kepolisian,laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;

i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk membrikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum

ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;

k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian, serta melaksanakan tugas lain sesuai peraturan perundang-undangan.21

Khusus mengenai penyidikan menurut Pasal 6 ayat (1) UU No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang.

21

Fungsi Kepolisian sebagai Penyelidik dalam Pasal 1 KUHAP ayat 1 dan 4, menyatakan bahwa kedudukan Polri dalam sistem peradilan pidana adalah sebagai penyelidik dan penyidik. Pada Pasal 1 ayat 4 KUHAP dinyatakan bahwa penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang- undang untuk melakukan penyelidikan. Yang dimaksud dengan penyelidikan dalam pasal ini adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam KUHAP.22

Penyelidikan bukanlah fungsi tersendiri yang terpisah dari penyidikan, tetapi hanya merupakan salah satu cara atau metode dari fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada Penuntut Umum.23

Latar belakang dibuatnya fungsi penyelidikan antara lain adanya perlindungan dan jaminan terhada hak asasi manusia, adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa, ketatnya pengawasan dan adanya lembaga ganti kerugian dan rehabilitasi. Tidak semua peristiwa yang terjadi dapat diduga adalah tindak pidana, maka sebelum melangkah lebih lanjut dengan melakukan penyidikan dengan konsekuensinya digunakan upaya paksa, dengan berdasarkan data

22

Mahmud Mulyadi, Op Cit , hal 10

23

atau keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan ditentukan terlebih dahulu bahwa peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu benar-benar merupakan tindak pidana sehingga dapat dilanjutkan dengan penyidikan.24

Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 (KUHAP) memberikan peran utama kepada Kepolisian Negara republik Indonesia untuk melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan tindak pidana (secara umum) tanpa batasan lingkungan kuasa soal-soal sepanjang masih termasuk dalam lingkup hukum publik, sehingga pada dasarnya Polri oleh KUHAP diberikan kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana.25

Istilah penyelidikan dan penyidikan dipisahkan artinya oleh KUHAP walaupun menurut bahasa Indonesia kedua kata itu berasal dari kata dasar sidik, yang artinya memeriksa, meneliti. Menurut Pasal 1 UU No.8 tahun 1981 KUHAP yang dikutip oleh Andi Hamzah bahwa definisi sebagai berikut :

“ Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur menurut undang-undang ini.”

Apakah maksudnya ini sama dengan reserse ? Di dalam organisasi kepolisian justru istilah reserse ini dipakai. Tugasnya terutama tentang penerimaan laporan dan pengaturan serta menyetop orang yang dicurigai untuk diperiksa. Jadi penyelidikan ini tindakan untuk mendahului penyidikan. Kalau dihubungkan dengan teori hukum

24

Ibid, hal 10-11

25

acara pidana seperti dikemukakan oleh Van Bemmelen maka penyelidikan ini maksudnya ialah tahap pertama dalam tujuh tahap hukum acara pidana, yang berarti mencari kebenaran.26

Penyidikan suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian opsporing (Belanda) dan investigation (Inggris) atau penyiasatan atau siasat (Malaysia). KUHAP Pasal 1 UU No.8 tahun 1981 memberikan definisi sebagai berikut :

“ Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya.”27

Pengetahuan dan pengertian penyidikan perlu dinyatakan dengan pasti dan jelas, karena hal itu langsung menyinggung dan membatasi hak-hak asasi manusia. Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah sebagai berikut :

1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik.

2. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik. 3. Pemeriksaan ditempat kejadian.

4. Pemanggilan tersangka dan terdakwa. 5. Penahanan sementara.

6. Penggeledahan.

7. Pemeriksaan atau interogasi.

8. Berita acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat) 9. Penyitaan.

10. Penyampingan perkara.

26

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta 2009 hal 119.

27

11. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan.28

Kewenangan yang di miliki oleh Polri ini semata-mata digunakan hanya untuk kepentingan mencari kebenaran dari suatu peristiwa pidana. Dengan keluarnya hasil dari penyelidikan tentang tindak pidana perdagangan orang, harus diadakan penyidikan maka tindakan pertama yang diambil adalah pengumpulan bukti-bukti untuk membuat terang suatu tindak pidana perdagangan orang dan mencari serta menemukan pelaku tindak pidana tersebut. Penyidikan terhadap suatu tindak pidana perdagangan orang adalah suatu proses yang terdiri dari rangkaian tindakan yang dilakukan penyidik untuk membuat jelas suatu tindak pidana tersebut dan menemukan pelaku tindak pidana guna diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.29

2. Kerangka Konsepsi

a. Kepolisian Daerah Sumatera Utara adalah Segala hal ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga Polisi di Sumatera Utara sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 30

b. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

28

Ibid

29

Mahmud Mulyadi, Op Cit , hal 17

30

Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 1 angka 1.

menemukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.31

c. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.32

d. Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang- undang ini.33

d. Polri merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.34

e. Tindak Pidana adalah perbuatan manusia yang dilarang oleh undang-undang ataupun peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku dimana perbuatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan oleh si pelaku. Jadi suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut, yaitu :

1) Harus merupakan suatu perbuatan manusia;

31

Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 2.

32

Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 2.

33

Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 1.

34

Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 5 angka 1

2) Perbuatan tersebut dilarang dan diberi ancaman hukuman baik oleh undang- undang maupun peraturan perundang-undangan lainnya;

3) Perbuatan tersebut dilakukan oleh orang yang dapat bertanggung jawab artinya dapat dipersalahkan karena melakukan perbuatan tersebut.35

f. Penanganan adalah proses, cara, perbuatan menangani, penggarapan;36

g. Perdagangan Orang (trafficking) adalah Setiap orang yang melakukan perekrutan,pengangkutan, penampungan,pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut diwilayah negara Repulik Indonesia.37

Penanganan Trafficking di Sumatera Utara tidak dapat dipisahkan dari kebijakan penanganan trafficking di tingkat Nasional. Sebelum dilahirkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pemerintah melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan Dan Anak. Lahirnya kebijakan Penanganan

35

Satochid.K, Hukum Pidana Bagian Kesatu, Balai Lektur Mahasiswa.

36

Daryanto,S.S.Op Cit, hal 575

37

Trafficking di tingkat Nasional ini tidak terlepas dari perhatian masyarakat Internasional yang telah menempatkan Indonesia sebagai negara yang cukup banyak warga negaranya memasok berbagai kebutuhan ketenagakerjaan di berbagai negara.

Dengan lahirnya rencana aksi di tingkat nasional, untuk menjamin terselenggaranya rencana aksi nasional (selanjutnya disebut RAN-P3A) di seluruh wilayah Indonesia, maka dibentuklah Gugus Tugas Daerah RAN P3A yang dibentuk melalui Keputusan Gubernur untuk Pemerintah Provinsi dan Keputusan Bupati/Walikota untuk Pemerintah Kabupaten/Kota.

Kebijakan Penanganan Trafficking di Sumatera Utara dilakukan dengan melahirkan regulasi di tingkat daerah berupa produk hukum sebagai berikut :

1. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Pencegahan Dan Penanggulangan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Bagi Anak;

2. Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan Dan Anak;

3. Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 24 Tahun 2005 Tentang Rencana Aksi Provinsi Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan Dan Anak; 4. Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 463/1211/K/2002 Tentang

Pembentukan Komite Aksi Provinsi Sumatera Utara tentang Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak.

Berbagai instrumen hukum di tingkat daerah sebagaimana diuraikan di atas antara yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan karena merupakan satu

kesatuan arah kebijakan yang ditempuh oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dalam penanganan trafficking khususnya terhadap perempuan dan anak.