• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran dan Fungsi Pemerintah

Dalam dokumen buku Rokok Mengapa Haram (Halaman 55-62)

Indonesia menempati peringkat pertama sebagai “negara perokok” di kawasan ASEAN.3 Sebagaimana terungkap

dalam ASEAN Regional Media Worksh op on Tobacco Control

yang diselenggarakan South East Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA), jumlah perokok di Indonesia mencapai , persen dari total jumlah perokok di ASEAN pada 200. Karena lemahnya sistem pengendalian rokok, Indonesia gagal mengerem jumlah perokok.

Padahal, cara meredam jumlah perokok sudah dirumuskan dalam Sidang Majelis Kesehatan Dunia (WHA) ke-5 Mei 2003. Sebanyak 92 negara anggota Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dengan suara bulat mengadopsi Kerangka Kerja Konvensi Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control, FCTC), perjanjian kesehatan masyarakat yang pertama. Tujuannya, melindungi generasi sekarang dari kerusakan kesehatan, sosial, lingkungan dan konsekuensi ekonomi dari konsumsi tembakau, bahan baku inti rokok.

Sayangnya, Indonesia yang turut dalam seluruh proses pembahasan draf perjanjian tersebut, hingga kini masih

“enggan” meratiikasi perjanjian internasional tersebut.

Padahal, FCTC mengikat secara hukum dalam strategi global kesehatan masyarakat dengan mendukung negara-negara anggota mengembangkan program pengendalian

3 Sementara di dunia, Indonesia menempati peringkat ke (empat) setelah Amerika Serikta, China, dan Jepang, dengan rasion perokok aktif di Indonesia seki-tar , juta orang sedangkan jumlah penduduk Indonesia sekiseki-tar 220 juta orang.

tembakau nasional untuk mencegah penyakit kematian akibat tembakau.

Banyak alasan mengapa pemerintah masih enggan

meratiikasi perjanjian ini. Selain karena dilema ekonomi di

atas, dalam FCTC juga diharuskan pengendalian harga pajak tembakau yang terkait dengan kesehatan masyarakat, serta masalah iklan, sponsor dan promosi rokok yang bombastis kepada masyarakat. Tampaknya, pemerintah belum dapat memenuhinya.

Melihat predikat kurang membahagiakan di atas, masalah regulasi rokok seharusnya bukan menjadi perhatian agamawan saja, melainkan tanggung jawab bersama, terutama pemerintah. Hal ini demi melihat potensi ancaman akibat rokok. Perlu diketahui, rokok saat ini sudah merupakan penyebab kematian pada (satu) di antara 0 (sepuluh) orang dewasa di dunia. Sebuah laporan yang dirilis World Health Organization (WHO) pada hari Kamis Februari 2008 tahun lalu memperkirakan bahwa miliar orang di seluruh dunia akan meninggal akibat rokok apabila pemerintah di berbagai negara tidak serius dalam mengatasi kondisi epidemik terhadap penggunaan tembakau.

Oleh karena itu, pemerintah sudah selayaknya mengambil langkah-langkah strategis yang bersifat jangka panjang guna menyelamatkan rakyat. Ada beberapa kebijakan yang perlu segera diberlakukan oleh pemerintah secara konsisten dan kontinyu, yaitu:

Pertama, menaikkan biaya cukai rokok guna menekan

Bila tidak dikendalikan, kematian yang berkaitan dengan tembakau akan meningkat lebih dari 8 (delapan) juta per tahunnya pada 2030, dan 80 persen dari kematian tersebut akan terjadi di negara-negara berkembang.

laju produksi rokok; dibandingkan dengan negara berkembang lainnya, tarif cukai tembakau dan rokok di Indonesia relatif rendah, yaitu hanya 3 persen.5 Negara-negara tetangga

lainnya masih lebih tinggi seperti Malaysia 9-5 persen, Kamboja 20 persen, Vietnam 38 persen, Filipina 55 persen, India 55 persen, Bangladesh 3 persen, dan Thailand 5 persen. Tarif cukai rokok akan memengaruhi harga rokok dan tingkat konsumsi masyarakat. Berdasarkan data Tobacco Atlas tahun 200, harga rokok di Indonesia terbilang murah. Di Indonesia, rokok merek Marlboro dibandrol sekitar 0,9 dolar. Sementara di Malaysia lebih mahal, yakni 2,8 dolar, Laos ,25 dolar, dan Singapura ,5 dolar. Harga rokok di Indonesia sama dengan di Vietnam, dan lebih tinggi dari Filipina.

Kedua, mengurangi dan membatasi iklan dengan meninggikan tarif iklan; di antara negara anggota Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) wilayah Asia Timur-Selatan, Indonesia paling tertinggal dalam peraturan pembatas merokok dan jaminan hak asasi bagi bukan perokok. Justru Thailand, Republik Demokratik Rakyat Korea, sampai negara kecil seperti Nepal dan Srilanka telah menerapkan larangan merokok di tempat umum. Negara-negara itu termasuk Myanmar, juga melarang iklan rokok di media elektronik dan cetak.

Sementara di Indonesia, pabrik rokok masih bebas beriklan sepuas-puasnya. Sejak pencabutan larangan iklan TV pada 99, nyaris tak ada sama sekali pembatasan iklan tembakau

5 Hal ini mengakibatkan melonjaknya total produksi rokok, yang pada tahun 90 hanya sekitar 33 miliar batang, menjadi sekitar 230 miliar batang di tahun 200. Ini terlihat dari produksi rokok nasional masih sangat tinggi. Pada triwulan I 200 lalu mencapai 5, miliar batang.

di Indonesia. Dalam PP 8/2003, penayangan iklan tembakau di TV hanya dilarang mulai pukul 05.00 pagi hingga pukul 2.30 malam. Sekalipun dalam bidang promosi, pembagian contoh produk secara cuma-cuma telah dilarang dalam PP tersebut, namun pembagian kupon diskon dan penjualan rokok batangan masih terjadi di Indonesia. Sebanyak 2.8 tayangan di semua stasiun televisi di Indonesia selama tahun disponsori rokok, sedangkan .350 kegiatan nasional juga disponsori rokok.

Ketiga, sanksi yang tegas dan denda yang tinggi; dalam hal penerapan sanksi, Indonesia bisa berkiblat pada Perancis yang mulai awal tahun 2008 lalu, Perancis sudah menerapkan larangan merokok di cafe dengan denda sebesar 8 Euro. Uniknya, tidak hanya perokok, pemilik restoran, cafe, atau tempat hiburan juga dikenakan denda, bahkan lebih besar yaitu 35 Euro untuk setiap perokok yang merokok di tempat miliknya.

Di Amerika Serikat (AS), pengadilan telah menjatukan hukuman / denda yang cukup besar kepada perusahaan rokok karena rokok terbukti merusak kesehatan para perokok. Pada tanggal Juli tahun 2000, pengadilan Miami telah memerintahkan kepada lima perusahaan rokok untuk

membayar US$ 145 milyar karena merugikan 500.000

perokok di Florida.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengendalian Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan (PDPTTK) mesti disahkan sebagai jalan tengah itu. Undang-undang itu tidak berusaha untuk mematikan industri rokok, tetapi lebih

kepada pengendalian rokok untuk menyelamatkan anak-anak Indonesia dari dampak rokok.

Keempat, menyiapkan konversi industri tembakau; program konversi industri rokok, dalam jangka panjang sangat mungkin dilakukan. Salah satunya adalah dengan mengubah industri rokok menjadi industri pestisida nabati (ekstrak dari tembakau) yang relevan dengan isu pertanian organik. Sebelum dibuat rokok, tembakau sudah digunakan secara sederhana oleh bangsa Indian Amerika untuk meningkatkan hasil panennya. Kandungan nikotin dalam rokok ternyata bersifat toksik untuk serangga dan segolongan tikus. Keistimewaannya adalah kecepatannya diurai oleh alam, sehingga tidak menimbulkan efek residu seperti pada pestisida sintetik. Penggunaan pestisida berbasis nikotin dari ekstrak daun tembakau dapat diklaim sebagai bagian krusial kesuksesan pertanian organik karena mudah diproduksi. Negara maju telah menjual turunan sintetis tembakau yang bernama Imidacloprid sejak tahun 1992.฀ Produk ini

semakin banyak diminati Eropa dan Amerika. Selain itu, protein tembakau memiliki potensi besar sebagai bahan baku kosmetik.8 Metode yang digunakan cukup sederhana dan

dapat dikerjakan dalam skala kecil.

Dengan fakta di atas, menjadi tidak beralasan jika industri rokok dan pemerintah paranoid akan terjadi pengangguran dalam skala massif dan kehilangan pendapatan negara karena pembatasan produksi, distribusi, dan konsumsi rokok. Sebab, itu

Ini adalah halis riset Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur.

8 Dalam beberapa tahun terakhir, riset ini telah dikembangkan di Universitas Maryland, AS.

tidak terjadi dalam semalam, melainkan dalam hitungan dekade. Dan, pemerintah masih akan mempunyai banyak kesempatan untuk merencanakan peralihan yang berkesinambungan dan teratur. Kata kuncinya ada pada political will pemerintah.

Penutup

Regulasi ketat mengenai tembakau harus segera dibuat dengan menjamin kebebasan orang yang tidak merokok untuk menghirup udara yang tidak terkontaminasi asap rokok (maupun polutan lainnya) di ruang publik. Ruang publik merupakan panggung bagi interaksi sosial secara sehat dan bertanggungjawab. Ruang publik bukan “hutan liar nan tak bertuan”. Tentu tidak cukup dengan regulasi, pengawasan dan pengawalan terhadap implementasi regulasi tersebut harus berjalan beriringan.

Fakta sudah jelas dan argumentasi telah dipaparkan. Yang tersisa hanya i’tikad politik (political will) dari pemegang otoritas negeri ini untuk menjalankan peran dan fungsinya. Dari sini, keberpihakan pemerintah dituntut dan diuji. Akankah kuasa para pengusaha industri rokok mengungguli nasib rakyat

sendiri dengan cara membunuh perlahan-lahan?. Masihkah

pemerintah mau bersembunyi di bawah ketiak kalkulasi ekonomi tentang pendapatan negara, penyediaan lapangan pekerjaan, dan penyerapan tenaga kerja, sehingga kehidupan

rakyat sendiri diabaikan dan dikorbankan? Komitmen

perusahaan untuk memberikan kontribusi kepada masyarakat melalui Corporate Social Responsibility (CSR) tidak berarti apapun, terlebih jika hanya berkutat pada pembangunan pojok

internet di dalam perpustakaan sebuah universitas, terhadap ancaman bencana kepunahan manusia.

Penulis percaya bahwa jika ada perokok berkewarganegaraan Indonesia yang berkesempatan bertandang ke negara-negara maju, akan berpikir dua kali untuk merokok, sekalipun dalam musim dingin. Hal ini disebabkan keinsafan atas regulasi yang berlaku di negeri asing itu. Sekurangnya, WNI tersebut akan bertanya kepada orang lain mengenai izin merokok di ruang publik terkecuali ia sudah melihat di tempat tertentu ada warga negara setempat yang sedang merokok atau terdapat pengumuman mengenai area bebas rokok. Dengan kata lain, untuk konteks Indonesia persoalannya memang bukan pada wilayah kepatuhan warga negara, namun mengenai konsistensi dalam menerapkan regulasi serta konsekuensi atau hukumannya.

Perilaku Merokok:

Dalam dokumen buku Rokok Mengapa Haram (Halaman 55-62)