• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keyakinan keagamaan yang berbeda-beda tetap tidak dapat disamakan secara logis. Hukum logika yang formal menunjukkan bahwa

KEPADA A LLAH ?

3. Keyakinan keagamaan yang berbeda-beda tetap tidak dapat disamakan secara logis. Hukum logika yang formal menunjukkan bahwa

tidak mungkin semua pernyataan kebenaran agama itu benar pada waktu yang sama dan dengan cara yang sama. Sebagai contoh, Yesus Kristus tidak mungkin menjadi Allah yang berinkarnasi (Kristen) sekaligus bukan Allah yang berinkarnasi (Yudaisme, Islam) pada waktu yang sama dan dalam hal yang sama (hukum nonkontradiksi: A tidak mungkin sama dengan A dan non-A).

Pernyataan-pernyataan keagamaan yang bertentangan memiliki nilai kebenaran yang berlawanan, yang berarti bahwa mereka saling menia-dakan atau menolak satu sama lain. Dengan demikian, itu berarti yang satu pasti benar dan yang satunya pasti salah. Oleh sebab itu, Yesus Kristus haruslah Allah yang berinkarnasi atau sebaliknya bukan Allah yang berinkarnasi, tidak mungkin ada posisi tengah (hukum penyisihan jalan tengah: A atau non-A).

Karena orang-orang Yahudi, Kristen, dan Muslim semua memahami identitas Yesus dari Nazaret secara berbeda (guru yang adalah manusia, penghujat; Allah yang berinkarnasi, nabi manusia), maka secara logis pikiran mereka tidak mungkin semuanya benar. Meskipun dalam hubungan yang berlawanan secara logika mungkin bahwa ketiga pan-dangan itu semuanya salah (mis., jika ternyata Dia sama sekali tidak pernah ada), mereka tetap tidak mungkin semuanya benar. Jadi, pernyataan-pernyataan tentang pluralisme keagamaan yang populer tidak mungkin selaras dengan hukum logika yang dapat membuktikan diri-nya sendiri. Pengamatan ini menyebabkan filsuf Kristen Ronald H. Nash menyimpulkan bahwa “setiap orang yang ingin menjadi pluralis harus terlebih dahulu meninggalkan prinsip-prinsip logika yang membuat semua pikiran, tindakan, dan komunikasi yang signifikan menjadi mungkin.”11

Berlawanan langsung dengan pandangan “toleran” yang sering disua-rakan oleh para pluralis populer, hukum logika dengan tegas mengata-kan bahwa orang harus “tidak toleran” dan kaku bila sudah berkaitan dengan kekacauan pernyataan-pernyataan kebenaran keagamaan yang bertentangan (lih. bab 17 untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut tentang toleransi). Apabila pernyataan dari satu agama secara langsung bertentangan (meniadakan atau menolak) pernyataan agama yang lain, maka kedua pernyataan itu tidak mungkin benar.

Sebagian orang berpendapat bahwa logika tidak berlaku untuk agama. Mereka bersikeras bahwa kebenaran yang utama hanya muncul melalui suatu bentuk intuisi yang tidak rasional. Namun, argumen mereka mengkhianati diri mereka sendiri, karena ketika berdebat melawan logika, mereka terlebih dahulu harus memunculkan hukum logika dalam upaya menyanggah. Dan melakukan hal itu bertentangan dengan pandangannya sendiri bahwa logika tidak berlaku untuk agama. Bahkan mereka yang menyatakan “Logika tidak berlaku untuk Allah,” harus menggunakan logika dalam perumusan pernyataan tersebut. Tidak masuk akal bila kita memakai logika untuk merendahkan atau menolak logika. Mungkinkah hukum logika berlaku untuk semua bidang kehidupan lainnya, kecuali agama? Jawabannya tidak. Untuk memisahkan diri dari hukum yang dapat membuktikan dirinya sendiri, bila hal itu berbicara tentang realitas yang tertinggi, maka itu berarti tunduk pada ketidak-rasionalan. Netland menjawab bahwa hal ini terlalu mahal sebab pemi-kiran ini akan “kehilangan kemungkinan penegasan yang bermakna atau pernyataan tentang apa saja—termasuk pernyataan tentang inti keaga-maan. Orang yang menolak prinsip nonkontradiksi akan terdiam karena ia telah meninggalkan kondisi yang diperlukan untuk mendapatkan pan-dangan apa pun yang koheren atau bermakna.”12

Usaha untuk Merasionalisasi Pluralisme

Beberapa filsuf dan ahli agama percaya bahwa memang ada cara untuk membuat pluralisme agama dipertahankan secara intelektual. Mereka mengusulkan bahwa mungkin kontradiksi antara agama-agama di dunia hanya kelihatannya saja ada namun tidak benar-benar ada. Semua agama mengalami realitas Ilahi yang sama, tetapi dengan cara yang berbeda. Bagaimanapun, perjumpaan dengan Allah yang misterius dan tak terduga merupakan inti dari sebagian besar agama. Tentunya Allah melampaui pikiran manusia yang terbatas.

Pemikir pluralis terkemuka John Hick13 memakai cara Timur yang umum untuk menggambarkan kemungkinan ini, yang disebut analogi gajah. Dalam gambaran ini, beberapa orang buta untuk pertama kalinya bertemu dengan seekor gajah. Masing-masing merasakan bagian yang berbeda dari binatang itu dan kemudian mencoba untuk menentukan kebenaran tentang esensi keberadaan si gajah itu. Seorang laki-laki

menepuk kaki gajah itu dan membayangkan si gajah sebagai “pilar hidup.” Seorang lainnya menangkap belalai gajah dan ia berpikir bahwa ia telah menemukan seekor ular. Seorang yang menggosokkan tangan-nya ke gading gajah menggambarkan gajah itu sebagai “mata bajak yang tajam.” Meskipun setiap individu mengungkapkan salah satu aspek penting dari seluruh realitas, tidak ada yang memahami entitas gajah secara lengkap.14

Menurut analogi ini, perbedaan di antara agama-agama di dunia dikaitkan dengan ketidakmampuan manusia untuk memahami realitas Allah yang tidak terbatas. Hick menerapkan perbedaan subjektif/objek-tif Kant yang terkenal tentang dunia sebagaimana adanya (dunia yang objektif, numenal), dari dunia sebagaimana tampaknya pada kesadaran manusia (dunia yang subjektif, fenomenal) hingga masalah keragaman agama. Ia berpendapat bahwa orang harus membedakan antara realitas tertinggi sebagaimana adanya (numena Ilahi), dari realitas tertinggi seba-gaimana dialami oleh manusia yang terbatas (fenomena Ilahi).15

Teori pluralistis Hick menempatkan realitas ilahi tertinggi melam-paui allah-allah dari berbagai agama. Realitas Ilahi ini tidak dialami secara langsung, tetapi disaring melalui berbagai lensa sejarah dan budaya umat manusia. Dengan demikian, orang menghadapi realitas Ilahi yang sama (melalui Krishna, Yesus atau tokoh lainnya) dengan cara yang berbeda karena perbedaan persepsi dan bias sejarah, budaya atau filsafat mereka. Dia lebih jauh berpendapat:

Jadi personae yang berbeda ini sebagian merupakan proyeksi-proyeksi Realitas Ilahi ke dalam kesadaran manusia, dan sebagian merupakan proyeksi-proyeksi kesadaran manusia itu sendiri, seperti yang telah dibentuk oleh budaya-budaya historis tertentu.16

Menurut Hick, setiap agama itu valid karena setiap iman percaya menyajikan perjumpaan yang sejati dengan realitas yang tertinggi meski-pun jelas secara terbatas. Agama-agama dunia menunjukkan “berbagai ‘wajah’ atau ‘topeng’ atau personae Allah, Sang Realitas Tertinggi.”17

Dan, karena Hick berpikir bahwa agama itu terutama berbicara tentang transformasi eksistensial (etika) dan bukan tentang keyakinan doktrin tertentu, maka semua jalan agama dapat diterima karena semua agama besar mampu mengubah seseorang dari “berpusat pada diri sendiri” menjadi “berpusat pada Allah.” Hick memandang pluralisme agama

sebagai hipotesis yang jauh lebih menarik daripada “skeptisisme” total terhadap agama atau “dogmatisme” keagamaan tradisional (seperti kekristenan ortodoks yang historis).

Kritik tentang Pendekatan Hick

Visi pluralistis Hick menarik bagi banyak orang karena toleransinya yang tampak jelas dan usahanya untuk menyatukan agama. Namun, gagasannya tetap sarat dengan masalah serius. Masalah-masalah ini mulai muncul setelah dilakukan penelitian yang cermat tentang analogi gajah.

Meskipun tidak ada yang meragukan tentang realitas yang bias dan pengetahuan yang terbatas di pihak manusia ketika mengalami perjum-paan dengan Allah, pengakuan-pengakuan ini tidak dapat menopang kelemahan sentral analogi gajah dalam kaitannya dengan pluralisme. Analogi gajah menyiratkan skeptisisme radikal sehubungan dengan pengenalan akan Allah, yakni bahwa tidak ada seorang pun, atau dalam hal ini tidak ada agama, yang bisa benar-benar mengenal Allah dengan sempurna.18 Namun, jika Allah benar-benar tidak dapat diketahui, lalu bagaimana orang dapat mengetahui bahwa Allah tidak dapat dike-tahui?19 Bahkan, dalam hal ini, apakah ada orang yang tahu bahwa Allah itu ada? Bagaimana seorang filsuf, manusia biasa tahu begitu banyak tentang seluk-beluk realitas yang tertinggi yang tidak dapat dipahami? Terutama karena realitas tertinggi ini—dalam pandangan Hick—tidak menampakkan diri-Nya di dalam natur atau proposisi.

Ironisnya, meskipun analogi gajah mencoba untuk memvalidasi kebenaran semua agama, tetapi jika analogi itu diterapkan pada kesim-pulan logis, cerita itu benar-benar menunjukkan bahwa semua agama gagal untuk mengidentifikasi Allah secara memadai. Jadi bukannya menegaskan kebenaran agama, analogi itu justru menyiratkan bahwa semua agama, setidaknya sebagian besar, didasarkan pada pernyataan yang salah atau menyesatkan.20

Agama memang dapat memberikan nilai-nilai etika yang penting, tetapi seperti disebutkan sebelumnya, nilai-nilai moral ini dimotivasi dan didasarkan pada pandangan-pandangan yang pada dasarnya berbeda tentang natur realitas. Dalam agama, etika tidak dapat dipisahkan dari pernyataan tentang kebenaran metafisika. Apa yang baik harus dipahami

dengan mempertimbangkan apa yang nyata dan benar. Tindakan/per-buatan tidak dapat dipisahkan dari kebenaran. Analogi gajah sangat lemah bila dilihat dari sudut pandang kekristenan ortodoks yang historis. Menurut kekristenan, Allah secara pribadi telah menyatakan diri-Nya dengan memasuki dunia ruang dan waktu di dalam pribadi historis Yesus Kristus (Yoh. 1:1, 14, 18; Kol. 2:9; Flp. 2:6-8). Yesus yang sama ini membuat pernyataan-pernyataan eksklusif tentang otoritas Ilahi dan memiliki hak-hak istimewa dari Allah (contoh, Yoh. 8:58; 10:30), yang tidak sesuai dengan pandangan para pluralis agama yang menyeragamkan dan mengakomodasi semua agama (lih. bab 9 tentang inkarnasi).

Untuk mengakomodasi Allah yang tidak dipahami oleh pluralisme, kekristenan terpaksa meninggalkan dasar pewahyuannya, Alkitab, dan semua doktrinnya yang berbeda, yang meliputi inkarnasi, Trinitas, dan penebusan. Sebagaimana dicatat oleh Alister McGrath, “Identitas Kristen terkait erat dengan keunikan Kristus, yang pada gilirannya didasarkan pada kebangkitan dan Inkarnasi.”21 Jika analogi itu harus mencermin-kan kekristenan yang historis, si gajah amencermin-kan menyembuhmencermin-kan kebutaan orang-orang yang menyentuhnya itu dan secara pribadi memperkenalkan dirinya, karena kekristenan mengungkapkan bahwa Allah dinyatakan secara pribadi, akrab, unik, dan menentukan di dalam diri Yesus Kristus. Satu-satunya cara agar analogi gajah itu dapat berhasil mengesahkan pluralisme agama adalah jika pernyataan-pernyataan kekristenan yang historis itu salah. Menurut perkataan Yesus dalam PB, “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (Yoh. 14:9). “Sekiranya kamu mengenal Aku, pasti kamu juga mengenal Bapa-Ku” (Yoh. 14:7). Sekali lagi, inti pesan kekristenan yang historis adalah pernyataan yang menak-jubkan bahwa Allah datang ke bumi di dalam daging manusia dan secara pribadi telah dikenal di kalangan umat manusia.

Kata-kata rasul Paulus secara langsung meringkas inti kebenaran Kristen ini, “Sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allahan” (Kol. 2:9). Selain itu, sebuah ayat bacaan di PB mengungkapkan bahwa iman di dalam Yesus Kristus dianggap sebagai cara yang unik dan jalan satu-satunya untuk bertemu dengan Allah. “Kata Yesus kepadanya: ‘Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku’” (Yoh. 14:6). Rasul Petrus berkata tentang Yesus, “Dan keselamatan tidak ada

di dalam siapa pun jugaselain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan” (Kis. 4:12).

Alasan yang diungkapkan Hick untuk merangkul pluralisme agama dan bukannya kekristenan ortodoks yang bersejarah (iman yang dianut-nya ketika ia masih muda) berasal dari penolakandianut-nya terhadap Alkitab sebagai wahyu proposisional Allah dan dalam kesimpulannya bahwa doktrin agama Kristen tentang inkarnasi tidak historis dan membi-ngungkan secara logika.22 Ia bersikeras bahwa inkarnasi itu adalah sebuah mitos.23 Hick juga memandang eksklusivisme pandangan kekristenan yang historis itu sempit secara intelektual dan tidak dapat diterima secara moral. Namun, penolakan Hick yang berani terhadap klaim kebenaran kekristenan yang historis menciptakan masalah logika bagi pandangan pluralistiknya yang luas.

Filsuf Kristen C. Stephen Evans menunjukkan bahwa “Bagian pen-ting dari iman Kristen adalah bahwa Yesus itu Allah secara unik dan eksklusif. Akibatnya, semua agama tidak bisa sama-sama benar. Jika semua agama sama-sama benar, maka agama Kristen itu salah, jadi tidak semua agama benar.”24 Akhirnya, pandangan yang benar harus menjadi salah satu dari dua hal ini: (1) Kekristenan dan semua agama eksklusif lainnya salah, dan semua agama lainnya yang inklusif itu benar; atau (2) semua agama secara metafisika salah. Dengan kata lain, pluralisme mendefinisikan ulang konsep umum agama tentang transformasi etika dan menolak setiap pernyataan kebenaran yang konkret yang akhirnya mungkin akan menimbulkan kontradiksi di antara agama-agama. Seo-rang pluralis tidak benar-benar dapat menyerap pernyataan kebenaran dari agama apa pun.

Meskipun Hick tampaknya menganggap pernyataan eksklusif kekris-tenan yang historis itu picik dan arogan, sebenarnya pernyataan plural-istisnya sendiri meremehkan hampir semua ciri khas agama-agama. Hal ini membuat toleransi pandangan pluralistis ini dipertanyakan/dira-gukan. Bukannya mewujudkan analisis yang netral dan objektif tentang agama, pandangan tentang sebuah realitas tertinggi yang tak terpahami ini berhubungan erat dengan pemahaman monistik Timur tentang yang Allah. Namun, mengapa memilih monisme daripada teisme? Para plu-ralis seperti Hick tampaknya menganggap bahwa mereka benar-benar

tahu tentang gajah itu, tidak seperti agama-agama di dunia. Pernyataan kekristenan yang historis tampaknya jauh lebih dapat dipercaya daripada menciptakan kembali agama yang secara politis benar.

Pernyataan Mitos atau Kebenaran Faktual?

Pendekatan lain untuk pluralisme, yang dianjurkan oleh Joseph Campbell (salah satunya), berargumen bahwa semua agama dapat secara bersamaan benar karena semua agama hanya membuat klaim mitos dan/ atau puitis, bukan klaim kebenaran faktual dan historis. Pernyataan ini menandakan bahwa agama-agama di dunia, seperti mitologi seluruhnya benar secara metaforis namun salah secara harfiah.25

Dalam buku terlarisnya The Power of Myth, Campbell melakukan banyak kesalahan logika sama seperti Hick. Campbell berani mencipta-kan kembali dan/atau mendefinisimencipta-kan ulang semua agama (bahmencipta-kan agama-agama yang bersejarah) sebagai mitos. Dalam satu gebrakan ia sama sekali menolak pernyataan kebenaran keagamaan (termasuk proposisi-onal). Ia juga berakhir dengan menemukan hal yang bertentangan dengan apa yang dimaksudkannya. Bukannya memberi cara agar semua agama menjadi benar, ia malah menunjukkan bahwa dalam cara yang paling penting—mengenai kebenaran universal, objektif, mutlak—semua agama benar-benar salah. Meskipun ia secara pribadi berpendapat bahwa Allah atau realitas tertinggi sepenuhnya transenden dan tidak dapat diketahui “di luar nama dan bentuk,”26 Campbell tetap menegaskan allah impersonal dan amoral yang tidak berbeda dengan konsep monistik dan panteistik agama Timur. Orang tidak bisa menahan diri untuk bertanya-tanya bagaimana Campbell mengira dirinya tahu begitu banyak tentang alam yang seharusnya tidak dapat diketahui. Pada akhirnya, kesimpulan Campbell yang terlalu dini tentang semua agama dan tentang realitas tertinggi itu sendiri tampaknya lebih lancang dan arogan daripada kaum fundamentalis dan literalis agama eksklusif yang dihakiminya dengan keji. Entah orang cenderung untuk menerimanya atau tidak, pernyataan-pernyataan kebenaran kristiani itu bersifat historis dan faktual. Keempat Injil (Matius, Markus, Lukas, Yohanes) menegaskan bahwa seorang ber-nama Yesus dari Nazaret dilahirkan di bawah pemerintahan kaisar Romawi, Kaisar Agustus dan bahwa Yesus menderita dan mati di tangan gubernur Romawi yang sama-sama nyata, Pontius Pilatus (temuan

arkeo-logis dengan tegas mengukuhkan keberadaan bersejarah Pilatus). Keem-pat Injil dan kitab Kisah Para Rasul memperkenalkan diri sebagai kisah bersejarah, bukan sebagai literatur puitis atau mitos (Luk. 1:1-4).

Iman Kristen yang historis secara konsisten menolak dan menentang semua upaya untuk menyeragamkan dan memitologikan tokoh-tokoh utama dan klaim kebenarannya. Para rasul telah mengalami sendiri per-jumpaan secara empiris dengan Yesus yang telah dibangkitkan dan telah melaporkan hal itu sebagai peristiwa yang bersejarah dan faktual (1Kor. 15:3-8). Para murid secara konsisten menyebut diri mereka sebagai “saksi” atau “saksi mata” peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan kehidupan Yesus (Kis. 2:32; 3:15; 5:32; 10:39). Sebagaimana dikatakan oleh Rasul Petrus, “Sebab kami tidak mengikuti dongeng-dongeng isapan jempol manusia, ketika kami memberitahukan kepadamu kuasa dan kedatangan Tuhan kita, Yesus Kristus sebagai raja, tetapi kami adalah saksi mata dari kebesaran-Nya” (2Ptr. 1:16).

Perkataan rasul Paulus yang serius kepada jemaat yang di Korintus menyatakan bahwa kebenaran faktual benar-benar berarti, “Tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu . . . Dan jika Kristus tidak dibang-kitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu” (1Kor. 15:14, 17).

Menurut hukum logika dan realitas historis Kitab Suci, pluralisme agama (tidak peduli seberapa populer dan menariknya) tidak mungkin benar. Bab berikutnya menyatakan cara yang tepat untuk memandang agama-agama di dunia melalui lensa kekristenan.

Pertanyaan Diskusi

1. Apa perbedaan antara pluralisme sosial dan pluralisme metafisika? 2. Masalah-masalah utama apa yang muncul dengan adanya

plu-ralisme agama?

3. Bagaimana pluralisme filosofis Hick berusaha menyelamatkan pluralisme agama?

4. Dari perspektif kristiani, apa yang salah dengan analogi gajah? 5. Apa yang salah dengan pernyataan Campbell bahwa semua agama

Untuk Studi Lebih Lanjut

Adler, Mortimer J. Truth in Religion (New York: Macmillan, 1990).

Green, Michael. “But Don’t All Religions Lead To God?” (Grand Rapids: Baker, 2002).

Nash, Ronald H. Is Jesus the Only Savior? (Grand Rapids: Zondervan, 1994). Okholm, Dennis L., dan Timothy R. Phillips, editor. More Than One Way?

Four Views on Salvation in a Pluralistic World (Grand Rapids: Zondervan,

215