• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya Penanggulangan Rokok di Indonesia

Dalam dokumen buku Rokok Mengapa Haram (Halaman 150-156)

Untuk menanggulangi masalah rokok di Indonesia, Pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan melalui peraturan yang berkaitan dengan masalah rokok. Pemerintah sudah mengeluarkan peraturan mengenai pencantuman peringatan kesehatan pada kemasan rokok. Demikian pula dengan kebijakan pembentukan kawasan bebas rokok di beberapa tempat seperti sarana kesehatan, tempat kerja, institusi pendidikan, dan lain sebagainya.

Tidak hanya itu, pemerintah juga sudah menaikkan cukai rokok, pembatasan kadar kandungan nikotin dan tar, pembatasan iklan rokok di media televisi dimana iklan rokok hanya boleh ditayangkan setelah pukul 2.30 malam dengan tidak menampilkan produk rokok dan orang yang merokok dan masih banyak peraturan lainnya yang terkait dengan rokok. Namun hingga saat ini, masalah rokok masih tetap menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia.

Bersama Kamboja, Indonesia menjadi dua negara ASEAN yang masih membebaskan sponsor rokok dalam acara olahraga, konser musik, hingga pesta jalanan. Bila ditelusuri lebih jauh, kebijakan Indonesia yang masih teramat longgar pada industri rokok bermuara pada Framework Convention on Tobacco Control

(FCTC). Negeri kita mencatat rekor sebagai satu-satunya negara

Asia yang belum meratiikasi FCTC. Konvensi ini disetujui 192

negara anggota Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Mei 2003 dan menjadi hukum internasional sejak 2005.

Substansi utama FCTC terletak pada enam pokok pikiran pengendalian dampak tembakau di seluruh dunia. Dimulai

dengan pengendalian harga dan cukai rokok, dilanjutkan dengan pelarangan iklan, promosi, dan pemberian sponsor. Ada pula peringatan dampak rokok pada kesehatan dengan gambar di kemasan dan pemberlakuan peraturan tentang kawasan bebas asap rokok. Yang tak kalah penting adalah pengaturan kandungan tar dan nikotin rokok serta pengaturan penjualan rokok.

Ketakpedulian pemerintah ternyata sejalan dengan mitranya di Dewan Perwakilan Rakyat. Draf RUU Pengendalian Dampak Tembakau pada Kesehatan yang muncul sejak 200 mentok. Meski sudah diusung 22 anggota DPR, draf RUU itu gagal masuk Prolegnas 200. Badan Legislatif DPR menilai masalah tembakau belum menjadi urgensi nasional. Apalagi, regulasi ini dinilai bisa merugikan industri rokok, bahkan membuatnya gulung tikar. Sebab sumbangan cukainya pada negara sangat tinggi dan menyerap banyak tenaga kerja.

Industri rokok di Indonesia menjelma dan tak ubahnya seperti sebuah “kerajaan” tersendiri. Ia memainkan banyak peran dan gerakannya otomatis tidak mendapatkan banyak halangan dan rintangan. Baik secara perundang-undangan , ekonomi, sosial hingga jalur politik. Industri rokok di Indonesia berkembang pesat dan licin. Meminjam istilah koran harian terbesar Jawa Barat, Pikiran Rakyat, industri rokok seperti “Menyebar dan Mengakar”. Tak banyak media di Indonesia melakukan kritik, pemberitaan apalagi membuat laporan yang mendalam terkait industri rokok ini. Indonesia menerima dengan lapang terbuka setiap gerakan, ide,dan pengaruh dari industri rokok dalam mengembangkan

bisnisnya secara meluas. Fenomena ini kian mewabah jika pemerintah, bahkan masyarakat, masih memelihara sesat pikir dalam melihat peran sosial ekonomi industri rokok. Berikut faktanya.

Pertama, kontribusi sektor tembakau. Pendewaan terhadap industri tembakau begitu sempurna, nyaris di semua lini. Seolah industri ini bisa menyelamatkan negeri dan akan terjadi ”kiamat ekonomi” kalau perannya dikendalikan. Namun, jika melihat faktanya, pada skala ekonomi makro (Produk Domestik Bruto) kontribusi industri dan pertanian

tembakau tidak signiikan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dan hasil analisis Lembaga Demograi Universitas

Indonesia (200), kontribusinya hanya Rp 29 triliun atau , persen dari total komoditas. Bandingkan, misalnya, dengan sektor konstruksi yang kontribusinya Rp ,9 triliun (5, persen). Tenaga kerja yang terserap pun terlihat biasa saja, hanya persen dari total penyerapan tenaga kerja, yaitu 9 juta pekerja. Itu pun dengan upah yang amat rendah, hanya Rp 2/bulan untuk sektor manufaktur Rp 8.000/bulan untuk pertanian tembakau.

Kedua, eksploitasi kemiskinan. Idealnya, yang mengonsumsi tembakau adalah masyarakat yang berkantong tebal. Nyatanya, 0 persen perokok justru berasal dari rumah tangga miskin. Hasil Susenas 2003-2005 membuktikan, konsumsi rumah tangga miskin untuk tembakau menduduki rating kedua (2,3 persen), setelah konsumsi padi-padian (9,30 persen). Jadi, untuk keperluan tembakau keluarga miskin mengalokasikan 5 kali lipat dari keperluan daging

(0,85 persen), 5 kali lipat dari keperluan susu dan telur (2,3 persen), 8 kali lipat dari keperluan pendidikan (, persen), dan kali lipat dari keperluan kesehatan (,99 persen).

Seorang petani di Wonosobo, sebagai contoh, menghabiskan Rp 2.000 untuk merokok, tapi berkeberatan atas biaya SPP anaknya yang hanya Rp.000/bulan. Seharusnya Pemerintah merinding membaca data ini. Keluarga miskin justru ”membunuh diri” dengan uangnya yang amat minimalis, sementara pengusaha rokok berpesta-pora,menjadi orang terkaya di Indonesia.

Ketiga, penyalahgunaan cukai. Kontribusi cukai rokok

sangat signiikan, rating ketiga setelah pajak penghasilan dan

pajak pertambahan nilai. Namun, kendati pada 200 nilainya sebesar Rp triliun, toh cukai rokok di Indonesia masih tergolong terendah di dunia, hanya 30-an persen. Bandingkan dengan cukai rokok di negeri lain, seperti; Jepang ( persen), Tiongkok (0 persen), India (2 persen), Thailand (5 persen), Malaysia (9-5 persen), Filipina (-9 persen), dan Vietnam (5 persen). Hanya dengan Laos cukai rokok di Indonesia bisa unggul, yaitu 20 persen. Selain masih rendah, secara konsepsional peruntukkannya pun menyimpang.

Di Indonesia, cukai rokok mengalir ke kas Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara, dan semuanya untuk dana pembangunan, bukan untuk mengendalikan barang yang dikenai cukai, yaitu rokok. Jelas, hal ini menyimpang dari formula universal bahwa cukai adalah ”pajak dosa” (sin tax), sekian persen dari cukai seharusnya dialokasikan untuk membatasi/mengendalikan bahaya rokok (earmarking tax).

Di banyak negara, hal ini lazim dilakukan; seperti Australia,Inggris, Amerika Serikat, Taiwan, bahkan Thailand. Di Taiwan, 0 persen earmarking tax digunakan untuk asuransi kesehatan nasional, dan 30 persen sisanya untuk penanggulangan dampak tembakau, promosi kesehatan, dan subsidi pemeningkatan kesejahteraan.

Di Australia, 0 persen earmarking tax digunakan untuk promosi ke-sehatan dan promosi olahraga. Di Inggris beda lagi, earmarking tax 00 persen didedikasikan bagi pelayanan rumah sakit dan kesehatan nasional. Dan di Thailand, 2 persen

earmarking tax dialokasikan untuk keperluan promosi kesehatan. Tetapi, politik percukaian di Indonesia malah sebaliknya. Menurut UU No. 39 Tahun 200 tentang Cukai, alokasi 2 persen dari cukai rokok yang terwadahi dalam ”Dana Bagi Hasil”, justru dialokasikan untuk peningkatan kualitas bahan baku dan pembinaan industri. Tak satu sen pun menetes ke sektor kesehatan!

Seandainya anggaran untuk tembakau dialihkan untuk keperluan lain yang lebih mendesak, seperti lauk-pauk, kesehatan, dan pendidikan; maka fenomena lost generation

pada keluarga miskin tidak akan terjadi. Maka, jika pemerintah ingin menyembuhkan rakyatnya dari penyakit sosial yang bernama kemiskinan, obatnya bukan dana bantuan langsung tunai (BLT), tetapi membebaskan keluarga miskin dari ketergantungan tembakau. Kiat untuk membebaskan ketergantungan itu tidak terlampau sulit.

Praktik internasional membuktikan, rezim cukai yang ditinggikan adalah obat mujarab untuk menekan dan

menggeser perilaku konsumen rokok. Ketakutan pemerintah jika cukai rokok dinaikkan akan menggerus pendapatan, baik secara teori maupun praktik empiris, tidak terbukti. Sebaliknya,pendapatan pemerintah akan melambung secara

signiikan. Hasil analisis Lembaga Demograi UI memberikan

tengara bahwa akumulasi kenaikan cukai hingga 00 persen pun secara umum akan berdampak ”neto positif” terhadap perekonomian nasional.

Referensi

Aditama, Tjandra Yoga. 99. Rokok dan Kesehatan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press)

Aditama, Tjandra Yoga. Rokok dan Impotensi. Harian Kompas, 23 Januari 2000

Christanto, Anton, dr. 2005. MEROKOK : Antara Ya dan Tidak (Suatu kajian praktis Filsafat Ilmu). Yogyakarta: FK-UGM/RSUP Dr Sardjito

Modjo, Robiana. Tinjauan Rokok dari Segi Kesehatan dan Program Penanggulangannya. 2003. Majalah Kesmas, Vol II No. Januari 2003

PP RI No. 8 tahun 999

Suara Pembaruan Daily, 5 Februari 200

Suara Pembaruan Daily, Sabtu฀08 April 2006

Suara Merdeka, Kamis 02 Februari 200

Republika, Rabu,฀02 Juni 2004

Suara Merdeka, Kamis 02 Februari 200 www.republika-online.co.id

www.anti-rokok.org

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=102718 http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=8104&cl=Fokus http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0205/05/00.htm

Merokok Bermanfaat

Dalam dokumen buku Rokok Mengapa Haram (Halaman 150-156)