• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : UPAYA KEPOLISIAN DAERAH SUMATERA UTARA

C. Penanganan TPPO di Polda Sumut

2. Upaya Represif

Upaya represif adalah merupakan suatu usaha yang lebih bersifat pada penindakan/pemberantasan setelah tindak pidana perdagangan orang itu terjadi. Menurut Kompol Fransisca Munthe SH, bahwa upaya represif yang dilakukan oleh Kepolisian Daerah Sumatera Utara dalam rangka penanganan Tindak pidana perdagangan orang dalam wilayah hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara adalah : a. Menangkap pelaku perdagangan orang (trafficking)

Penanganan Tindak Pidana perdagangan Orang di Kepolisian Daerah Sumatera Utara dilakukan oleh Penyidik yang berada di Direktorat Reserse Kriminal Satuan Pidana Umum, yaitu Unit Pelayanan Perempuan dan Anak melalui upaya penyelidikan dan penyidikan guna tercapainya penegakan hukum dengan menangkap pelaku tindak pidana perdagangan orang, dan menjerat pelaku perdagangan orang dengan Undang-undang No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana perdagangan Orang. Hasil akhir dari penegakan hukum adalah tercapainya rasa keadilan, karena itu dengan guidlines yang sama bagi penegak hukum, diharapkan

101

“rasa keadilan“ dalam penegakan hukum tindak pidana perdagangan orang dapat diwujudkan melalui proses peradilan yang baik, tegas dan konsisten.102

Proses penegakan hukum pidana termasuk kepada kejahatan TPPO melalui suatu sistem yang terdiri dari empat tahap proses yaitu :

(1) Tahap Penyelidikan / Penyidikan (2) Tahap Penuntutan

(3) Tahap Pemidanaan dan

(4) Tahap Pelaksanaan / Eksekusi.103

Salah satu proses hukum yaitu Laporan, pengaduan atau tertangkap tangan mengenai dugaan telah terjadi tindak pidana perdagangan orang di wilayah hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara kemudian pihak Kepolisian melakukan penyidikan terhadap orang yang diketahui sedang atau telah melakukan tindak pidana perdagangan orang, bila terbukti melakukan tindak pidana perdagangan orang pelaku ditangkap untuk diproses penegakan hukum yang lebih lanjut.

Kekhususan penanganan kasus TPPO di Kepolisian Negara Republik dimana menurut Pasal 45 UU PTPPO bahwa untuk melindungi saksi dan/atau korban disetiap propinsi dan kabupaten/kota wajib dibentuk ruang pelayanan khusus pada kantor

102

Sitiani Purba, Perwira Unit Perlindungan PPA Polda Sumut, wawancara 10 Agustus 2010, pukul 12.00 Wib.

103

kepolisian setempat guna melakukan pemeriksaan ditingkat penyidikan bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang. 104

Tertangkapnya pelaku tindak pidana perdagangan orang tersebut diharapkan memberikan efek jera khususnya bagi pelaku sendiri dan menimbulkan rasa takut bagi masyarakat agar tidak mau melakukan praktek perdagangan orang lagi. Namun kenyataannya dalam pemberantasan perdagangan orang sering kali pihak Kepolisian Daerah Sumatera Utara menemui kendala dalam menangkap pelaku yaitu ada kalanya pelaku berada di luar negeri sehingga masih banyak pelaku yang belum terjerat hukum dikarenakan pelaku tidak diketahui alamatnya di luar negeri, hal inilah yang menjadi salah satu kendala sehingga pelaku tindak pidana perdagangan orang sering lolos dari jeratan hukum.

Penanganan kasus Perkara trafficking di Polda Sumut, biasanya korban trafficking setelah dilakukan Penyelidikan dan penyidikan105 kemudian korban

104

Pasal 45 Peraturan Kapolri Unit PPA

105

Pasal 7 KUHAP :

(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya

mempunyai wewenang : a. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;

b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;

g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i. mengadakan penghentian penyidikan;

j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Pasal 106 KUHAP : Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinyasuatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan.

dilakukan visum di Rumah Sakit Pemerintah, kemudian korban akan di arahkan kepada Biro Pemberdayaan Perempuan, Anak dan Keluarga Berencana Setdaprovsu, dengan perlindungan yang diberikan :

a. Pelayanan kepada korban, termasuk perlindungan identitas korban.

b. Pelayanan pendamping dalam rangka mengungkapkan pandangan dan kepentingan korban agar dapat turut dipertimbangakan oleh pengadilan.

c. Upaya pemulihan fisik, psikologi dan sosial korban, termasuk didalamnya penyediaan pelayanan kesehatan, konseling, psikologis dan materiil, pelatihan dan pendidikan, sesuai umur dan jenis kelamin korban. Terhadap anak-anak secara khusus dengan memperhatikan pemeliharaan dan pendidikan.

d. Upaya keselamatan fisik korban dan pemulangan korban ketempat wilayah domisili asalnya dengan mempertimbangkan status tuntutan hukum yang diajukan berkenaan dengan kondisinya sebagai korban trafficking.106

Hal ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 24 Tahun 2005 tentang Rencana Aksi Propinsi Penghapusan Perdagangan (trafficking) perempuan dan anak dan untuk pembiayaan penyuluhan dan biaya pemulangan korban dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah (Pasal 7 angka 1 dan 2).

106

Peraturan Gubernur Sumatera Utara No.24 Tahun 2005, Tentang Rencana Aksi Propinsi Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan Dan Anak.

Penanganan korban dalam pelaksanaannya diperlukan adanya koordinasi107 antara Biro Pemberdayaan Perempuan,Anak dan Keluarga Berencana Setdaprovsu dengan Polri sebagai Unit Pelayanan Perempuan yang bertugas memberikan pelayanan, dalam bentuk perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan. 108

Indikasi telah terjadi TPPO di wilayah Poda Sumatera Utara, maka penyidik harus dimulai untuk memastikan adanya bukti permulaan yang cukup dan untuk memulai penyidikan, kiranya tidak harus selalu diperlukan adanya laporan atau pengaduan resmi dari korban, karena seringkali kasus-kasus TPPO di wilayah Sumatera Utara ini, keberadaan korban masih di negara Malaysia sehingga tidak dapat hadir di kantor Polisi, sehingga yang datang mengadu adalah pihak keluarga atau tetangga. Polri dalam menangani korban TPPO membedakan proses penyidikan dengan korban kejahatan lainnya.109

Pasal 15 PP No. 9 tahun 2008 ayat (1) menyatakan dalam hal saksi dan/atau melaporkan kepada kepolisian terdekat, maka petugas kepolisian wajib menempatkan saksi dan/atau korban pada ruang pemeriksaan khusus yang tersedia.

Untuk keperluan tersebut Kapolri menerbitkan :

107

Peraturan Kapolri Nomor “ 10 Tahun 2007 tentang organisasi dan tata kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) di lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selanjutnya disingkat Peraturan Kapolri Unit PPA. Pasal 10 : dalam melaksanakan tugas, Kanit PPA wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi dan sinkronisasi, baik antar satuan organisasi lain yang terkait dengan tugasnya.

108

Pasal 3 Peraturan Kapolri Unit PPA.

109

1). Peraturan Kapori No.10 tahun 2007 pada tanggal 6 Juli 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak di lingkungan Kepolisian Republik Indonesia.

a. Unit PPA adalah unit yang bertugas memberikan pelayanan dalam bentuk perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan dan melakukan tugas penegakan hukum.

b. Unit ini wajib dibentuk pada satuan Reserse Kriminil Umum pada Bareskrim Mabes Polri, Satreskrim, Polres hingga Polsek-polsek tertentu.

2). Peratuan Kapolri No.3 tahun 2008 tanggal 22 Mei 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) dan pemeriksaan Saksi dan/atau korban tindak pidana.

a. RPK adalah ruangan yang aman dan nyaman yang diperuntukkan khusus bagi perempuan yang menjadi saksi dan/atau korban kejahatan, termasuk TPPO, yang kondisinya patut diperlakukan atau perlu perlakuan khusus dan perkaranya sedang ditangani kepolisian.

b. RPK memudahkan korban menyampaikan laporannya karena petugas polisi terdiri dari polwan-polwan yang telah dilatih sehingga lebih tahu cara menghadapi korban dan menjamin bahwa mereka akan diperlakukan sepantasnya serta akan menanggapi laporan korban secara serius (empati).

Berdasarkan dua Peraturan Kapolri (No.10 tahun 2007 dan No.3 tahun 2008) tersebut, setiap unit PPA wajib memiliki Ruang Pelayanan Khusus (RPK) dan Unit PPA wajib dibentuk pada satuan Reserse Kriminil Umum pada Bareskrim mabes Polri, Satreskrim Polwil, Polres hingga Polsek-polsek tertentu.110

Hasil penelitian bahwa Unit PPA di wilayah Polda Sumut baru ada sampai ditingkat Kabupaten/Kota dan belum dibentuk ditingkat polsek seperti yang diamanatkan UU PTPPO, sehingga jumlah RPK pun belum sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini dipandang sebagai masalah serius karena kebanyakan kasus-kasus TPPO yang seharusnya menjadi wewenang Unit PPA justru terjadi ditingkat bawah kabupaten/kota dan disinilah keberadaan RPK dibutuhkan.111

Menurut keterangan dari Kompol Fransisca Munthe,SH selaku Kepala Unuit Pelayanan Perempuan dan Anak Polda Sumatera Utara bahwa Unit Pelayanan Perempuan dan anak yang terdiri dari 11 (sebelas) Polwan yang telah dilatih untuk memiliki rasa empati yang besar terhadap saksi dan/atau korban kejahatan termasuk TPPO dimana unit PPA Polda Sumut memiliki kewenangan khusus berdasarkan Perkap No.10 tahun2007 yaitu :

a. Memberi konseling

b. Mengirim korban ke PPT atau RS terdekat. c. Melaksanakan penyidikan perkara

110

Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan RI, Op Cit hal 25

111

Sitiani Purba, Perwira Unit Perlindungan PPA Polda Sumut, Wawancara tanggal 10 Maret 2010, pukul 11.00 Wib.

d. Meminta visum

e. Memberi info perkembangan kasus f. Menjamin kerahasiaan dan keselamatan g. Mengadakan koordinasi lintas sektoral h. Membuat laporan sesuai prosedur.112

Hal saksi dan/atau korban beserta keluarganya yang mendapatkan ancaman sehingga dapat membahayakan diri, jiwa dan/atau hartanya, Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib memberikan perlindungan, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara (pasal 47 UU PTPPO). Tugas Polri lebih rinci diatur dalam pasal 13,14 dan 15 PP No.9 tahun 2008 tentang Tata Cara dan mekanisme Pelayanan Terpadu bagi saksi dan/atau korban TPPO.113

Prinsip perlakuan yang wajar dan manusiawi (proper and respectfal treatment) harus selalu dipegang teguh bagi penyidik kasus perdagangan orang. Perlakuan dan penanganan korban TPPO, mensyaratkan keahlian khusus bagi penyidik dalam melakukan pemeriksaan dan memberikan perlindungan saksi/korban. Terutama mencegah agar tidak terjadi re-viktimisasi terhadap korban, khususnya dalam kasus perdagangan orang untuk tujuan pelacuran atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya. Riwayat hidup korban, stigma pribadi serta riwayat pekerjaan korban, tidak boleh digunakan untuk memojokkan korban atau

112

Fransisca Munthe, Kanit PPA ReskrimPolda Sumut, Wawancara pada tanggal 15 Maret 2010 di Polda Sumut, Pukul 10.00 Wib

113

mengesampingkan laporan korban atau dijadikan landasan untuk menghentikan penyidikan TPPO.114

Khusus mengenai penyidikan menurut Pasal 6 ayat (1) UU No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang.115

Pihak Kepolisian Daerah Sumatera Utara dalam melakukan penyidikan TPPO harus selalu menjalin kerja sama dengan aparat penegak hukum lainnya untuk bertukar informasi dan melakukan invenstigasi bersama, apabila korban diperdagangkan di luar negeri dan jaringan pelaku berada di luar negeri, maka usaha menjalin kerjasama dengan aparat penegak hukum di negara tujuan bisa dilakukan melalui pertukaran informasi atau bahkan melalui mutual legal assistance. Namun demikian usaha-usaha tersebut harus menjamin keamanan dan perlindungan korban.116

Koordinasi dan kerjasama antar penegak hukum sangat menentukan keberhasilan tugas terutama dalam menegakkan hukum dan keadilan serta melindungi sekaligus menyelesaikan masalah yang dihadapi korban TPPO. Dari perspektif penegak hukum, koordinasi ini tidak hanya terbatas pada sesama penegak hukum

114

IOM International Organization for Migration, Op Cit hal 65

115

Momo Kelana, Memahami Undang-Undang Kepolisian PTIK”Press” (Jakarta 2002), hal 62

116

melainkan juga dengan organisasi/instansi yang bergerak dibidang pendampingan korban. Koordinasi dan kerjasama dapat dilakukan sejak/pada saat :117

1. Tahap Penyelidikan dan Penyidikan

a. Menentukan alat-alat bukti awal (setelah adanya laporan)

b. Menentukan dasar hukum (pasal-pasal UU yang dapat dikenakan kepada calon tersangka)

c. Menyusun Administrasi Penyelidikan dan Penyidikan.

d. Melaksanakan koordinasi awal antara penyidik dan JPU. JPU harus memperhatikan dan menanyakan kondisi korban kepada penyidik dan berusaha menemui apabila kondisi korban membutuhkan (luka parah atau traumatis) agar dapat mengakomodasi keadilan bagi korban saat menyusun penuntutan.

2. Tahap menjelang Pra penuntutan

a. Koordinasi antara Penyidik dengan JPU dalam rangka membahas perkembangan kasus.

b. Penyidik mempersiapkan media bagi korban dengan memperhatikan antara lain perlindungan korban, kondisi psikologis korban (trauma) dan kemungkinan pendampingan korban.

c. Penyidik berkoordinasi dengan JPU apakah ada kemungkinan timbul pasal- pasal baru yang akan dikenakan.

117

d. Penyidik berkoordinasi dengan JPU untuk menentukan kemungkinan terbaik dalam hal pemeriksaan korban terutama penempatan korban sebagai saksi, misalnya apakah Berita Acara Sumpah dianggap sudah cukup untuk pemeriksaan atau harus menggunakan rekaman video dan lain sebagainya.

Menurut keterangan dari Kompol Fransisca Munthe,SH selaku Kepala Unuit Pelayanan Perempuan dan Anak Polda Sumatera Utara bahwa Unit Pelayanan Perempuan dan anak yang terdiri dari 11 (sebelas) Polwan yang telah dilatih untuk memiliki rasa empati yang besar terhadap saksi dan/atau korban kejahatan termasuk TPPO dimana unit PPA Polda Sumut memiliki kewenangan khusus berdasarkan Perkap No.10 tahun2007 yaitu :

a. Memberi konseling

b. Mengirim korban ke PPT atau RS terdekat. c. Melaksanakan penyidikan perkara

d. Meminta visum

e. Memberi info perkembangan kasus f. Menjamin kerahasiaan dan keselamatan g. Mengadakan koordinasi lintas sektoral h. Membuat laporan sesuai prosedur.118

118

Fransisca Munthe, Kanit PPA ReskrimPolda Sumut, Wawancara pada tanggal 15 Maret 2010 di Polda Sumut, Pukul 10.00 Wib

Hal saksi dan/atau korban beserta keluarganya yang mendapatkan ancaman sehingga dapat membahayakan diri, jiwa dan/atau hartanya, Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib memberikan perlindungan, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara (pasal 47 UU PTPPO). Tugas Polri lebih rinci diatur dalam pasal 13,14 dan 15 PP No.9 tahun 2008 tentang Tata Cara dan mekanisme Pelayanan Terpadu bagi saksi dan/atau korban TPPO.119

Prinsip perlakuan yang wajar dan manusiawi (proper and respectfal treatment) harus selalu dipegang teguh bagi penyidik kasus perdagangan orang. Perlakuan dan penanganan korban TPPO, mensyaratkan keahlian khusus bagi penyidik dalam melakukan pemeriksaan dan memberikan perlindungan saksi/korban. Terutama mencegah agar tidak terjadi re-viktimisasi terhadap korban, khususnya dalam kasus perdagangan orang untuk tujuan pelacuran atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya. Riwayat hidup korban, stigma pribadi serta riwayat pekerjaan korban, tidak boleh digunakan untuk memojokkan korban atau mengesampingkan laporan korban atau dijadikan landasan untuk menghentikan penyidikan TPPO.120

Indikator untuk mengenali kasus-kasus TPPO yang dapat digunakan sebagai dasar dalam menentukan apakah seseorang berpeluang menjadi korban antara lain adalah :121

119

Ibid

120

IOM International Organization for Migration, Op Cit hal 65

121

Cari informasi apakah orang tersebut :

a. Tidak menerima upah sebagai imbalan bagi pekerjaan yang dilakukannya atau dibayar hanya untuk sejumlah kecil dari yang seharusnya diterima;

b. Tidak dapat mengelola sendiri upah yang ia terima atau harus menyerahkan sebagian besar upah kepada pihak ketiga. Pihak ketiga ini bisa saja seorang perantara, agen, majikan, atau dalam hal perdagangan orang untuk bisnis pelacuran, pengelola bordil atau mucikari;

c. Adanya jeratan utang : calon korban berkewajiban untuk membayar sejumlah uang (dengan jumlah yang berlebihan) kepada pihak ketiga (misalnya sebagai pengganti biaya “rekrutmen”, “jasa perantaraan”, perolehan surat-surat identitas diri, biaya perjalanan,makanan, akomodasi, pakaian atau perlengkapan kerja yang seharusnya diterimakan kepadanya dan/atau sebelum ia diperbolehkan berhenti atau meninggalkan pekerjaan tersebut;

d. Pembatasan atau perampasan kebebasan bergerak : tidak diperbolehkan meninggalkan tempat kerja atau penampungan untuk jangka waktu lama atau meninggalkan tempat tersebut tanpa didampingi orang lain atau ditempatkan dibawah pengawasan terus menerus;

e. Tidak diperbolehkan/dilarang (dengan ancaman/kekerasan) berhenti bekerja; f. Isolasi/pembatasan kebebasan untuk mengadakan dan memelihara kontak

g. Ditahan atau tidak diberikannya pelayanan kesehatan, makanan yang memadai, dan lain-lain;

h. Pemerasan atau ancaman pemerasan terhadap keluarga atau anak-anaknya jika ia tidak menuruti kehendak majikan atau menunjukkan sikap membangkang; i. Ancaman penggunaan kekerasan;

j. Ditemukan tanda-tanda kekerasan fisik;

k. Diharuskan bekerja dalam kondisi yang sangat buruk dan/atau harus bekerja untuk jangka waktu kerja yang sangat panjang;

l. Tidak membayar sendiri atau mengurus sendiri perjalanan, visa, paspor dan lain-lain;

m. Tidak memegang sendiri surat-surat identitas diri atau dokumen perjalanannya; n. Menggunakan paspor atau surat identitas diri palsu yang disediakan oleh pihak

ketiga.

Indikator khusus berkenaan dengan TPPO untuk tujuan eksploitasi pelacuran :

a. Mendapatkan bagian sangat kecil dari upah yang umumnya dibayarkan dalam bisnis pelacuran;

b. Diharuskan mendapatkan penghasilan dalam jumlah tertentu per hari;

c. Pengelola bordil ataupihak ketiga telah membayar ongkos transfer bagi calon korban dan/atau menyerahkan sebagian dari penghasilan calon korban kepada pihak ketiga;

d. Tempat dimana calon korban dipekerjakan berubah-ubah.122

Indikator-indikator tersebut diatas perlu dijelaskan tidak harus ada terlebih dahulu sebagai dasar untuk memunculkan dugaan atau kecurigaan telah dilakukannya TPPO. Indikator TPPO juga dapat disimpulkan dengan menganalisis uang yang berputar dalam industri tersebut. Indikasi adanya TPPO tidak saja dapat kita peroleh dari keterangan teman-teman atau anggota keluarga calon korban, melainkan juga dari situasi konkrit kehidupan dan pekerjaan korban yang terungkap berkenaan dengan pengawasan oleh petugas departemen tenaga kerja, kunjungan pemeriksaan bordil, penyelidikan/penyidikan oleh aparat kepolisian dan lain-lain.123

Fakta bahwa orang yang berpeluang menjadi korban TPPO setuju atau sepakat menerima jenis pekerjaan tertentu (misalnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau sebagai pelacur/pekerja seks) tidaklah sekaligus berarti bahwa ia tidak mungkin menjadi korban TPPO. Karena persetujuan korban tidak lagi menjadi penting jika cara-cara yang disebutkan dalam pengertian perdagangan orang (misalnya penipuan, kebohongan dan lain-lain) telah terjadi dan dapat dibuktikan adanya maksud atau tujuan eksploitasi, maka seseorang tersebut bisa dikategorikan sebagai korban perdagangan orang. Fakta lainnya adalah, jika seseorang masuk ke dalam wilayah negara lain secara illegal, tidak serta merta mengindikasikan bahwa seseorang tersebut adalah korban TPPO. Masuknya orang secara ilegal apabila bertujuan

122

IOM International Organization for Migration, Op Cit hal 53

123

mendapatkan keuntungan pribadi dan tidak mengalami eksploitasi maka orang tersebut bukanlah korban perdagangan orang. Dalam pengertian perdagangan orang, tidak dijelaskan proses perpindahan seseorang secara legal atau ilegal, hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa seseorang yang masuk secara legal atau mengikuti prosedurpun dapat berpotensi mengalami eksploitasi di negara tujuan.124

Berdasarkan hasil penelitian bahwa korban TPPO yang datang mengadu di Polda Sumatera Utara belum mendapat pelayanan yang maksimal seperti yang dimaksud oleh UU PTTO Pasal 13,14 dan 15 PP No.9 tahun 2008 tentang Tata Cara dan mekanisme Pelayanan Terpadu bagi saksi dan/atau korban TPPO, dimana korban seharusnya mendapat perlindungan dari Kepolisian baik sebelum, selama maupun sesudah proses pemeriksaan perkara, dikarenakan terbatasnya sarana dan prasarana yang dimiliki oleh Unit Pelayanan Perempuan dan Anak yang ada di Polda Sumut, yang mana saat ini belum memiliki sebuah rumah aman bagi korban sesuai yang diamanatkan oleh UU PTPPO dan Ruang Pelayanan Khusus yang berada di Polda Sumut kurang memadai dikarenakan terlalu sempit ruang pemeriksaan yang hanya berukuran 3m x 4m terdapat 3 (tiga) buah meja dengan 6 (enam) orang polwan, sehingga apabila korban tindak pidana perdagangan orang sedang dilakukan wawancara ataupun pemeriksaan, dirinya tidak merasa nyaman dikarenakan perkataannya/ ucapannya didengar oleh banyak orang, sehingga korban merasa engan untuk menceritakan permasalahannya kepada penyidik, karena itu petugas Unit PPA

124

harus bekerja dengan ekstra agar informasi yang didapat mampu membuat terang peristiwa tindak pidana perdagangan orang yang telah terjadi.125

Menurut UU PTPPO setelah dilakukan pemeriksaan korban diamankan disuatu tempat yang alamatnya dirahasiakan untuk menghindari incaran pelaku/trafikers yang kecewa karena korban gagal di perdagangkan, namun karena kembali tidak ada fasilitas rumah yang aman tersebut, akhirnya korban dititipkan sementara kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli terhadap kasus- kasus trafficking sambil menunggu proses penyidikan sampai ke tingkat persidangan, misalnya LSM di wilayah Sumatera Utara yang peduli masalah kasus-kasus trafficking antara lain adalah Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA), Pusaka Indonesia, APIK Medan. 126

Akibat dari korban dititipkan di LSM-LSM tersebut, maka dengan keadaan seperti itu pihak kepolisian tidak dapat melaksanakan perlindungan terhadap korban secara maksimal, karena tugas pengawasan dan perlindungan korban beralih kepada petugas dari LSM itu sendiri, sehingga dengan keterbatasan petugas dari LSM tersebut, ada beberapa kali korban yang lolos dari pengawasan petugas di LSM tersebut, dan sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya dimana, demikian pula terhadap korban-korban TPPO lainnya juga merasa jenuh karena terlalu lama menunggu proses penyidikan sampai ke Pengadilan, mereka hanya menunggu saja

125

Hasil Pengamatan , Proses penyidikan TPPO di Ruang PPA Polda Sumut , 15 Maret 2010, pukul 10.00 Wib.

126

tanpa dibekali sesuatu keahlian atau semacam kursus oleh pihak LSM, sehingga korban memaksa pihak LSM untuk segera memulangkan mereka kembali ke daerahnya.127

Akibat yang timbul setelah korban TPPO pulang padahal proses persidangan belum mulai, pada saat berkas perkara dinyatakan lengkap dan akan dilanjutkan ke Persidangan, korban sudah berada jauh di daerahnya dan enggan untuk datang