• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. PEMBAHASAN

4.4. Kerugian Model Hubungan Patron Klien Terhadap Petani Karet

4.4.2. Kerugian Model Hubungan Patron-Klien terhadap Petani Karet

Hubungan patron klien yang terjadi antara petani karet dengan toke getah di Desa Gunung Baringin terdiri dari hubungan resiprositas, hubungan loyalitas dan hubungan personalia. Hubungan resiprositas sendiri merupakan hubungan yang saling menguntungkan walaupun Scott (1994) mengatakan bahwa hubungan yang terkandung di dalamnya merupakan hubungan yang terikat atas rasa terima kasih serta balas jasa. Hubungan resiprositas yang terjadi di Desa Gunung Baringin merupakan hubungan yang saling menguntungkan antara petani karet dengan toke, dimana toke sebagai patron menjamin keamanan subsistensi petani karet, di samping itu toke juga tetap mendapatkan pemasokan getah dari petani karet.

Hubungan tersebut terjalin atas kepercayaan diantara kedua belak pihak tanpa adanya paksaan dari patron, sehingga petani karet tidak merasa dirugikan.

Selain menjadi petani karet, semua informan juga memiliki pekerjaan sampingan lainnya beberapa diantaranya ialah sebagai petani pisang, petani kunyit,coklat maupun kencur. Kerugian yang dirasakan petani karet disini ialah pada saat panen mereka akan menjual hasil panen kepada toke getah juga karena toke getah yang berada di Desa Gunung Baringin tidak hanya menampung getah, mereka juga menampung hasil pertanian lainnya namun toke getah merupakan pekerjaan utama. Petani yang memiliki hutang terhadap toke tidak jarang memotong hutang tersebut, sehingga petani tidak mendapat bayaran penuh dari hasil panen yang telah dijual pada toke, walaupun petani langsung menjual pada pengumpul atau toke khusus yang membeli kunyit, kencur,pisang maupun coklat tetap petani akan membayar hutang pada toke karet walaupun dengan cara dicicil.

Namun toke getah tidak memaksakan pada petani karet untuk membayar hutang

mereka, petani melakukannya hanya semata-mata atas kesadaran diri bahwa mereka mempunyai kewajiban untuk membayar hutang. Kendati demikian, disaat tertentu toke akan sedikit memaksa agar hutang tersebut dicicil sebagian atau bahkan dibayar sepenuhnya dengan pertimbangan bahwa si petani tersebut sudah terlalu lama tidak membayar hutangnya atau bahkan bagi petani yang nakal, tak jarang mereka berpura-pura lupa mengenai utang tersebut.

Permasalahan umum yang dirasakan oleh petani karet di desa Gunung Baringin adalah harga getah karet yang tidak stabil, diiringi cuaca hujan yang menyebabkan petani karet tidak bisa menyadap sehingga prosuksi karet menurun, permasalahan lainnya ialah tidak tersedianya pupuk, jika cuaca buruk umumnya petani karet yang sudah terlanjur menderes akan memberikan pupuk pada getah karet untuk mempercepat proses pengentalan getah, jika pupuk tidak ada maka getah karet yang sudah dideres namun belum mengental akan terbuang sia-sia.

Hal tersebut akan menyebabkan kerugian pada petani karet.

Permasalahan lain yang dirasakan oleh petani karet ialah berkurangnya berat getah apabila terlalu lama tidak ditimbang. Setelah mengumpulkan hasil getah petani akan langsung membawanya ke toke namun terkadang getah tersebut tidak akan langsung ditimbang hal ini disebabkan oleh kehadiran toke yang terlambat semakin lama getah dibiarkan maka akan semakin banyak mengalami penyusutan berat timbangan. Akan tetapi semakin kering getah yang dihasilkan maka harga jual getah tersebut akan semakin tinggi. Namun para petani karet tidak dapat menunggu selama itu karena untuk menghasilkan getah yang berkualitas baik, getah harus dikeringkan paling lama satu minggu, dan petani tidak dapat

Pemotongan berat getah saat ditimbang oleh toke juga merupakan salah satu kerugian yang dialami petani karet, setiap berat dari getah tersebut akan dipotong sekian persen oleh toke hal ini ditentukan sendiri oleh toke, setiap toke bisa berbeda-beda persen pemotongan timbangannya. Hal ini dilakukan oleh toke karena sebelum getah dibawa ke pabrik pengolahan karet, getah akan terus mengalami penurunan berat, sehingga toke getah mau tidak mau harus melakukan pemotongan timbangan karena toke juga tidak ingin dirugikan.

Di samping permasalahan umum yang disebut diatas, kerugian dari hubungan patron-klien antara petani karet dengan toke getah di Desa Gunung Baringin adalah adanya sistem pemaksaan dalam mendapatkan hak membuat sebuah keputusan bagi seorang klien, sistem tersebut merupakan peraturan semu yang tidak tertulis dan tidak diucapkan secara lisan oleh patron. Misalnya, jika seorang patron berpartisipasi dalam politik atau mencalonkan diri sebagai kepala Desa maka si klien wajib menggunakan hak pilihnya untuk memilih patron tersebut. Jika tidak demikian, maka akan menimbulkan sebuah konflik diantara patron dengan klien.

Berikut hasil wawancara dengan beberapa informan di lapangan:

“anggo tarsongon iba tu toke nggi di son ma jolo hudokkon kan, di Huta ta on muda maccalon annon nia, ma otomatis ma hita pili i nggi, muda inda ttong non sego ma parkouman, sego ma sude. Akkon dijagohon do”. (“Kalau seperti bersikap kepada toke disini saya katakana, di Desa kita ini jika toke mencalonkan diri sebagai Kepala Desa. Maka, secara otomatis saya akan memilih toke saya. Jika tidak, maka akan rusak tali silaturrahmi, akan rusak semua, semua itu harus kita jaga”). Abdul Wahin Rangkuti (52 tahun, petani karet).

“Rugi na ttong ima nggi, muda ro udah anggoi katimpa ma mola na soppat manapui, ujungna pinjaman ma tu toke kan, anggo pemotongan memang dor do adongi harana kan gota i pe naron pasti do susut, sanga

sadia persen dipotong ia kan tergantung toke i domain soni do”. (“Kalau kerugiannya dik, jika hujan turun dan cuaca tidak baik maka saya akan rugi apalagi kalau tidak sempat memberi pupuk maka saya akan terpaksa meminjam uang pada toke, kalau pemotongan dalam menimbang itu selalu terjadi karena getah pasti akan mengalami penyusutan berat, tergantung toke berapa persen yang ingin dia potong, seperti itu”). Abdul Wahid Rangkuti (petani karet, 52 tahun).

Hal senada juga disampaikan oleh bapak Asril Lubis (petani karet,60 tahun):

“Kalo ruginya menurut amangboru itu tadi getahnya nyusut, belum lagi nanti pasti dipotong kan, jadi kalau sekarang amangboru itu tidak mau langsung menimbang abis getahnya dikumpulin, ku diamkan dia dibak bisa sampai dua minggu, karena kalau toke amangboru jugakan terkadang sekali dua minggu datangnya, jadi itu getahnya jadi benar-benar kering, nah kalau sudah kering gitu timbangan gak akan dipotong lagi sama toke harganya juga naik itu nanti mangkanya amangboru sering tahan-tahan getah, kalo untuk biaya hidup selama belom jual karet ya dari sawit dululah, kan amangboru juga punya kebun sawat, nanti unden mu juga ikut mandodos sampe kena duri itu kepalanya, sama si Marlin juga abangmu itu kuat itu”.

Hal yang sama juga dipaparkan oleh informan berikut:

“itula da kadang lama baru di timbang gotanya, mangana nanguda suka lama-lama kalo manduduk, sayang gotanai masusut”. (“Begitulah terkadang lama menunggu getah ditimbang karena toke belum ada, jadi saya lebih sering siang mengumpulkan getah, kalau terlalu cepat nanti berat getah menyusut”). Remsi Ritonga (petani karet,40 tahun).

Senada dengan jawaban informan berikut:

“Olo ttong inang ta potong, anggo uda tolu sampe lima persen do uda potongi ligi-ligi gota nai ma, anggo inda inang marugi hita, oh anggo ciri-ciri gota yang berkualitas baik adalah diligima sian warna nai kekuningan dohot kering ima inang mabedahonna, anggo soni gota nai ma pasti bersih inda martatal kan, soni do inang”. (“Iya nak pasti dilakukan pemotongan timbangan, kalau saya tiga sampai lima persen saya potong dari seluruh beratnya tetapi itu tergantung getahnya juga, oh kalau ciri-ciri getah yang berkualitas baik adalah berwarna kekuningan dan kering, jika sudah jenis getahnya seperti itu maka dapat dipastikan getah tersebut bersih, seperti itu nak”). Timjur Sipahutar (toke besar, 58 tahun).

4.5. Faktor Bertahannya Patron Klien antara Petani Karet dengan Toke