• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TEORI MASLAHAH MUHAMMAD SA’ÎD RAMADÂN AL BÛTÎ

B. Teori Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian Hukum

3. Teori Kepastian Hukum

Kepastian hukum merupakan salah satu dari tiga tujuan hukum yang disebutkan Gustav. Karena kepastian hukum dinilai sebagai salah satu cara dalam mewujudkan keadilan di tengah masyarakat. Gambaran nyata dari kepastian hukum adalah penindakan atau penerapan penegakan hukum yang sama terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa pelakunya. Dengan wujudnya kepastian hukum, setiap individu dapat mengetahui konsekuensi dari apa yang ia lakukan.

Kepastian sangat dibutuhkan untuk melahirkan prinsip persamaan di depan hukum tanpa ada pembedaan.71

69 Muhammad Erwin, Filsafat Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo, 2015), hlm 294

70 W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum Idealisme Filosofis dan Problematika Keadilan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), hlm 115.

71 Cst Kansil, Kamus Istilah Aneka Hukum, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2009), hlm. 385.

51

Kepastian hukum akan memastikan tiap individu melakukan perbuatan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Sebaliknya, tanpa ada kepastian hukum maka setiap individu tidak memiliki ketentuan paten dalam melakukan perbuatan.

Maka bukan suatu kekeliruan jika Gustav berpendapat bahwa kepastian hukum menjadi salah satu tujuan dari hukum.

Gustav Radbruch menyimpulkan ada empat hal mendasar yang berkaitan dengan makna kepastian hukum, yaitu; (1) Bahwa hukum itu positif, yakni sudah diundangkan. (2) Hukum itu berdasarkan fakta, yakni berdasarkan kenyataan yang terjadi. (3) Sebuah fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas dan pasti demi menghindari kekeliruan dalam memahamim selain agar mudah diaplikasikan. (4) Hukum positif tidak boleh mudah direvisi maupun diganti.

Pendapat ini berdasarkan pandangannya bahwa kepastian hukum adalah kepastian untuk hukum itu sendiri.72

72 Arief Sidharta, 2008, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, (PT Refika Aditama, Bandung) hlm 20.

52

BAB III

WALI NIKAH DALAM KHI DAN KITAB-KITAB MU’TABAR RUJUKANNYA

A. Konsep Wali Nikah 1. Pengertian wali nikah

Wali berasal dari kata kerja bahasa Arab : waliya – yawli – wilayah – waliy, bentuk majemuknya adalah awliyâ’ ( ءايلوأ ْعمج ْ يِل َوْْ–ًْْةيَلاِوْْ–ْْيل وَيْْ–َْْيِل َو ), yang merupakan lawan kata dari ْ وُدَع yang mempunyai 4 makna; mahabbah (kasih sayang), nusrah (pertolongan), sultah (kekuasaan), qudrah (kekuatan).1 Dengan kata lain, seorang wali adalah orang yang dapat memberi pertolongan atau orang yang mempunyai kuasa atas sesuatu.

Para ahli fiqih berbeda pendapat ketika mengartikan makna wilâyah (asal dari kata wali) secara istilah, sebagian mereka mengatakan wilâyah adalah suatu kekuasaan yang menjadikan pemiliknya dapat memerintahkan, membuat suatu perjanjian dan melaksanakannya atas nama yang diwakilinya.2 Pendapat lain menyebutkan wilâyah adalah suatu tanggung jawab atau wewenang seseorang yang lebih besar dan dewasa atas seseorang yang lebih muda dalam mengatur urusan pribadi maupun urusan hartanya.3

Amir Syarifuddin berpendapat bahwa wali adalah seseorang yang mempunyai wewenang untuk melakukan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan orang yang ada di bawah kuasanya, sedangkan wali dalam pernikahan adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah.4 Dalam

1 Bahâuddin Abdullâh bin Abdurrahmân Muhammad, Ibnu al-Manzhûr, Lisân al-‘Arab, (Beirut : Dâr al-Fikr, tt), Juz XV, hlm. 405.

2 Muhammad Mustofâ Syiblî, Madkhal fî Ta’rîf bi Fiqh Islâmiy wa Qawâ’id al-Milkiyyah wa al-‘uqûd fîhi, (Iskandaria: Matba’ah Dâr al-Ta`lîf, 1962), hlm 518.

3 Muhammad Mustofâ Syiblî, al-Madkhal fî al-Ta’rîf bi al-Fiqh al-Islâmiy …., hlm 518.

4 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta : PT. Kencana, 2006), hlm. 69.

53

KBBI, wali diartikan sebagai yang mempunyai wewenang untuk menikahkan seorang perempuan, baik gadis maupun janda. Atau orang yang melakukan janji nikah dengan laki-laki.5 Maka dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan wali dalam akad nikah adalah orang yang mempunyai wewenang untuk menikahkan seorang perempuan yang berada ’di bawah kuasanya’, dengan catatan orang tersebut memenuhi kriteria sebagai seorang wali.

Keberadaan wali dalam suatu pernikahan adalah suatu yang harus dipenuhi, pernikahan belum dianggap sah jika tidak ada wali dari pihak perempuan.

Sebagaimana disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 19; “wali nikah dalam pernikahan merupakan rukun yang wajib dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya”.

Dalam hal wali nikah, terdapat perbedaan pendapat. Menurut madzhab Imâm Syâfi’î wali nikah dari mempelai perempuan merupakan salah satu rukun pernikahan. Mereka bertolak dari hadist Rasulullah SAW, yang diriwayatkan oleh Imâm al-Tirmidzi, dari Sayyidah Aisyah radiyallahu ‘anha, yaitu;

لا ق :ْت لا ق ، ة ش ئا ع ْن ع ،م لي وْلا ا هْح كْن ـي ْ ل ٍة أ رْما ا ميُّ أ« : مَّل س و هْي ل ع الله ىَّل ص َّللَّا لو س ر

با ص أ ا بِ ا ه رْه م ا ه ل ـف ،ا بها ص أ ْن إ ف ،ٌل ط با ا ه حا ك ن ف ،ٌل ط با ا ه حا ك ن ف ،ٌل ط با ا ه حا ك ن ف ا طْلمسلا ف ،او ر ج تْشا ن إ ف ،ا هْـن م ه ل َّ لي و لا ْن م م لي و ن

»

6

Artinya: “Bersumber dari Aisyah ra., ia berkata, Rasulullah SAW., bersabda, Perempuan mana saja apabila menikah dengan tidak seizin walinya, maka nikahnya batal, dan jika (laki-laki yang menikahinya) menggaulinya, maka wajib baginya membayar mahar untuk kehormatan yang ia peroleh dari persebadanannya itu. Jika mereka (para wali) bertengkar, maka sulthan itu adalah wali bagi mereka yang tidak mempunyai wali.” (HR. alTurmudzi).

5 https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/wali

6 Ahmad bin Saurah al-Tirmidzî, Sunan al-Turmudzi, (Beirut : Dâr al-Fikr, 1998), Juz III, hlm. 407.

Hadits di atas menjelaskan, seorang wanita yang akan menikah harus memiliki izin dari walinya, dengan kata lain jika pernikahan tidak dihadirkan wali dari pihak wanita, maka pernikahannya batal atau tidak sah menurut hukum Islam. Selain bersandar dengan hadist di atas, Imâm al-Syâfi’î berdalil dengan ayat Al-Qur’ân, antara lain QS. Al-Nur: 32 dan QS. Al-Baqarah: 221;

َّللَّا م ه نْغ ـي ءا ر ق ـف او نو ك ي ْن إ ْم ك ئا م إ و ْم ك دا ب ع ْن م ين لاَّصلا و ْم كْن م ى م يَ ْلأا او ح كْن أ و ْن م

ه لْض ف ٌمي ل ع ٌع سا و َّللَّا و

Artinya: “Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan, jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah maha luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui. (QS. al-Nur : 32)

م ٌْير خ ٌة ن مْؤ م ٌة م لأ و َّن مْؤ ـي َّتى ح تا ك رْش مْلا او ح كْن ـت لا و لا و ْم كْت ـب جْع أ ْو ل و ٍة ك رْش م ْن

ْم ك ب جْع أ ْو ل و ٍك رْش م ْن م ٌْير خ ٌن مْؤ م ٌدْب ع ل و او ن مْؤ ـي َّتى ح ين ك رْش مْلا او ح كْن ـت

Artinya:“Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan laki-laki musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman…” (QS. Al-Baqarah : 221)

Kedua ayat Al-Qur’ân di atas tampak jelas ditujukan kepada para wali, orang-orang yang mempunyai tanggung jawab atas orang-orang lain. Para wali diperintahkan untuk menikahkan laki-laki (hamba sahaya) yang berada di bawah kuasanya, begitu juga untuk menikahkan wanita-wanita yang belum bersuami. Di sisi lain, mereka dilarang untuk menikahkan wanita muslim dengan laki-laki musyrik (non muslim), begitu juga sebaliknya. Dengan ini maka jelaslah bahwa ayat di atas melarang wanita secara tersirat untuk menikahkan dirinya sendiri. Jika

55

diaplikasikan teori usul al fiqh, yaitu mafhûm al-muwâfaqah pada ayat ini, maka akan ayat ini juga bermakna melarang wanita untuk menikahkan wanita lainnya.

Imâm al-Syâfi’î dan Imâm Ahmad beserta pengikutnya berpendapat bahwa wali dari pihak wanita merupakan syarat mutlak pernikahan, tanpa adanya wali pernikahan dianggap tidak sah. Imâm Mâlik berpendapaat, jika wanita yang akan menikah adalah wanita yang terpandang, mempunyai kedudukan, atau mempunyai harta yang melimpah, maka pernikahannya wajib dihadiri oleh walinya. Namun jika wanita yang akan menikah berasal dari kalangan biasa saja, bukan termasuk yang mempunyai kedudukan, maka pernikahannya tidak wajib dihadiri oleh walinya. Imâm Abû Hanîfah berpandangan bahwa wali bukanlah rukun dalam sebuah pernikahan, seorang wanita bisa menikahkan dirinya sendiri tanpa kehadiran wali dari pihaknya, dengan syarat wanita tersebut sudah dewasa dan berakal, dan pasangannya adalah pasangan yang sekufu` dengannya, jika calon suaminya tidak sekufu` maka wali berhak menghalanginya.7

Menurut penulis, pendapat yang paling kuat dari ketiga pendapat di atas adalah pendapat yang dikemukakan oleh Imâm al-Syâfi’î dan Imâm Ahmad bin Hambal, yaitu seorang gadis harus didampingi oleh wali ketika akad pernikahannya akan berlangsung. Karena ayat Al-Qur’ân maupun Hadits-hadits yang dijadikan dalil untuk pendapat ini mengarah kepada mewajibkan kontribusi wali dalam pernikahan.

Dari penjelasan di atas, maka wali dalam pernikahan merupakan satu bagian yang tidak bisa dipisahkan. Namun, untuk menjadi wali nikah, seseorang harus memiliki kriteria yang sudah diklarifikasi oleh para ulama berdasarkan ayat Al-Qur’ân dan Hadist. Berikut adalah syarat-syarat menjadi wali nikah:

7 Imâm Muwafaq al-Dîn bin Qudâmah, Al Mughni, (Riyâd: Dâr ‘Âlam Al-Kutub), Juz IX, hlm. 119

a. Islam; seorang yang tidak menganut agama Islam tidak bisa menikahkan atau menjadi wali dalam sebuah pernikahan. Begitu juga orang-orang yang tidak meyakini adanya tuhan (atheis).

b. Berakal; seorang yang akalnya tidak sempurna, atau dengan kata lain idiot atau gila, tidak diperbolehkan menjadi wali. Walaupun gilanya tidak permanen, yakni hanya diwaktu-waktu tertentu dan tidak terus menerus, tetap tidak diperbolehkan menjadi wali.

c. Balîgh; seseorang yang belum baligh, atau mimpi basah tidak sah menjadi wali nikah. Karena seorang yang belum baligh tidak punya tanggungan dosa, maka prilakunya belum sah dalam konteks beragama.

d. Merdeka; seorang hamba sahaya atau budak kewaliannya tidak sah atas anak gadisnya atau saudara perempuannya, walaupun dia sudah baligh, berakal, dan beragama Islam.

e. Laki-laki; seorang wanita tidak berhak menjadi wali nikah.8

Dalam praktiknya, seorang wali berhak menikahkan putrinya sendiri, atau mewakilkan hak kewaliannya kepada orang lain, atau bahkan menyerahkan sepenuhnya kepada orang lain untuk memilihkan pasangan dan menikahkannya, sebagaimana pernah diungkapkan oleh Ibnu Qudâmah dalam kitabnya Al-Mughni yang mengisahkan sahâbiyât Ummu ‘Amr yang dinikahkan dengan sahâbat Utsmân bin ‘Affân oleh Umar bin al-Khattâb radhiayllâhu ‘anhum.9

Jumhur al-‘Ulama, kecuali Imâm Abû Hanîfah, berpendapat bahwa wali dari pihak perempuan merupakan rukun pernikahan, sehingga keberadaannya adalah hal yang lazim. Hal ini berdasarkan Al-Qur’ân Surah Al-Baqarah ayat 221 dan 232:

8 Yahyâ bin Syaraf al-Nawawî, al-Majmû’ Sarh al Muhaddzab (Beirut : Dar al-Fikr, 2005), Juz XVII, hlm. 318. Lihat juga : Abû Bakar Jabir al-Jaza’iri Minhâjul Muslim (Kairo : Dar al-Salam th.

2001), hlm. 336

9 Muhammad Abd al-Aziz al-Hallawi, Fatwa dan Ijtihad Umar Bin Khaththab, (Surabaya : Risalah Gusti, 2003), hlm. 161

57

ٍة ك رْشمم ن م ٌْير خ ٌة ن مْؤمم ٌة م لأ و َّن مْؤ ـي َّتى ح تا ك رْش مْلا ْاو ح كن ت لا و لا و ْم كْت ـب جْع أ ْو ل و

ْم ك ب جْع أ ْو ل و ٍك رْشمم ن م ٌْير خ ٌن مْؤمم ٌدْب ع ل و ْاو ن مْؤ ـي َّتى ح ين ك ر ش مْلا ْاو ح كن ت

Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu.” (QS. Al Baqarah : 221).

ْـي ـب ْاْو ضا ر ـت ا ذ إ َّن ه جا وْز أ نْح كن ي ن أ َّن هو ل ضْع ـت لا ف َّن ه ل ج أ نْغ ل ـب ـف ءا س نلا م تْقَّل ط ا ذ إ و م ه ـن

ر خلآا مْو ـيْلا و َّللَّ با ن مْؤ ـي نا ك ن م ه ب ظ عو ي ك ل ذ فو رْع مْل با َّللَّا و ر هْط أ و ْم ك ل ى كْز أ ْم ك ل ذ

نو م لْع ـت لا ْم تن أ و م لْع ـي

Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara merekadengan cara yang ma`ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. al-Baqarah : 232).

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa para Ulama bersepakat kedudukan wali nikah bagi calon mempelai wanita yang masih di bawah umur, ataupun kurang akal adalah suatu rukun dalam pernikahan. Akan tetapi Imâm Abû Hanîfah berbeda pendapat dalam hal kedudukan wali bagi calon mempelai wanita yang sudah baligh dan berakal. Menurutnya wanita yang sudah berakal sempurna dan baligh berhak menikahkan dirinya sendiri, apalagi wanita janda, karena mereka sudah bisa membedakan kebaikan dan keburukan untuk dirinya sendiri.

Para Imâm Mazhab selain Imâm Abû Hanîfah berpendapat, pernikahan tidak sah jika tidak dihadiri wali dari pihak wanita, meskipun wanita tersebut sudah berakal dan baligh, apalagi jika wanita tersebut masih di bawah umur atau kurang berakal. Menurut Imâm Ahmad, wali yang akan menikahkan harus mendapatkan persetujuan dari calon mempelai wanita, baik calon mempelai tersebut gadis atau janda. Sedangkan menurut Imâm al-Syâfi’î dan Imâm Mâlik, persetujuan dari calon mempelai wanita dibutuhkan jika yang bersangkutan berstatus janda.10

Menurut Imâm Abû Hanîfah dan Abû Yusuf, walaupun wali bukan rukun dalam pernikahan, tapi wali berhak untuk tidak mengizinkan pernikahan dilangsungkan jika anaknya akan menikah dengan seorang lelaki yang tak sekufu, yakni tidak sepadan antara wanita dan lelaki dalam hal kedudukan di masyarakat maupun harta. Perbedaan pendapat yang ditemui antara Imâm Abû Hanîfah dan Imâm yang lain disebabkan karena perbedaan cara pandang dan metodologi istinbât hukum. Imâm Abû Hanîfah meng-qiyâs-kan akad nikah seperti halnya akad jual beli manfaat, maka hanya dibutuhkan ijab qobul. Di sisi lain, Imâm Abû Hanîfah berpandangan tidak adanya ketentuan yang jelas tentang status wali nikah dalam Al-Qur’ân maupun Sunnah.11

2. Macam-macam Wali Nikah dan Urutannya

Wali dalam pernikahan dapat dibagi menjadi tiga bagian, sesuai peran dan kondisinya;

10 Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, (Berut: Darul Fikr, 1985), Juz VII, hlm 194.

11 Abd al-Rahmân al-Jazâiri, Kitab al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003), Juz III, hlm 315. Lihat juga: Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkainan di Dunia Islam, (Bandung: Pustaka al-Fikri, 2009), hlm. 3

59

a. Wali Nasab: ialah wali yang mendapatkan hak kewalian sebab adanya ikatan darah atau persaudaraan dari garis keturunan ayah, bukan ibu.12

b. Wali Hakim: adalah wali dari pihak penguasa negeri atau wilayah yang resmi dan diakui. Dalam konteks Negara Indonesia adalah kementrian Agama yang telah mewakilkannya kepada Kantor Urusan Agama tiap wilayah.

c. Wali Muhakkam: adalah seseorang yang diangkat atau ditunjuk oleh wanita untuk menjadi walinya dan menikahkannya dengan pria yang melamarnya, adanya wali muhakkam biasanya ketika keadaan darurat, atau ketika wanita yang akan menikah jauh dari keluarganya. Abû Abdillah al-Qurtubi dalam menafsirkan {

ضْع ـب ءا ي لْو أ ْم ه ضْع ـب تا ن مْؤ ـلما و نْو ـن مْؤم لا و

} berkata, “Jika perempuan tinggal di tempat yang tidak ada sultan serta tidak mempunyai wali, maka penyelesaiannya dapat ia serahkan kepada tetangga yang ia percayai untuk mengakad/ menikahkannya.” 13

Imâm Mâlik berpendapat, anak laki-laki kandung termasuk dalam urutan wali mujbir, bahkan anak laki-laki kandung lebih berhak daripada ayah dan kakek.14 Sedangkan dalam wali nasab ada urutan yang berhak menjadi wali, wali yang hubungan darahnya lebih jauh tidak bisa menjadi wali jika ada wali nasab yang lebih dekat, kecuali jika wali yang hubungannya lebih dekat berhalangan menjadi wali atau menyerahkan hak kewaliannya kepada wali nasab yang lebih jauh.

12 Ibrâhîm ibn Muhammad al-Bâjûrî, Hâsyiah al-Bâjuri ‘alâ Syarhi al-‘Allâmah Ibn Qâsim al-‘Izzi ‘alâ Matni Abi Syujâ’, (Jeddah: Daar al-Minhaj, 2016), Juz III, hlm. 360. Lihat juga: Rahmad Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 20.

13 Imâm Abû Abdillâh al-Qurtubî, al-Jami’li Ahkam al-Qur’an, (Beirut : Dar al-Fikr, tt), Juz III, hlm. 76.

14 Abd al-Rahmân al-Jazâiri, al-Fiqh Ala Madzahib Al-Arba’ah, (Beirut : Dar al-Fikr, tt), Juz VI, hlm. 27

Berikut ini adalah urutan wali nasab dari yang hubungannya paling dekat, menurut Madzhab Syâfi’î;15

1. Ayah Kandung.

2. Kakek dari ayah kandung.

3. Saudara laki-laki kandung.

4. Saudara laki-laki se-ayah.

5. Anak laki dari saudara laki-laki kandung 6. Anak laki dari saudara laki-laki se-ayah.

7. Saudara laki-laki kandung ayah (Paman).

8. Saudara laki-laki ayah se-ayah (Paman).

9. Anak dari saudara laki-laki kandung ayah atau se-ayah.

10. Semua ahli waris yang bisa mendapat ‘ashobah.

11. Hakim.

Urutan Wali Nasab menurut Kompilasi Hukum Islam terdapat pada bagian ketiga pasal 21, sebagai berikut;

1. Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama : kelompok kerabat lakilaki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.

Kedua : kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga : Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, dan keturunan laki-laki mereka.

Keempat: Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.

2. Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kerabatnya dengan calon mempelai wanita.

15 Ibrâhîm ibn Muhammad al-Bâjûrî, Hâsyiah al-Bâjuri ‘alâ Syarhi al-‘Allâmah Ibn Qâsim al-‘Izzi ‘alâ Matni Abi Syujâ’, (Jeddah: Daar al-Minhaj, 2016), Juz 3, hlm. 361. Lihat juga: Imam Taqiyuddin bin Abû Bakar, Kifâyat al-Akhyâr…., hlm. 484.

61

3. Apabila dalam satu kelompok sama derajat kerabatnya, maka yang paling berhak menjadi wali nikah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.

4. Apabila dalam satu kelompok derajat kerabatnya sama, yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.16

Urutan wali nasab di atas bersifat mengikat, maka tidak dibenarkan wali yang urutannya lebih jauh melangkahi wali yang lebih dekat tanpa ada alasan atau persetujuan wali yang lebih dekat. Kakek dari ayah kandung tidak berhak menjadi wali nikah bagi cucu perempuannya jika ayah kandung masih hidup, begitu juga paman tidak berhak menjadi wali nikah jika saudara kandung laki-laki masih hidup tanpa ada penghalang menjadi wali. Kecuali apabila yang mempunyai hak menyerahkan haknya kepada wali nasab urutan yang setelahnya.17

Seorang wali berhak mewakilkan hak perwaliannya kepada orang lain, walaupun orang yang mewakilkan bukan termasuk dalam daftar wali.18 Kejadian seperti ini sering terjadi di masyarakat, dengan mewakilkan hak perwaliannya kepada pemuka agama, atau tokoh masyarakat untuk menjadi wali dalam pernikahan, dengan maksud menghormati kehadiran mereka dalam acara pernikahan, atau sekedar menjadikan acara pernikahan lebih bermakna.

Wali yang menyerahkan hak perwaliannya kepada orang lain harus memberikan persetujuan, begitu juga yang akan mewakilkannya harus menerima penyerahan hak tersebut, dalam arti lain harus ada akad yang menerangkan bahwa hak perwalian telah diserahkan kepada orang lain dari wali yang semestinya.

16 Abdurrahman, kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2010), hlm. 118

17 Ibrâhîm ibn Muhammad al-Bâjûrî, Hâsyiah al-Bâjuri ‘alâ Syarhi al-‘Allâmah Ibn Qâsim al-‘Izzi ‘alâ Matni Abi Syujâ’, (Jeddah: Daar al-Minhaj, 2016), Juz 3, hlm. 360

18 Ibrâhîm ibn Muhammad al-Bâjûrî, Hâsyiah al-Bâjuri..., Juz 2, hlm. 753.

Namun, jika hak perwalian ini diserahkan kepada orang lain tanpa izin wali aslinya, maka pernikahan tidak sah.19

Sebagai contoh, ketika seorang ayah kandung tidak bisa hadir dalam sebuah akad nikah anak perempuannya yang sedang berada di luar negeri, maka ayah kandung dari calon pengantin wanita bisa saja menyerahkan hak perwaliannya kepada orang lain, walaupun orang tersebut bukan termasuk dalam urutan daftar orang yang berhak menjadi wali. Namun, apabila hak perwalian itu berpindah tanpa ada izin dari wali yang semestinya, maka akad nikah tidak dibenarkan atau tidak sah.

Dalam fiqih syâfiyyah, perempuan yang akan menikah terbagi menjadi 2;

perempuan yang sudah pernah menikah dan perempuan yang masih belum pernah menikah atau perawan. Selain itu, dalam pernikahan ada istilah wali mujbir, yaitu wali yang mempunyai hak preogratif dalam menikahkan seorang perempuan tanpa izin atau meminta pendapat terlebih dahulu dari perempuan tersebut. Hal ini hanya berlaku bagi perawan atau perempuan yang belum pernah menikah, dan yang berhak melakukan itu hanyalah wali mujbir, yaitu ayah kandung dari perempuan tersebut, atau kakek kandung. Sedangkan bagi perempuan yang janda atau sudah pernah menikah, maka hal itu tidak berlaku. Wali yang akan menikahkan perempuan yang sudah pernah menikah harus mendapatkan izinnya terlebih dahulu.20

Rasulullah SAW bersabda, yang diriwayatkan oleh Imâm Al Baihaqi:

َّللَّا لو س ر َّن أ ا م هْـن ع َّللَّا ى ض ر ٍساَّب ع نْب َّللَّا دْب ع ْن ع

-ملسو هيلع الله ىلص

: لا ق

ا تها م ص ا نهْذ إ و ا ه سْف ـن في ن ذْأ تْس ت رْك بلا و ا ه ي ل و ْن م ا ه سْف ـن ب مق ح أ ب ي ـثلا

21

19 Yahyâ bin Syaraf al-Nawawî, al-Majmû’ Sarh al Muhaddzab (Beirut : Dar al-Fikr, 2005), Juz XVII, hlm. 305.

20 Ibrâhîm ibn Muhammad al-Bâjûrî, Hâsyiah al-Bâjuri ‘alâ Syarhi al-‘Allâmah Ibn Qâsim al-‘Izzi ‘alâ Matni Abi Syujâ’, (Jeddah: Daar al-Minhaj, 2016), Juz 3, hlm. 361. Lihat juga: Imam Taqiyuddin bin Abû Bakar, Kifâyat al-Akhyâr…., hlm. 484.

21 Imâm Abû Bakar Ahmad bin al-Husain al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, (India: Dairoh Al Ma’arif, tt), Juz VII, hlm, 115.

63

Artinya: Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas –radiyallah ‘anhuma-, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Seorang janda lebih berhak bagi dirinya sendiri, dan perawan dimintai izinnya terlebih dahulu, dan diamnya adalah izinnya”

Imâm Nawawi dalam kitabnya Al-Majmû’ mengatakan ketika menjelaskan hadits di atas, meminta izin untuk anak perempuan perawan bagi wali mujbir adalah sunnah dan bukan suatu kewajiban, karena dalam hadist di atas dibedakan antara janda dan perawan, jika perlakuannya harus sama –yakni harus izin- maka membedakan antara perawan dan janda dalam hadits di atas tidak ada maknanya.22

Berbeda dengan Imâm Mâlik yang berpendapat bahwa wali mujbir hanyalah ayah kandung, Imâm al-Syâfi’î berpendapat bahwa wali mujbir yang mempunyai hak preogratif menikahkan perawannya adalah ayah kandung dan kakek kandung, mereka berdalil karena kakek juga mendapat jatah ‘ashabah sama seperti ayah kandung dalam hal warisan,23 sedangkan Imâm Abû Hanîfah berpendapat bahwa

Berbeda dengan Imâm Mâlik yang berpendapat bahwa wali mujbir hanyalah ayah kandung, Imâm al-Syâfi’î berpendapat bahwa wali mujbir yang mempunyai hak preogratif menikahkan perawannya adalah ayah kandung dan kakek kandung, mereka berdalil karena kakek juga mendapat jatah ‘ashabah sama seperti ayah kandung dalam hal warisan,23 sedangkan Imâm Abû Hanîfah berpendapat bahwa