• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III WALI NIKAH DALAM KHI DAN KITAB-KITAB MU’TABAR

C. Wali Nikah dalam Kitab Mu’tabar Rujukan KHI

4. Kitâb Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtasid

a. Deskripsi Kitab dan Biografi Singkat Pengarang

Kitab “Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtasid” dikarang oleh al-Imâm Abû al-Walîd Muhammad ibn Ahmad ibn al-Rusyd al-Hafîd, beliau dilahirkan pada tahun 520 H di kota Cordova, Spanyol. Ibn al-Rusyd terlahir dari keluarga yang berkecimpung di dunia keilmuan, kakeknya adalah seorang ilmuan besar, ahli fiqih dari madzhab maliki. Ayah, Abû al-Qâsim Ahmad bin Muhmammad adalah seorang ulama besar dan menjadi guru pertama bagi Ibn al-Rusyd al-Hafîd.

Imâm Dzahabî menuliskan dalam kitabnya, ”Siyar A’lâm al-Nubalâ’ ”, menyebutkan bahwa Imâm Ibn Rusyd adalah ulama yang sangat tawadhu’, cerdas dan tidak pernah berhenti menuntut ilmu, bahkan beliau mengatakan Imâm Ibn Rusyd tidak pernah absen ataupun libur dalam mengajar dan mengarang kitab-kitab beliau kecuali hanya dua kali saja, yaitu malam ketika wafatnya sang ayah, dan malam pada hari pernikahannya.

Sejak usia dini, Ibn al-Rusyd sudah terlihat kecenderungannya dengan ilmu, hal tersebut terlihat ketika ia sudah menghafal kitab al Muwatta’

karangan Imâm Mâlik di bawah bimbingan sang ayah. Pada usia remaja Ibn al-Rusyd berguru kepada Abû Marwan al-Balansi tentang ilmu al-Thib atau kedokteran. Beliau juga mengambil Ilmu Fiqih dari gurunya yaitu Imâm

al-78 Abdurrahman al-Jaziriy, Kitâb al-Fiqh ‘alâ Madzâhib …, Juz 4, hlm 37.

89

Hafidz Muhammad bin Rizq dan al-Hafidz Ibnu al-‘Araby al-Andalusi.

Dalam ilmu filsafat, Ibn Rusyd banyak dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles Plato dan Ibn Bajjah.79

Ibn al-Rusyd diangkat sebagai Qâdî (Hakim) untuk wilayah Sevilla dan Cordova oleh salah seorang khalîfah dari Daulah Muwahhidîn yaitu Yusuf Abû Ya’qûb pada tahun 578 H. Beliau wafat pada tahun 595 H di kota Marakech, Maroko.80

Ibn al-Rusyd merupakan ulama yang sangat produktif, beliau tercatat telah mengarang lebih dari 60 kitab dari berbagai macam disiplin ilmu, disamping kitab-kitab yang hilang dan dibakar diakhir hayatnya. Kitab-kitab karangan beliau yang populer di antaranya adalah Kullîyât, Manâhij al-Adillah, Tahâfut al-Tahâfut, al-Hayâwân, al Masâil dan lain sebagainya.81

Pada hakikatnya,ْْmaksud utama dikarangnya kitab ini adalah untuk mengkodefikasi masalah-masalah yang menjadi perdebatan dan perbedaan pendapat di antara madzhab-madzhab fiqih. Sesungguhnya Ibnu al-Rusyd bermaksud untuk mempermudah para penuntut ilmu agar mengetahui secara umum dan menyeluruh hal-hal yang berkaitan dengan khilaf para ulama madzhab. Dalam penulisan kitab ini, beliau terlebih dahulu mencantumkan persoalan yang disepakati para ulama dalam sauatu permasalahan, setelah itu baru beliau merinci cabang-cabang masalah yang menjadi perselisihan para ulama dalam masalah terkait, disertai dengan sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat pada masalah tersebut. Hal ini lah yang membuat kitab ini lebih istimewa dari kiatb-kitab lain yang membahas fiqih muqoronah.

Menurut pengamatan penulis, metode pendekatan yang dipakai oleh Ibn Rusyd dalam menulis kitab beliau “Bidâyat Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid” adalah melalui pendekatan komparatif lintas madzhab, karena Ibn

79 Muhammad Ibn al-Rusyd, Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtasid, (Kairo: Maktabah Ibn Taymiyah, tt), juz 1, hlm. 11.

80 Muhammad Ibn al-Rusyd, Bidâyat al-Mujtahid..., juz 1, hlm. 12

81 Muhammad Ibn al-Rusyd, Bidayat al-Mujtahid..., juz 1, hlm. 15

al-Rusyd dalam membahas suatu masalah fiqih yang diperselisihkan menyebutkan pendapat-pendapat mayoritas madzhab fiqih dilengkapi dengan menyebutkan dalil-dalil dan argument masing-masing madzhab, kemudian tidak jarang Ibn al-Rusyd melakukan tarjih setelah terlebih dahulu menimbang dan menilai semua dalil dan argumen yang diungkapkan oleh masing-masing madzhab.

Selaian itu di tengah-tengah pembahasan suatu permasalahan tak jarang keunikan Ibnu al-Rusyd sebagai tokoh Islam yang menguasai multi disiplin ilmu nampak begitu terlihat, seperti ketika Ibn al-Rusyd membahas tentang khilaf ulama seputar perempuan yang hamil itu apakah bisa terjadi haid pada dirinya atau tidak, beliau dalam masalah ini menggunakan pendekatan ilmu kedokteran, beliau mengatakan bahwa perempuan yang hamil bisa saja tertimpa haid jika perempuan itu memiliki kekuatan fisik yang cukup dan janin yang dikandungnya masih kecil, contoh lain ketika beliau membahas tentang kemungkinan hilal Ramadhan terlihat sebelum matahari tenggelam, terlihat kembali bagaimana beliau menguasai berbagai disiplin ilmu, termasuk ilmu Falak dan menjadikannya sebagai alat untuk memecahkan suatu masalah fiqih yang diperselisihkan secara komprehensif dan mendalam.

b. Wali Nikah dalam Kitâb Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtasid

Pembahasan wali nikah dalam kitab ini teringkas dan terbagi dalam lima masalah: (1) Apakah perwalian syarat dari sahnya akad nikah, (2) Sifat-sifat yang wajib dimiliki para wali, (3) Tata urutan perwalian, (4) Hukum pernikahan yang dinikahkan oleh wali yang jauh dengan adanya wali yang lebih dekat, dan (5)‘Adl nya wali dalam pernikahan.

91

Dalam pembahasan pertamanya, Ibn al-Rusyd menjelaskan perbedaan pendapat yang terjadi di antara Imâm Madzhab seputar apakah wali nikah sebagai syarat sahnya akad nikah atau bukan termasuk syarat?

Imâm Mâlik berpendapat bahwa tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali nikah, dengan itu berarti wali nikah adalah syarat sahnya nikah.

Demikian juga pendapat Imâm al-Syâfi’î. Sedangkan menurut Imâm Abû Hanîfah, Imâm Zufar, dan al-Zuhri berpendapat; Jika seorang perempuan mengakadkan dirinya tanpa wali, akan tetapi anara perempuan tersebut dan calon suaminya ada kecocokan, dalam artian keduanya sepadan (kufu’) maka hal tersebut diperbolehkan82.

Imâm Daud al-Zâhiri membedakan antara perempuan perawan dan janda, bagi perempuan yang masih perawan, wali adalah syarat sah akad nikahnya, sedangkan perempuan yang sudah pernah menikah wali nikah bukan syarat sayhnya akad. Ada pendapat keempat yang di nukil oleh Ibn Qâsim, menurutnya syarat adanya wali adalah sunnah dan bukan kewajiban.

Yakni syarat tersebut adalah syarat sempurnanya akad, dan bukan syarat sah.83

Lalu apakah penyebab terjadinya perbedaan pendapat ini? Perbedaan pendapat ini terjadi karena tidak ada dalil dari ayat Al Qur’an ataupun Sunnah yang mengandung makna dzahir84 dalam mensyaratkan wali sebagai syarat sahnya pernikahan, apalagi menunjukkan makna nash85 dalam hal tersebut.

Semua dalil dari ayat dan sunnah yang digunakan oleh ulama-ulama yang

82 Muhammad Ibn al-Rusyd, Bidâyat al-Mujtahid…, juz 3, hlm. 20.

83 Muhammad Ibn al-Rusyd, Bidâyat al-Mujtahid…, juz 3, hlm. 20.

84 Dzahir: istilah dalam ilmu ushul fiqh yang menunjukkan suatu lafadz yang mengandung dua makna, namun salah satu makna lebih jelas dan menonjol dari makna lainnya.

85 Nash: lafadz yang menunjukkan suatu makna yang tegas, dan tidak ada kemungkinan untuk makna yang lain.

berpendapat wali adalah syarat sah akad nikah maupun yang tidak berpendapat demikian, semuanya memberikan makna ambigu (muhtamal).86 5. Kitâb Tuhfat al-Muhtâj bi Syarh al-Minhâj

a. Deskripsi Kitab dan Biografi Singkat Pengarang

Kitab Tuhfat al-Muhtaj ini adalah kitab fiqih yang dikarang oleh Abû al-‘Abbas Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hajar al Haitami. Nama populer beliau adalah Syeikh al-Islam Ibnu Hajar al-Haitami. Beliau lahir di Mesir pada tahun 909 H, disuatu kota bernama Haitam di sebelah barat Negeri Mesir.87 Kitab ini merupakan syarah dari kitab Minhaj at-Thâlibîn yang sangat populer di kalangan para ahli fiqih dari madzhab Syâfi’îyah. Bahkan para ulama berlomba-lomba untuk berkhidmat dan berkontribusi kepada kitab ini. Dari mereka ada yang membuat syarah dan hasyiahnya, dan ada pula yang hanya sekedar menghafal dan mengajar kitab tersebut. Begitu juga motivasi Imâm Ibnu Hajar al-Haitami dalam mengarang kitab ini adalah berkhidmat kepada kitab Imâm al-Nawawi, seperti yang beliau jelaskan dalam muqoddimah kitab ini. Kitab ini ditullis pada 12 Muharram tahun 958 H di Makkah, dan selesai hanya dalam waktu 6 bulan saja.

Kitab Minhâj al-Thâlibîn karangan Imâm al-Nawawi adalah kitab fiqih yang sengaja dikarang dengan ringkas (berbentuk matan) dengan tujuan untuk bisa dihafal oleh para pelajar fiqih. Kitab ini juga merupakan kitab yang paling banyak disyarah oleh para ulama dari madzhab Syâfi’îyah. Di antara yang paling terkenal dan sering menjadi refrensi dalam madzhab Syâfi’îyah adalah kitab tuhfat al-Muhtâj yang dikarang oleh Syeikul Islam Imâm Ibnu Hajar al-Haitami. Selain kitab ini, kitab Nihâyat al-Muhtâj yang dikarang oleh

86 Muhammad Ibn al-Rusyd, Bidâyat al-Mujtahid …, juz 3, hlm. 21.

87 Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfat al-Muhtâj bi Syarh al-Minhâj, (Kairo: Matba’ah Mustofa Muhammad, tt), Juz 1, hlm. 3.

93

Imâm al-Ramli juga termasuk kitab yang populer dan banyak dijadikan refrensi.

Metode penulisan kitab tuhfah ini adalah meringkas kitab Minhâj al-Thâlibîn dengan bersandar pada kitab-kitab yang sudah terlebih dahulu men-syarah kitab Minhâj al-Thâlibîn, seperti kitab Al-Ibtihâj karangan Taqiyuddin al-Subky, Kanzu al-Râghibîn karangan Jalaluddin al-Mahalli, dan kitab-kitab lainnya. Imâm Ibnu Hajar al-Haitami juga menjawab persoalan-persoalan yang belum tuntas dibahas di kitab lain.

Selain menjadi rujukan utama dalam permasalahan fiqih madzhab Syâfi’î, kitab at-Tuhfah ini juga merupakan kitab yang berada di level yang tinggi di antara kitab-kitab fiqih yang lain. Sehingga yang mempelajari kitab ini adalah para pelajar tinggkat lanjut yang telah mempelajari kitab-kitab lain yang lebih ringan dari kitab ini. Majelis yang mengkaji kitab tuhfah biasanya adalah para pengajar fiqih yang memang sudah mempelajari banyak kitab fiqih sebelum mengkaji kitab ini, atau bahkan para ulama. Seperti yang diceritakan oleh KH. Sirajuddin Abbas, bahwa majelis kitab tuhfah di Kota Padang yang dibimbing dan dipimpin oleh KH. Sa’ad Munka dihadiri oleh para ulama besar padang, seperti Syeikh Abbas Lawas, Syeikh Abdul Wahab Tabek Gadang, Syeikh Sulaiman al-Rasuli, Syekh Yahya al-Khalidi, dll.

b. Wali Nikah dalam Kitâb Tuhfat al-Muhtâj bi Syarh al-Minhâj

Dalam Kitâb Tuhfat al-Muhtâj bi Syarh al-Minhâj, terdapat sub bab yang membahas khusus seputar golongan dan sifat-sifat yang tidak bisa menjadi wali dalam pernikahan. Yang pertama adalah budak, seorang budak tidak bisa menjadi wali nikah, walaupun statusnya setengah budak dan setengah merdeka. Karena status dirinya adalah milik tuannya.88

Kedua, yang tidak mempunyai hak perwalian adalah anak kecil dan orang yang tidak waras. Bagi orang yang tidak waras hanya di sebagian waktu

88 Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfat Al Muhtâj..., Juz 7, hlm. 253.

saja, maka dia bisa menjadi wali ketika dia sedang dalam keadaan waras.

Namun jika waktu warasnya lebih sedikit dari tidak warasnya, maka dia dihukumi sebagai orang yang tidak waras sepenuhnya. Begitu juga orang yang dilarang untuk menggunakan hartanya sendiri atau dalam istilah fiqih mahjûr bisafah, karena mahjûr bisafah tidak bisa mengurus urusannya sendiri, apalagi orang lain yang dalam hal ini menjadi wali.ْْJika sifat-sifat di atas terdapat pada para wali, maka hak perwalian akan berpindah ke wali ab’ad.89

Dalam pembahasan berikutnya, disebutkan bahwa seorang yang memiliki sifat fasik tidak berhak menjadi wali menurut pendapat madzhab.

Dengan dalil hadits Rasulullah SAW;

ٍد شْر م لي و ب َّلا إ حا ك ن لا

90

Artinya: “Tidak ada pernikahan kecuali dengan hadirnya wali yang mursyid”

Pada penjelasan berikutnya, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan mursyid adalah memiliki sifat ‘adl dan ‘aqil.ْْ Maka hak perwalian akan berpindah kepada wali ab’ad.91

Imâm al-Gazali dan sebagian besar ulama muta’akhirin berpendapat bahwa jika hak perwaliannya akan berpindah kepada hakim yang fasik, maka wali yang fasik tersebut tetap memiliki hak perwalian. Kecuali jika diketahui perwalian akan berpindah kepada hakim yang benar-benar ‘adl. Hal yang demikian disebabkan karena kefasikan sudah menyebar secara umum dan merajalela kepada setiap orang.ْْ Bahkan Imâm Nawawi dalam kitabnya Raudah menyebutkan wali fasik masih berhak menjadi wali. Imâm

al-89 Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfat Al Muhtâj..., Juz 7, hlm. 254.

90 Imâm Abû Bakar Ahmad bin al-Husain al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, (India: Dairoh Al Ma’arif, tt), Juz VII, hlm, 112.

91 Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfat Al Muhtâj..., Juz 7, hlm. 255.

95

Adzru’iy mengatakan, bertahun-tahun beliau berfatwa dengan sahnya perwalian wali aqrab yang fasik.92

92 Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfat Al Muhtâj..., Juz 7, hlm. 255.

96

BAB IV

ANALISIS TEORI MASLAHAH DAN TEORI KEADILAN, KEMANFAATAN DAN KEPASTIAN HUKUM TERHADAP KEDUDUKAN AYAH SEBAGAI WALI NIKAH BAGI ANAK

YANG DIABAIKANNYA

A. Analisis Kedudukan Ayah Sebagai Wali Nikah Bagi Anak yang Diabaikannya dalam KHI

Seperti yang sudah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, wali nikah dalam sebuah pernikahan adalah unsur terpenting, bahkan dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ia menjadi rukun yang harus terpenuhi demi tercapainya pernikahan yang sah menurut agama dan hukum.

Menurut pengertian secara bahasa, wali bermakna kasih sayang, kekuasaan, pertolongan.1 Maka tidak heran jika urutan wali dalam pernikahan menurut Islam memposisikan ayah sebagai urutan pertama. Karena Ayah adalah orang yang paling menyayangi, mengasihi, dan mengetahui maslahat yang dibutuhkan putrinya. Bahkan seorang ayah bisa menikahkan anak perempuannya tanpa persetujuan putrinya karena hal tersebut.

Islam mewajibkan adanya wali dalam pernikahan, bukan bertujuan untuk mengurangi hak wanita atas dirinya sendiri, atau seakan tidak berhak bertindak dalam suatu hukum, seolah-olah wanita bukanlah subjek hukum, melainkan objek hukum yang tidak mempunyai hak apapun atas dirinya. Justru kewajiban adanya wali dalam pernikahan bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap kaum wanita, karena tabiat perempuan yang cenderung lebih lemah dari pria, dikhawatirkan terjerumus kedalam pernikahan dengan suami yang tidak bertanggungjawab. Disamping itu, suatu pernikahan memiliki maksud dan tujuan tertentu yang sudah dijelaskan oleh agama. Sedangkan perempuan lebih condong kepada perasaannya ketika

1 Bahâuddin Abdullâh bin Abdurrahmân Muhammad, Ibnu al-Manzhûr, Lisân al-‘Arab, (Beirut : Dâr al-Fikr, tt), Juz XV, hlm. 405.

97

mempertimbangkan sesuatu daripada akal sehatnya. Karena itu mereka tidak pandai memilih demi tercapainya tujuan pernikahan.

Oleh karena itu, peranan ayah sebagai wali nikah sangatlah penting bagi anak perempuannya, karena selain itu merupakan perintah agama, fitrah perempuan didominasi dengan sifat yang lemah lembut, mulia, ia juga mempunyai peranan penting dalam membentuk generasi selanjutnya, dan merupakan wujud cinta dan kasih sayang seorang ayah kepada anak perempuannya yang akan menjalani kehidupan rumah tangga baru.

Pada praktiknya, banyak dari para ayah atau wali yang menyalahgunakan haknya dalam menikahkan anak putrinya. Seringkali hak menikahkan putrinya ini disalah gunakan untuk memenuhi kepentingan wali, mungkin untuk tujuan mendapatkan harta, kedudukan, dan tujuan lainnya. Sebaliknya, perempuan tidak didorong untuk menggunakan hak pilih agar timbul rasa cinta dan kasih sayang kepada calon suami yang menjadi pilihannya.

Perdebatan dan perbedaan pendapat yang terjadi pada perwalian ini disebabkan tidak adanya nash yang secara tegas mengisyaratkan dan memerintahkan kewajiban adanya wali dalam pernikahan. Kedua pendapat ini tidak menggunakan dali-dalil yang bersifat nash yang secara eksplisit menyebutkan kewajiban atau kesunnahan wali nikah. Dalil-dalil yang mereka gunakan adalah ayat-ayat atau hadits-hadits yang secara tidak langsung dianggap membenarkan pendapat mereka. Meskipun di Indonesia, Kompilasi Hukum Islam mengatur dan menjadikan wali nikah sebagai rukun pernikahan, akan tetapi dalam susunan KHI belum mengatur secara spesifik syarat-syarat sebagai wali nikah. Syarat yang disebutkan KHI untuk wali nikah masih sangat global atau ijmal. Hal ini dapat mengakibatkan perbedaan penafsiran ketika ada kasus-kasus yang unsur-unsurnya belum diatur oleh KHI.

Ayah sebagai wali mujbir, pada sebagian pendapat ‘ulama memiliki hak preogratif bagi anak perempuannya dalam hal pernikahan. Hal itu disebabkan karena ayah dianggap orang yang paling berhak terhadap anak perempuannya, paling

mengetahui maslahat dan keperluan yang dibutuhkan putrinya. Namun seiring berjalannya zaman, banyak hubungan antara ayah dan anak, terutama anak perempuannya, tidak sebaik yang dijelaskan di atas, ada banyak faktor yang bisa menjadi sebabnya, seperti minimnya pendidikan, keadaan ekonomi keluarga yang buruk, atau keadaan keluarga yang kurang harmonis sehingga berdampak pada ikatan hubungan ayah dan putrinya.

Dalam keadaan seperti di atas, tentu akan berdampak kepada urusan perwalian dalam pernikahan. Ayah yang sedianya mengayomi dan memikirkan maslahat putrinya sebelum menikah, bisa saja memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mengambil keuntungan. Atau sebaliknya, anak perempuan yang merasa ayahnya tidak berhak untuk menjadi wali nikahnya karena hubungan yang kurang baik, bisa menolak perwalian ayahnya dan beralih kepada wali hakim atau wali nasab lainnya.

Hal tersebut menjadi masalah baru karena keberadaan ayah kandungnya masih ada.

Para ahli fiqih menyebutkan syarat-syarat yang harus dimiliki para wali untuk bisa menggunakan haknya sebagai wali. Imâm Taqiyuddin al-Hisni menuliskan dalam kitab Kifâyat al-Akhyâr beberapa syarat wali;

ة لا د علا و ة رْو كمذلا و ةَّي ر لا و لْق علا و غْو ل ـبلا و م لاْس لإا

2

Artinya: “Syarat wali; Beragama Islam, baligh, berakal, merdeka, laki-laki, dan adil”

Sedangkan menurut Abdurrahman Jaziri dalam kitab Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, syarat wali adalah;3

1. Laki-laki 2. Sudah baligh 3. Berakal

4. Orang yang adil

2 Taqiyuddin Hisniy, Kifâyat Akhyâr fi Halli Gâyat Ikhtisâr, (Beirut: Dar Kutub

al-‘Ilmiyyah, 2001), hlm. 356.

3 Abdurrahman Jaziri, Kitâb Fiqh ‘ala Madzahib Arba’ah, (Beirut: Dar Kutub

al-‘Ilmiyyah, 2003), Juz IV, hlm. 24.

99

5. Bukan budak (merdeka) 6. Memiliki sifat rusyd 7. Beragama Islam

Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah menuturkan syarat-syarat wali sebagai berikut;

و ه و ٌع با ر ٌطْر ش طْر شلا ا ذ ه ى ل ع دا دْز ـي و غْو ل ـبلا و لْق علا و ةَّي ر لا لي ولا في ط تُْش ي و اًم لْس م هْي ل ع لىْو لما نا ك ا ذ إ م لاْس لإا

4

Artinya: ”Dan disyaratkan di dalam wali harus merdeka, berakal, dewasa dan ditambahi syarat yaitu satu lagi dengan syarat Islam jika yang diwalikan itu orang Islam.”

Kompilasi Hukum Islam, sebagai wadah formal hukum pernikahan di Indonesia mensyaratkan wali nikah dengan tiga syarat, yaitu ; (1) Dewasa, (2) Akil, (3) Baligh.

Pada pasal 22 KHI diatur bahwa apabila wali nikah yang paling berhak tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah, maka hak wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya. Pasal 22 KHI tidak mencantumkan sifat ‘âdil sebagai syarat sahnya wali nikah, berbeda dengan sebagian besar kitab rujukannya yang selalu mencantumkan sifat ‘âdil dalam syarat sah wali. Memang beberapa kitab, seperti Kitâb al-fiqh ‘alâ Madzâhib al-Arba’ah, dalam pembahasan madzhab hanafi tidak mencantumkan sifat adil, tapi dalam pembahasan tersebut dikatakan bahwa salah satu sifat yang dapat membatalkan hak perwalian adalah sifat al-fisq yang merupakan lawan kata dari sifat ‘adil.5

Dari kajian pasal 22 KHI ini, maka dapat disimpulkan ayah yang mengabaikan anak perempuannya sejak kecil, dengan tidak memberikan nafkah, tidak memperhatikan pendidikan dan tumbuh kembangnya masih dianggap berhak menjadi wali nikah karena masih memenuhi syarat wali, yaitu dewasa, akil dan baligh.

4ْ Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2004), hlm. 562.

5 Abdurrahman al-Jaziri, Kitâb al-Fiqh ‘alâ Madzâhib al-Arba’ah..., Juz IV, hlm. 24

Dalam penetapan syarat wali pada KHI yang bersifat global seperti yang sudah disebutkan di atas, tentu ada dampak positif dan negatifnya. Dampak positifnya adalah memberikan keleluasaan bagi hakim atau petugas KUA untuk menentukan wali yang berhak dan tidak berhak tergantung pada kasus dan sebabnya. Misalnya, ayah yang kesehariannya suka berjudi, namun ketika anak perempuannya akan menikah, dia bertaubat sehingga hak perwalian dapat kembali kepadanya. Sedangkan dampak negatifnya dari penetapan syarat wali nikah yang global adalah timbulnya ketidakpastian hukum dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan sifat wali nikah.

B. Analisis Kedudukan Ayah Sebagai Wali Nikah Bagi Anak yang Diabaikannya dalam Kitab Mu’tabar Rujukan KHI

Dalam kitab-kitab rujukan KHI yang menjadi bahan penelitian penulis, sebagaimana sudah disinggung pada pembahasan sebelumnya, para ulama berbeda pendapat dalam hal kedudukan wali nikah dalam sebuah pernikahan. Akan tetapi menurut hemat penulis, pendapat yang terkuat dan paling ideal untuk diberlakukan di Indonesia adalah pendapat yang mewajibkan adanya wali dari calon pengantin wanita, dan itu pula yang menjadi rukun nikah dalam KHI di Indonesia.6

Hal ini sesuai dengan fitrah serta peran lelaki dan perempuan dalam masyarakat dan keluarga yang dijelaskan di dalam Al Qur’an Surat Al-Nisa ayat 34;

ۚ ْم لا وْم أ ْن م او ق فن أ ا بِ و ٍضْع ـب ٰى ل ع ْم ه ضْع ـب َّللَّا لَّض ف ا بِ ءا س نلا ى ل ع نو ماَّو ـق لا ج رلا

غْل ل ٌتا ظ فا ح ٌتا ت نا ق تا لاَّصلا ف َّللَّا ظ ف ح ا بِ بْي

Artinya: “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (isteri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Sebab itu maka wanita yang saleh,ialah yang taat kepada

6 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2010),

6 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2010),