• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memercayai Allah yang dipakai untuk menjelaskan hal yang tidak dapat dilihat dalam fenomena alam semesta, dapat dibenarkan

Realitas-realitas teoretis (yang tidak terlihat) kerap dikemukakan untuk menjelaskan apa yang dapat dilihat. Dalam ilmu pengetahuan, teori dikembangkan untuk menjelaskan keragaman fenomena alam. Hal serupa terjadi di bidang ilmu filsafat. Teori-teori penjelas yang terbaik (dalam ilmu pengetahuan atau filsafat) tampak seimbang antara kom-pleksitas dan kesederhanaannya, bertalian secara logis, sesuai dengan fakta-fakta, menghindari praduga yang tidak beralasan, dapat diuji, menghasilkan prediksi, dan dengan demikian memiliki kekuatan pen-jelasan yang benar. Keberadaan Allah di dalam Alkitab (Sang Pencipta dan Penebus yang tidak terbatas, kekal, dan bersifat pribadi) menjelaskan banyak hal yang, tanpa kepercayaan terhadap diri-Nya, sangat sulit untuk dijelaskan. Filsuf Oxford, Richard Swinburne, tidak setuju jika kebe-radaan Allah dijadikan sebagai penjelasan untuk fenomena kompleks yang ditemukan di dunia.

Para ilmuwan, sejarawan, dan penyelidik mengamati data, lalu mereka masuk ke beberapa teori terbaik yang dianggap dapat menjelaskan terjadinya data ini . . . Kita mendapati bahwa pandangan tentang adanya Allah dapat menjelaskan segala sesuatu yang kita amati, bukan sekadar beberapa kisaran data yang sempit. Hal ini menjelaskan fakta bahwa alam semesta itu ada, bahwa hukum-hukum ilmiah beroperasi di dalamnya, bahwa alam semesta berisi hewan dan manusia yang sadar dengan tubuh yang terorganisasi dengan rumit dan sangat kompleks, bahwa kita memiliki banyak peluang untuk mengembangkan diri kita sendiri dan dunia, serta data yang lebih khusus bahwa manusia men-ceritakan tentang mukjizat-mukjizat yang terjadi dan memiliki penga-laman religius . . . Kriteria yang sama, yang digunakan para ilmuwan untuk menjangkau teori mereka sendiri, membawa kita bergerak melam-paui teori-teori itu menuju Allah Sang Pencipta yang menopang segala sesuatu yang ada.12

Teisme Kristen yang percaya kepada Allah mampu menjelaskan sejumlah besar realitas dalam pengalaman manusia (lih. bab 1 tentang keberadaan Allah). Realitas-realitas ini meluas ke alam semesta (kebe-radaannya, tatanan, dan keseragamannya), entitas abstrak (bilangan, proposisi, dan hukum-hukum logika), prinsip-prinsip etis (nilai-nilai moral yang universal dan objektif), manusia (keberadaan, kesadaran, dan rasionalitas mereka), dan fenomena religius (peristiwa-peristiwa mukjizat dalam kekristenan). Jadi, meskipun esensi Allah tidak benar-benar dapat dilihat, keberadaan-Nya dapat disimpulkan sebagai pen-jelasan atas realitas yang diperlukan kehidupan. Namun, keberadaan Allah tidak naif diasumsikan sebagai penjelasan untuk ketidaktahuan manusia (praduga tentang “Allah kesenjangan”), melainkan sebagai teori penjelas yang benar dan berlaku untuk natur realitas. Filsafat skeptis tentang kehidupan benar-benar mengalami kesulitan untuk menjelaskan dan membenarkan realitas ini.

Lima hal yang dibahas di atas menunjukkan bahwa tidak logis bila manusia menolak keberadaan Allah hanya karena Allah tidak dapat dilihat secara empiris. Namun, sebagian orang masih berpikir bahwa jika Allah memang ada, Dia telah gagal untuk menyatakan diri-Nya seutuh-nya.

Keberadaan yang Jelas

Memahami sifat dari penyataan/pewahyuan Allah—penyingkapan akan sesuatu, baik yang tidak diketahui sebelumnya atau yang belum sepenuhnya diketahui—akan menjawab keluhan tentang mengapa Allah tidak membuat keberadaan-Nya jelas agar setiap orang akan percaya kepada-Nya. Kekristenan yang historis terdiri dari kepercayaan tradi-sional dan ajaran kekristenan sebagaimana yang ditemukan di dalam Kitab Suci Yahudi-Kristen dan dengan tepat diringkas menjadi sebuah pengakuan iman rasuli umat Kristen (lih. bab 4). Dengan demikian, kekristenan yang historis dapat disebut sebagai agama pewahyuan. Dalam hal ini, penyataan-Nya mengacu pada penyingkapan tentang diri Allah sendiri. Kekristenan menjelaskan bahwa Allah telah menyatakan diri-Nya dengan jelas dan penuh makna kepada umat manusia dengan dua cara yang berbeda: dalam penyataan/wahyu umum melalui alam dan hati nurani, dan dalam penyataan/wahyu khusus melalui Alkitab dan

terutama melalui Yesus Kristus (lih. bab 3). Penyataan umum Allah saja menyatakan secara meyakinkan bahwa “karakteristik tak terlihat pada diri Allah—kuasa-Nya yang kekal dan keilahian-Nya—telah terlihat dengan jelas dan dapat dipahami melalui ciptaan-Nya sehingga semua orang tidak dapat mengelak” (Rm. 1:20).

Jadi, bagaimana dengan mereka yang menyatakan bahwa tidak ada bukti yang cukup untuk membuktikan keberadaan Allah? Sebagian orang berpendapat bahwa bagi mereka yang sadar secara spiritual dan berpandangan terbuka, ada banyak bukti terpapar agar manusia dapat percaya pada keberadaan Allah. Namun, bagi orang skeptis yang secara spiritual tidak sensitif dan berpikiran sempit, masih ada cukup ketidak-jelasan, setidaknya dalam pikirannya, yang membuat mereka tetap meng-ungkapkan alasan ketidakpercayaan mereka. Menurut Alkitab, kejatuhan manusia dalam dosa (pemberontakan Adam) berpengaruh pada kero-hanian (kemampuan kognitif dan/atau pembentukan kepercayaan), yakni dosa itu telah membutakan pikiran manusia tentang keberadaan Allah (Ef. 2:1-3; 4:17-19).

Tanpa dosa, keberadaan Allah akan sangat jelas bagi semua orang. Dari sudut pandang alkitabiah, orang-orang yang tidak percaya tidak melihat betapa kekerasan hati mereka (kedegilan rohani dan moral) menahan mereka untuk percaya kepada Allah. Ketidakpercayaan mereka berakar dari pemberontakan dan kecongkakan, yang pada dasarnya merupakan ibadah palsu (1Sam. 15:22-23). Kejahatan seperti itu menim-bulkan penyembahan berhala dan amoralitas. Meskipun Allah telah mem-berikan tanda-tanda yang kuat tentang keberadaan-Nya, orang yang skeptis sengaja mengabaikan dan/atau menahan tanda-tanda tersebut (Mzm. 14, 19; Rm. 1). Faktor-faktor manusiawi yang tidak rasional seperti kesombongan dan hasrat untuk tidak bergantung pada siapa pun menghalangi mereka untuk percaya kepada Allah. Penolakan terhadap Allah tidak membuktikan bahwa keberadaan-Nya kurang dinyatakan.

Kontak Langsung dengan Manusia

Orang-orang yang mengatakan bahwa mereka akan percaya kepada Allah jika Dia muncul, dapat merenungkan keunikan Yesus Kristus. Dari semua agama di dunia, hanya agama Kristen-lah yang membuat per-nyataan yang dapat dibuktikan secara historis bahwa Allah telah

mema-suki dunia waktu dan ruang. Doktrin inkarnasi (lih. bab 9) mengajar-kan bahwa Yesus Kristus datang ke dunia dengan berbalutmengajar-kan daging manusia—satu-satunya theanthropos (Allah-manusia) (lih. Yoh. 1:1,14; Flp. 2: 6-8; Kol. 2:9).

Seorang ahli PB, Craig Blomberg, mengomentari natur historis dari inkarnasi ini, “Iman yang alkitabiah pada dasarnya merupakan komitmen kepada Allah yang berintervensi di dalam sejarah umat manusia dengan memperlihatkan aktivitas-Nya untuk penelitian sejarah.”13 Injil meng-ungkapkan kehidupan Yesus Kristus dan dimaksudkan untuk menyatakan peristiwa-peristiwa bersejarah (lih. bab 7). Meskipun para rasul tidak dapat benar-benar melihat natur Ilahi Yesus (karena Allah dalam hakikat-Nya adalah Roh Tritunggal yang tidak terbatas), mereka tetap menyim-pulkan keilahian-Nya dari karakter pribadi-Nya yang tak tertandingi, penggenapan nubuat tentang Mesias, dan karya-karya-Nya yang ajaib (terutama kebangkitan-Nya sendiri, lih. bab 10). Mereka juga menya-takan diri mengalami perjumpaan dengan Kristus yang telah dibang-kitkan. Rasul Yohanes menulis bahwa ia melihat, mendengar, dan menyentuh Tuhan yang telah bangkit (1Yoh. 1:1-3). Para rasul lain memiliki pengalaman serupa (Luk. 24:36-43; Yoh. 20:24-31; Kis. 9: 1-9).

Pemikir Kristen ternama, C. S. Lewis, mendorong orang untuk memikirkan realitas munculnya Allah di dunia:

Pribadi kedua Allah, Sang Putra, menjadi manusia, lahir ke dunia sebagai manusia sejati—seorang manusia sejati dengan tinggi badan tertentu, dengan rambut berwarna tertentu, berbicara dalam bahasa tertentu, dengan berat tubuh tertentu. Pribadi yang kekal itu, yang mahatahu dan yang menciptakan alam semesta, bukan sekadar menjadi manusia, melainkan (sebelum itu) menjadi bayi, dan sebelumnya lagi menjadi janin di dalam tubuh seorang Perempuan.14

(Tujuan dari penampakan-Nya dibahas lebih lanjut di bab 9.)

Mata manusia tidak dapat melihat banyak hal penting yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Secara metafisika, hal yang tidak dapat dilihat menjadi dasar bagi hal yang dapat dilihat. Sebagai Sosok spritual yang tidak terbatas dan kekal, esensi Allah tidak dapat dilihat oleh mata. Namun, itu berarti bahwa Allah kurang menyatakan diri-Nya kepada manusia. Pernyataan Yesus kepada Filipus menjelaskan,

“Barang-siapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (Yoh. 14:9). Penjelasan lebih lanjut tentang bagaimana Allah telah menyatakan diri-Nya akan dibahas di dalam bab berikutnya.

Pertanyaan Diskusi

1. Mengapa pernyataan “Saya hanya percaya pada apa yang saya lihat” melawan dirinya sendiri?

2. Mengapa realitas-realitas abstrak dan nonempiris lebih sesuai dengan teisme Kristen daripada dengan naturalisme?

3. Bagaimana keberadaan Allah bisa lebih disukai daripada ateisme untuk menjelaskan tentang dunia dan kehidupan?

4. Bagaimana pandangan Kristen tentang wahyu Allah dalam menanggapi penolakan akan keberadaan Allah?

5. Bagaimana doktrin inkarnasi membuat penyataan Allah itu menjadi unik?

Untuk Studi Lebih Lanjut

Erickson, Millard J. The Word Became Flesh: A Contemporary Incarnational

Christology (Grand Rapids: Baker, 1991).

Montgomery, John Warwick. History and Christianity (Minneapolis: Bethany, 1965)

Moreland, J. P. Scaling the Secular City: A Defense of Christianity (Grand Rapids: Baker Book House, 1987).

Reymond, Robert L. Jesus, Divine Messiah: The New Testament Witness (Phillipsburg, NJ: Presbyterian and Reformed, 1990).

49

“Kami ada di sini untuk memberitakan Injil kepada kamu, supaya kamu meninggalkan perbuatan sia-sia ini dan berbalik kepada Allah yang hidup, yang telah menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya. Dalam zaman yang lampau Allah membiarkan semua bangsa menuruti jalannya masing-masing, namun Ia bukan tidak menyatakan diri-Nya dengan berbagai-bagai kebajikan, yaitu dengan menurunkan hujan dari langit dan dengan memberikan musim-musim subur bagi kamu. Ia memuaskan hatimu dengan makanan dan kegembiraan.”

––Kisah Para Rasul 14:15-17

Manusia tidak pernah bersikap netral berkaitan dengan Allah. Kita dapat menyembah Allah sebagai Pencipta dan Tuhan, atau sebaliknya, kita dapat berpaling dari Allah. Karena hati ditujukan kepada Allah atau sebaliknya, menentang-Nya, maka pemikiran teoretis tidak pernah menjadi semurni atau bisa berdiri sendiri seperti yang ingin dipikirkan oleh banyak orang.

––Benjamin Breckinridge Warfield, The Inspiration and Authority of the Bible

B

agaimana orang tahu bahwa Allah itu ada? Jika Dia benar-benar ada, apa yang bisa diketahui tentang diri-Nya, natur-Nya, dan kuasa-Nya? Dan bagaimana Allah berelasi dengan dunia?

Jawaban kristiani yang historis untuk pertanyaan-pertanyaan ini ditemukan di dalam doktrin pewahyuan. Pengajaran ini menggambarkan penyingkapan atas sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui atau yang tidak sepenuhnya diketahui. Iman Kristen menyatakan bahwa Allah mengambil inisiatif untuk menyatakan diri-Nya secara dinamis dan tegas. Dengan demikian, kekristenan merupakan sistem kepercayaan yang

didasarkan pada penyataan diri Allah dan mengajarkan bahwa pewah-yuan/penyataan diri Allah itu dibutuhkan sepenuhnya oleh individu untuk mengenal Allah. Teolog injili Millard J. Erickson menjelaskan mengapa pewahyuan dan hubungan yang terjalin selanjutnya ini harus diprakarsai oleh Allah, “Karena manusia itu terbatas dan Allah itu tidak terbatas. Jadi, jika mereka mau mengenal Allah, hal itu harus terjadi melalui perwujudan Allah sendiri.”1

Menurut sejarah kekristenan, Allah telah menyatakan diri-Nya dalam dua cara yang berbeda: melalui dunia ciptaan-Nya (wahyu umum— pengenalan akan Allah melalui tatanan yang diciptakan-Nya) dan Firman-Nya (wahyu khusus—pengenalan akan Allah melalui sejarah penebusan oleh Yesus). Kita dapat sekilas menyelidiki konsep kristiani tentang pewahyuan ganda tersebut dengan memeriksa dua bagian penting dari Kitab Suci dan dengan merenungkan bagaimana dua bentuk pewahyuan itu, dunia ciptaan-Nya dan Firman-Nya, berhubungan satu sama lain.

Konsep Teologi Kristen tentang Wahyu Ganda

Selama berabad-abad, para teolog telah melontarkan berbagai pan-dangan yang saling bertentangan mengenai konsep sebuah wahyu ganda. Keragaman pendapat ini terutama sangat jelas ketika berbicara tentang natur, jangkauan, dan keberhasilan wahyu umum.2 Di salah satu ujung dunia terdapat seorang teolog Swiss Karl Barth (1886-1968), yang tidak akan menerima wahyu apa pun selain “pengalaman” keselamatan di dalam Kristus (penolakan terhadap semua wahyu umum atau alami). Di ujung yang lain, teolog Anglikan William Paley (1743-1805) menciptakan teologi natural yang meluas (interpretasi manusia tentang wahyu umum di luar Alkitab). Terlepas dari lingkup keragaman yang luas ini, telah dan tetap ada suatu kesepakatan bersama di antara sebagian besar teolog Kristen bahwa Allah telah membuat diri-Nya dikenal melalui wahyu umum dan khusus.3

Wahyu Dua Kitab

Kelompok Protestan Ortodoks mendefinisikan atau mengklasifi-kasikan kedua bentuk penyataan diri Allah dengan cara berikut ini:

Wahyu Umum

Keberadaan, kuasa, hikmat, keagungan, kebenaran, dan kemuliaan Allah diperlihatkan kepada semua orang di segala zaman dan tempat melalui tatanan yang tercipta, yang meliputi alam, sejarah, dan hati nurani manusia.4

Pernyataan inklusif ini mengambil dua bentuk yang berbeda. Pertama, wahyu umum eksternal yang terdiri dari tatanan yang tercipta, atau alam (yang memperlihatkan karya Allah selaku Pencipta dunia yang transenden dan penuh kepedulian), dan urutan sejarah yang sudah ditentukan-Nya (yang memperlihatkan karya Allah sebagai Pemelihara dunia yang ber-daulat). Kedua, wahyu umum internal yang meliputi perasaan yang dibawa sejak lahir atau kesadaran akan adanya Allah, dan hukum moral di dalam hati manusia.

Wahyu umum internal secara langsung berhubungan dengan ajaran Alkitab tentang imago Dei (gambar Allah: Kej. 1:26-27). Sebagai puncak ciptaan Allah, manusia secara unik menampilkan citra Allah dengan kemampuan rasionalnya, kehendak moralnya, keistimewaan relasional-nya, kualitas spiritualnya yang unik, dan kekuasaannya atas alam. Sebagai satu-satunya makhluk yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, umat manusia mencerminkan keagungan Pencipta mereka, namun dengan cara yang terbatas. Dan setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa, citra ini menjadi ternoda.

Wahyu Khusus

Penyataan diri Allah yang lebih spesifik dan khusus diwujudkan di dalam dan melalui tindakan-tindakan penebusan-Nya yang agung, ber-bagai peristiwa, dan firman-Nya.5 Bentuk penyataan khusus ini muncul di waktu-waktu dan di tempat-tempat yang khusus. Penyingkapan kebe-radaan-Nya yang detail ini muncul dalam dua tahap: Pertama, Allah menyatakan diri melalui umat perjanjian-Nya seperti para bapa leluhur, nabi, dan raja Ibrani (sebagaimana dicatat dan ditafsirkan oleh para nabi dalam PL). Kedua, wahyu Allah secara tegas mencapai puncaknya dalam inkarnasi Yesus Kristus, Allah yang menjadi manusia. Kehidupan, kema-tian, dan kebangkitan Yesus Kristus (sebagaimana dicatat dan ditafsirkan oleh para rasul dalam PB) mencatat puncak masuknya Allah ke dalam sejarah manusia.6

Menurut Alkitab, perantara dari seluruh wahyu adalah Yesus Kristus—Logos yang Ilahi—Firman yang kekal dan Sang Anak yang “menerangi setiap orang” (Yoh. 1:9). Teolog injili Carl F. H. Henry menjelaskan fokus kristologis dari wahyu khusus:

Wahyu khusus dalam sejarah yang dipenuhi kekudusan mencapai puncaknya melalui inkarnasi Sang Firman yang hidup dan penulisan firman yang diucapkan. Oleh karena itu, Injil penebusan bukan sekadar serangkaian tulisan abstrak yang tidak berhubungan dengan peristiwa sejarah tertentu. Injil penebusan merupakan berita dramatis bahwa Allah telah bertindak untuk menyelamatkan sejarah, yang mencapai puncaknya melalui Pribadi Kristus yang berinkarnasi dan karya-Nya (Ibr. 1:2) bagi keselamatan umat manusia yang terhilang.7

Perbedaan wahyu umum/khusus ini, meskipun bermanfaat secara teologis dan berasal dari Alkitab, tetap tidak sempurna dan dapat diang-gap artifisial. Pada akhirnya, wahyu Allah menjadi suatu kesatuan sehingga tak lagi dapat dibedakan terlalu tajam. Allah yang sama telah menyatakan diri-Nya dengan cara yang umum dan khusus.

Teolog injili Robert Saucy menyatakan bahwa mengenal Allah melalui kedua wahyu-Nya secara kasar dapat disamakan dengan mengenal seo-rang seniman.8 Meskipun sesuatu yang signifikan dari si seniman dapat diketahui dengan melihat pekerjaannya (wahyu umum), pengenalan yang luas dan lebih spesifik dapat terjadi melalui komunikasi antarpribadi (wahyu khusus) dengan si seniman.

Para teolog Protestan kadang-kadang menyebut pandangan wahyu ganda ini sebagai “teori dua kitab.” Allah adalah penulis kitab/buku abstrak tentang alam (dunia ciptaan-Nya) dan penulis Kitab Suci yang harfiah (Firman Allah yang tertulis). Pengakuan Iman Rasuli Belgia (Peng-akuan Iman Rasuli Reformed yang dipersiapkan pada tahun 1561) menggunakan metafora dua kitab ini dengan djudul “The Means by Which

We Know God” (Cara-cara yang Melaluinya Kita Mengenal Allah):

Kita mengenalnya dengan dua cara: Pertama, melalui penciptaan, pelestarian, dan pemerintahan alam semesta, karena alam semesta yang berada di depan mata kita seperti buku yang indah di mana semua ciptaan Allah, besar maupun kecil, bagaikan surat-surat yang membuat kita merenungkan hal-hal tentang Allah yang tidak dapat dilihat . . . Kedua, Dia membuat diri-Nya dikenal oleh kita dengan lebih terbuka melalui

Firman-Nya yang kudus dan ilahi, sebanyak yang kita butuhkan dalam hidup ini, bagi kemuliaan-Nya dan demi keselamatan milik-Nya.9

Dasar Alkitabiah untuk Wahyu Ganda

Perjanjian Lama

Teks utama yang mendukung konsep wahyu ganda ini adalah Maz-mur 19:2-5, 8-12.

Langit menceritakan kemuliaan Allah,

dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya; hari meneruskan berita itu kepada hari,

dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam. Tidak ada berita dan tidak ada kata,

suara mereka tidak terdengar;

tetapi gema mereka terpencar ke seluruh dunia, dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi. Taurat TUHAN itu sempurna,

menyegarkan jiwa; peraturan TUHAN itu teguh,

memberikan hikmat kepada orang yang tak berpengalaman. Titah TUHAN itu tepat,

menyukakan hati; perintah TUHAN itu murni,

membuat mata bercahaya. Takut akan TUHAN itu suci,

tetap ada untuk selamanya; hukum-hukum TUHAN itu benar,

adil semuanya,

lebih indah dari pada emas,

bahkan dari pada banyak emas tua; dan lebih manis dari pada madu,

bahkan dari pada madu tetesan dari sarang lebah. Lagipula hamba-Mu diperingatkan oleh semuanya itu,

dan orang yang berpegang padanya mendapat upah yang besar. Di ayat 2-5, penulis yang diilhami, yakni Raja Daud, membayangkan kemuliaan Allah yang dinyatakan dalam tatanan yang diciptakan-Nya. Dari ayat-ayat ini, teolog Kristen, Bruce Demarest menyatakan empat hal berikut ini:10

Ayat 1—Penciptaan menunjukkan “kemuliaan Ilahi Allah” ([Ibrani]:

kabod).11 Alam dengan jelas dan kuat memperlihatkan

kebera-daan, kekuasaan, kemuliaan, dan keahlian (pekerjaan tangan) Sang Pencipta.

Ayat 2—Penyataan diri Allah tentunya “abadi dan tidak terputus.”12

Pesan (“perkataan” dan “pengetahuan”) tentang keberadaan dan karakteristik Allah dalam ciptaan-Nya, terus-menerus dan tak henti-hentinya membombardir kesadaran manusia.

Ayat 3—Penyataan diri Allah melalui ciptaan-Nya itu “tanpa kata-kata dan tanpa suara.”13 Namun, pesan yang abadi dan mencolok dari alam tentang Allah ini terus-menerus dinyatakan. Meskipun demikian, sifat nonverbal ini tidak mengurangi kejelasan yang ditampakkan oleh alam kendati menggambarkan pentingnya sebuah pesan yang aktual dan lisan (wahyu khusus).

Ayat 4—Penyataan diri Allah melalui ciptaan-Nya “telah meluas ke seluruh dunia.”14 Berita (“suara”) tentang Sang Pencipta dunia ini bersifat universal (“sampai ke ujung dunia”). Oleh karena itu, penyataan diri Allah dalam tatanan yang telah diciptakan seharusnya bisa dimengerti telah menjangkau ke semua orang di segala zaman dan tempat.

Ketika beralih ke ayat 7-11, Daud merenungkan kesempurnaan dan kekuatan Hukum Allah yang tertulis. Ia memuji ketetapan, ajaran, perintah, dan peraturan Allah serta kebaikan yang terjadi akibat meng-anut dan mengikuti semuanya itu. Wahyu Allah yang tertulis memelihara kehidupan umat-Nya. Jadi, melalui Firman yang tertulis, Allah secara unik menghidupkan dan mengembalikan jiwa. Seperti nasihat Rasul Paulus kepada rekannya, Timotius:

Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus. Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyata-kan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik. (2Tim. 3:15-17)

Dalam kitab kedua (Alkitab), Allah yang tidak terbatas berkenan membuat diri-Nya dikenal secara pribadi dan menyampaikan tawaran keselamatan yang menjadi tujuan-Nya datang ke dunia. Namun, penya-taan Allah yang ditawarkan ini bersifat khusus—dan dipercayakan kepada orang-orang yang khusus (Israel, lalu Gereja) pada waktu dan tempat yang khusus.

Perjanjian Baru

Ayat Alkitab pendukung terpenting yang berhubungan dengan pertanyaan tentang wahyu umum dan khusus, adalah Roma 1:18-21.15

Sebab murka Allah nyata dari sorga atas segala kefasikan dan kelaliman manusia, yang menindas kebenaran dengan kelaliman. Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka. Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih.

Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap.

Pernyataan rasul Paulus di bagian ini sangat jelas. Ia menegaskan bahwa semua orang “melihat” kemuliaan Allah tercermin dalam tatanan yang tercipta. Mereka “memahami” maksud ilahi, dan dengan demikian “tahu” bahwa Sang Pencipta itu ada (ay. 19-20).16 Dua kali Paulus mene-kankan suatu bentuk kata Yunani ginosko (“mengetahui” lewat