• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pengaturan Tindak Pidana perdagangan Orang menurut Undang-undang No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang tercantum dalam Pasal 2, 3, 4, 5, dan 6 UU PTPPO adalah suatu perbuatan yang meliputi tiga komponen utama yaitu pertama elemen tindakan/aktivitas, Kedua elemen cara dan yang Ketiga adalah elemen tujuan/maksud dan Perdagangan Orang merupakan suatu kejahatan yang serius terhadap kehidupan manusia dan kemanusiaan, Modus Operandinya juga semakin canggih dan rumit, yang dikaitkan secara intensif dengan pasar perdagangan seks internasional dan perdagangan tenaga kerja ilegal. Pertanggung jawaban TPPO pada dasarnya berdasarkan asas kesalahan (schuld) berupa kesengajaan. Kesengajaan dengan tujuan/maksud dalam tindak pidana perdagangan orang yaitu pada saat pelaku (dader) menghendaki akibat dari perbuatannya yaitu eksploitasi, misalnya eksploitasi seksual (prostitusi) ini sudah merupakan tujuan (srekking) atau maksud (oogmerk) dari pelaku, dan mengenai sanksi pidana dalam UU PTPPO menerapkan ancaman pemidanaan bersifat kumulatif, jadi pemidanaannya tidak hanya pidana penjara, tetapi juga pidana denda, sanksi pidana minimal 3 (tiga) tahun maksimal 15 (maksimal) tahun serta

sanksi denda paling sedikit Rp. 120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) kemudian TPPO juga menerapkan sanksi pemidanaan dengan pemberatan apabila mengakibatkan masalah fisik dan mental korban, korban adalah seorang anak, serta apabila pelaku TPPO adalah seorang penyelenggara negara dan koorporasi.141

2. Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang di Kepolisian Daerah Sumatera Utara dilakukan oleh Penyidik di Direktorat Reserse Kriminal Satuan Pidana Umum, yaitu Unit Pelayanan Perempuan dan Anak dengan melakukan tindakan terlebih dahulu Penyelidikan dan Penyidikan, guna diproses sesuai dengan hukum yang berlaku dan menjerat pelaku tersebut dengan Undang- undang No.21 tahun 2007 tentang PTPPO. 142 Kendala yang dihadapi Kepolisian Daerah Sumatera Utara selaku penyidik dalam penanganan tindak pidana perdagangan orang meliputi Pertama kendala Yuridis (Undang-undang), dalam penerapan Pasal 48,49 UU PTPPO yang terkesan mandul dikarenakan korban dalam memperoleh restitusi atau ganti kerugian atas penderitaan yang dialami akibat TPPO, harus membawa bukti-bukti kerugian yang dideritanya akibat eksploitasi yang dialaminya sebagai dasar mendapatkan restitusi (kwitansi/bon, pengeluaran-pengeluaran lainnya), lalu bukti-bukti tersebut

141

IOM International Organization for Migration, Op Cit hal 60

142

harus dilampirkan bersama berkas perkaranya (penjelasan pasal 48 UU PTPPO) sedangkan korban TPPO pada dasarnya tidak dapat memenuhi bukti-bukti tersebut, karena untuk melayani seorang laki-laki “hidung belang” (Istilah di Malaysia “Kong”) tidak pernah memakai kwitansi/bon, hal itulah yang menjadi bumerang bagi korban sehingga restitusi tidak dapat dilaksanakan, korban tidak pernah berurusan soal pembayaran dari tamu-tamu yang dilayaninya, semua sudah diatur oleh “mami” (Mucikari) bahkan pengeluaran-pengeluaran selama hidup dalam “penyekapan mami” sudah menjadi utang yang harus dibayar oleh korban, dan semua bukti-bukti pengeluaran tersebut dipegang oleh mami, akibatnya korban yang datang melaporkan kasusnya kepada kepolisian tidak pernah dapat membawa bukti-bukti seperti yang diminta oleh UU PTPPO,143 selanjutnya Pasal 1 UU PTPPO tidak membedakan antara definisi perdagangan anak dengan perdagangan orang (dewasa), sehingga dikhawatirkan ada peluang bagi aparat penegak hukum akan menggunakan definisi perdagangan orang (dewasa) sama dengan definisi perdagangan anak, karena menurut pasal 17 UU PTPPO pelaku tindak pidana perdagangan orang jika dilakukan terhadap anak, ancaman pidananya diperberat ditambah 1/3 (sepertiga), dengan tidak dibedakannya tersebut akhirnya ada peluang bagi pelaku TPPO hanya mendapatkan sanksi pidana pokok saja, selanjutnya dalam Pasal 10 UU PTPPO

143

Sofyan, Direktur Pusat Kajian dan Perlindungan Anak di Medan, Wawancara tanggal 19 Agustus 2010, pukul 11.00 Wib.

yang tidak membedakan ancaman hukuman bagi pelaku utama dengan yang membantu melakukan, kadangkala orang yang membantu disuruh merekrut adalah awalnya juga korban dari jaringan perdagangan orang, hal ini terjadi pada kasus-kasus TPPO yang melibatkan siswi-siswi SMU/SMP, dimana SMU/SMP yang awalnya adalah korban TPPO, kemudian oleh pelaku utama disuruh untuk mencari korban anak lainnya, dengan iming-iming uang yang besar, sehingga akhirnya siswi SMU/SMP merasa tertarik dan mencari korban sebaya dirinya, menurut UU PTPPO ancaman hukuman kepada siswi SMU/SMP yang membantu adalah sama dengan pelaku utama, padahal peran masing-masing pelaku sangat jauh berbeda. Kedua Lemahnya koordinasi antar aparat penegak hukum, antara lain dalam Pasal 30 UU PTPPO yang menjelaskan bahwa sebagai alat bukti yang sah keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa tersangka bersalah, apabila disertai dengan satu alat bukti yang sah lainnya, namun hal ini belum dapat dipraktekkan karena faktanya banyak saksi-saksi bahkan petunjuk-petunjuk yang harus dipenuhi oleh Penyidik yang diminta oleh Jaksa Penuntut Umum sehingga membuat banyak kasus TPPO tidak sampai ke tingkat Pengadilan, akhirnya tersangka harus dilepaskan mengingat masa penahanannya sudah habis, kemudian masih kurangnya kualitas penyidik terutama yang bertugas di Polres dan Polsek, serta kurangnya sarana dan prasarana yang cukup dan memadai dimana hal tersebut memegang peranan penting dalam rangka

penegakan hukum Ketiga masalah kultur budaya antara lain kurangnya kesediaan korban untuk memberikan informasi yang lengkap dikarenakan merasa malu (aib), tabu untuk menceritakan kejadiannya kepada orang lain, atau korban masih merasa trauma dengan kejadian yang dialaminya, kemudian masih ada anggapan kasus tindak pidana perdagangan orang yang mengakibatkan eksploitasi seksual (prostitusi) adalah masalah / kasus asusila yang ringan, padahal TPPO termasuk kualifikasi kasus serious crime, serta adanya anggapan bahwa perempuan itu kaum yang lemah, mudah ditakut- takuti, tidak perlu pintar, akibatnya banyak kaum perempuan itu menjadi budak kaum laki-laki, dan itu sudah membudaya bagi korban TPPO yang berasal dari pedesaan atau pinggiran kota, sehingga mengakibatkan banyak korban TPPO menolak kasusnya untuk diproses oleh Kepolisian.