• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : PENGATURAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN

A. Pengertian dan Terminologi Tindak Pidana Perdagangan

2. Pertanggung jawaban Pidana

Pertanggung jawaban pidana tindak pidana perdagangan orang pada dasarnya berdasarkan asas kesalahan (schuld) berupa kesengajaan. Berdasarkan teori kehendak (Wilstheori) “ bahwa Kesengajaan adalah apabila akibat sesuatu perbuatan dikehendaki dan bahwa akibat itu menjadi maksud dan tujuan (strekking) dari perbuatan yang dilakukan itu”. Hal ini sesuai dengan maksud dari unsur pasal

67

dalam UU khusus PTPPO ini yang mengantisipasi dan menjerat semua jenis tindakan yang mampu menyediakan landasan hukum materil dan formil, misalnya dalam pasal 2 ayat (1) UU PTPPO merupakan delik formil sedangkan ayat (2) mengatur tentang mengakibatkan orang tereksploitasi merupakan delik materil dalam tindakan / proses, cara atau semua bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi dalam praktek perdagangan orang dan antara tindakan / proses movement cara dan tujuan saling kait mengkait. 68

Proses pertanggung-jawaban seseorang pelaku peristiwa pidana dikaji dalam sistem peradilan pidana, yakni dengan suatu acara yang dinamakan acara pidana. Oleh karena itu pertanggung-jawaban berada dalam hukum pidana formil dan bukan dalam hukum pidana material, sehingga berbicara tentang pertanggung-jawaban maka berada dalam ruang lingkup hukum acara pidana, karena seberapa jauh tentang pertanggung-jawaban itu, yakni peristiwa pidana yang dilakukan seseorang ditetapkan oleh suatu proses ketentuan hukum pidana formil atau dengan kata lain nilai-nilai yang terdapat dalam hukum pidana materiel ditentukan dalam proses ketentuan hukum pidana formil.69

Asas Hukum Pidana menyatakan kesalahan (schuld) ada lima jenis kesalahan dimulai dari yang paling berat sampai kepada yang paling ringan, yaitu :

a. Kesengajaan sebagai tujuan

68

Ibid

69

b. Kesengajaan dengan kepastian c. Kesengajaan dengan kemungkinan d. Kealpaan

Kesengajaan dengan tujuan atau maksud dalam tindak pidana perdagangan orang yaitu pada saat pelaku (dader) menghendaki akibat dari perbuatannya korban tindak pidana perdagangan orang mengalami eksploitasi atau mengakibatkan korban tereksploitasi misalnya eksploitasi seksual (prostitusi) ini sudah merupakan tujuan (srekking) atau maksud (oogmerk) dari pelaku.70

Orang tidak mungkin dipidana (dipertanggung jawabkan) kalau orang itu tidak melakukan perbuatan pidana, juga harus dipahami, meskipun seseorang melakukan perbuatan pidana, seseorang itu tidak selalu dijatuhi hukuman. Dengan demikian dalam suatu perbuatan pidana unsur melawan hukum termasuk unsur yang menentukan agar seseorang dapat dijatuhi hukuman. 71

Orang dikatakan bersalah bilamana dia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari sudut pandang masyarakat perbuatan itu tercela, namun ia melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat, padahal dia mampu untuk sepantasnya dia harus menghindari perilaku demikian.

Menurut Simos “ kesalahan adalah adanya keadaan phiskis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa, hingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi.” 72

70

Osman Simanjuntak, Op Cit , hal 173

71

Chainur Arrasjid, Op Cit hal 18

72

Korban Tindak pidana perdagangan orang yang melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang, tidak dipidana. (Pasal 18). Penjelasan dari pasal tersebut adalah : yang dimaksud dengan dipaksa dalam ketentuan in adalah suatu keadaan dimana seseorang/korban disuruh melakukan sesuatu sedemikian rupa sehingga orang itu melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak sendiri. 73

Jadi bila seseorang korban tertangkap sebagai pelaku karena melakukan tindak pidana yang berlawanan dengan kehendak sendiri atau karena dipaksa maka dia tidak dapat dijatuhi pidana. Misalnya seseorang perempuan yang menjadi korban TPPO dan disekap dalam suatu rumah bordil, dipaksa untuk mengedarkan 10 bungkus narkoba atau menjual pil ekstasi, perempuan/korban tersebut mengetahui bahwa mengedarkan narkoba dilarang dan bertentangan dengan kehendaknya, tetapi dalam keadaan “terpaksa” ia melakukannya juga karena takut dan tidak mampu mengelak, bilamana kemudian perempuan/korban itu ditangkap petugas, dan korban dapat membuktikan adanya unsur paksaan oleh pelaku TPPO, maka perempuan/korban itu tidak dapat dihukum. Bahkan perempuan/korban tersebut telah menjadi korban.Namun bila kemudian dapat dibuktikan bahwa perbuatan perempuan/korban tersebut akhirnya menjadi kebiasaan dan diketahui juga bahwa korban banyak mendapatkan keuntungan dari perbuatannya, maka dalam kasus kedua

73

ini perempuan/korban tersebut dapat dijatuhi hukuman, karena unsur paksaan tidak ada lagi.74

KUHP menyatakan bahwa orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana itu tidak terjadi (mislukte uit lokking), maka orang itu tidak dijatuhi pidana, lain halnya UU PTPPO Pasal 9 yang menyatakan : Setiap orang yang berusaha menggerakan orang lain supaya melakukan tidak pidana perdagangan orang dan tindak pidana itu tidak terjadi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 40.000.000,- (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.240.000.000,- (dua ratus empat puluh juta rupiah), jadi walaupun tindak pidana tidak terjadi, namun jika terbukti ada upaya menggerakan orang , maka pelaku dapat dipidana.75

Penjelasan ini dikuatkan oleh Chainur Arrasjid yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana yang berhak dan berwenang untuk mengecualikan hukuman adalah berdasarkan keputusan hakim, oleh karena itu pihak penyidik maupun kejaksaan harus meneruskan penyidikan dan penuntutannya ke pengadilan dan hakim akan memutuskan berdasarkan fakta-fakta hukum dan apakah ada faktor pengecualian hukuman yang dilakukan oleh penyelenggara negara sehingga dapat terbebas dari hukuman, pengecualian hukuman terdapat dalam buku 1 KUHPidana yang berlaku di Indonesia, antara lain : Pasal 48 KUHPidana, Pasal ini menjelaskan

74

Osman Simanjuntak, Op Cit , hal 170

75

bahwa perbuatan itu terpaksa dilakukan karena sesuatu kekuasaan yang tak dapat dihindarkan. 76