• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : UPAYA KEPOLISIAN DAERAH SUMATERA UTARA

D. Kendala yang dihadapi Polda Sumut dalam menangani TPPO

3. Masalah Kultur Budaya

Pemahaman terhadap kultur budaya menyangkut dua unsur yakni penegak hukum itu sendiri dan masyarakat. Kultur budaya bagi penegak hukum adalah bagaimana sikap perilaku penegak hukum itu dalam menegakkan hukum sehari-hari berdasarkan aturan hukum secara profesional, sedangkan kultur budaya masyarakat adalah aktualisasi dari bentuk pemahaman serta aktualisasi masyarakat dalam menyatakan sikap terhadap aturan-aturan hukum itu.135

Budaya dan ideologi bukan satu hal yang turun dari langit. la di bentuk oleh manusia dan disosialisasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dalam budaya

135

kita, seperti juga di banyak negara lain, budaya patriarki masih sangat kental, dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan terlebih lagi dalam budaya, keadaan ketimpangan, asimetris dan subordinatif terhadap perempuan tampak sangat jelas, dalam kondisi yang seperti itu proses marjinalisasi terhadap perempuan terjadi pada gilirannya perempuan kehilangan otonomi atas dirinya. Eksploitasi serta kekerasan terjadi terhadap perempuan, baik di wilayah domestik maupun publik. Dalam situasi demikian, maka perbedaan, diskriminasi, dan ketidakadilan gender tumbuh dengan suburnya. Meskipun secara formal, dalam UUD 1945, hak laki-laki dan perempuan tidak dibedakan, tetapi dalam kenyataannya sangat berbeda.136

Kendala dari sisi kultur budaya dalam penerapan UU PTPPO sangat kental sekali terutama yang dialami oleh Penyidik di Kepolisian Daerah Sumatera Utara antara lain :

1. Kesediaan korban dalam memberikan informasi yang sebenarnya terjadi, sangat kurang padahal informasi tersebut sangat membantu penyidik untuk mengungkap pelaku atau jaringan tindak pidana perdagangan orang, hal ini dikarenakan korban merasa malu, merasa tabu dan kejadian itu merupakan aib keluarga yang tidak bisa diceritakan kepada orang lain.

136

Erna Sofyan Syukrie, Pemberdayaan perempuan dalam pembangunan berkelanjutan,www. Kultur budaya, tanggal 18 Agustus 2010, pukul 20.00 Wib.

2. Menganggap kasus tindak pidana perdagangan orang yang mengakibatkan eksploitasi seksual (prostitusi) adalah masalah / kasus susila yang ringan, padahal TPPO termasuk kualifikasi kasus serious crime.

3. Menganggap perempuan itu kaum yang lemah, mudah ditakut-takuti, tidak perlu pintar, cukup tahu urusan dapur saja, akibatnya banyak kaum perempuan itu menjadi budak kaum laki-laki, sehingga itu sudah membudaya bagi korban TPPO yang berasal dari pedesaan atau pinggiran kota, sehingga korban TPPO menolak kasusnya untuk diproses oleh penyidik.

Menurut Ibu Emmy Suryana Lubis selaku Staf Biro Pemberdayaan Perempuan, Anak dan Keluarga Berencana Propinsi Sumatera Utara bahwa kendala keterbatasan sumber daya, keahlian dan kewenangan masing-masing instansi adalah salah satu alasan mengapa perlu dibangun forum yang mempertemukan masing- masing instansi terkait dan jika perlu melibatkan lembaga non pemerintah yang mempunyai keahlian dan sumber daya yang tidak dimiliki oleh instansi pemerintahan. Sebagaimana yang diamanatkan dalam UU PTPPO pasal 58 ayat 2, telah dikeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No.69 tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang pada tanggal 6 Nofember 2008.

Gugus Tugas adalah lembaga koordinatif yang beranggotakan wakil dari pemerintah, penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi dan peneliti/akademisi yang mempunyai tugas :

b. melaksanakan avokasi, sosialisasi, pelatihan dan kerja sama nasional dan internasional.

c. memantau perkembangan pelaksanaan penegakan hukum dan d. melaksanakan pelaporan dan evaluasi.137

Berdasarkan hasil penelitian fakta yang terjadi di lapangan tidak mudah menerapkan seperti dituangkan UU PTPPO yang menjelaskan bahwa, kerjasama lintas sektor pemerintah atau non pemerintah diharapkan terjalin dalam penanganan korban TPPO, namun masih banyak kendala dengan alasan yang klasik yaitu birokrasi antara lain :

a. Korban pada saat dirujuk untuk visum di Rumah Sakit Pemerintah masih dikenakan biaya Visum Et Repertum ;

b. Belum adanya shelter milik Pemprov Sumut untuk korban trafficking ;

c. Untuk kepentingan pemulangan saksi dan / atau korban dari luar negeri masih ditemukan saling lempar siapa yang tanggung jawab antar instansi Pemerintah ; d. Untuk menyediakan bantuan pemberdayaan ekonomi masih juga belum ada yang mau bertanggung jawab guna menyokong kehidupan sehari-hari dari korban, karena banyak korban tidak berpenghasilan, sehingga harus ada solusi untuk penghidupan yang layak setelah apa yang dialaminya selama kondisi eksploitatif, guna mencegah korban untuk diperdagangkan kembali.

137

Emmy Suryana Lubis, Staf Biro PPA dan KB Pemprov Sumut, Wawancara pada tanggal 19 Agustus 2010 di Kantor Gubsu, pukul 11.00 Wib.

e. Dalam penegakan hukum khususnya apabila pelaku/traffikers adalah warga negara Asing, maka Polri di KBRI menugaskan Senior Liaison Officer (SLO) untuk menjadi penghubung dalam penangan kasus TPPO, namun faktanya sudah banyak pelaku / traffikers warga negara asing misalnya negara Malaysia, Hongkong, yang penyidik laporkan ke SLO dan Interpol, sebagai penghubung untuk melakukan kerjasama antar penegak hukum diluar negeri, namun pelaku / traffikers tersebut masih bebas berkeliaran di negaranya, seolah-olah tidak tersentuh dengan hukum dinegaranya, hal ini diketahui penyidik setelah kembali jatuh korban TPPO dengan pelaku / traffikers yang sama.

f. Kebutuhan untuk menjalin kerjasama antara sesama penyidik yang berada di daerah. Berangkat dari keberadaan jaringan perdagangan orang yang berada di daerah asal, transit dan tujuan. Kerjasama dengan kepolisian setempat bisa membantu mempercepat proses penyelidikan dan penyidikan.

g. Pada tahap penuntutan, kebutuhan untuk membangun jejaring dengan stakeholder yang bisa memberikan bantuan hukum bagi korban. Korban sebaiknya didampingi oleh pendamping maupun pengacara yang memiliki perspektif kepentingan terbaik bagi korban. Hal ini dapat mempertajam tuntutan jaksa yang berpihak kepada korban,antara lain tuntutan akan pemberian hak

restitusi bagi korban dan hukuman yang sesuai dengan penderitaan yang dialami korban.138

Beberapa alasan mengapa menjalin kerjasama dengan semua pihak yang bergerak di penanganan kasus TPPO merupakan hal yang penting, diantaranya adalah adanya keterbatasan setiap institusi baik secara kewenangan dalam hukum atau keahlian profesional yang dibutuhkan penanganan kasus secara komprehensif dan terpadu, serta karakteristik TPPO yang kompleks (misalnya kejahatan lintas wilayah, lintas negara) membutuhkan penanganan yang tidak biasa (extradionary). Oleh karena itu kebutuhan akan kerjasama tidak dapat dihindari. Kerjasama lintas sektor antar pemerintah maupun non pemerintah ini pada dasarnya bertujuan untuk memberikan kembali hak-hak korban yang direnggut dalam kasus perdagangan orang, termasuk juga penegakan hukumnya. 139

Tindak Pidana Perdagangan Orang merupakan kejahatan yang serius terhadap kehidupan manusia dan kemanusiaan, mengingat kasus perdagangan orang semakin hari semakin luas dan semakin rumit modus operandinya. Cakupan korban dalam perdagangan orang, tidak hanya mencakup perempuan saja seperti kecenderungan masa lampau, akan tetapi juga sudah mencakup anak-anak dibawah umur. Modus operandinya juga semakin canggih dan rumit (Complicated) yang dikaitkan secara intensif dengan pasar perdagangan seks internasional dan perdagangan tenaga kerja

138

IOM International Organization for Migration, Op Cit hal 77

139

ilegal. Operasi tersebut dilakukan melalui jaringan kejahatan Internasional yang terorganisasi (transnational organized crime) dengan motif yang kaitannya terutama bersifat keuntungan ekonomis, tetapi bisa juga mempunyai motif yang lebih terselubung dalam kaitannya dengan keamanan (security). Karena posisi geografis dan demokratis, maka Indonesia khususnya wilayah Sumatera Utara rentan menjadi daerah asal, transit dan tujuan perdagangan orang. 140

140