PENANGANAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
(TRAFFICKING) OLEH KEPOLISIAN DAERAH
SUMATERA UTARA
TESIS
Oleh
GULTOM ROSMAIDA FERIANA 087005067 / HK
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PENANGANAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
(TRAFFICKING) OLEH KEPOLISIAN DAERAH
SUMATERA UTARA
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
GULTOM ROSMAIDA FERIANA 087005067 / HK
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : PENANGANAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN
ORANG (TRAFFICKING) OLEH KEPOLISIAN
DAERAH SUMATERA UTARA Nama Mahasiswa : Gultom Rosmaida Feriana Nomor Pokok : 087005067
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) Ketua
(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum) Anggota Anggota
Ketua Program Studi D e k a n
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)
Telah diuji pada
Tanggal 28 Agustus 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS
Anggota : 1. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH 2. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum
ABSTRAK
Perdagangan Orang merupakan kejahatan yang serius terhadap kehidupan manusia dan kemanusiaan, mengingat kasus perdagangan orang semakin hari semakin luas dan semakin rumit modus operandinya. Modus operandinya juga semakin canggih dan rumit (complicated) yang dikaitkan secara intensif dengan pasar perdagangan seks internasional dan perdagangan tenaga kerja ilegal. Karena posisi geografis dan demokratis, maka Indonesia khususnya wilayah Sumatera Utara rentan menjadi daerah asal, transit dan tujuan perdagangan orang.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu menggambarkan atau menelaah permasalahan terhadap penanganan di Polda Sumut dalam proses penegakan hukum menanggulangi kejahatan trafficking dan kendala-kendala yuridis yang dihadapi penyidik Polri. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang di dalam UU No.21 tahun 2007 tentang PTPPO terbagi dalam tiga komponen utama yaitu elemen tindakan/aktivitas, kedua elemen cara, ketiga elemen tujuan/maksud, patut dipahami bahwa tidak selalu eksploitasi harus sudah terjadi, apabila dapat dibuktikan bahwa ada maksud atau niat untuk mengeksploitasi korban, maka pelaku dapat dijerat pasal-pasal dalam UU PTPPO. Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Polda Sumut mendapatkan pelayanan yang khusus yang dilakukan oleh Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) di Direktorat Reserse Kriminal Satuan Pidum yang memiliki wadah/tempat yang khusus yaitu Ruang Pelayanan Khusus (RPK), dengan melakukan upaya penegakan hukum menjerat pelaku perdagangan orang melalui UU No.21 tahun 2007 tentang PTPPO. Pemerintah Provinsi Sumut membantu Penyidik Polri dalam Upaya penghapusan perdagangan orang (trafficking) salah satunya dengan mengeluarkan Perda No.6 tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan (trafficking) Perempuan dan Anak dan Peraturan Gubsu No.24 tahun 2005 tentang RAN Penghapusan Perdagangan (trafficking) Perempuan dan Anak.
Polda Sumut dalam penanganan TPPO menghadapi beberapa kendala yang meliputi kendala yuridis/Undang-undang, kendala aparat penegak hukum dan kendala kultur budaya, antara lain Pasal 30 UU PTPPO yang mengatakan bahwa sebagai alat bukti yang sah keterangan seorang saksi saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan satu alat bukti yang sah lainnya, namun hal ini belum dapat dipraktekkan karena faktanya banyak petunjuk yang harus dipenuhi oleh penyidik, kemudian kendala lain dimana korban enggan untuk memberikan informasi yang lengkap guna mengungkap jarngan TPPO dikarenakan korban merasa malu aib (tabu) untuk menceritakan masalahnya, serta kendala masih kurangnya kualitas penyidik terutama yang bertugas di Polsek maupun Polres, dan selanjutnya yang menjadi kendala juga apabila tersangka berada di luar negeri dan tidak diketahui alamatnya maka sangat penting diperlukannya hubungan antar negara seperti perjanjian bilateral guna tercapainya penegakan hukum bagi si pelaku TPPO.
ABSTRACT
Human trafficking is a serious crime toward human life and humanity since the case of human trafficking is increasingly spread and its modus operandi becomes increasingly sophisticated and complicated day to day which is intensively related to the international sex market and illegal worker trade. Because of its geographic position and democracy, Indonesia, especially the Province of Sumatera Utara, becomes the place of origin, transit and destination of human trafficking.
This was an analytical descriptive study describing or analyzing the problem of how Sumatera Utara Police Department (Poldasu) handles the process of law enforcement in trafficking crime prevention and the juridical constraints faced by the investigators of Indonesian Police. In Law No. 21/2007 on Regulation on Human Trafficking Criminal Act, the practice of human trafficking is divided into 3 (three) main components; first, Element of Action/Activity, second, Element of Way/Modus Operandi, and third, Element of Purpose. It needs to be understood that the exploitation is not always to have occurred, if the purpose or intention to exploit the victim can be proven, the doer or the actor can be charged based on the articles found in the Law on Regulation on Human Trafficking Criminal Act. In Sumatera Utara Police Department (Poldasu), the handling of Human Trafficking Criminal Act is especially implemented by the Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Child and Woman Service Unit) which takes place in the Ruang Pelayanan Khusus (Special Service Room) through law enforcement and charging the actor of human trafficking based on Law No.21/2007 on Regulation on Human Trafficking Criminal Act. The Provincial Government of Sumatera Utara assists the investigators of the Indonesian Police in eliminating human trafficking by, among other thing, issuing the Provincial Regulation No.6/2004 on the Elimination of Child and Woman Trafficking and the Regulation of the Governor of Sumatera Utara No.24/2005 on RAN of the Elimination of Child and Woman Trafficking.
In handling the Human Trafficking Criminal Act, the Sumatera Utara Police Department (Poldasu) faces a juridical constraint concerning the Article 30 of Law on Regulation on Human Trafficking Criminal Act stating that, as a legal evidence, a statement given by only a victim witness is enough to prove that the defendant is guilty, if accompanied by another legal evidence, but this has not been able to be applied because, in fact, there are a lot of indications which must be met by the investigators, and the technical constraints showing that the victims are reluctant to give a complete information because the victims feel embarrassed if their shame is told to the other persons, moreover, the quality of the investigators, especially those who are serving in the resort and sector police offices, is still inadequate, the existence of the defendant or the victim is unknown especially if the defendant or the victim resides abroad. For this reason, a bilateral agreement between the two countries is needed because it plays an important role in law enforcement.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan
Rahmat dan KaruniaNya berupa kemampuan, kesabaran, kesehatan, kekuatan dan
kesempatan kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Adapun topik penelitian yang penulis pilih yaitu: “Penanganan Tindak
Pidana Perdagangan Orang (Trafficking) oleh Kepolisian Daerah Sumatera Utara” Penulis menyadari bahwa penyelesaian tesis ini tidak akan terlaksana tanpa
saran maupun petunjuk yang diberikan oleh pembimbing maupun penguji baik pada
saat pengajuan judul, seminar proposal, seminar hasil penelitian sampai pada akhir
penyusunan tesis ini.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu DTM&H, M.Sc(CTM), Sp.A(K), selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara atas kesempatan menjadi mahasiswa pada Program
Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Runtung, SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara atas kesempatan yang telah diberikan untuk menyelesaikan
pendidikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
3. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum
sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan perkuliahan pada Program Studi
Magister Ilmu Hukum Kelas Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
4. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, M.S, Pembimbing Utama yang telah memberikan
bimbingan sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan perkuliahan pada
Program Studi Magister Ilmu Hukum Kelas Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
5. Prof. Dr. Suhaidi. SH, M.H sebagai Anggota Pembimbing yang telah banyak
memberikan bantuan petunjuk, masukan dan mengarahkan kepada penulis, untuk
menyelesaikan tesis ini.
6. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum sebagai Anggota Pembimbing yang telah
banyak memberikan bantuan petunjuk, saran dan masukan kepada penulis.
7. Prof Dr. Sunarmi, SH. M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu
Hukum juga sebagai penguji yang telah banyak memberikan arahan, saran,
pendapat dan petunjuk guna penyempurnaan tesis ini.
8. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM selaku penguji yang telah banyak
memberikan arahan, pendapat dan petunjuk guna penyempurnaan tesis ini.
Kepada seluruh Guru Besar serta Dosen pada Program Studi Magister Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis mengucapkan
terimakasih atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis selama mengikuti Studi di
semoga ilmu yang diberikan bermanfaat bagi penulis di dalam mengembangkan
pelaksanaan tugas sehari-hari,
Kepada Kepala Kepolisian Daerah Sumatra Utara dan jajaran, yang telah
memberikan izin mengikuti studi pendidikan Program Pasca Sarjana Magister
Hukum Universitas Sumatera Utara, izin Penelitian dan dukungan serta motivasi
selama menjalankan studi dan dalam penyelesaian tesis ini.
Kepada Kepala Sekretariat Umum Polda Sumut AKBP Rauli Siahaan, SH,
M.Hum, Kanit PPA Polda Sumut Kompol Fransisca Munthe, SH, AKP Sitiani Purba,
SH dan Dra Emmy Suryana Lubis, MAP serta Sofyan, SH, yang telah membantu
dalam diskusi maupun masukan dan juga memberikan dukungan untuk penyelesaian
tesis ini.
Kepada Ayah ku Letkol (Purn) B.Gultom dan mertua ku J.Simanjuntak,
adikku Gultom Ridwan Parlin, S.SIT, MT dan adik ipar Harayanti Anne Br Silalahi,
yang saya hormati, penulis mengucapkan terima kasih atas dukungannya dan doa
penulis untuk mereka, semoga Tuhan membalas semua kebaikan-kebaikannya dan
memberikan umur yang panjang.
Khusus kepada suamiku Dr.Samuel Simanjuntak dan anak-anakku tercinta
dan tersayang Safhera Angelia Simanjuntak, Seylla Agatha Simanjuntak, Febby
Gabriela Simanjuntak, yang telah banyak berkorban dan bersabar dan banyak
mendoakan penulis serta selalu memberikan semangat kepada penulis untuk tetap
Kepada seluruh saudara, sahabat, kerabat yang telah mendukung penulis
untuk cepat menyelesaikan tesis ini.
Dan beserta seluruh staff Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, yang telah membantu penulis dan tidak mungkin
disebutkan satu persatu penulis banyak mengucapkan banyak terimakasih atas segala
bantuan dan perhatiannya. Penulis juga berharap bahwa tesis ini dapat memberikan
kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan, untuk itu penulis
memohon saran dan masukan kepada kalangan-kalangan peneliti selanjutnya agar
penelitian ini menjadi sempurna dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan.
Hormat penulis
RIWAYAT HIDUP
Nama : Gultom Rosmaida Feriana
Tempat/Tanggal Lahir : Cimahi Bandung / 22 Februari 1971
Jenis Kelamin : Perempuan.
Agama : Kristen Protestan.
Instansi : Polda Sumatera Utara.
Pendidikan Sekolah :
a. SD Kristen Andreas Cimahi Bandung Tahun 1983
b. SMP Negeri I Cimahi Bandung Tahun 1986
c. SMF BPK Penabur Bandung Tahun 1989
d. Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung Tahun 1998
Pendidikan Polri :
a. Perwira Polri Sumber Sarjana (PPSS) Angkatan I Tahun 1999-2000
b. Pendidikan Kejuruan Dasar Perwira Reserse Tahun 2001.
c. Pendidikan Kejuruan Lanjutan Perwira Reserse Tahun 2001.
Riwayat Jabatan :
a. Panit I Bag. Serse. Umum Polda Sumut Tahun 2000-2002
b. Panit Vice Control Polda Sumut Tahun 2003 – 2005
c. Kanit RPK Polda Sumut Tahun 2006-2009
d. Panit Sat I / Pidum Polda Sumut Tahun 2010 sampai sekarang.
Tugas ke Luar Negeri :
a. Bangkok Thailand – tahun 2005
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xi
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 16
C. Tujuan Penelitian ... 17
D. Manfaat Penelitian ... 18
E. Keaslian Penulisan ... 18
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 19
G. Metode Penelitian ... 30
BAB II : PENGATURAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG MENURUT UNDANG-UNDANG NO.21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (PTPPO) ... 36
A. Pengertian dan Terminologi Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) ... 36
1. Lahirnya UU PTPPO ... 36
3. Pengintegrasian Perspektif jender ... 44
B. Tindak Pidana Undang-undang No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) ... 46
1. Perbuatan Pidana ... 46
2. Pertanggung jawaban Pidana ... 51
3. Sanksi Pidana ... 56
BAB III : UPAYA KEPOLISIAN DAERAH SUMATERA UTARA DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (TRAFFICKING) ... 64
A. Eksistensi Kasus Trafficking di Sumatera Utara ... 64
B. Faktor-faktor penyebab terjadi TPPO di Sumatera Utara ... 68
C. Penanganan TPPO di Polda Sumut ... 80
1. Upaya Preventif ... 80
2. Upaya Represif ... 82
D. Kendala yang dihadapi Polda Sumut dalam menangani TPPO ...103
1. Kendala Yuridis (Undang-undang) ...104
2. Lemahnya Koordinasi antar Aparat Penegak hukum ...106
3. Masalah Kultur Budaya ...108
BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN ...113
A. Kesimpulan ...113
B. Saran ...115
DAFTAR TABEL
No Judul Halaman
1 Daerah sumber, translit dan tujuan perdagangan (Trafficking) perempuan dan anak di Sumatera Utara
...………..
67
2 Data korbanTrafficking di Propinsi Sumatera Utara Tahun 2004 s/d Desember 2008
...……….
ABSTRAK
Perdagangan Orang merupakan kejahatan yang serius terhadap kehidupan manusia dan kemanusiaan, mengingat kasus perdagangan orang semakin hari semakin luas dan semakin rumit modus operandinya. Modus operandinya juga semakin canggih dan rumit (complicated) yang dikaitkan secara intensif dengan pasar perdagangan seks internasional dan perdagangan tenaga kerja ilegal. Karena posisi geografis dan demokratis, maka Indonesia khususnya wilayah Sumatera Utara rentan menjadi daerah asal, transit dan tujuan perdagangan orang.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu menggambarkan atau menelaah permasalahan terhadap penanganan di Polda Sumut dalam proses penegakan hukum menanggulangi kejahatan trafficking dan kendala-kendala yuridis yang dihadapi penyidik Polri. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang di dalam UU No.21 tahun 2007 tentang PTPPO terbagi dalam tiga komponen utama yaitu elemen tindakan/aktivitas, kedua elemen cara, ketiga elemen tujuan/maksud, patut dipahami bahwa tidak selalu eksploitasi harus sudah terjadi, apabila dapat dibuktikan bahwa ada maksud atau niat untuk mengeksploitasi korban, maka pelaku dapat dijerat pasal-pasal dalam UU PTPPO. Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Polda Sumut mendapatkan pelayanan yang khusus yang dilakukan oleh Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) di Direktorat Reserse Kriminal Satuan Pidum yang memiliki wadah/tempat yang khusus yaitu Ruang Pelayanan Khusus (RPK), dengan melakukan upaya penegakan hukum menjerat pelaku perdagangan orang melalui UU No.21 tahun 2007 tentang PTPPO. Pemerintah Provinsi Sumut membantu Penyidik Polri dalam Upaya penghapusan perdagangan orang (trafficking) salah satunya dengan mengeluarkan Perda No.6 tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan (trafficking) Perempuan dan Anak dan Peraturan Gubsu No.24 tahun 2005 tentang RAN Penghapusan Perdagangan (trafficking) Perempuan dan Anak.
Polda Sumut dalam penanganan TPPO menghadapi beberapa kendala yang meliputi kendala yuridis/Undang-undang, kendala aparat penegak hukum dan kendala kultur budaya, antara lain Pasal 30 UU PTPPO yang mengatakan bahwa sebagai alat bukti yang sah keterangan seorang saksi saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan satu alat bukti yang sah lainnya, namun hal ini belum dapat dipraktekkan karena faktanya banyak petunjuk yang harus dipenuhi oleh penyidik, kemudian kendala lain dimana korban enggan untuk memberikan informasi yang lengkap guna mengungkap jarngan TPPO dikarenakan korban merasa malu aib (tabu) untuk menceritakan masalahnya, serta kendala masih kurangnya kualitas penyidik terutama yang bertugas di Polsek maupun Polres, dan selanjutnya yang menjadi kendala juga apabila tersangka berada di luar negeri dan tidak diketahui alamatnya maka sangat penting diperlukannya hubungan antar negara seperti perjanjian bilateral guna tercapainya penegakan hukum bagi si pelaku TPPO.
ABSTRACT
Human trafficking is a serious crime toward human life and humanity since the case of human trafficking is increasingly spread and its modus operandi becomes increasingly sophisticated and complicated day to day which is intensively related to the international sex market and illegal worker trade. Because of its geographic position and democracy, Indonesia, especially the Province of Sumatera Utara, becomes the place of origin, transit and destination of human trafficking.
This was an analytical descriptive study describing or analyzing the problem of how Sumatera Utara Police Department (Poldasu) handles the process of law enforcement in trafficking crime prevention and the juridical constraints faced by the investigators of Indonesian Police. In Law No. 21/2007 on Regulation on Human Trafficking Criminal Act, the practice of human trafficking is divided into 3 (three) main components; first, Element of Action/Activity, second, Element of Way/Modus Operandi, and third, Element of Purpose. It needs to be understood that the exploitation is not always to have occurred, if the purpose or intention to exploit the victim can be proven, the doer or the actor can be charged based on the articles found in the Law on Regulation on Human Trafficking Criminal Act. In Sumatera Utara Police Department (Poldasu), the handling of Human Trafficking Criminal Act is especially implemented by the Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Child and Woman Service Unit) which takes place in the Ruang Pelayanan Khusus (Special Service Room) through law enforcement and charging the actor of human trafficking based on Law No.21/2007 on Regulation on Human Trafficking Criminal Act. The Provincial Government of Sumatera Utara assists the investigators of the Indonesian Police in eliminating human trafficking by, among other thing, issuing the Provincial Regulation No.6/2004 on the Elimination of Child and Woman Trafficking and the Regulation of the Governor of Sumatera Utara No.24/2005 on RAN of the Elimination of Child and Woman Trafficking.
In handling the Human Trafficking Criminal Act, the Sumatera Utara Police Department (Poldasu) faces a juridical constraint concerning the Article 30 of Law on Regulation on Human Trafficking Criminal Act stating that, as a legal evidence, a statement given by only a victim witness is enough to prove that the defendant is guilty, if accompanied by another legal evidence, but this has not been able to be applied because, in fact, there are a lot of indications which must be met by the investigators, and the technical constraints showing that the victims are reluctant to give a complete information because the victims feel embarrassed if their shame is told to the other persons, moreover, the quality of the investigators, especially those who are serving in the resort and sector police offices, is still inadequate, the existence of the defendant or the victim is unknown especially if the defendant or the victim resides abroad. For this reason, a bilateral agreement between the two countries is needed because it plays an important role in law enforcement.
BAB I PENDAHULUAN
A. L a t a r B e l a k a n g
Perdagangan manusia / trafficking in persons (khususnya perempuan dan
anak) merupakan masalah yang hingga saat ini belum terpecahkan. Kecenderungan
global menunjukkan bahwa masalah tersebut semakin mengkhawatirkan. Dalam
catatan International Information Program, U.S. Department of State (2004) masalah
perdagangan anak dan perempuan merupakan bentuk kejahatan terorganisire
terbesar nomor tiga di dunia setelah kejahatan perdagangan obat bius dan
perdagangan senjata. 1
Salah satu alasan yang kuat adanya sindikat perdagangan manusia antar
negara ini adalah adanya keuntungan yang besar disamping masih banyak juga negara
atau perusahaan-perusahaan lintas negara yang memerlukan tenaga-tenaga kerja
murah dan illegal. PBB menyebutkan bahwa sindikat perdagangan (trafficking)
perempuan dan anak meraup keuntungan tujuh milliar dolar AS setiap tahunnya dan
sekitar dua juta orang diperdagangkan tiap tahunnya. Sementara itu, di Indonesia
sendiri, diperkirakan sekitar 40 ribu sampai 70 ribu perempuan dan anak menjadi
korban perdagangan. Ada banyak faktor penyebab yang mendorong terjadinya tindak
kejahatan trafficking dan memberi andil bagi keberhasilan jaringan kejahatan yang
1
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia, Penghapusan
terlibat dalam perdagangan manusia. Kebanyakan orang-orang yang menjadi korban
Trafficking itu adalah orang miskin dan tidak cukup memiliki peluang kehidupan
ekonomi, kurang pendidikan.2
Praktek perdagangan orang di Indonesia, sebenarnya sudah ada sejak lama,
hanya saja karena kurangnya kesadaran masyarakat dan belum adanya ketentuan
yang komprehensif bagi penegak hukum serta kurang sensitifnya aparatur pemerintah
terhadap praktek perdagangan orang, menyebabkan tingginya kasus perdagangan
orang. Intenational Organization for Migration (IOM) sampai saat ini telah
mengidentifikasikan dan memberikan bantuan bagi 3.339 korban perdagangan orang
sepanjang 4 tahun terakhir (data Maret 2005 – Desember 2009). Hampir 90%
diantaranya adalah perempuan dan lebih dari 25% diantaranya anak-anak yang
memang paling rentan untuk diperdagangkan. Data tersebut tentu saja tidak
mencerminkan jumlah korban yang sesungguhnya, karena perdagangan orang adalah
jenis underreported crime. Hal ini disebabkan karena banyak korban yang tidak
mempunyai kesempatan melaporkan kasusnya ke kepolisian atau merasa takut
melaporkan kasus yang menimpanya.3
Indonesia tidak hanya dikenal sebagai negara pengirim, namun juga transit
dan penerima. Artinya beberapa daerah di Indonesia, dikenal sebagai daerah korban
berasal dan ada beberapa daerah yang menjadi tempat korban dieksploitasi. Mereka
2
IOM International Organization for Migration, Pedoman Penegakan Hukum dan
Perlindungan Korban dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Jakarta 2008,hal 33
3
tidak hanya diperdagangkan dalam wilayah Indonesia namun juga keluar wilayah
negara Indonesia misalnya Malaysia, Arab Saudi dan Jepang.
Perdagangan orang (trafficking) merupakan tindakan yang bertentangan
dengan harkat dan martabat manusia. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak
asasi manusia. Dimasa lalu perdagangan orang hanya dipandang sebagai pemindahan
secara paksa ke luar negeri untuk tujuan prostitusi. Para traffiker tergiur dengan
keuntungan bebas pajak dan tetap menerima income dari korban yang sama dengan
tingkat resiko kecil.
Berdasarkan penelitian di lapangan, sekurang-kurangnya ada tujuh modus
operandi perdagangan orang (trafficking) yang paling sering ditemukan, yaitu :
a. Eksploitasi buruh migran.
TKW / TKI yang dijanjikan pekerjaan sebagai pekerja informal seperti pembantu
rumah tangga, pelayan toko, pekerja pabrik, atau pelayan restoran, lalu dikirim
dan diterima oleh Agen di negara tujuan. Di negara tersebut mereka dipekerjakan
layaknya seperti budak, tidak mendapatkan haknya sebagai pekerja seperti gaji
dan waktu istirahat, tidak boleh meninggalkan tempat kerja ditambah dengan
siksaan fisik, psikologis maupun seksual.
b. Eksploitasi Prostitusi.
Calon tenaga kerja dijanjikan sebagai pekerja informal seperti pembantu rumah
tangga, pelayan restoran, engasu anak dan sebagainya, ternyata dilacurkan baik
melacurkan korban di lokalisasi-lokalisasi prostitusi biasa, namun juga
mengorganisir kejahatan ini dengan cara membawa korban ke hotel-hotel dan
melakukan transaksi disana. Korban biasanya dikurung disebuah hotel kamar
apartemen, kemudian dibawa keluar untuk melayani pelanggan dihotel-hotel
tempat pelaku bertemu dengan pelanggan dan pelanggan bebas memilih korban.
Pelakulah yang bertransaksi langsung dengan pelanggan sementara korban tidak
memiliki kekuasaan untuk menolak, apalagi dengan penjagaan ketat dari para
bodyguard, dipaksa untuk melayani pelanggan. Walaupun kadang korban tahu
bahwa dia akan bekerja sebagai prostitusi, namun biasanya karena ditipu oleh
pelaku, seperti tentang kondisi pekerjaannya, dijerat utang, dipaksa melayani
sejumlah laki-laki dalam satu hari dan dilarang meninggalkan lokalisasi sebelum
membayar sejumlah besar uang yang dianggap utang kepada mucikari, maka
korban tidak dapat berbuat apa-apa. Eksploitasi prostitusi juga dapat terjadi
dilokasi perkebunan, dimana pelaku mengorganisir kegiatan ini dilokasi
perkebunan terpencil dengan target pelanggan para pekerja perkebunan tersebut.
c. Kerja Paksa.
Laki-laki dewasa dan anak ditawari pekerjaan diperkebunan, pabrik kayu atau
sebagai pekerja bangunan di luar negeri dan dijanjikan mendapatkan gaji tinggi
dan fasilitas mess yang disiapkan oleh perusahaan. Sesampainya di lokasi kerja,
ternyata korban dipaksa bekerja tanpa gaji dan istirahat yang cukup, dilarang
atau mereka yang dieksploitasi diwilayah perkebunan, biasanya tinggal
digubuk-gubuk tidak permanen dan dilarang meninggalkan tempat kerja sebelum mereka
menyelesaikan kontrak (biasanya 2 tahun). Lebih mengenaskan lagi,
kadang-kadang, ketika pekerjaan hampir selesai, pelaku melaporkan kepada polisi
setempat tentang keberadaan meeka yang biasanya tidak berdokumen. Akhirnya
mereka ditangkap polisi dan dianggap melanggar peraturan keimigrasian dan
tentu saja pelaku tidak perlu membayar gaji mereka.
d. Training atau Pelatihan.
Anak-anak yang dikirim ke luar negeri dengan alasan training atau pelatihan
ternyata kemudian dipaksa bekerja di hotel, restoran, di kapal nelayan dan jermal
tanpa gaji dan waktu istirahat yang cukup. Disamping merupakan suatu situasi
yang eksploitatif yang dapat dianggap sebagai perdagangan manusia dewasa,
situasi-situasi seperti itu melanggar hak-hak anak berdasarkan
perundang-undangan Indonesia. Korban ditipu dengan alasan sebagai duta budaya, ternyata
kemudian dilacurkan atau dipaksa menjadi penari erotis.
e. Penculikan.
Anak perempuan remaja diculik saat pulang sekolah lalu dibius dan dipindahkan
untuk kemudian dilacurkan. Pembiusan yang sering terjadi terhadap perempuan
dewasa, biasanya di kendaraan umum,misalnya di dalam bus-bus antar kota.
Korban dijanjikan untuk dinikahkan dengan warga negara asing namun
kemudian oleh suaminya dijadikan pembantu rumah tangga atau bahkan
dilacurkan.
g. Kawin kontrak.
Korban dikawin kontrak dan dieksploitasi sebagai prostitusi oleh suaminya.
Protokol Palermo (UNICEF) menjelaskan bahwa perdagangan orang
didefinisikan sebagai: perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau
penerimaan seseorang melalui penggunaan ancaman atau tekanan, atau bentuk-bentuk
lain dari kekerasan, penculikan, kecurangan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan
atau posisi rentan atau memberikan atau menerima pembayaran sehingga
mendapatkan persetujuan dari seseorang yang memegang kendali atas orang lain
tersebut, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi mencakup, paling tidak eksploitasi
pelacuran oleh orang lain, atau bentuk lain dari ekspolitasi seksual, kerja atau
pelayanan paksa, perbudakan, atau praktek-praktek yang mirip perbudakan,
penghambaan, atau pengambilan organ tubuh.4
Penyebaran kasus trafficking hampir merata di seluruh wilayah Indonesia baik
di kota-kota besar maupun di pedesaan. Perempuan dan anak adalah kelompok yang
paling banyak menjadi korban Trafficking, hal ini akan mengancam kualitas penerus
4
Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Undang-undang
bangsa serta memberi dampak negatif bagi bangsa yang mengalaminya dimata
dunia.5
Trafiking in person (TIP) Report yang dikeluarkan oleh Department of State,
USA, June 2004, memposisikan Indonesia pada Tier III (terburuk ke III) artinya
Indonesia dievaluasi sebagai negara pemasok perdagangan perempuan dan anak,
berkomitmen rendah, kurang serius dan kurang kepeduliannya dalam pemberantasan
TIP. Kasusnya banyak tetapi belum ada upaya strategis yang dilaksanakan. Suatu
tantangan bagi Indonesia untuk menyelamatkan anak bangsa. TIP Report yang
dikeluarkan tanggal 3 Juni 2005, memposisikan Indonesia pada Tier II (terburuk ke
II), artinya Indonesia telah dinilai selangkah lebih maju dalam melakukan langkah
dan upaya signifikan untuk pemberantasan TIP dan memenuhi standart minimum
yang ditetapkan walaupun belum sepenuhnya.6
Salah satu daerah yang menyimpan banyak permasalahan perdagangan
(trafficking) perempuan dan anak di Indonesia adalah daerah Propinsi Sumatera
Utara. Hal ini dikarenakan Propinsi Sumatera Utara dalam praktek perdagangan
(trafficking) perempuan dan anak memiliki tiga fungsi strategis, yaitu sebagai daerah
asal (sending area), daerah penampungan sementara (transit) dan juga sebagai daerah
tujuan trafiking. Disisi lain berkaitan dengan posisi geografis daerah Sumatera Utara
5
Edy Ikhsan dkk, Rencana Aksi Propinsi Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan
dan Anak, Yayasan Pusaka Indonesia, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Medan, 2005.hal 91
6
Departemen Luar Negeri AS : Laporan mengenai Perdagangan Manusia [Bagian III],
yang strategis dan mempunyai aksesibilitas tinggi ke jalur perhubungan dalam dan
luar negeri serta kondisi perkembangan daerah Sumatera Utara yang cukup baik di
berbagai bidang. Dari 28 Kabupaten/Kota se Sumatera Utara, yang teridentifikasi
daerahnya rawan trafficking sebanyak 12 Kabupaten Kota, antara lain : Medan,
Binjai, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Asahan, Batu Bara, Tanjung Balai, Langkat,
Tebing Tinggi, Labuhan Batu, Pematang Siantar dan Simalungun. 7
Klasifikasi yang termasuk daerah Sumber : Medan, Deli Serdang, Serdang
Bedagai, Simalungun, Binjai, Pematang Siantar, Asahan, Batu Bara, Tanjung Balai,
Langkat, Tebing Tinggi, Labuhan Batu. Daerah Transit: Medan, Deli Serdang,
Serdang Bedagai, Asahan, Batu Bara, Tanjung Balai dan Kabupaten Labuhan Batu.
Daerah Tujuan/Penerima : Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Tebing Tinggi
dan Simalungun.8
Menurut keterangan dari Kompol Fransisca Munthe selaku Kanit Pelayanan
Perempuan dan Anak Polda Sumut, bahwa bentuk praktek Trafficking yang ditangani
di Sumatera Utara diantaranya adalah trafficking untuk prostitusi/pelacuran,
perdagangan bayi, pekerja rumah tangga, pekerja jermal dan penipuan buruh migran,
namun dari sejumlah data dan bentuk praktek trafficking yang berkembang sebagian
besar kasusnya adalah untuk pelacuran, mulai dari trafficking domestik maupun lintas
7
Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Op cit, hal 18
8
Pusat Kajian dan Perlindungan Anak – IOM International Organization for Migran,
negara. Sebagai contoh kasus pada bulan Januari tahun 2009 yang dilaporkan oleh
seorang bapak bernama TOGU PANJAITAN, melaporkan anaknya sudah menjadi
korban tindak pidana perdagangan orang (trafficking), bahkan telah meninggal dunia
dan dikubur di negara Malaysia, dimana korban anaknya ROMATUA usia 16 thn,
alamat Jalan H.M Joni Medan Kelurahan Medan Amplas, telah ditipu oleh
tetangganya sendiri yang bernama SANTI, korban Romatua ditawari pekerjaan
sebagai pelayan Restaurant di negara Melaysia dengan gaji besar, namun hanya
beberapa bulan saja Romatua bekerja di negara Malaysia, datang kabar bahwa
Romatua sudah meninggal dunia, Romatua dikabarkan kena suatu penyakit menular
yang membahayakan dan karena itu korban Romatua harus dikuburkan segera di
negara Malaysia, karena Pelapor TOGU PANJAITAN dalam kondisi kesulitan
ekonomi dan minimnya informasi kemana harus mengadukan permasalahan tersebut,
pelapor baru mengetahui setelah ada surat dari negara Malaysia untuk penguburan
anaknya dengan alasan anaknya jatuh sakit dan meninggal dunia dirumah sakit,
pihak yang membawa anaknya atau pelaku memang memberi biaya TOGU
PANJAITAN ke negara Malaysia untuk menyaksikan penguburan anaknya, namun
pelapor merasa kecewa kepada pelaku yang membawa anaknya tersebut ke
Malaysia, karena tidak dari awal memberitahukan bahwa anaknya sedang sakit di
Malaysia, sehingga pelapor dapat bertemu dengan anaknya pada saat masih hidup,
maka Pelapor atas saran pihak keluarga akhirnya membuat pengaduan ke pihak
banyak mendapat kendala, salah satunya kurangnya persamaan persepsi antara aparat
penegak hukum, padahal faktanya korban ROMATUA, usia 16 thn, alm Jalan H.M
Joni Medan Kelurahan Medan Amplas berangkat ke negara Malaysia dengan
menggunakan identitas palsu atau bukan identitas dirinya sendiri, melainkan identitas
atas nama SITI, usia 23 tahun, alamat Jalan Titipanan, Medan Marelan, fakta
hukum ini saja seharusnya sudah dapat menjadi dasar/pedoman untuk menjerat
sipelaku dengan undang-undang No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan tindak
pidana Perdagangan Orang dan menuntut si pelaku sampai ke tingkat persidangan,
namun karena kurangnya persamaan persepsi antara penyidik dengan Jaksa penuntut
umum akhirnya berkas perkara belum bisa maju ke persidangan, tetap saja ada
kekurangan dari pihak Kejaksaan yang harus dipenuhi oleh penyidik, sehingga kasus
tersebut bolak-balik dari pihak Kejaksaan dan sampai sekarang belum dapat dipenuhi
oleh pihak penyidik, ironis sekali disatu pihak pelapor sudah kehilangan anaknya,
pada saat yang sama pelapor juga belum mendapatkan keadilan dengan
terlaksananya penegakan hukum kepada si pelaku untuk mendapatkan hukuman yang
setimpal dengan perbuatannya. Keadilan yang diharapkan pelapor masih
membutuhkan jawaban yang panjang dan waktu yang lama. 9
Permasalahan seperti contoh kasus diatas sering dialami oleh pihak Kepolisian
sehingga menarik untuk diteliti dan dijadikan bahan analisa, sehingga diharapkan
9
dapat memberikan solusi atau bahan masukan demi tercapainya tujuan dari
penegakan hukum sendiri, yaitu mendapatkan keadilan, dimulai pada saat pelapor
datang ke kantor polisi membuat pengaduan, sampai ke tahap penuntutan dan
persidangan. Data yang telah dihimpun oleh peneliti sejak tahun 2007 Kepolisian
Daerah Sumatera Utara telah menangani kasus tindak pidana perdagangan orang
sebanyak 7 (tujuh) kasus yang terus meningkat sangat cepat di tahun 2008 menjadi
32 (tiga puluh dua) kasus perdagangan orang, namun dari 32 kasus tersebut hanya
19 (sembilan belas ) kasus yang bisa sampai ke persidangan dan memperoleh
putusan hakim, sisanya masih ada 13 (tiga belas) kasus yang belum sampai ke
tingkat penuntutan dikarenakan berbagai macam kendala yang dialami oleh penyidik
untuk melengkapi berkas perkara, antara lain korban dan tersangka masih berada di
negara Malaysia dan tidak diketahui keberadaannya sampai saat ini, kemudian
petunjuk agar menghadirkan alat bukti yang seperti tiket, paspor yang tidak
diketemukan lagi pada korban, dikarenakan sampai di negara tujuan Malaysia,
korban tidak pernah memegang paspor maupun tiketnya, paspor dan tiket tersebut
dipegang oleh Majikan, namun karena Jaksa penutut umum meminta alat bukti
tersebut dihadirkan dan hal tersebut tidak dapat dipenuhi oleh penyidik membuat
berkas perkara tidak bisa dilanjutkan ke persidangan, dan lain sebagainya.10
Salah satu faktor terjadinya trafficking adalah kemiskinan dan pendidikan
rendah. Kondisi seperti ini cenderung dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk
10
kepentingan bisnis dengan memangsa perempuan dan anak, karena mudah
diiming-imingi/bujukan, ditakut-takuti, dibohongi, ditipu, dan pekerja dengan upah murah.
Selain itu terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia menyebabkan perempuan dan
anak cenderung ingin menjadi TKI/TKW ke Luar Negeri, dengan tujuan memperoleh
penghasilan untuk menutupi beban ekonomi keluarga. 11
Disisi lain ada persepsi masyarakat bahwa bekerja ke luar negeri akan
mendapatkan gaji yang relatif lebih besar sekalipun sebagai pembantu rumah tangga,
dibandingkan bekerja di dalam negeri. Kondisi seperti ini selalu dimanfaatkan oleh
sindikat trafficking untuk mengeksploitasi perempuan dan anak dalam posisi
Situasi semacam inilah yang merupakan kesempatan untuk mendapat
keuntungan yang besar bagi sindikat trafficking untuk melakukan perekrutan, bahkan
nyaris jauh dari jangkauan hukum. Biasanya sindikat diawali dengan transaksi utang
piutang antara pemasok/agen tenaga kerja ilegal dengan korban/keluarga. Jika
korban/keluarga tidak mampu untuk menyelesaikan transaksi yang telah disepakati
maka keluarga terpaksa mengorbankan perempuan dan anak untuk pelunasannya,
karena pelakunya selalu melibatkan orang-orang terdekat, kuat, berpengaruh di dalam
masyarakat, seperti keluarga terdekat, tetangga, teman, orang yang
berpengaruh/dipercaya. Oleh karena itu kasus trafficking sulit untuk diketahui dan
11
diberantas, maka perlu tindakan serius dan kontinyu dengan melibatkan seluruh
komponen bangsa untuk memerangi dan memberantasnya.12
Untuk memerangi kejahatan transnasional terorganisir dengan sumber daya
yang kuat seperti itu, diperlukan komitmen Pemerintah yang lebih kuat, bertindak
dengan langkah-langkah yang terencana dan konsisten serta melibatkan jaringan luas
baik antar daerah didalam negeri maupun dengan pemerintah negara sahabat dan
lembaga internasional. Sikap Pemerintah RI sejak Indonesia merdeka tanggal 17
Agustus 1945, perbudakan dan perhambaan telah dinyatakan sebagai tindakan yang
melanggar hukum dan dinyatakan sebagai kejahatan terhadap kemerdekaan
seseorang, sebagaimana termaktub dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wet
boek van Strafrecht) untuk selanjutnya disingkat KUHP.13
Mengingat Fungsi Polri dalam struktur kehidupan masyarakat sebagai
pengayom masyarakat, penegakan hukum, mempunyai tanggung jawab khusus untuk
memelihara ketertiban masyarakat dan menangani kejahatan baik dalam bentuk
tindakan terhadap kejahatan maupun bentuk pencegahan kejahatan agar para anggota
masyarakat dapat hidup dan bekerja dalam keadaan aman dan tentram, khususnya
dalam penegakan hukum bagi pelaku perdagangan orang sebagaimana tercantum
12
Komisi Nasional Perlindungan Anak, Beberapa isu Hukum Kejahatan Perdagangan
Orang, hal 1.
13
dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. (UU PTPPO) 14
Sesuai dengan Pasal 2 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002, Kepolisian
adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan negara dibidang
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakkan hukum,
perlindungan dan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Dan Pasal 14 ayat
(1) huruf (g) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, bahwa Polri bertugas untuk melakukan Penyelidikan dan
Penyidikan terhadap semua Tindak Pidana, termasuk pelaku perdagangan orang.
Peranan Pemerintah Propinsi Sumatera Utara membantu penyidik Polri dalam
upaya penghapusan perdagangan (trafficking) salah satunya dengan mengeluarkan
Perda No. 6 Tahun 2004, tentang Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan
dan Anak dan Peraturan Gubernur Sumatera Utara No. 24 Tahun 2005 tentang
Rencana Aksi Provinsi Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak
dan dalam Peraturan Gubsu tersebut terbentuk Gugus Tugas Rencana Aksi Provinsi
Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak (RAP-P3A),
sebagaimana yang diamanatkan Keputusan Presiden No. 88 Tahun 2002 tentang
14
Kendala Dana Selalu Dijadikan Alasan Polisi untuk Menangani Kasus Trafiking,
Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (trafficking) perempuan dan anak
(RAN –P3A). 15
RAN-P3A tersebut merupakan landasan pedoman bagi Pemerintah dan
Masyarakat dalam melaksanakan Penghapusan Perdagangan (trafficking) Perempuan
dan Anak. Hakekat dan tujuan RAN-P3A adalah untuk :
1) Menjamin peningkatan dan pemajuan atas upaya perlindungan terhadap korban
perdagangan (trafficking) perempuan dan anak.
2) Mewujudkan kegiatan-kegiatan baik yang bersifat preventif maupun represif
dalam upaya melakukan pencegahan dan penanggulangan atas praktek-praktek
perdagangan (trafficking) perempuan dan anak.
3) Mendorong untuk adanya pembentukan dan /atau penyempurnaan peraturan yang
berkaitan dengan tindakan perdagangan (trafficking) perempuan dan anak. Untuk
menjamin terlaksananya RAN-P3A dibentuk satu gugus tugas nasional
sementara untuk menjamin terlaksananya RAN-P3A didaerah dilakukan oleh
gugus tugas daerah.
Pemerintah Propinsi Sumatera Utara telah mengeluarkan Peraturan Gubernur
Sumatera Utara No. 24 Tahun 2005 tentang Rencana Aksi Propinsi Penghapusan
Perdagangan (trafficking) perempuan dan anak (RAP-P3A). Hal terpenting dalam
Peraturan Gubsu tersebut adalah Stakeholders (pihak-pihak terkait) di Provinsi
15
Republik Indonesia, Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 88 Tahun 2002 Tentang
Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak, Kementerian
Sumatera Utara. Dalam upaya penghapusan perdagangan (trafficking) perempuan dan
anak, pihak terkait berperan dan bertanggung jawab sesuai dengan tugas pokok dan
fungsi serta kewenangannya masing-masing.16
Aksi Provinsi Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak
(RAP-P3A) di Sumatera Utara, sangat penting dalam upaya memerangi perbudakan
modern trafficking secara terencana, terintegrasi dengan langkah-langkah untuk
mengatasi akar permasalahan yakni : kemiskinan, kurangnya pendidikan dan
ketrampilan, kurangnya akses kesempatan dan informasi serta nilai-nilai sosial
budaya yang memarginalkan dan mensubordinasikan kaum perempuan, dimana
sebagai penggiat (Focal Point) dari pihak Pemerintah Provinsi Sumatera Utara adalah
Biro Pemberdayaan Perempuan dan Anak serta Keluarga Berencana Sekretariat
Daerah Provinsi Sumatera Utara.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk
membahas : “Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking) oleh
Kepolisian Daerah Sumatera Utara.”
B. Perumusan Masalah
Permasalahannya perlu jelas dan tegas sehingga proses penelitian benar-benar
terarah dan terfokus kepermasalahan yang jelas. Berdasarkan latar belakang tersebut
16
Republik Indonesia, Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 88 Tahun 2002 Tentang
Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak, Kementerian
diatas, jelas bahwa Penanganan tindak pidana Perdagangan Orang (Trafficking) oleh
Kepolisian Daerah Sumatera Utara merupakan hal yang sangat penting dan signifikan
dalam upaya penghapusan perdagangan (Trafficking) di Sumatera Utara. Mengingat
luasnya permasalahan tersebut maka perlu dilakukan perumusan masalah yang
bersifat spesifik, yang dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam
Undang-undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang (PTPPO).
2. Bagaimana Upaya Kepolisian Daerah Sumatera Utara dalam penanganan
Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking).
C. T u j u a n P e n e l i t i a n
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui Upaya Kepolisian
dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (trafficking) dan secara
khusus bertujuan untuk mengetahui :
1. Untuk mengetahui tentang pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang
menurut Undang-undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang (PTPPO).
2. Untuk mengetahui upaya Kepolisian Daerah Sumatera Utara dalam Penanganan
D. M a n f a a t P e n e l i t i a n
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Secara Teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam melatih
diri dan mengembangkan pemahaman dan kemampuan berpikir melalui
penulisan karya ilmiah serta menambah khasanah pengetahuan, wawasan
khususnya yang berkaitan dengan penelitian dibidang hukum dengan
menerapkan pengetahuan dan pengalaman praktis yang diperoleh selama ini.
2. Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan
dan referensi bagi Kepolisian Daerah Sumatera Utara dan masyarakat dalam
melakukan evaluasi terhadap berbagai upaya yang telah dilakukan oleh
Kepolisian Daerah Sumatera Utara untuk Penanganan Tindak Pidana
Perdagangan Orang (Trafficking).
E. K e a s l i a n P e n e l i t i a n
Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh
penulis terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan dan secara khusus di
lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai “Penanganan Tindak
Pidana perdagangan (Trafficking) oleh Kepolisian Daerah Sumatera Utara“ belum
pernah dilakukan dalam pendekatan terhadap permasalahan yang sama, walaupun ada
beberapa topik penelitian tentang perdagangan orang namun pendekatan
suatu kajian ilmiah dan belum pernah dianalisis secara komprehensif dalam suatu
penelitian ilmiah.
Dengan demikian penelitian ini dapat dikatakan penelitian yang pertama kali
dilakukan, sehingga keaslian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Dalam pembahasan mengenai Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(trafficking) oleh Kepolisian Daerah Sumatera Utara, teori utama yang digunakan
adalah teori Lawrence M.Friedman, dalam bukunya yang berjudul “The Legal System
A Social Science Perspective”, menyebutkan bahwa sistem hukum terdiri atas
perangkat struktur hukum, substansi hukum (perundang-undangan) dan kultur hukum
atau budaya hukum. Ketiga komponen ini mendukung berjalannya sistem hukum
disuatu negara. Secara realitas sosial, keberadaan sistem hukum yang terdapat dalam
masyarakat mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat pengaruh, apa yang
disebut dengan modernisasi atau globalisasi baik itu secara evolusi maupun
revolusi.17
Analisis yuridis terhadap perdagangan orang, dapat juga dilakukan melalui
pendekatan legal system (sistem hukum) yang dikemukakan oleh Lawrence M.
Friedman. Sistem Hukum Harus Memuat Substantive Law, Legal Structure, dan
17
Legal Culture. Secara substansi hukum masalah perdagangan manusia diatur dalam
kerangka hukum Internasional dan hukum nasional.
Ketiga komponen ini mendukung berjalannya sistem hukum disuatu negara.
Secara realitas sosial, keberadaan sistem hukum yang terdapat dalam masyarakat
mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat pengaruh, apa yang disebut dengan
modernisasi atau globalisasi baik itu secara evolusi maupun revolusi.18
Menurut Lawrence M.Friedman, tegaknya hukum tergantung kepada budaya
hukum masyarakatnya, sementara itu budaya hukum masyarakat tergantung kepada
budaya hukum anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan,
lingkungan, budaya, posisi atau kedudukan dan kepentingan-kepentingan.19
Menurut Mahmud Mulyadi dalam bukunya “Kepolisian dalam sistem
Peradilan Pidana” bahwa pihak Kepolisian merupakan salah satu komponen
sistem peradilan pidana yang menjadi ujung tombak dalam penanggulangan kejahatan
dan Peranan Kepolisian kelihatannya lebih besar bila dibandingkan dengan
komponen lainnya, sehingga Kepolisian disebut sebagai the gate keeper of Criminal
Justice. 20karena Kepolisian merupakan subsistem yang secara langsung berhubungan
dengan pelaku kejahatan dan masyarakat.
18
Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung : Refika Aditama,2007), hal 26
19
Bismar Nasution, Ekonomi Mengkaji Ulang Hukum sebagai Landasan Pembangunan
Ekonomi, disampaikan pada “Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Hukum Ekonomi
Universitas Sumatera Utara”, (Medan : Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara, 17 April 2004), hal 21.
20
Fungsi Kepolisian (Pasal 2 UU No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
RI ) adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang :
1. Pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, 2. Penegakan hukum,
3. Perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Tujuan Kepolisian RI (Pasal 4 UU No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara RI) adalah mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi :
1. terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, 2. tertib dan tegaknya hukum,
3. terselenggaranya perlindungan, pengayoman, 4. dan pelayanan kepada masyarakat,
5. serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Pasal 5 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, menyebutkan :
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia, menyebutkan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara
Repulik Indonesia adalah :
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Menegakkan hukum;
Pasal 14 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, menyebutkan :
(1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia brtugas :
a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas jalan;
c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
f. melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khususnya penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidna sesuai hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian,kedokteran
kepolisian,laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk membrikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum
ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;
k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian, serta melaksanakan tugas lain sesuai peraturan perundang-undangan.21
Khusus mengenai penyidikan menurut Pasal 6 ayat (1) UU No.8 tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa penyidik
adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan pejabat Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang.
21
Fungsi Kepolisian sebagai Penyelidik dalam Pasal 1 KUHAP ayat 1 dan 4,
menyatakan bahwa kedudukan Polri dalam sistem peradilan pidana adalah sebagai
penyelidik dan penyidik. Pada Pasal 1 ayat 4 KUHAP dinyatakan bahwa penyelidik
adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk melakukan penyelidikan. Yang dimaksud dengan penyelidikan dalam
pasal ini adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan
suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau
tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam KUHAP.22
Penyelidikan bukanlah fungsi tersendiri yang terpisah dari penyidikan, tetapi
hanya merupakan salah satu cara atau metode dari fungsi penyidikan yang
mendahului tindakan lain yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan,
penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan,
penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada Penuntut Umum.23
Latar belakang dibuatnya fungsi penyelidikan antara lain adanya perlindungan
dan jaminan terhada hak asasi manusia, adanya persyaratan dan pembatasan yang
ketat dalam penggunaan upaya paksa, ketatnya pengawasan dan adanya lembaga
ganti kerugian dan rehabilitasi. Tidak semua peristiwa yang terjadi dapat diduga
adalah tindak pidana, maka sebelum melangkah lebih lanjut dengan melakukan
penyidikan dengan konsekuensinya digunakan upaya paksa, dengan berdasarkan data
22
Mahmud Mulyadi, Op Cit , hal 10
23
atau keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan ditentukan terlebih dahulu
bahwa peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu benar-benar
merupakan tindak pidana sehingga dapat dilanjutkan dengan penyidikan.24
Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 (KUHAP) memberikan peran utama
kepada Kepolisian Negara republik Indonesia untuk melaksanakan tugas
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana (secara umum) tanpa batasan lingkungan
kuasa soal-soal sepanjang masih termasuk dalam lingkup hukum publik, sehingga
pada dasarnya Polri oleh KUHAP diberikan kewenangan untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana.25
Istilah penyelidikan dan penyidikan dipisahkan artinya oleh KUHAP
walaupun menurut bahasa Indonesia kedua kata itu berasal dari kata dasar sidik, yang
artinya memeriksa, meneliti. Menurut Pasal 1 UU No.8 tahun 1981 KUHAP yang
dikutip oleh Andi Hamzah bahwa definisi sebagai berikut :
“ Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur menurut undang-undang ini.”
Apakah maksudnya ini sama dengan reserse ? Di dalam organisasi kepolisian justru
istilah reserse ini dipakai. Tugasnya terutama tentang penerimaan laporan dan
pengaturan serta menyetop orang yang dicurigai untuk diperiksa. Jadi penyelidikan
ini tindakan untuk mendahului penyidikan. Kalau dihubungkan dengan teori hukum
24
Ibid, hal 10-11
25
acara pidana seperti dikemukakan oleh Van Bemmelen maka penyelidikan ini
maksudnya ialah tahap pertama dalam tujuh tahap hukum acara pidana, yang berarti
mencari kebenaran.26
Penyidikan suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian
opsporing (Belanda) dan investigation (Inggris) atau penyiasatan atau siasat
(Malaysia). KUHAP Pasal 1 UU No.8 tahun 1981 memberikan definisi sebagai
berikut :
“ Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya.”27
Pengetahuan dan pengertian penyidikan perlu dinyatakan dengan pasti dan
jelas, karena hal itu langsung menyinggung dan membatasi hak-hak asasi manusia.
Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah sebagai
berikut :
1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik.
2. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik. 3. Pemeriksaan ditempat kejadian.
4. Pemanggilan tersangka dan terdakwa. 5. Penahanan sementara.
6. Penggeledahan.
7. Pemeriksaan atau interogasi.
8. Berita acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat) 9. Penyitaan.
10. Penyampingan perkara.
26
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta 2009 hal 119.
27
11. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan.28
Kewenangan yang di miliki oleh Polri ini semata-mata digunakan hanya
untuk kepentingan mencari kebenaran dari suatu peristiwa pidana. Dengan keluarnya
hasil dari penyelidikan tentang tindak pidana perdagangan orang, harus diadakan
penyidikan maka tindakan pertama yang diambil adalah pengumpulan bukti-bukti
untuk membuat terang suatu tindak pidana perdagangan orang dan mencari serta
menemukan pelaku tindak pidana tersebut. Penyidikan terhadap suatu tindak pidana
perdagangan orang adalah suatu proses yang terdiri dari rangkaian tindakan yang
dilakukan penyidik untuk membuat jelas suatu tindak pidana tersebut dan
menemukan pelaku tindak pidana guna diproses sesuai dengan hukum yang
berlaku.29
2. Kerangka Konsepsi
a. Kepolisian Daerah Sumatera Utara adalah Segala hal ikhwal yang berkaitan
dengan fungsi dan lembaga Polisi di Sumatera Utara sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. 30
b. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
28
Ibid
29
Mahmud Mulyadi, Op Cit , hal 17
30
menemukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang.31
c. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan
guna menemukan tersangkanya.32
d. Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang karena diberi
wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam
undang-undang ini.33
d. Polri merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman dan
pelayanan kepada masyarakat.34
e. Tindak Pidana adalah perbuatan manusia yang dilarang oleh undang-undang
ataupun peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku dimana perbuatan
tersebut dapat dipertanggungjawabkan oleh si pelaku. Jadi suatu perbuatan dapat
dikatakan sebagai tindak pidana apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut,
yaitu :
1) Harus merupakan suatu perbuatan manusia;
31
Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 2.
32
Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 2.
33
Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 1.
34
2) Perbuatan tersebut dilarang dan diberi ancaman hukuman baik oleh
undang-undang maupun peraturan perundang-undang-undang-undangan lainnya;
3) Perbuatan tersebut dilakukan oleh orang yang dapat bertanggung jawab
artinya dapat dipersalahkan karena melakukan perbuatan tersebut.35
f. Penanganan adalah proses, cara, perbuatan menangani, penggarapan;36
g. Perdagangan Orang (trafficking) adalah Setiap orang yang melakukan
perekrutan,pengangkutan, penampungan,pengiriman, pemindahan atau
penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain
untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut diwilayah negara Repulik
Indonesia.37
Penanganan Trafficking di Sumatera Utara tidak dapat dipisahkan dari
kebijakan penanganan trafficking di tingkat Nasional. Sebelum dilahirkannya
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pemerintah melalui Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan
Perdagangan (Trafficking) Perempuan Dan Anak. Lahirnya kebijakan Penanganan
35
Satochid.K, Hukum Pidana Bagian Kesatu, Balai Lektur Mahasiswa.
36
Daryanto,S.S.Op Cit, hal 575
37
Trafficking di tingkat Nasional ini tidak terlepas dari perhatian masyarakat
Internasional yang telah menempatkan Indonesia sebagai negara yang cukup banyak
warga negaranya memasok berbagai kebutuhan ketenagakerjaan di berbagai negara.
Dengan lahirnya rencana aksi di tingkat nasional, untuk menjamin
terselenggaranya rencana aksi nasional (selanjutnya disebut RAN-P3A) di seluruh
wilayah Indonesia, maka dibentuklah Gugus Tugas Daerah RAN P3A yang dibentuk
melalui Keputusan Gubernur untuk Pemerintah Provinsi dan Keputusan
Bupati/Walikota untuk Pemerintah Kabupaten/Kota.
Kebijakan Penanganan Trafficking di Sumatera Utara dilakukan dengan
melahirkan regulasi di tingkat daerah berupa produk hukum sebagai berikut :
1. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Pencegahan Dan
Penanggulangan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Bagi Anak;
2. Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Perdagangan
(Trafficking) Perempuan Dan Anak;
3. Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 24 Tahun 2005 Tentang Rencana
Aksi Provinsi Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan Dan Anak;
4. Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 463/1211/K/2002 Tentang
Pembentukan Komite Aksi Provinsi Sumatera Utara tentang Penghapusan
Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak.
Berbagai instrumen hukum di tingkat daerah sebagaimana diuraikan di atas
kesatuan arah kebijakan yang ditempuh oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara
dalam penanganan trafficking khususnya terhadap perempuan dan anak.
G. Metode Penelitian
Metode penelitian digunakan dalam suatu penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah
ialah penalaran yang mengikuti suatu alur berpikir atau logika yang tertentu dan yang
menggabungkan metode induksi (empiris), karena penelitian ilmiah selalu menuntut
pengujian dan pembuktian empiris dan hipotesis-hipotesis atau teori yang disusun
secara deduktif.38 Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif. Metode penelitian yuridis normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal
(doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang
tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang
diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law is decided by the judge
through judicial process).39 Penelitian hukum normatif berdasarkan data sekunder
dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis
normatif-kualitatif.
Adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari
penelitian kepustakaan (library research), sebagai suatu teknik pengumpulan data
dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan perundang-undangan,
38
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Rineka Cipta, 1994), hal. 105.
39
buku-buku, karya-karya ilmiah, bahan kuliah, putusan pengadilan, serta sumber data
sekunder lain yang dibahas oleh penulis. Digunakan pendekatan yuridis normatif
karena masalah yang diteliti berkisar mengenai keterkaitan peraturan yang satu
dengan yang lainnya.
Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan
prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan
hukum dari sisi normatifnya.40 Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum
normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum
normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri. Penelitian hukum ini
dikatakan juga penelitian yang ingin menelaah sinkronisasi suatu peraturan
perundang-undangan, yang dilakukan secara vertikal dan horizontal. Ditelaah secara
vertikal berarti akan dilihat bagaimana hirarkisnya, sedangkan secara horizontal
adalah sejauh mana peraturan perundang-undangan yang mengatur pelbagai bidang
itu mempunyai hubungan fungsional secara konsisten.
1. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Tujuan penelitian deskriptif adalah
menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok
tertentu.41 Deskriptif analitis berarti bahwa penelitian ini menggambarkan suatu
40
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 57.
41