• Tidak ada hasil yang ditemukan

Edisi terjemahan telah mendapat izin dari penerbit buku asli. Cetakan Pertama : 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Edisi terjemahan telah mendapat izin dari penerbit buku asli. Cetakan Pertama : 2014"

Copied!
358
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

WITHOUT A DOUBT

MENJAWAB 20 PERTANYAAN TERSULIT TENTANG IMAN Oleh: Kenneth R. Samples

Copyright ©2004 by Kenneth R. Samples Originally published in English under title

Without a Doubt: Answering the 20 Toughest Faith Questions

by Bethany House, a division of Baker Publishing Group, Grand Rapids, Michigan, 49516, U.S.A.

All rights reserved

Diterbitkan oleh LITERATUR SAAT

Jalan Anggrek Merpati 12, Malang 65141 Telp. (0341) 490750, Fax. (0341) 494129

website: www.literatursaat.org

Penulis : Kenneth R. Samples Alih Bahasa : Ellen Hanafi Penyunting : Chilianha Jusuf Penata Letak : Yusak P. Palulungan Gambar Sampul : Lie Ivan Abimanyu

Edisi terjemahan telah mendapat izin dari penerbit buku asli. Cetakan Pertama : 2014

Dilarang memproduksi sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Without a Doubt: Menjawab 20 Pertanyaan Tersulit tentang Iman / Kenneth R. Samples––Alih bahasa, Ellen Hanafi––Cet. 1––Malang : Literatur SAAT, 2014.

373 hlm. ; 21 cm

(3)

Kata Pengantar 7 Ucapan Terima Kasih 9

Pendahuluan: Mengutak-atik Dua Puluh Pertanyaan tentang Kehidupan 13

Bagian I: Memikirkan Pertanyaan-pertanyaan tentang Iman kepada Allah 1. Bagaimana Orang Dapat Mengetahui Bahwa Allah Itu Ada? 21 2. Bagaimana Saya Dapat Memercayai Allah yang Tidak Dapat

Saya Lihat? 39

3. Bagaimana Allah Menyatakan Diri-Nya? 49 4. Bukankah Kredo Itu Bagian Masa Lalu? 63 5. Bagaimana Allah Bisa Menjadi Tiga dan Satu? 77 6. Mengapa Saya Harus Bertaruh tentang Iman? 95

Bagian II: Memikirkan Pertanyaan-pertanyaan tentang Iman kepada Yesus Kristus

7. Apakah Kisah-kisah di dalam Injil tentang Kehidupan Yesus Dapat Dipercaya? 111

8. Apakah Yesus itu Manusia, Mitos, Orang Gila, Ancaman, Mistik, Penghuni Mars, atau Mesias? 127

9. Bagaimana Yesus Kristus Bisa Menjadi Allah Sekaligus Manusia? 149

10. Apakah Yesus Kristus Benar-benar Bangkit dari Kematian? 169 11. Mengapa Yesus Kristus Harus Mati? 187

(4)

12. Bukankah Semua Agama Menuntun pada Allah? 201 13. Bagaimana Seharusnya Orang Kristen Menanggapi

Agama-agama di Dunia? 215

14. Bukankah Agama Kristen dan Ilmu Pengetahuan Bertentangan? 239

15. Bukankah Kemunafikan Membuat Kekristenan Tidak Berlaku? 257

16. Bukankah Saya Berhak Melakukan Apa Pun yang Saya Inginkan dengan Tubuh Saya Sendiri? 271

17. Bukankah Kekristenan Mendorong Sikap Tidak Toleran? 287 18. Bukankah Moralitas Tergantung dari Mata yang

Memandangnya? 297

19. Bagaimana Mungkin Allah yang Baik dan Mahakuasa Membiarkan Kejahatan Terjadi? 311

20. Bagaimana Seorang Kristen Harus Mempersiapkan Diri untuk Memberikan Penjelasan tentang Iman? 333

Catatan 341

D

AFTAR

T

ABEL

1.1 Model naturalistis dan alkitabiah untuk menjelaskan kehidupan dan alam semesta 26

8.1 Jati Diri Yesus: Siapakah Yesus? 146

(5)

21

B

AHWA

A

LLAH

I

TU

A

DA

?

Saya memercayai kekristenan seperti halnya saya memercayai bahwa matahari telah terbit, bukan hanya karena saya melihatnya, melainkan karena dengan adanya matahari itu saya dapat melihat segala sesuatu yang lain.

––C. S. Lewis, The Weight of Glory and Other Addresses

Manusia tidak pernah bersikap netral berkaitan dengan Allah. Kita dapat menyembah Allah sebagai Pencipta dan Tuhan, atau sebaliknya, kita dapat berpaling dari Allah. Karena hati ditujukan kepada Allah atau sebaliknya, menentang-Nya, maka pemikiran teoretis tidak pernah menjadi semurni atau bisa berdiri sendiri seperti yang ingin dipikirkan oleh banyak orang.

––Ronald H. Nash, Worldviews in Conflict

A

pakah Allah itu ada? Apakah Dia menciptakan manusia atau apakah manusia menciptakan Dia? Pertanyaan tentang keberadaan Allah ini mungkin merupakan pokok dari apa yang disebut para filsuf sebagai “pertanyaan besar tentang kehidupan.” Apa yang orang anggap sebagai riil, benar, tepat, berharga, dan bermakna ternyata secara dramatis dipe-ngaruhi oleh pandangan mereka tentang apakah Allah itu nyata atau tidak. Karena perspektif ini membentuk konteks keseluruhan pan-dangan, maka kaum ateis dan umat Kristen memandang semua realitas dengan cara pandang yang berbeda. Bagi umat Kristen, Allah di dalam Alkitab menetapkan konteks utama bagi semua kehidupan dan pemikiran (lih. bab 16). Adakah alasan yang benar untuk memercayai bahwa Dia ada?

(6)

Realitas yang Berarti

Hipotesis yang baik, entah itu ilmiah atau filosofis, diterima karena memiliki kekuatan penjelasan yang riil. Allah di dalam Alkitab (selan-jutnya disebut sebagai Allah) memberikan landasan metafisika yang kokoh dan konsisten untuk menjelaskan realitas dan fenomena penting yang dihadapi di dalam kehidupan, setidaknya dalam sembilan cara yang spesifik.1

Allah secara unik menjelaskan awal kejadian alam semesta

Dua konsep kuat bukti ilmiah mengarah pada kesimpulan bahwa alam semesta memiliki awal.2 Pertama, menurut teori ilmiah yang

berlaku, alam semesta memiliki permulaan kejadian sekitar 14 miliar tahun yang lalu. Semua materi, energi, waktu, dan ruang muncul dan dengan cepat berkembang mulai dari volume yang sangat kecil. Ledakan dahsyat yang panas ini (yang terus berkembang dan disempurnakan) secara bertahap menjadi dingin dan menyebar dengan baik untuk memung-kinkan pembentukan galaksi, bintang, planet, dan sebagainya. Model kosmologi ledakan dahsyat yang mendasar ini dianut oleh sebagian besar ilmuwan riset karena akumulasi bukti-bukti astronomis yang luas dan pengujian yang sukses.3 Model kosmologis tersebut menunjukkan bahwa

alam semesta ini tidak kekal, tetapi memiliki awal yang spesifik, pada suatu periode tertentu di masa yang lalu.

Kedua, Hukum Entropi (juga disebut sebagai Hukum Kedua Termo-dinamika) memberikan penegasan lebih lanjut bahwa alam semesta memiliki awal. Prinsip yang mantap ini menunjukkan bahwa energi di alam semesta hilang secara bertahap dan merata di semua tempat. Jadi, akan tiba saatnya secara alami perkembangan alam akan terhenti, akan terjadi, “keseimbangan termal” (semua lokasi di alam semesta memiliki suhu yang sama)4, dan semua aktivitas fisik akan berhenti. Jika alam

semesta itu abadi, penghentian ini tentu sudah terjadi karena dipaksa. Oleh karena itu, prinsip entropi mendukung pandangan bahwa alam semesta telah ada pada suatu periode tertentu.

Dengan melihat bukti-bukti ilmiah yang meyakinkan bahwa alam semesta memiliki permulaan yang pasti, pertanyaan yang diajukan oleh matematikawan sekaligus dan filsuf Jerman, Gottfried Leibniz (1646-1716) makin menggelitik: “Mengapa ada sesuatu dan bukan tidak ada

(7)

apa-apa?”5 Mengapa? Mengetahui bahwa alam semesta memiliki awal

tunggal pada periode waktu yang terbatas di masa lalu, membuat kita sangat sulit menghindari logika sederhana namun menarik dalam Argu-men Kosmologis Kalam:

1. Apa pun yang mulai ada, memiliki penyebab atas keberadaannya. 2. Alam semesta mulai ada.

3. Oleh karena itu, alam semesta memiliki penyebab atas keberada-annya.6

Mengingat sifat dari akibat (alam semesta yang tidak pasti), adalah logis bahwa si penyebab atau Pencipta harus transenden, tidak bersebab, kekal, dan abadi (Setiap penyebab yang tidak memiliki karakteristik ini dengan sendirinya akan membutuhkan penyebab, untuk alasan yang sama bahwa alam semesta ini memerlukan penyebab). Menurut definisi, allah seperti itu cocok dengan deskripsi umum tentang Allah di dalam Alkitab, tetapi tidak cocok pada sebagian besar konsep agama lainnya tentang allah mereka.7 Dan kisah penciptaan di dalam Alkitab sangat

cocok dengan temuan ilmu pengetahuan modern tentang kosmologi (lih. detail spesifik di bab 14).

Mungkinkah penjelasan tentang awal kejadian alam semesta tidak melibatkan Pencipta yang Ilahi? Ya, dan penjelasan-penjelasan itu layak direnungkan.

Opsi pertama adalah bahwa alam semesta disebabkan atau dicipta-kan oleh dirinya sendiri. Namun, kesimpulan ini tidak rasional karena agar tercipta, alam semesta itu sendiri harus ada sebelum ia ada—ini jelas mustahil. Sesuatu itu tidak dapat ada dan tidak ada pada waktu yang bersamaan dan dengan cara yang sama.

Opsi kedua adalah bahwa alam semesta muncul dan menjadi ada dari ketiadaan dan oleh ketiadaan (atau tidak dari siapa pun). Namun, konsep ini juga tidak rasional karena sesuatu itu tidak dapat berasal dari ketiadaan mutlak (tidak ada energi, tidak ada materi, tidak ada tenaga, tidak ada akal, tidak ada alasan, dan sebagainya). Suatu akibat tidak dapat lebih besar daripada penyebabnya, dan dalam hal ini penyebabnya adalah ketiadaan. Pepatah filosofis dan ilmiah kuno yang berbunyi ex nihilo nihil fit terasa masuk akal—”dari ketiadaan, tidak ada sesuatu pun yang muncul.”8 Bila orang menyimpulkan yang

(8)

sebaliknya, berarti ia melanggar salah satu prinsip dasar aktivitas ilmiah, yakni kausalitas.

Opsi ketiga yang eksotis dan kuasi-ilmiah menyimpulkan bahwa ada beberapa alam semesta (kadang-kadang disebut multiverse/banyak alam semesta9). Kesimpulan ini menyatakan bahwa sebuah mekanisme fisika

yang abadi mungkin dapat memunculkan alam semesta satu demi satu secara bergiliran. Namun, pandangan provokatif ini tidak berdasarkan data yang dapat diobservasi secara langsung, tetapi pada spekulasi teo-retis. Sebagai hipotesis yang salah dan sangat spekulatif, pandangan ini tidak memberikan penolakan yang berapi-api bahwa alam semesta memiliki awal.

Opsi keempat mempertimbangkan kosmologi tradisi agama lainnya, khususnya agama-agama dari Timur. Namun, kosmologi agama dari Timur dapat disingkirkan dengan cepat karena tidak koheren dan tidak cocok dengan bukti ilmiah yang terbaik mengenai asal-usul alam semesta.10

Sebagai contoh, beberapa bagian aspek agama Hindu menyangkal kebe-radaan alam semesta secara fisik.

Kembali pada opsi bahwa Allah adalah sosok yang ada di balik alam semesta, bukti ilmiah tentang awal kejadian alam semesta sangat cocok dengan ajaran Alkitab. “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (Kej. 1:1). Doktrin Kristen creatio ex nihilo mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu pun selain Allah (roh yang bersifat pribadi, kekal dan tidak terbatas), dan bahwa Allah dengan hikmat-Nya yang tak terukur dan kuasa-Nya yang tidak terbatas, menjadikan alam semesta (semua materi, energi, waktu, dan ruang) dari ketiadaan (bukan dari keberadaan realitas fisik apa pun yang sudah ada sebelumnya seperti materi) dan menopang keberadaannya setiap saat (Rm. 4:17; Kol. 1:16-17; Ibr. 11:3). Oleh sebab itu, Allah di dalam Alkitab adalah Pencipta yang transenden dan Penopang alam semesta yang penuh kasih pemeliharaan. Allah adalah penjelasan metafisika yang diperlukan untuk keberadaan alam semesta yang tidak dapat berdiri sendiri (yang disebabkan, yang bergantung pada, dan yang tidak dapat dijelaskan).

(9)

Allah secara unik menjelaskan tatanan, kompleksitas, dan desain yang nyata ada di alam semesta.

Bahkan kaum ateis yang paling kukuh sekalipun akan mengakui bahwa alam semesta menunjukkan tatanan, keteraturan, kompleksitas, dan kejelasan yang luar biasa. Namun, penerimaan prinsip antropik (pandangan bahwa alam semesta ada sebagaimana mestinya agar dapat memungkinkan terjadinya penciptaan manusia sebagai pengamat) oleh komunitas ilmiah telah meningkatkan intuisi bahwa alam semesta adalah produk dari Sesosok Perancang kosmis.11 Kerumitan, harmoni, dan

pengaturan kosmos yang menakjubkan untuk memungkinkan munculnya kehidupan manusia dibuktikan mulai dari penyempurnaan konstanta fundamental fisika sampai pada sifat galaksi dan tata surya yang “cocok persis,” hingga komponen sarat informasi yang dikenal sebagai kode

DNA, mungkin hingga pencapaian teleologis (yang terkait dengan desain)

yang terpenting: kompleksitas yang luar biasa dan halus tentang hubungan antara pikiran dan otak manusia.

Jika seseorang menolak intuisi logis bahwa ada Perancang kosmis di balik alam semesta, maka ia harus menyimpulkan bahwa semua tatanan, kompleksitas, dan kejelasan yang terkandung di dalam alam semesta ini hanyalah kebetulan belaka. Namun, opsi naturalistis, evolusioner, dan ateistis ini begitu mustahil untuk dibayangkan. Probabilitas statistik bahwa alam semesta terwujud secara kebetulan dengan sifat-sifatnya yang dapat mendukung kehidupan, akan benar-benar mengejutkan.12

Namun, kemustahilan pandangan naturalistis dan ateistis ini bukan-lah satu-satunya hal yang membuatnya tidak dapat dipertahankan secara rasional. Menganut pandangan evolusioner bahwa organ-organ sensorik dan kemampuan kognitif manusia adalah hasil dari proses alami yang acak dan tanpa tujuan, menimbulkan masalah kepercayaan tentang apa yang diamati. Apakah hasil pengamatan dan pikiran seseorang benar-benar sesuai dengan realitas?13 Sebagai kebiasaan yang wajar, seseorang

biasanya tidak menerima gagasan bahwa informasi, pengetahuan, dan kebenaran bisa datang dari sumber yang acak dan tidak disengaja. Bagaimanakah usaha-usaha rasional seperti logika, matematika, dan ilmu pengetahuan bisa dibuktikan jika otak dan pikiran manusia adalah hasil dari kebetulan yang tidak rasional dan ceroboh? Pada dasarnya, natu-ralisme ingin menyatakan bahwa kehidupan, pikiran, kepribadian, dan

(10)

akal budi berasal dari sumber yang tidak memiliki kemampuan dan kualitas yang mendalam ini. Ini tentu akan menjadi akibat yang jauh lebih besar daripada penyebabnya!

Dalam tabel 1.1, dua model penjelasan menunjukkan kredibilitas posisi pandangan secara alkitabiah dan secara ateistis:

Allah secara unik menjelaskan kenyataan realitas-realitas yang abstrak dan nonfisik

Beberapa realitas kehidupan yang paling menakjubkan dan paling penting tidak dapat dideteksi oleh akal manusia. Realitas-realitas yang abstrak dan tak berwujud ini bersifat konseptual di alam dan terdiri dari hal-hal seperti angka, proposisi, bidang, sifat, hukum logika, nilai-nilai moral, dan hal-hal yang universal. Realitas-realitas ini dianggap oleh banyak orang sebagai realitas-realitas yang tak terlihat, universal, dan objektif.14 Realitas ini tidak tampak secara fisik, dan juga tidak mudah

diminimalkan, atau dijelaskan sehubungan dengan hal-hal fisik dan Pandangan ateistis naturalistis

a . Dunia diciptakan dari ketiadaan b. Kehidupan berasal dari

ketiadaan kehidupan

c. Manusia tidak ada hubungannya dengan individu tertentu d. Pikiran berasal dari ketiadaan

pikiran

e. Tatanan berasal dari ketiadaan tatanan

f. Akal budi berasal dari yang tidak rasional

g. Moralitas berasal dari ketidak-bermoralan

h. Informasi itu tanpa pengirim i. Kode berasal dari sesuatu yang

tidak terprogram

j. Kebenaran berasal dari suatu kebetulan

Pandangan teistis alkitabiah

a . Dunia diciptakan oleh Sang Pencipta b. Kehidupan berasal dari Sang

Kehidupan yang tertinggi c. Manusia itu ada hubungannya

dengan Individu Tertentu d. Pikiran berasal dari Sang Pemikir

yang tertinggi

e. Tatanan berasal dari Sang Penyelenggara tatanan f. Akal budi berasal dari suatu

Keberadaan yang rasional

g. Moralitas berasal dari Pribadi yang bermoral

h. Informasi itu dari seorang Pengirim i. Kode berasal dari Sang Pemrogram

pribadi

j. Kebenaran dari Kebenaran yang ter-tinggi

Tabel 1.1

Pandangan naturalistis dan alkitabiah

(11)

prosesnya. Materialisme sebagai teori metafisika, menghadapi beberapa masalah logika yang tidak dapat diatasi.15 Entitas-entitas konseptual ini

juga tidak tampak sebagai produk kesepakatan (hasil penemuan) manu-sia. Renungkan dua contoh singkat ini.

Pertama, sifat objektif angka. Gagasan atau ide “serba sembilan”

(nineness) (dilambangkan dengan angka 9) ditemukan dan tentu saja

dimanfaatkan oleh pikiran manusia, tetapi jelas tidak diciptakan oleh pikiran manusia. Realitas serba sembilan ini ditunjukkan dalam pernya-taan seperti “Kesembilan planet di tata surya sudah ada sebelum mun-culnya pikiran manusia yang pertama.” Setidaknya, sembilan planet di tata surya ini sudah ada sebelum manusia mengakui fakta ini (dan bahkan sebelum keberadaan manusia). Namun, jika simbol angka sembilan itu sudah ada sebelum adanya pikiran manusia yang pertama, maka angka itu membutuhkan sebuah landasan konseptual.

Seorang pemikir Kristen, Augustine dari Hippo (354-430 M) mem-bantah dengan mengatakan bahwa pikiran manusia sanggup memahami kebenaran-kebenaran yang universal, objektif, tidak berubah, dan yang diperlukan, lebih tinggi daripada pikiran manusia itu sendiri.16 Karena

kebenaran harus berada di dalam pikiran, Augustine menjelaskan bahwa kebenaran-kebenaran kekal ini didasarkan pada pikiran Allah yang kekal. Jadi, Allah yang kekal itu ada untuk menjelaskan kebenaran-kebenaran yang kekal ini.

Kedua, hukum dasar logika (sebagai contoh, hukum nonkontradiksi, tidak termasuk hukum penyisihan jalan tengah dan hukum jati diri) bukan merupakan hasil ketentuan manusia. Prinsip nonkontradiksi (sesuatu tidak dapat sekaligus ada dan tidak ada pada waktu yang bersamaan dan dengan cara yang sama) tidak saja secara kognitif diperlukan dan tak terbantahkan, tetapi secara ontologis benar. Prinsip ini mendefinisikan hakikat dari realitas itu sendiri.17 Logika tampaknya juga membutuhkan

fondasi di luar pikiran manusia.

Karena matematika dan logika (dasar ilmu pengetahuan) memiliki keabsahan dan memberikan pengetahuan nyata tentang dunia kepada manusia, maka kedua disiplin ilmu konseptual ini tidak bisa sekadar menjadi gagasan yang subjektif dan dibuat oleh manusia, tetapi harus berhadapan dengan realitas yang objektif. Namun, jika entitas-entitas abstrak ini merupakan realitas-realitas yang tak terlihat, nonfisik, dan

(12)

objektif, lalu bagaimana realitas-realitas ini bisa dipertanggungjawabkan dengan benar? Tentunya pandangan naturalistis—keyakinan bahwa alam semesta melukiskan semua yang ada di dalamnya—tidak mampu untuk mempertanggungjawabkannya.

Namun, pandangan teistis Kristen, mendasarkan realitas konseptual ini di dalam pikiran sosok spiritual yang tak terbatas, kekal, dan pribadi. Allah adalah Pencipta dari yang terlihat dan yang tidak terlihat, sumber dari hal yang masuk akal dan dapat dimengerti (Mzm. 148:2-5; Kol. 1:16-17). Dalam sebuah kerangka konseptual kristiani, Allah berfungsi sebagai dasar metafisika yang mampu menjelaskan entitas-entitas kon-septual dan epistemologis kritis (realitas independen yang ada).18

Allah secara unik menjelaskan realitas nilai-nilai etis yang objektif

Nilai-nilai moral adalah bagian mendasar dari kehidupan manusia, yang sama nyatanya seperti hukum gravitasi. Dan pada umumnya, orang-orang secara intuitif menyadari kewajiban moral mereka. Dalam hatinya, sesungguhnya manusia merasakan tarikan tugas dan kewajiban moral yang nyata. Perasaan untuk menunaikan kewajiban moral ini memang bersifat menentukan di alam ini, dan melampau perasaan sub-jektif dan pertimbangan pribadi semata (lih. bab 18 tentang bantahan terhadap kritik untuk relativisme moral). Orang dapat dengan sangat mudah mengelak atau mencoba untuk mencari-cari alasan atau bahkan melanggar kewajiban moral mereka (lih. bab 11 tentang doktrin dosa), tetapi bagaimanapun kewajiban-kewajiban moral ini tetap merupakan bagian penting dari kehidupan manusia. Intuisi moral mendasar seperti “Membunuh itu salah” atau “Bersikap mengasihi, jujur, berani, dan penuh belas kasihan itu benar” membuktikan kebenaran nilai-nilai moral yang objektif. Nilai-nilai ini tampaknya berdiri sebagai hal yang berbeda dan tidak tergantung pada pikiran dan kehendak manusia. Dengan kata lain, nilai-nilai ini ditemukan, bukan diciptakan.

Namun, apa yang menjelaskan keberadaan prinsip-prinsip moral yang objektif, universal, dan tidak berubah? Apa yang menjamin keabsahan prinsip-prinsip itu? Dan apa yang menjadi sumber dan dasarnya?

Nilai-nilai moral yang objektif secara logis tidak sesuai dengan segala bentuk relativisme etis, yang mencakup teori naturalistis, ateistis, evo-lusioner. Relativisme etis itu membingungkan dan tidak bisa berfungsi

(13)

sebagai teori moral yang dapat diterima. Di situ, ketidakhadiran Allah yang secara moral sempurna, moralitas hanya bersifat tradisional, tidak berdasarkan akal sehat, dan subjektif.

Prinsip-prinsip etis yang objektif memang ada, tetapi tidak mungkin ada di tengah kekosongan metafisika. Apa yang baik secara moral (etis) tidak dapat dipisahkan dari apa yang nyata (metafisika) dan apa yang benar (epistemologis). Ateisme tidak memiliki dasar untuk melatih kesa-daran manusia tentang kewajiban moral. Tanpa Allah, nilai-nilai moral yang objektif tidak memiliki jangkar metafisika dan karena itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Tidak seperti upaya-upaya sekuler untuk menjelaskan tentang morali-tas, etika teisme Kristen didasarkan pada natur Allah yang sempurna secara moral, yang secara khusus telah menyatakan kehendak-Nya kepada umat manusia. Oleh karena itu, Allah adalah sumber dan dasar bagi nilai-nilai moral yang objektif (lih. bab 18 untuk mendapatkan pen-jelasan tentang hubungan Allah terhadap etika). Hukum moral yang mutlak diberikan oleh Sang Pemberi Hukum moral kosmis. Allah yang dinyatakan di dalam Kitab Suci Yahudi-Kristen adalah Pribadi yang sempurna secara moral, yang ada di belakang tatanan moral yang objektif, yang ditemukan di dalam alam semesta.19

Allah secara unik menjelaskan makna, tujuan, dan signifikansi yang dirasakan dan dirindukan oleh manusia

Jika Allah tidak ada dan alam semesta merupakan produk proses-proses alam yang tidak beralasan dan tidak bertujuan, maka tidak ada makna yang objektif bagi kehidupan. Berdasarkan perspektif ini, fakta bahwa umat manusia itu ada hanyalah sebuah kebetulan evolusi yang menakjubkan. Umat manusia hidup di planet ini untuk waktu yang sangat singkat dan kemudian tidak ada lagi (kepunahan permanen). Dengan pandangan naturalistis yang menyedihkan ini, satu-satunya makna dan tujuan yang mungkin bisa dinikmati manusia adalah apa yang secara subjektif mereka buat untuk diri mereka sendiri.

Namun, dengan mengingat kematian diri yang mungkin segera terjadi, bersama dengan kepunahan spesies yang tak terelakkan dan kematian seluruh alam semesta karena entropi (hilangnya energi yang tersedia dalam menjalankan fungsinya), mungkinkah ada makna, tujuan,

(14)

signifikansi, dan nilai sejati dalam kehidupan, dengan cara yang sementara sekalipun?

Mempertimbangkan pertanyaan ini, kaum ateis cenderung terbagi menjadi dua kubu, ada yang optimistis dan ada yang pesimistis. Kaum ateis yang optimistis cenderung sangat menekankan manfaat-manfaat yang dirasakan oleh keyakinan ateistis (mis., otonomi pribadi). Namun, filsuf-filsuf eksistensial ateistis seperti Jean-Paul Sartre (1905-1980) dan Albert Camus (1913-1960) mengatakan bahwa pemikiran atas skenario ini (makna tujuan) menyebabkan kecemasan filosofis, keputusasaan, dan ketakutan.20 Menurut eksistensialis ateistis, manusia itu sendirian di

alam semesta, dan sendirian menghadapi kesulitan eksistensial kosmis. Namun, tiga hal di dalam diri manusia bertentangan dengan pers-pektif orang yang tidak bertuhan dan nihilistik ini. Pertama, kebanyakan manusia secara intuitif merasakan bahwa hidup mereka memiliki makna dan tujuan yang nyata dan objektif. Mungkin orang hanya tidak secara serius dan filosofis merenungkan kondisi mereka di dalam kehidupan. Namun, bahkan andaikata mereka tidak senang dengan apa yang mengisi kehidupan mereka masing-masing, umat manusia secara umum hidup dengan pengertian bahwa sesuatu yang berarti terjadi di belakang layar. Kedua, orang merindukan makna dan tujuan hidup yang berlang-sung sampai pada kehidupan setelah kematian. Bagi kebanyakan orang, keinginan dan pencarian atas suatu makna yang utama akan sampai pada keyakinan akan adanya kehidupan setelah kematian, dan biasanya meli-batkan kepercayaan kepada Allah. Manusia mungkin saja menggunakan bentuk kosmis keyakinan yang keliru, tetapi ilmu antropologi dan sosio-logi memperlihatkan bahwa manusia selalu memiliki intuisi spiritual yang mendalam tentang signifikansi yang kekal—sebenarnya sejak hari per-tama manusia diciptakan. Intuisi ini unik bagi manusia dan sangat sulit dijelaskan bila dikaitkan dengan evolusi Darwin. Sesungguhnya wajar bahwa pencarian makna dan tujuan merupakan salah satu karakteristik yang menentukan dari spesies yang dikenal sebagai Homo sapiens. Teolog filosofis Amerika Paul Tillich (1886-1965) telah menyatakan bahwa setiap orang, termasuk kaum ateis, mencari tujuan akhir dalam hidup.

Ketiga, jika dunia benar-benar tidak bermakna, maka kehidupan manusia pun tidak bermakna. Namun, konsep ini tidak cocok dengan alam pikiran. Bagaimana mungkin orang yang tinggal di dunia yang tidak

(15)

bermakna bisa melontarkan pengakuan luar biasa bermakna bahwa dunia ini tidak ada maknanya? Sebagaimana ditunjukkan oleh pemikir Kristen C. S. Lewis, ciptaan-ciptaan Allah yang tidak bermakna takkan pernah mendapati diri mereka tidak bermakna.21 Apakah kemampuan unik

manusia untuk merenungkan tentang makna kehidupan menjadi suatu petunjuk kuat bahwa memang ada sesuatu yang lebih dalam dari kehi-dupan?

Kesadaran dan kebutuhan manusia yang mendalam akan makna sangat cocok dengan pernyataan kebenaran Kristen bahwa Allah men-ciptakan manusia menurut gambar-Nya dan bahwa kebutuhan terbesar manusia adalah untuk didamaikan dengan Allah dan menikmati per-sekutuan dengan-Nya untuk selamanya (lih. bab 11). Ajaran unik tentang penebusan Kristus yang penuh kasih karunia menawarkan makna, tujuan, dan signifikansi sejati bagi orang-orang berdosa yang terasing dari Allah, dari sesamanya satu sama lain, dan dari diri mereka sendiri.

Allah secara unik menjelaskan kesadaran manusia tentang hal yang Ilahi

Kitab Suci menyatakan bahwa di dalam lubuk hatinya manusia tahu bahwa Allah itu ada. Allah menciptakan manusia menurut gambar diri-Nya, dengan memberikan kesadaran di dalam batin manusia tentang Sang Pencipta (lih. bab 3). Dia juga menciptakan lingkungan bagi manusia yang memicu dan mendorong munculnya kesadaran manusia berdosa ini akan keberadaan Allah. Oleh sebab itu, kesadaran Ilahi ini nyata bagi manusia, dengan berlandaskan faktor-faktor eksternal dan internal yang kuat. Secara eksternal, keberadaan, kekuasaan, kemuliaan, dan hikmat Allah terbukti bagi umat manusia, dan terwujud dalam lingkup kosmis yang mengelilinginya, yakni alam semesta (Mzm. 19:2-5). Secara internal, melalui hati nurani, manusia sangat menyadari akan tanggung jawab moral mereka kepada Sang Pencipta (Rm. 2:14-15).

Orang melihat, memahami, dan mengetahui bahwa ada Allah yang kepada-Nya mereka akan betanggung jawab langsung secara moral (berdasarkan faktor-faktor eksternal dan internal). Namun, dalam keber-dosaannya, manusia menekan kesadaran akan kebenaran ini (Rm. 1:18). Dengan demikian, manusia berdosa ini mengalami tarik-menarik antara kesadaran intelektual dan kesadaran spiritual, ia menginginkan sekaligus

(16)

menolak Allah. Meskipun ia diciptakan untuk tujuan khusus, yakni bersekutu dengan Penciptanya, manusia berdosa tetap menolak untuk mengakui Allah yang sejati atau menyetujui pertanggungjawaban moral kepada Penciptanya. Berlandaskan penyataan eksternal dan internal yang kuat ini Allah bermaksud menghakimi orang-orang yang tidak percaya kepada-Nya (Rm. 1:20). Oleh karena itu, kebutuhan terbesar manusia adalah penebusan (untuk diperdamaikan dengan Allah).

Kesadaran yang melekat dan intuitif akan adanya Allah ini, jika memang berakar dalam kebenaran, akan sangat menjelaskan tentang umat manusia. Kesadaran ini menjelaskan adanya dorongan religius dan moral yang mendalam di dalam diri manusia, serta fenomena uni-versal akan pengalaman religius. Beberapa orang telah menyebut manusia sebagai Homo religiosus karena kecenderungan dan natur religius dasar kita. Pada dasarnya, ateisme tampaknya sangat bertentangan dengan natur dasar manusia. Pandangan alkitabiah tentang kesadaran manusia akan Allah sangat cocok dengan pengalaman dan perilaku manusia.

Allah secara unik menjelaskan teka-teki tentang manusia

Kriteria penting untuk menerima agama sebagai hal yang benar adalah kemampuan agama itu untuk bertanggung jawab dan menjelaskan realitas-realitas penting yang dihadapi di dalam kehidupan. Salah satu realitas utama adalah teka-teki tentang manusia itu sendiri. Pemikir Kristen Blaise Pascal (1623-1662) dalam karya klasiknya, Pensées, meng-gambarkan manusia sebagai campuran yang tidak lazim antara “kea-gungan dan kemalangan,” karena pada saat yang sama manusia itu menjadi “kemuliaan dan sampah alam semesta” (lih. bab 6).

Natur manusia menimbulkan paradoks yang membingungkan. Meskipun manusia mampu melakukan hal-hal besar di bidang mate-matika, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, seni, perbuatan-perbuatan kemanusiaan dan amal, dan sebagainya, ia juga mampu melakukan tindakan-tindakan yang memalukan dan jahat—pemerkosaan, peram-pokan, rasisme, perbudakan, dan pembunuhan massal. Menjelaskan natur manusia menimbulkan suatu tantangan filosofis, psikologis, dan spiritual yang luar biasa.

(17)

Namun, Alkitab memegang rahasia untuk mengungkap teka-teki tentang manusia.

Pandangan teistis Kristen menegaskan bahwa keagungan manusia merupakan cerminan langsung dari imago Dei. Sebagai makhluk hidup yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, manusia mencermin-kan kemuliaan Penciptanya. Jadi, manusia itu menyerupai Allah dalam banyak hal, terutama bila dibandingkan dengan binatang.

Di sisi lain, kemalangan dapat ditelusuri sejak kejatuhan manusia pertama ke dalam dosa (Kej. 3). Adam menyalahgunakan kebebasannya untuk memberontak terhadap Allah dan sebagai akibatnya ia terpisah dari Allah dan sepenuhnya menjadi manusia berdosa. Namun, dosa Adam tidak hanya memengaruhi dirinya sendiri. Doktrin Alkitab menjelaskan bahwa seluruh umat manusia mewarisi perasaan bersalah dan kerusakan moral dari manusia pertama, Adam (Mzm. 51:7; 58:4; Rm. 5:12,18-19; 1Kor. 15:22). Dalam keadaan berdosa sekarang ini, manusia mampu menggunakan kualitas-kualitas yang dikaruniakan kepadanya oleh Allah untuk tujuan kejahatan.

Baik pandangan naturalistis maupun agama-agama alternatif di dunia tidak dapat sebaik Alkitab dalam menjelaskan teka-teki terbesar di dunia, yakni umat manusia.

Allah secara unik menjelaskan pengakuan, karakter, dan mandat Yesus Kristus

Menurut banyak dokumen PB yang secara historis dapat diandalkan (lih. bab 7), Yesus dari Nazaret membuat pengakuan-pengakuan yang tiada bandingnya bahwa Dia memiliki otoritas Allah selama pelayanan-Nya di tengah masyarakat (lih. bab 8). Dia menyamakan diri-pelayanan-Nya dengan Yahweh (Allah). Bahkan, secara langsung dan tidak langsung Dia mem-buat pengakuan bahwa Dia adalah Allah.

Sebagai contoh, di dalam Injil Yohanes, Yesus beberapa kali menye-but diri-Nya sebagai “Aku,” yang (dalam cara Dia menggunakannya) jelas merupakan salah satu ungkapan Ilahi yang paling suci dari PL dan praktis itu sama saja dengan mengaku bahwa “Akulah Allah” (bdk. penggunaan ungkapan ini oleh Yesus dalam Yoh. 8:24, 28, dan 58 dengan pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh Yahweh dalam Yes. 41:4; 43:10, 13, 25; 46:4; 48:12).

(18)

Orang-orang Yahudi pada waktu itu tentunya memahami hal ini sebagai pengakuan bahwa Dia adalah Allah. Itulah sebabnya mereka berusaha melempari Yesus dengan batu karena dianggap melakukan dosa menghujat Allah (Yoh. 8:59). Demikian pula dalam Injil Markus, Yesus secara terbuka mengaku sebagai Mesias dengan menyatakan bahwa Dia memiliki hak-hak istimewa dari Allah (Mrk. 14:61-64). Pengakuan Yesus secara tidak langsung bahwa Dia adalah Allah dibuktikan ketika secara unik Dia menggunakan hak-hak istimewa Allah itu (tindakan-tindakan yang hanya dilakukan oleh Allah saja). Sebagai contoh, Dia menerima penyembahan (Mat. 4:10; 28:16-17), mengampuni dosa (Mrk. 2:1-12), menyatakan diri-Nya sebagai Hakim akhir umat manusia (Yoh. 5:22, 27), dan bahkan menegaskan kemampuan-Nya untuk membangkitkan orang mati (Yoh. 5:21). Pengakuan yang belum pernah terjadi sebelumnya bahwa Dia adalah Allah menyebabkan Yesus ditangkap, dihukum, dan disalibkan dengan dakwaan khusus, yakni penghujatan. Dia mengaku bahwa Dia adalah Allah dalam tubuh manusia. Tidak ada pemimpin agama besar lainnya di dunia ini yang pernah menyatakan dirinya sebagai Allah. Namun, apakah ada alasan kuat untuk menerima pengakuan Yesus sebagai Allah?

Yesus memiliki mandat yang istimewa untuk mendukung pengakuan-Nya bahwa Dia adalah Allah. Renungkan empat hal singkat berikut ini. Pertama, Yesus menggenapi puluhan nubuat di PL yang sangat spesifik tentang jati diri, misi, dan pesan dari Mesias yang akan datang.22

Nubuat-nubuat ini (yang ditulis ratusan tahun sebelum kelahiran Yesus sendiri) memberikan detail-detail yang tepat tentang kelahiran, warisan, kehi-dupan, dan kematian Mesias yang telah lama ditunggu-tunggu. Banyak dari nubuat ini berada di luar kemampuan alami Yesus sebagai manusia untuk menggenapinya. Kesempatan yang membuat semua nubuat ini menjadi kenyataan dalam hidup Yesus benar-benar mengejutkan.

Kedua, menurut banyak catatan Injil yang telah terbukti, Yesus kerap melakukan mukjizat.23 Dia menyembuhkan penyakit-penyakit yang tak

tersembuhkan, mencelikkan mata orang yang buta, melipatgandakan sedikit makanan yang dimiliki untuk memberi makan ribuan orang, mene-nangkan badai, berjalan di atas air, dan bahkan membangkitkan orang mati. Dan musuh-musuh Yesus tidak meragukan kebenaran perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib itu. Prasangka yang menolak hal-hal yang

(19)

adikodrati kerap kali menahan kaum skeptis modern untuk memper-timbangkan dengan cermat kehidupan dan perbuatan-perbuatan Yesus. Namun, prasangka tersebut semestinya tidak menghalangi mereka untuk menerima peristiwa-peristiwa yang ajaib itu jika peristiwa-peristiwa tersebut secara historis terkenal. Rasanya masuk akal untuk menyim-pulkan bahwa jika Allah itu ada (tentu dari sudut pandang rasional), maka Dia akan melakukan mukjizat-mukjizat bila Dia datang ke bumi. Ketiga, Yesus menunjukkan karakter moral yang tak tertandingi selama tiga tahun pelayanan-Nya kepada masyarakat, yang berhasil meng-ubah dunia untuk selamanya. Para anggota keluarga, teman dekat, dan musuh bebuyutan tidak bisa sungguh-sungguh menemukan kesalahan moral pada diri-Nya. Ajaran Yesus berisi wawasan etika yang luar biasa, dan Dia memberikan teladan moral yang sempurna. Teladan moral pri-badi Yesus yang murni dan ajaran-ajaran-Nya yang mendalam berhasil meletakkan dasar bagi banyak teori etika yang dianut dan dipraktikkan di seluruh peradaban Barat, bahkan di kalangan yang bukan Kristen. Sebuah alasan kuat untuk menyimpulkan bahwa Yesus memang Allah yang berinkarnasi adalah bahwa pada dasarnya Dia itu sangat berbeda dibandingkan semua orang lainnya yang pernah ada di bumi. Bahkan para filsuf dan pemimpin agama-agama besar di dunia seperti Socrates, Siddhartha Gautama (Buddha), Konfusius, Musa, dan Salomo akan pudar bila dibandingkan dengan-Nya. Tidak ada yang memberikan dampak sebaik itu kepada dunia seperti yang dilakukan oleh Yesus dari Nazaret. Keempat, berbagai dokumen PB mencatat dengan sangat detail kesaksian dari tangan pertama tentang kebangkitan Yesus dari antara orang mati (lih. bab 10). Sampai akhir hayat (kadang-kadang sebagai martir) para rasul mengaku menjadi saksi mata dari kebangkitan tubuh Yesus. Mereka secara khusus mengaku telah melihat, mendengar, dan menyentuh Yesus yang bangkit pada berbagai kesempatan. PB mencatat banyak penampakan tersebut.

Para penguasa Romawi dan Yahudi tidak bisa membantah kebang-kitan itu. Bukti-bukti pendukung juga ditemukan di dalam kubur yang kosong, di banyak penampakan Kristus setelah penyaliban-Nya, peru-bahan pada diri para rasul yang tadinya penakut menjadi pengikut yang sangat setia (bahkan sampai martir), pertobatan dramatis Saulus asal Tarsus yang akhirnya menjadi rasul Paulus, pemunculan gereja Kristen

(20)

mula-mula dulu, perubahan hari resmi ibadah ke hari Minggu untuk memperingati hari kebangkitan, dan pada fakta bahwa semua penjelasan naturalistis alternatif tentang peristiwa ini gagal total (lih. bab 10).

Mandat Yesus sebagai Mesias yang Ilahi (Yeshua haMachiach) memang luar biasa: penggenapan nubuat PL, pelaksanaan berbagai muk-jizat, karakter pribadi yang tak tertandingi, pengaruh yang tak terhitung banyaknya dalam sejarah, dan kebangkitan tubuh dari kematian. Bukti-bukti ini mengarah pada satu kesimpulan yang mengejutkan: Yesus Kristus adalah Allah. Kita tidak perlu meragukan keberadaan Allah—Dia mem-buat diri-Nya dikenal di dalam diri Yesus dari Nazaret. Bahkan, Allah datang ke dunia untuk tinggal bersama kita. Dengan demikian, satu-satunya penjelasan yang benar-benar masuk akal untuk sejarah kehi-dupan, kematian, dan kebangkitan Yesus adalah bahwa Dia adalah Allah di dalam tubuh manusia. Di dalam pribadi Yesus Kristus, Allah secara klimaks dan tegas membuat diri-Nya dikenal oleh umat manusia.

Allah secara unik menjelaskan realitas-realitas kehidupan yang bermakna

Sekumpulan hal yang telah dijelaskan sebelumnya dalam buku ini dipandang sebagai bukti yang lebih kuat untuk menyatakan keberadaan Allah.

Realitas-realitas yang bermakna dan diperlukan, membutuhkan pen-jelasan yang memadai. Sebuah pandangan yang dapat diterima memiliki kekuatan penjelas dan ruang lingkup yang benar. Salah satu alasan ter-kuat bahwa kebenaran teisme Kristen itu memang benar adalah kemam-puannya untuk menjelaskan dan membuktikan banyaknya, beragamnya, dan tak terbantahkannya realitas-realitas kehidupan seperti yang dibahas di atas. Namun, argumen kolektif akhir patut dipertimbangkan.

Argumen Kumulatif

Argumen-argumen di dalam bab ini membutuhkan keberadaan Allah di dalam Alkitab sebagai sarana untuk menjelaskan realitas (pemi-kiran untuk penjelasan hipotesis yang terbaik). Argumen-argumen ini juga dapat dilihat sebagai argumen kumulatif dari bukti-bukti kuat ten-tang Allah di dalam Alkitab. Artinya, meskipun setiap argumen memiliki kekuatan logis atau bukti tertentu sendiri, argumen-argumen ini tetap

(21)

secara kolektif memiliki kekuatan pembuktian yang semakin meningkat dalam mendukung keberadaan Allah.

Melihat realitas-realitas luar biasa yang hadir di dunia dan di dalam kehidupan manusia akan membuat manusia percaya bahwa Allah di dalam Alkitab adalah dasar untuk semua realitas dan kebenaran. Di dalam Kitab Suci dikatakan:

Barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia. (Ibr. 11:6)

Namun, bagaimana orang dapat percaya kepada Allah yang tidak bisa mereka lihat? Pertanyaan ini merupakan topik yang akan dibahas pada bab berikutnya.

Pertanyaan Diskusi

1. Bagaimana agar percaya kepada Allah memberikan landasan filosofis untuk realitas-realitas kehidupan yang bermakna? 2. Mengapa alam semesta membutuhkan penyebab untuk

menje-laskan keberadaannya?

3. Mengapa realitas yang bermakna tentang kehidupan tidak dapat berasal dari peristiwa yang acak dan alami?

4. Bagaimana kekristenan menjelaskan tentang kondisi manusia dengan cara yang lebih baik daripada pandangan-pandangan lain-nya di dunia?

5. Dengan dasar apakah orang bisa diyakinkan bahwa Yesus Kristus adalah Allah?

Untuk Studi Lebih Lanjut

Boa, Kenneth D., dan Robert M. Bowman Jr. Faith Has Its Reasons: An

Inte-grative Approach to Defending Christianity (Colorado Springs: NavPress,

2001).

________. 20 Compelling Evidences that God Exists: Discover Why Believing in

God Makes So Much Sense (Tulsa, OK: River-Oak, 2002).

Evans, C. Stephen. Why Believe? Reason and Mystery as Pointers to God (Grand Rapids: Eerdmans, 1996).

Kreeft, Peter, dan Ronald K. Tacelli. Handbook of Christian Apologetics:

Hun-dreds of Answers to Crucial Questions (Downers Grove, IL: InterVarsity,

(22)

Miethe, Terry L., dan Gary R. Habermas. Why Believe? God Exists!

Rethink-ing the Case for God and Christianity (Joplin, MO: College Press, 1999).

Miller, Ed L. God and Reason: An Invitation to Philosophical Theology, edisi ke-2 (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 1994).

Moreland, J. P. Scaling the Secular City: A Defense of Christianity (Grand Rapids: Baker, 1987).

Moreland, J. P., dan William Lane Craig. Philosophical Foundations for a

Chris-tian Worldview (Downers Grove, IL: InterVarsity, 2003).

(23)

39

T

IDAK

D

APAT

S

AYA

L

IHAT

?

Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat. Karena iman kita mengerti, bahwa alam semesta telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari apa yang tidak dapat kita lihat.

––Ibrani 11:1, 3

Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan tangan kami tentang Firman hidup-itulah yang kami tuliskan kepada kamu. Hidup itu telah dinyatakan, dan kami telah melihatnya dan sekarang kami bersaksi dan memberitakan kepada kamu tentang hidup kekal, yang ada bersama-sama dengan Bapa dan yang telah dinyatakan kepada kami.

––1 Yohanes 1:1-2

J

ika Allah itu ada, mengapa saya tidak dapat melihat-Nya? Jika Dia menampakkan diri dan orang-orang benar-benar dapat melihat-Nya— atau jika saya bisa melihat-Nya melakukan mukjizat—maka saya akan percaya. Namun, jika tidak begitu, saya tidak dapat percaya kepada Allah. Saya hanya percaya pada apa yang saya lihat.” Kegalauan umum ini menimbulkan pertanyaan mengenai apa yang riil (metafisika) dan bagaimana orang dapat mengetahui realitas (epistemologi). Dua per-tanyaan muncul dalam pikiran: Apakah masuk akal untuk percaya pada sesuatu yang tidak dapat dilihat, terutama memercayai Allah yang tak terlihat? Dan jika Allah memang ada, mengapa Dia tidak membuat

(24)

diri-Nya dapat dilihat sehingga semua orang dapat percaya kepada-diri-Nya? Menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ini tentang keberadaan Allah yang tidak dapat dilihat, sebenarnya menekankan kebenaran doktrin kekristenan yang khas, yakni bahwa Allah telah muncul ke dunia secara unik.

Keyakinan yang Logis

Sudut pandang yang digambarkan dalam pernyataan “Saya hanya percaya pada apa yang saya lihat” memperlihatkan pendekatan terbatas tertentu pada natur realitas. Teori metafisika (pandangan tentang rea-litas) mengasumsikan bahwa semua realitas dapat direduksi, atau dije-laskan oleh hal-hal yang tampak secara fisik—bentuk kasar materialisme. Dengan kata lain, sesuatu yang ada (nyata) harus dapat dilihat. Jika dapat dilihat oleh mata, maka sesuatu itu harus hadir nyata secara fisik di alam. Perspektif ini juga mengungkapkan betapa realitas dapat diketahui. Filsuf Kristen J. P Moreland menyebut pendekatan ini sebagai “empi-risme sederhana.”1 Empirisme adalah teori epistemologis (pandangan

tentang pengetahuan) bahwa pengetahuan datang secara eksklusif melalui pancaindra (melihat, mendengar, mencium, merasakan, menyentuh).2

Ungkapan Jangan percaya sebelum melihat merupakan bentuk empirisme sederhana karena terbatas dan sederhana sifatnya.

Renungkanlah lima kritik berikut tentang pandangan epistemo-logis ini:

1. “Saya hanya percaya pada apa yang saya lihat” adalah pernyataan yang melawan dirinya sendiri

Pernyataan di atas merupakan pernyataan kontradiktif yang mene-gaskan namun sekaligus menyangkal makna dasarnya sendiri. Moreland menunjukkan bahwa “pernyataan ‘Saya hanya percaya pada apa yang dapat saya lihat’ tidak dapat dilihat.”3 Prinsip metafisika dan

epistemo-logis yang mendasari pernyataan “apa yang nyata dapat dilihat” tidak dapat dilihat! Pernyataan “Saya hanya percaya pada apa yang saya lihat” mengungkapkan prinsip konseptual yang berbeda dengan kalimat yang ditulis secara harfiah dan karena itu tidak dapat dilihat oleh mata atau terdeteksi oleh pancaindra lainnya. Jadi, menerima pernyataan “Saya hanya percaya pada apa yang saya lihat” berarti menerima prinsip yang

(25)

tidak dapat dilihat. Dengan kata lain, jika orang percaya pada pernyataan “Saya hanya percaya pada apa yang saya lihat,” maka ia tidak akan percaya pada pernyataan itu sendiri karena kepercayaan tersebut tidak dapat dilihat. Pernyataan “Saya hanya percaya pada apa yang saya lihat” men-jadi kemustahilan.

2. Banyak realitas terpenting dalam kehidupan ini tidak dapat dilihat

Masalah besar kedua dengan pernyataan yang hanya mau memer-cayai apa yang dapat dilihat oleh manusia adalah bahwa banyak hal yang nyata ada kerap tidak dapat diamati. Sejumlah entitas yang terkait dengan ilmu pengetahuan tidak dapat dilihat tetapi masih dianggap seba-gai bagian yang penting dari realitas. Magnet, gravitasi, listrik, elektron, dan neutrino adalah beberapa di antaranya. Nilai-nilai moral seperti keadilan dan kebaikan itu ada, tetapi itu semua tidak dapat dilihat. Orang menilai perbuatan manusia sebagai jahat atau baik, tanpa benar-benar bisa melihat nilai-nilai ini. Konsep kebenaran merupakan realitas yang tidak terlihat dan tidak terbantahkan. Kasih, suatu realitas kehidupan yang sangat dibutuhkan, juga tetap tidak dapat dilihat oleh mata. Perasaan dan emosi itu ada, tetapi tidak dapat dilihat langsung secara empiris.

Pemikiran filosofis yang cermat menunjukkan bahwa entitas-entitas abstrak yang penting seperti bilangan, bidang, proposisi, dan sifat tidak dapat dilihat namun riil. Realitas-realitas yang tidak dapat dilihat ini membutuhkan landasan metafisika. Filsuf Kristen Alvin Plantinga mem-berikan komentar provokatif perihal sifat abstrak bilangan:

Tampaknya masuk akal bila kita menganggap bilangan itu bergantung pada atau bahkan dibentuk oleh aktivitas intelektual. Terlalu banyak bilangan yang muncul sebagai akibat dari aktivitas intelektual manusia. Oleh karena itu, kita harus menganggap bilangan-bilangan itu sebagai . . . konsep pikiran yang tidak terbatas: pikiran Ilahi.4

Berlawanan dengan pandangan bahwa Allah itu tidak ada karena Dia tidak dapat dilihat, banyak filsuf teistik secara bijaksana menganggap keberadaan-Nya yang tak terlihat sebagai landasan filosofis yang diper-lukan untuk entitas-entitas abstrak nyata lainnya yang tak dapat disang-kal. Pandangan Kristen menegaskan bahwa apa yang dapat dilihat sebe-narnya bergantung pada apa yang tidak dapat dilihat.

(26)

Kelemahan utama segala bentuk materialisme, termasuk bentuk yang paling sederhana, adalah ketidakmampuannya untuk menjelas-kan komponen-komponen kehidupan yang transenden. Cacat ini benar-benar unik dalam hubungannya dengan unsur-unsur kognitif atau kon-septual. Kita tidak dapat melihat pikiran kita. Otak dapat dilihat, tetapi pikiran tidak dapat dilihat.5 Akan tetapi, kita tidak meragukan realitas

masing-masing. Orang yang menyangkal keberadaan batin dan pikiran karena keduanya tidak dapat dilihat akan dianggap tidak rasional.

Apakah hukum logika (hukum nonkontradiksi, penyisihan jalan tengah, dan jati diri) itu bersifat lahiriah, bendawi, atau kasatmata? Tidak. Namun, hukum nonfisik, abstrak, dan tak terlihat ini adalah realitas6—inilah yang memungkinkan terbentuknya rasionalitas manusia

dan kejelasan di dunia.

Pada awalnya memang tampak logis bila kita memercayai hal-hal yang hanya dapat dideteksi oleh pancaindra. Namun, setelah direnungkan dengan serius, posisi ini tidak memiliki kekuatan penjelas, bahkan untuk menjelaskan realitas kehidupan yang paling mendasar. Sudut pandang secara fisik ini malah menjadi puncak ketidakrasionalan.

3. Aktivitas ilmiah bergantung pada hal-hal yang tidak dapat diamati secara langsung

Para ilmuwan yang menganut naturalisme (alam adalah realitas ter-tinggi) kerap mengungkapkan, atau secara tidak langsung mengatakan, “Saya hanya percaya pada apa yang dapat diamati secara empiris, atau apa yang dapat disimpulkan dari apa yang diamati secara empiris.” Pernyataan ini juga merupakan pernyataan yang melawan dirinya sendiri. Filsuf Kristen Greg L. Bahnsen mengulang komentar Moreland tadi: “Pernyataan ‘Saya hanya percaya pada apa yang dapat diamati secara empiris, atau apa yang dapat disimpulkan dari apa yang diamati secara empiris’ mustahil berasal dari pengamatan empiris!”7 Pandangan bahwa

hanya alam saja yang ada tidak mungkin berasal dari penyelidikan ilmiah. Sebaliknya, anggapan yang bukan empiris atau dogma sekulerisme sering-kali mengganggu penyelidikan ilmiah.8

Carl Sagan menyatakan dalam pembukaan serial televisi PBS-nya yang sangat populer, Cosmos, “Kosmos adalah semua yang ada, atau yang pernah ada, atau yang akan ada.” Namun, pernyataan naturalistis

(27)

dan ateistis Sagan yang berani itu mustahil hanya berasal dari metode ilmiah induktif yang begitu diidolakannya.9 Sebenarnya, sebuah

kon-sensus ilmiah yang sedang berkembang menegaskan bahwa studi yang cermat tentang alam semesta memperlihatkan sebuah kosmos yang terus disempurnakan (kosmologi ledakan dahsyat, prinsip antropik)—yang membutuhkan penyebab utama yang cerdas di balik hal itu.10 Aktivitas

ilmu pengetahuan menganggap sejumlah kebenaran dasar tidak sepe-nuhnya berasal dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Agar aktivitas ilmiah dapat berlangsung dan berkembang, beberapa asumsi nonempiris ten-tang dunia harus benar (lih. bab 14).

4. “Saya tidak dapat percaya kepada Allah yang tidak dapat saya lihat” masuk dalam kesalahan kategori.

J. P. Moreland mendefinisikan kesalahan kategori dan menjelaskan mengapa sikap yang menuntut untuk melihat Allah yang ada di dalam Alkitab itu tergolong dalam kesalahan tersebut:

Sebuah kesalahan kategori adalah kesalahan menempatkan suatu karakteristik pada sesuatu yang hanya berlaku bagi objek dari kategori yang lain. Sebagai contoh, disebut salah kategori ketika kita menetap-kan warna untuk nada C. Suara tidak berwarna. Juga disebut salah kategori ketika kita menyalahkan warna karena tidak berbau, hal-hal yang universal karena tidak terletak pada satu tempat saja, dan Allah karena tidak memiliki sebuah entitas empiris. Jika Allah itu ada, menu-rut definisinya (dalam kekristenan ortodoks), Allah itu merupakan Roh yang tidak terbatas. Kodrat roh bukan untuk terlihat secara empi-ris seperti halnya objek yang bersifat materi. Disebut kesalahan kate-gori ketika kita memberlakukan hal-hal yang berhubungan dengan pancaindra untuk Tuhan, atau menyalahkan-Nya karena bukan menjadi objek yang terlihat.11

Moreland mengamati pandangan Kristen historis, yakni bahwa Allah adalah Roh yang kekal dan tidak terbatas. Jika ada alasan yang kuat untuk memercayai kebenaran penyataan kekristenan (betapa Allah telah menyatakan diri-Nya), maka seseorang harus dipersiapkan untuk mene-rima Allah apa adanya. Bersikeras bahwa Sang Pencipta harus memenuhi persyaratan epistemologis makhluk yang diciptakan-Nya mungkin meru-pakan sikap yang gegabah dan sesat secara spiritual. Walaupun pengu-jian intelektual, kearifan, dan pemikiran logis sangat tepat dalam upaya

(28)

untuk menjawab kritik-kritik keagamaan, makhluk ciptaan harus belajar bersikap rendah hati dalam mengakui bahwa Sang Pencipta, jika Dia ada, natur-Nya pasti sangat berbeda dari ciptaan-Nya dan Dia pasti memiliki rencana-Nya sendiri yang berdaulat untuk menyatakan diri-Nya.

5. Memercayai Allah yang dipakai untuk menjelaskan hal yang tidak dapat dilihat dalam fenomena alam semesta, dapat dibenarkan

Realitas-realitas teoretis (yang tidak terlihat) kerap dikemukakan untuk menjelaskan apa yang dapat dilihat. Dalam ilmu pengetahuan, teori dikembangkan untuk menjelaskan keragaman fenomena alam. Hal serupa terjadi di bidang ilmu filsafat. Teori-teori penjelas yang terbaik (dalam ilmu pengetahuan atau filsafat) tampak seimbang antara kom-pleksitas dan kesederhanaannya, bertalian secara logis, sesuai dengan fakta-fakta, menghindari praduga yang tidak beralasan, dapat diuji, menghasilkan prediksi, dan dengan demikian memiliki kekuatan pen-jelasan yang benar. Keberadaan Allah di dalam Alkitab (Sang Pencipta dan Penebus yang tidak terbatas, kekal, dan bersifat pribadi) menjelaskan banyak hal yang, tanpa kepercayaan terhadap diri-Nya, sangat sulit untuk dijelaskan. Filsuf Oxford, Richard Swinburne, tidak setuju jika kebe-radaan Allah dijadikan sebagai penjelasan untuk fenomena kompleks yang ditemukan di dunia.

Para ilmuwan, sejarawan, dan penyelidik mengamati data, lalu mereka masuk ke beberapa teori terbaik yang dianggap dapat menjelaskan terjadinya data ini . . . Kita mendapati bahwa pandangan tentang adanya Allah dapat menjelaskan segala sesuatu yang kita amati, bukan sekadar beberapa kisaran data yang sempit. Hal ini menjelaskan fakta bahwa alam semesta itu ada, bahwa hukum-hukum ilmiah beroperasi di dalamnya, bahwa alam semesta berisi hewan dan manusia yang sadar dengan tubuh yang terorganisasi dengan rumit dan sangat kompleks, bahwa kita memiliki banyak peluang untuk mengembangkan diri kita sendiri dan dunia, serta data yang lebih khusus bahwa manusia men-ceritakan tentang mukjizat-mukjizat yang terjadi dan memiliki penga-laman religius . . . Kriteria yang sama, yang digunakan para ilmuwan untuk menjangkau teori mereka sendiri, membawa kita bergerak melam-paui teori-teori itu menuju Allah Sang Pencipta yang menopang segala sesuatu yang ada.12

(29)

Teisme Kristen yang percaya kepada Allah mampu menjelaskan sejumlah besar realitas dalam pengalaman manusia (lih. bab 1 tentang keberadaan Allah). Realitas-realitas ini meluas ke alam semesta (kebe-radaannya, tatanan, dan keseragamannya), entitas abstrak (bilangan, proposisi, dan hukum-hukum logika), prinsip-prinsip etis (nilai-nilai moral yang universal dan objektif), manusia (keberadaan, kesadaran, dan rasionalitas mereka), dan fenomena religius (peristiwa-peristiwa mukjizat dalam kekristenan). Jadi, meskipun esensi Allah tidak benar-benar dapat dilihat, keberadaan-Nya dapat disimpulkan sebagai pen-jelasan atas realitas yang diperlukan kehidupan. Namun, keberadaan Allah tidak naif diasumsikan sebagai penjelasan untuk ketidaktahuan manusia (praduga tentang “Allah kesenjangan”), melainkan sebagai teori penjelas yang benar dan berlaku untuk natur realitas. Filsafat skeptis tentang kehidupan benar-benar mengalami kesulitan untuk menjelaskan dan membenarkan realitas ini.

Lima hal yang dibahas di atas menunjukkan bahwa tidak logis bila manusia menolak keberadaan Allah hanya karena Allah tidak dapat dilihat secara empiris. Namun, sebagian orang masih berpikir bahwa jika Allah memang ada, Dia telah gagal untuk menyatakan diri-Nya seutuh-nya.

Keberadaan yang Jelas

Memahami sifat dari penyataan/pewahyuan Allah—penyingkapan akan sesuatu, baik yang tidak diketahui sebelumnya atau yang belum sepenuhnya diketahui—akan menjawab keluhan tentang mengapa Allah tidak membuat keberadaan-Nya jelas agar setiap orang akan percaya kepada-Nya. Kekristenan yang historis terdiri dari kepercayaan tradi-sional dan ajaran kekristenan sebagaimana yang ditemukan di dalam Kitab Suci Yahudi-Kristen dan dengan tepat diringkas menjadi sebuah pengakuan iman rasuli umat Kristen (lih. bab 4). Dengan demikian, kekristenan yang historis dapat disebut sebagai agama pewahyuan. Dalam hal ini, penyataan-Nya mengacu pada penyingkapan tentang diri Allah sendiri. Kekristenan menjelaskan bahwa Allah telah menyatakan diri-Nya dengan jelas dan penuh makna kepada umat manusia dengan dua cara yang berbeda: dalam penyataan/wahyu umum melalui alam dan hati nurani, dan dalam penyataan/wahyu khusus melalui Alkitab dan

(30)

terutama melalui Yesus Kristus (lih. bab 3). Penyataan umum Allah saja menyatakan secara meyakinkan bahwa “karakteristik tak terlihat pada diri Allah—kuasa-Nya yang kekal dan keilahian-Nya—telah terlihat dengan jelas dan dapat dipahami melalui ciptaan-Nya sehingga semua orang tidak dapat mengelak” (Rm. 1:20).

Jadi, bagaimana dengan mereka yang menyatakan bahwa tidak ada bukti yang cukup untuk membuktikan keberadaan Allah? Sebagian orang berpendapat bahwa bagi mereka yang sadar secara spiritual dan berpandangan terbuka, ada banyak bukti terpapar agar manusia dapat percaya pada keberadaan Allah. Namun, bagi orang skeptis yang secara spiritual tidak sensitif dan berpikiran sempit, masih ada cukup ketidak-jelasan, setidaknya dalam pikirannya, yang membuat mereka tetap meng-ungkapkan alasan ketidakpercayaan mereka. Menurut Alkitab, kejatuhan manusia dalam dosa (pemberontakan Adam) berpengaruh pada kero-hanian (kemampuan kognitif dan/atau pembentukan kepercayaan), yakni dosa itu telah membutakan pikiran manusia tentang keberadaan Allah (Ef. 2:1-3; 4:17-19).

Tanpa dosa, keberadaan Allah akan sangat jelas bagi semua orang. Dari sudut pandang alkitabiah, orang-orang yang tidak percaya tidak melihat betapa kekerasan hati mereka (kedegilan rohani dan moral) menahan mereka untuk percaya kepada Allah. Ketidakpercayaan mereka berakar dari pemberontakan dan kecongkakan, yang pada dasarnya merupakan ibadah palsu (1Sam. 15:22-23). Kejahatan seperti itu menim-bulkan penyembahan berhala dan amoralitas. Meskipun Allah telah mem-berikan tanda-tanda yang kuat tentang keberadaan-Nya, orang yang skeptis sengaja mengabaikan dan/atau menahan tanda-tanda tersebut (Mzm. 14, 19; Rm. 1). Faktor-faktor manusiawi yang tidak rasional seperti kesombongan dan hasrat untuk tidak bergantung pada siapa pun menghalangi mereka untuk percaya kepada Allah. Penolakan terhadap Allah tidak membuktikan bahwa keberadaan-Nya kurang dinyatakan.

Kontak Langsung dengan Manusia

Orang-orang yang mengatakan bahwa mereka akan percaya kepada Allah jika Dia muncul, dapat merenungkan keunikan Yesus Kristus. Dari semua agama di dunia, hanya agama Kristen-lah yang membuat per-nyataan yang dapat dibuktikan secara historis bahwa Allah telah

(31)

mema-suki dunia waktu dan ruang. Doktrin inkarnasi (lih. bab 9) mengajar-kan bahwa Yesus Kristus datang ke dunia dengan berbalutmengajar-kan daging manusia—satu-satunya theanthropos (Allah-manusia) (lih. Yoh. 1:1,14; Flp. 2: 6-8; Kol. 2:9).

Seorang ahli PB, Craig Blomberg, mengomentari natur historis dari inkarnasi ini, “Iman yang alkitabiah pada dasarnya merupakan komitmen kepada Allah yang berintervensi di dalam sejarah umat manusia dengan memperlihatkan aktivitas-Nya untuk penelitian sejarah.”13 Injil

meng-ungkapkan kehidupan Yesus Kristus dan dimaksudkan untuk menyatakan peristiwa-peristiwa bersejarah (lih. bab 7). Meskipun para rasul tidak dapat benar-benar melihat natur Ilahi Yesus (karena Allah dalam hakikat-Nya adalah Roh Tritunggal yang tidak terbatas), mereka tetap menyim-pulkan keilahian-Nya dari karakter pribadi-Nya yang tak tertandingi, penggenapan nubuat tentang Mesias, dan karya-karya-Nya yang ajaib (terutama kebangkitan-Nya sendiri, lih. bab 10). Mereka juga menya-takan diri mengalami perjumpaan dengan Kristus yang telah dibang-kitkan. Rasul Yohanes menulis bahwa ia melihat, mendengar, dan menyentuh Tuhan yang telah bangkit (1Yoh. 1:1-3). Para rasul lain memiliki pengalaman serupa (Luk. 24:36-43; Yoh. 20:24-31; Kis. 9: 1-9).

Pemikir Kristen ternama, C. S. Lewis, mendorong orang untuk memikirkan realitas munculnya Allah di dunia:

Pribadi kedua Allah, Sang Putra, menjadi manusia, lahir ke dunia sebagai manusia sejati—seorang manusia sejati dengan tinggi badan tertentu, dengan rambut berwarna tertentu, berbicara dalam bahasa tertentu, dengan berat tubuh tertentu. Pribadi yang kekal itu, yang mahatahu dan yang menciptakan alam semesta, bukan sekadar menjadi manusia, melainkan (sebelum itu) menjadi bayi, dan sebelumnya lagi menjadi janin di dalam tubuh seorang Perempuan.14

(Tujuan dari penampakan-Nya dibahas lebih lanjut di bab 9.)

Mata manusia tidak dapat melihat banyak hal penting yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Secara metafisika, hal yang tidak dapat dilihat menjadi dasar bagi hal yang dapat dilihat. Sebagai Sosok spritual yang tidak terbatas dan kekal, esensi Allah tidak dapat dilihat oleh mata. Namun, itu berarti bahwa Allah kurang menyatakan diri-Nya kepada manusia. Pernyataan Yesus kepada Filipus menjelaskan,

(32)

“Barang-siapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (Yoh. 14:9). Penjelasan lebih lanjut tentang bagaimana Allah telah menyatakan diri-Nya akan dibahas di dalam bab berikutnya.

Pertanyaan Diskusi

1. Mengapa pernyataan “Saya hanya percaya pada apa yang saya lihat” melawan dirinya sendiri?

2. Mengapa realitas-realitas abstrak dan nonempiris lebih sesuai dengan teisme Kristen daripada dengan naturalisme?

3. Bagaimana keberadaan Allah bisa lebih disukai daripada ateisme untuk menjelaskan tentang dunia dan kehidupan?

4. Bagaimana pandangan Kristen tentang wahyu Allah dalam menanggapi penolakan akan keberadaan Allah?

5. Bagaimana doktrin inkarnasi membuat penyataan Allah itu menjadi unik?

Untuk Studi Lebih Lanjut

Erickson, Millard J. The Word Became Flesh: A Contemporary Incarnational

Christology (Grand Rapids: Baker, 1991).

Montgomery, John Warwick. History and Christianity (Minneapolis: Bethany, 1965)

Moreland, J. P. Scaling the Secular City: A Defense of Christianity (Grand Rapids: Baker Book House, 1987).

Reymond, Robert L. Jesus, Divine Messiah: The New Testament Witness (Phillipsburg, NJ: Presbyterian and Reformed, 1990).

(33)

49

“Kami ada di sini untuk memberitakan Injil kepada kamu, supaya kamu meninggalkan perbuatan sia-sia ini dan berbalik kepada Allah yang hidup, yang telah menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya. Dalam zaman yang lampau Allah membiarkan semua bangsa menuruti jalannya masing-masing, namun Ia bukan tidak menyatakan diri-Nya dengan berbagai-bagai kebajikan, yaitu dengan menurunkan hujan dari langit dan dengan memberikan musim-musim subur bagi kamu. Ia memuaskan hatimu dengan makanan dan kegembiraan.”

––Kisah Para Rasul 14:15-17

Manusia tidak pernah bersikap netral berkaitan dengan Allah. Kita dapat menyembah Allah sebagai Pencipta dan Tuhan, atau sebaliknya, kita dapat berpaling dari Allah. Karena hati ditujukan kepada Allah atau sebaliknya, menentang-Nya, maka pemikiran teoretis tidak pernah menjadi semurni atau bisa berdiri sendiri seperti yang ingin dipikirkan oleh banyak orang.

––Benjamin Breckinridge Warfield, The Inspiration and Authority of the Bible

B

agaimana orang tahu bahwa Allah itu ada? Jika Dia benar-benar ada, apa yang bisa diketahui tentang diri-Nya, natur-Nya, dan kuasa-Nya? Dan bagaimana Allah berelasi dengan dunia?

Jawaban kristiani yang historis untuk pertanyaan-pertanyaan ini ditemukan di dalam doktrin pewahyuan. Pengajaran ini menggambarkan penyingkapan atas sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui atau yang tidak sepenuhnya diketahui. Iman Kristen menyatakan bahwa Allah mengambil inisiatif untuk menyatakan diri-Nya secara dinamis dan tegas. Dengan demikian, kekristenan merupakan sistem kepercayaan yang

(34)

didasarkan pada penyataan diri Allah dan mengajarkan bahwa pewah-yuan/penyataan diri Allah itu dibutuhkan sepenuhnya oleh individu untuk mengenal Allah. Teolog injili Millard J. Erickson menjelaskan mengapa pewahyuan dan hubungan yang terjalin selanjutnya ini harus diprakarsai oleh Allah, “Karena manusia itu terbatas dan Allah itu tidak terbatas. Jadi, jika mereka mau mengenal Allah, hal itu harus terjadi melalui perwujudan Allah sendiri.”1

Menurut sejarah kekristenan, Allah telah menyatakan diri-Nya dalam dua cara yang berbeda: melalui dunia ciptaan-Nya (wahyu umum— pengenalan akan Allah melalui tatanan yang diciptakan-Nya) dan Firman-Nya (wahyu khusus—pengenalan akan Allah melalui sejarah penebusan oleh Yesus). Kita dapat sekilas menyelidiki konsep kristiani tentang pewahyuan ganda tersebut dengan memeriksa dua bagian penting dari Kitab Suci dan dengan merenungkan bagaimana dua bentuk pewahyuan itu, dunia ciptaan-Nya dan Firman-Nya, berhubungan satu sama lain.

Konsep Teologi Kristen tentang Wahyu Ganda

Selama berabad-abad, para teolog telah melontarkan berbagai pan-dangan yang saling bertentangan mengenai konsep sebuah wahyu ganda. Keragaman pendapat ini terutama sangat jelas ketika berbicara tentang natur, jangkauan, dan keberhasilan wahyu umum.2 Di salah satu ujung

dunia terdapat seorang teolog Swiss Karl Barth (1886-1968), yang tidak akan menerima wahyu apa pun selain “pengalaman” keselamatan di dalam Kristus (penolakan terhadap semua wahyu umum atau alami). Di ujung yang lain, teolog Anglikan William Paley (1743-1805) menciptakan teologi natural yang meluas (interpretasi manusia tentang wahyu umum di luar Alkitab). Terlepas dari lingkup keragaman yang luas ini, telah dan tetap ada suatu kesepakatan bersama di antara sebagian besar teolog Kristen bahwa Allah telah membuat diri-Nya dikenal melalui wahyu umum dan khusus.3

Wahyu Dua Kitab

Kelompok Protestan Ortodoks mendefinisikan atau mengklasifi-kasikan kedua bentuk penyataan diri Allah dengan cara berikut ini:

(35)

Wahyu Umum

Keberadaan, kuasa, hikmat, keagungan, kebenaran, dan kemuliaan Allah diperlihatkan kepada semua orang di segala zaman dan tempat melalui tatanan yang tercipta, yang meliputi alam, sejarah, dan hati nurani manusia.4

Pernyataan inklusif ini mengambil dua bentuk yang berbeda. Pertama, wahyu umum eksternal yang terdiri dari tatanan yang tercipta, atau alam (yang memperlihatkan karya Allah selaku Pencipta dunia yang transenden dan penuh kepedulian), dan urutan sejarah yang sudah ditentukan-Nya (yang memperlihatkan karya Allah sebagai Pemelihara dunia yang ber-daulat). Kedua, wahyu umum internal yang meliputi perasaan yang dibawa sejak lahir atau kesadaran akan adanya Allah, dan hukum moral di dalam hati manusia.

Wahyu umum internal secara langsung berhubungan dengan ajaran Alkitab tentang imago Dei (gambar Allah: Kej. 1:26-27). Sebagai puncak ciptaan Allah, manusia secara unik menampilkan citra Allah dengan kemampuan rasionalnya, kehendak moralnya, keistimewaan relasional-nya, kualitas spiritualnya yang unik, dan kekuasaannya atas alam. Sebagai satu-satunya makhluk yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, umat manusia mencerminkan keagungan Pencipta mereka, namun dengan cara yang terbatas. Dan setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa, citra ini menjadi ternoda.

Wahyu Khusus

Penyataan diri Allah yang lebih spesifik dan khusus diwujudkan di dalam dan melalui tindakan-tindakan penebusan-Nya yang agung, ber-bagai peristiwa, dan firman-Nya.5 Bentuk penyataan khusus ini muncul

di waktu-waktu dan di tempat-tempat yang khusus. Penyingkapan kebe-radaan-Nya yang detail ini muncul dalam dua tahap: Pertama, Allah menyatakan diri melalui umat perjanjian-Nya seperti para bapa leluhur, nabi, dan raja Ibrani (sebagaimana dicatat dan ditafsirkan oleh para nabi dalam PL). Kedua, wahyu Allah secara tegas mencapai puncaknya dalam inkarnasi Yesus Kristus, Allah yang menjadi manusia. Kehidupan, kema-tian, dan kebangkitan Yesus Kristus (sebagaimana dicatat dan ditafsirkan oleh para rasul dalam PB) mencatat puncak masuknya Allah ke dalam sejarah manusia.6

(36)

Menurut Alkitab, perantara dari seluruh wahyu adalah Yesus Kristus—Logos yang Ilahi—Firman yang kekal dan Sang Anak yang “menerangi setiap orang” (Yoh. 1:9). Teolog injili Carl F. H. Henry menjelaskan fokus kristologis dari wahyu khusus:

Wahyu khusus dalam sejarah yang dipenuhi kekudusan mencapai puncaknya melalui inkarnasi Sang Firman yang hidup dan penulisan firman yang diucapkan. Oleh karena itu, Injil penebusan bukan sekadar serangkaian tulisan abstrak yang tidak berhubungan dengan peristiwa sejarah tertentu. Injil penebusan merupakan berita dramatis bahwa Allah telah bertindak untuk menyelamatkan sejarah, yang mencapai puncaknya melalui Pribadi Kristus yang berinkarnasi dan karya-Nya (Ibr. 1:2) bagi keselamatan umat manusia yang terhilang.7

Perbedaan wahyu umum/khusus ini, meskipun bermanfaat secara teologis dan berasal dari Alkitab, tetap tidak sempurna dan dapat diang-gap artifisial. Pada akhirnya, wahyu Allah menjadi suatu kesatuan sehingga tak lagi dapat dibedakan terlalu tajam. Allah yang sama telah menyatakan diri-Nya dengan cara yang umum dan khusus.

Teolog injili Robert Saucy menyatakan bahwa mengenal Allah melalui kedua wahyu-Nya secara kasar dapat disamakan dengan mengenal seo-rang seniman.8 Meskipun sesuatu yang signifikan dari si seniman dapat

diketahui dengan melihat pekerjaannya (wahyu umum), pengenalan yang luas dan lebih spesifik dapat terjadi melalui komunikasi antarpribadi (wahyu khusus) dengan si seniman.

Para teolog Protestan kadang-kadang menyebut pandangan wahyu ganda ini sebagai “teori dua kitab.” Allah adalah penulis kitab/buku abstrak tentang alam (dunia ciptaan-Nya) dan penulis Kitab Suci yang harfiah (Firman Allah yang tertulis). Pengakuan Iman Rasuli Belgia (Peng-akuan Iman Rasuli Reformed yang dipersiapkan pada tahun 1561) menggunakan metafora dua kitab ini dengan djudul “The Means by Which

We Know God” (Cara-cara yang Melaluinya Kita Mengenal Allah):

Kita mengenalnya dengan dua cara: Pertama, melalui penciptaan, pelestarian, dan pemerintahan alam semesta, karena alam semesta yang berada di depan mata kita seperti buku yang indah di mana semua ciptaan Allah, besar maupun kecil, bagaikan surat-surat yang membuat kita merenungkan hal-hal tentang Allah yang tidak dapat dilihat . . . Kedua, Dia membuat diri-Nya dikenal oleh kita dengan lebih terbuka melalui

(37)

Firman-Nya yang kudus dan ilahi, sebanyak yang kita butuhkan dalam hidup ini, bagi kemuliaan-Nya dan demi keselamatan milik-Nya.9

Dasar Alkitabiah untuk Wahyu Ganda

Perjanjian Lama

Teks utama yang mendukung konsep wahyu ganda ini adalah Maz-mur 19:2-5, 8-12.

Langit menceritakan kemuliaan Allah,

dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya; hari meneruskan berita itu kepada hari,

dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam. Tidak ada berita dan tidak ada kata,

suara mereka tidak terdengar;

tetapi gema mereka terpencar ke seluruh dunia, dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi. Taurat TUHAN itu sempurna,

menyegarkan jiwa; peraturan TUHAN itu teguh,

memberikan hikmat kepada orang yang tak berpengalaman. Titah TUHAN itu tepat,

menyukakan hati; perintah TUHAN itu murni,

membuat mata bercahaya. Takut akan TUHAN itu suci,

tetap ada untuk selamanya; hukum-hukum TUHAN itu benar,

adil semuanya,

lebih indah dari pada emas,

bahkan dari pada banyak emas tua; dan lebih manis dari pada madu,

bahkan dari pada madu tetesan dari sarang lebah. Lagipula hamba-Mu diperingatkan oleh semuanya itu,

dan orang yang berpegang padanya mendapat upah yang besar. Di ayat 2-5, penulis yang diilhami, yakni Raja Daud, membayangkan kemuliaan Allah yang dinyatakan dalam tatanan yang diciptakan-Nya. Dari ayat-ayat ini, teolog Kristen, Bruce Demarest menyatakan empat hal berikut ini:10

Referensi

Dokumen terkait

Dari istilah diatas akan ditegaskan bahwa judul peneitian ini adalah suatu penelitian yang membahas bagaimana proses komunikasi interpersonal antara guru dengan

( 1) Dalam hal berdasarkan hasil UAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5) dinyatakan bahwa sistem Interkoneksi pada Bank Umum telah memenuhi ketentuan

Segala puji bagi Allah SWT atas segala Rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “Pengaruh Kualitas Audit, Pertumbuhan

Perjalanan ibadah merupakan pengalaman spiritual yang sangat besar nilainya bagi konsumen, sehingga citra positif memberikan peran besar tersebarnya reputasi baik perusahaan

Proses 1.0- Sub Bagian Program dan Keuangan Penjelasan : Dokumen sebagai pelaksanaan anggaran Periode : Setiap kali terjadi pelaksanaan anggaran Volume : Volume rata-rata

Sebaran contoh menurut kategori z-score anak dan pengetahuan, sikap serta praktik gizi ibu/pengasuh dapat dilihat pada Tabel 25 Sebesar 38.9% ibu/pengasuh dengan pengetahuan gizi

Adapun yang menjadi fokus permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana pemasaran produk yang dilakukan oleh anggota MLM tersebut, strategi perekrutan anggota yang

Analisis kuantitatif ditunjukkan dengan peningkatan nilai bilangan Reynolds, heat transfer rate, koefisien perpindahan panas konveksi dan pressure drop oleh ketiga