• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesalahan Para Analis Ekonomi terkait Industri Rokok

Dalam dokumen buku Rokok Mengapa Haram (Halaman 46-51)

antara kepentingan pendapatan negara, penyediaan lapangan pekerjaan, dengan dampak kesehatan. Hal itu diarahkan pada satu tujuan akhir, yakni untuk melihat bahwa peranan dan fungsi pemerintah sangat urgent dan dominan dalam menyelesaikan persoalan di atas. Akhirnya, political will guna menegakkan regulasi terkait rokok sangat diharapkan. Sebab,

kekuatan politik tentu mempunyai signiikansi tersendiri.

Kesalahan Para Analis Ekonomi terkait Industri

Rokok

Dunia perindustrian merupakan salah satu pencipta lapangan kerja yang potensial bagi penyerapan tenaga kerja, di antaranya industri rokok. Industri rokok banyak menyerap tenaga kerja, khususnya tenaga kerja dengan tingkat keahlian dan pendidikan formal yang rendah. Hal ini sangat membantu

upaya pemerintah dalam menekan angka pengangguran2 dan

meningkatkan taraf kehidupan.3 Selain itu, industri rokok juga merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang cukup besar dengan pengenaan pajak atas hasil produksinya.

Industri rokok juga mendorong berkembangnya industri dan jasa lain seperti percetakan, periklanan, perdagangan, transportasi, dan penelitian.

Data menunjukkan bahwa laki-laki tidak sekolah di Indonesia mempunyai preva-lensi 3,0% dibandingkan dengan yang mempunyai latar belakang perguruan tinggi (,2%).

2 Angka penganguran Indonesia berdasar data Februari 2008 menunjukkan pengang-guran masih 9,3 juta jiwa atau 8, persen.

3 Data pada Maret 2008 sekitar 3,9 juta jiwa penduduk Indonesia masih hidup dalam kemiskinan.

Data tahun 200 saja mencatat penerimaan negara dari cukai dan pajak rokok men-capai Rp52 triliun.

Namun demikian, ada dua hal yang absen dalam penjelasan paragraf di atas. Pertama, dalam ilmu ekonomi dikenal alat analisis (tool of analysis) bernama analisis cost-beneit terhadap industri atau proyek. Ia berfungsi lebih daripada penilaian ekonomi an sich dalam memutuskan apakah suatu proyek dilanjutkan atau tidak dengan mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat. Dalam menentukan keputusan, analis tidak hanya memperhatikan besarnya cost dan beneit yang dapat disumbangkan dari suatu proyek, melainkan harus memperhatikan pula mengenai siapa yang menerima beneit dan siapa yang membayar atau menanggung

cost dari proyek atau kebijakan tersebut.

Oleh karena itu, penilaian sosial mencakup dilema moral dan teoritis, seperti yang diperkenalkan dalam kriteria pilihan Hicks-Kaldor, bahwa suatu proyek berharga untuk dilaksanakan jika memiliki potensi untuk menghasilkan suatu Pareto optimality dalam kesejahteraan masyarakat suatu negara. Suatu kondisi Pareto optimality hanya akan terjadi apabila tidak ditemukannya kebijakan baru yang dapat membuat kondisi kesejahteraan setiap individu masyarakat menjadi lebih baik atau sama dengan keadaannya seperti pada kondisi kebijakan yang lama (Perkins, 99:50, 32).

Dalam konteks ini, tidak pelak lagi, pihak konsumen (perokok) selalu menjadi pihak yang merugi (membayar cost) dengan tingkat kerugian yang melebihi keuntungan yang diperoleh (menerima beneit). Industri rokok memberikan dampak yang kurang menguntungkan bagi kesehatan konsumen dan lingkungan sekitarnya, misalnya beban-beban biaya yang harus dikeluarkan untuk biaya pengobatan sebagai

akibat dari pengkonsumsian rokok dalam jangka waktu yang panjang, kesempatan kerja yang hilang karena kondisi kesehatan yang menurun sebagai akibat dari pengkonsumsian rokok, serangan secara tidak langsung terhadap kesehatan lingkungan sekitarnya atau perokok pasif. Terlihat tidaklah seimbang antara apa yang didapatkan dari kenikmatan merokok dengan apa yang dipertaruhkan. Memang industri rokok menyuarakan prospek ekonomi dari besarnya pajak yang diterima negara dan tersedianya lapangan pekerjaan, akan tetapi membiarkan pihak konsumen untuk mempertaruhkan tubuh, hidup, dan sebagian penghasilan mereka adalah tidak adil.

Hasil analisis cost-beneit ini menyimpulkan5 bahwa kontribusi positif dari keberadaan industri rokok di Indonesia terhadap kesejahteraan sosial masyarakat Indonesia terlihat lebih kecil jika dibandingkan dengan kontribusi negatifnya. Hal ini tampak pada beban cost yang harus ditanggung oleh masyarakat lebih besar daripada beneit yang diterima oleh masyarakat. Konsumsi produk industri rokok sama sekali tidak menguntungkan ditinjau dari segi kesehatan, melainkan merangsang timbulnya berbagai macam jenis penyakit yang merugikan.

Kedua, dalam industri rokok, sebagaimana industri lainnya, terdapat dua komponen utama yang terlibat dalam aktivitas ekonomi, yakni produsen dan konsumen. Adapaun produsen ternyata terdiri dari 8 (delapan) komponen; petani tembakau,

5 Penjelasan mengenai kesimpulan ini lebih lanjut dapat dibaca di Jurnal Manaje-men & Kewirausahaan Vol. 2, No. 2, September 2000: 68 – 85, oleh Likke dan Richard Llewelyn Lukas Musianto.

Penulis sengaja tidak memasukkan komponen distributor dalam pembahasan ini karena tidak terkait dengan konteks yang ingin penulis sampaikan.

petani cengkeh, buruh pabrik, pemerintah, pengusaha rokok, industri kertas, industri jasa, produsen teknologi. Sementara komponen konsumen hanyalah perokok.

Dari delapan komponen produsen di atas, secara kasat mata dan dengan logika sederhana, pengusaha rokok, produsen teknologi, dan pemerintah menjadi “produsen minoritas” yang mendapatkan keuntungan penerimaan terbanyak sekaligus memegang kendali utama dalam proses produksi. Akibatnya, komponen “produsen mayoritas”, seperti petani tembakau, petani cengkeh, dan buruh pabrik, berada dalam kondisi yang dikendalikan.

Anehnya, setiap berbicara masalah keadilan ekonomi, kelompok “produsen mayoritas” selalu diperhitungkan dan dibela oleh para ekonom dalam bentuk hitung-hitungan pendapatan perkapita. Lalu, pendapatan perkapita pun menjadi salah satu indikator kemajuan ekonomi. Di mana

letak sesungguhnya keadilan itu? Seyogyanya, para analis

ekonomi melihat distribusi pendapatan dan pertumbuhan distribusi pendapatan.

Kalau kita kaji secara mendalam dan cermat, industri rokok di Indonesia yang tumbuh pesat pada 30 tahun terakhir ini ternyata yang menikmati akumulasi keuntungan yang besar hanyalah pihak produsen / fabrikan. Penyerapan tenaga kerja

memang cukup besar tetapi kualitas kesejahteraan pekerja pabrik

Para pemilik industri rokok telah menghiasi daftar orang paling kaya sedunia. Majalah Forbes Asia, tahun 200, misalnya, mencantumkan dua nama juragan rokok di negeri ini dalam daftar orang kaya sejagat. Keluarga Rahman Halim, pemilik Gudang Garam, ada di urutan 538 dengan aset฀ US$ 1,9 miliar. Lalu, keluarga Budi Hartono, pemilik Djarum, ada di urutan 664 dengan aset US$ 1,5 miliar. Kekayaan yang kinclong itu jauh dari kondisi yang dialami buruh pabrik rokok. Sementara para buruh hanya sekrup kecil bagi kemakmuran yang dinikmati para juragan.

rokok tergolong buruk, baik dari segi upah yang diterimanya maupun kesejahteraannya secara umum.8 Para buruh rokok

sekedar memperoleh pekerjaan daripada menganggur atau menjadi buruh tani yang tidak menjamin kontinuitas kerja.

Upah buruh pabrik rokok sama sekali tidak menjamin adanya฀

mobilitas vertikal ekonomi para buruh, hanya cukup untuk makan keluarganya dan mereka tidak memiliki saving yang memadai untuk membiayai pendidikan anak-anaknya.9

Petani tembakau juga tidak menikmati added value

industri rokok karena posisi tawarnya sangat rendah. Pabrik rokok kretek yang tergolong besar umumnya memiliki stock

bahan baku untuk 3 tahun. Kondisi ini menyebabkan para petani tembakau dalam posisi mudah di tekan oleh fabrikan. Petani tembakau di Temanggung, Bojonegoro, dan Jember, sejak zaman Belanda sampai saat ini, masih berstatus ekonomi yang relatif stagnan, lebih-lebih buruh tani tembakau selalu dalam kemiskinan struktural.

Hal ini menegaskan bahwa semestinya kriteria ekonomi tidak dijadikan satu-satunya alasan dalam menganalisis tujuan dan kepentingan meningkatkan kesejahteraan manusia melalui industri rokok, sementara komponen konsumen dibiarkan terlena dan terpuruk dengan tumpuan harapan abstrak.

8 Program fellowship Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Pena Indonesia, dan Tobacco Free Kids Campaign, menemukan fakta di lapangan tentang hal ini. Di Malang, Jawa Timur, misalnya, untuk setiap seribu batang, upahnya hanya Rp 9.000. Rata-rata, para buruh mengantongi upah Rp 35 ribu atau Rp 50 ribu per bulan. Angka ini jauh di bawah upah minimum regional Kabupaten Malang yang Rp 802 ribu. Bahkan, tidak ada jam istirahat tetap bagi buruh. Mereka bekerja sebelas jam dalam sehari.

9 Menarik untuk diteliti lebih lanjut proporsi biaya yang digunakan untuk belanja iklan rokok dan biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk upah buruhnya. Bisa-bisa, biaya untuk iklan rokok melebihi anggaran upah buruh.

Fakta-Fakta Statistik Ekonomi Industri Rokok:

Dalam dokumen buku Rokok Mengapa Haram (Halaman 46-51)