• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III WALI NIKAH DALAM KHI DAN KITAB-KITAB MU’TABAR

A. Konsep Wali Nikah

3. Perpindahan Wali Nikah

Dalam Agama Islam, banyak akad atau perjanjian (muamalah) antar sesama yang sudah diatur sedemikian rupa agar pada praktiknya tidak terjadi kesalahpahaman antar ‘âqid´ atau orang yang berkaitan langsung dengan akad,

22 Yahyâ bin Syaraf al-Nawawî, al-Majmû’ …., Juz XVI, hlm. 169.

23 Yahyâ bin Syaraf al-Nawawî, al-Majmû’ …., Juz XVI, hlm. 169.

24 Yahyâ bin Syaraf al-Nawawî, al-Majmû’ …., Juz XVI, hlm. 170.

25 Imâm Taqiyuddîn bin Abû Bakar, Kifâyat al-Akhyâr…., hlm. 485.

seperti akad jual-beli, gadai, dan hibah. Sekian banyak akad yang diatur oleh Islam, akad nikah merupakan akad yang paling istimewa, akad yang perlu kehati-hatian ketika dijalankan, bahkan sebagian ulama menggunakan redaksi ‘aqdun khatiir’, akad yang sakral. Karena akad ini akan berdampak kepada banyak hal yang berkaitan seputar pernikahan, seperti garis keturunan, harta warisan, dsb.

Unsur paling utama dalam pernikahan, setelah mempelai lelaki dan wanita adalah wali dari pihak wanita, karena hanya wali nikahnya lah yang memiliki hak untuk menikahkannya. Islam memberikan hak ini kepada wali nikah, karena dalam Islam wanita tidak bisa menikahkan dirinya sendiri. Dalam suatu hadits disampaikan bahwa jika wanita menikahkan dirinya sendiri maka hubungannya dianggap zina.

Namun pada praktiknya, wali nikah yang berhak menikahkan terkadang terhalang dengan suatu hal sehingga hak perwaliannya harus berpindah kepada wali yang dalam urutan perwalian lebih jauh hubungannya dengan calon pengantin wanita. Dalam ilmu fiqih, perpindahan hak perwalian ini biasa dikenal dengan intiqâl al-wali. Hak perwalian karena sebab-sebab tertentu bisa berpindah dari wali nasab ke wali nasab, atau wali nasab ke wali hakim. Wali nasab bisa dikategorikan menjadi 2, wali aqrab (hubungannya lebih dekat dengan calon pengantin wanita) dan wali ab’ad (hubungannya lebih jauh dari pengantin wanita).

Dalam urutan perwalian di atas, siapapun bisa menjadi wali aqrab dan ab’ad, misalnya ketika wali nomor urut 1 (ayah) menjadi wali aqrab, maka wali nomer urut 2 (kakek) adalah wali ab’ad, tapi ketika ayah tidak ada, maka kakek menjadi wali aqrab jika disandingkan dengan wali nomor urut tiga (saudara laki-laki kandung). Ada beberapa keadaan yang dapat menyebabkan perpindahan dari wali aqrab kepada wali ab’ad; (1) jika wali aqrabnya adalah seorang non muslim. (2)

65

apabila wali aqrabnya seorang yang fasik. (3) apabila wali aqrabnya gila. (4) apabila wali aqrabnya bisu atau tuli.26

Tentang berpindahnya hak perwalian, ada perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqih, menurut pendapat Imâm al-Syâfi’î dan pengikutnya, wali nikah yang paling berhak menikahkan adalah wali yang paling dekat hubungannya dengan calon pengantin wanita (wali aqrab), dan itu juga menjadi syarat sahnya pernikahan, jika wali aqrab tidak ada maka dilihat dari urutan perwalian yang lebih dekat. Namun apabila wali aqrab karena satu dan lain hal tidak dapat menggunakan haknya sebagai wali, atau ada halangan sehingga tidak bisa hadir dalam pernikahan, maka perwalian pindah ke tangan hakim.27 Sedangkan Imâm Abû Hanîfah berpendapat bahwa hak perwalian wali aqrab tersebut berpindah ke wali ab’ad yang urutannya setelah wali tersebut. Begitu juga pendapat Imâm Mâlik, hak perwalian berpindah ke wali yang lebih jauh urutannya secara tertib.

Perbedaan pendapat di atas, disebabkan perbedaan cara pandang mereka terhadap sebab ketiadaan wali, apakah tidak adanya wali disebabkan wafatnya wali sama dengan tidak adanya wali yang disebabkan oleh hal-hal lain. Karena sebelumnya mereka bersepakat bahwa, jika wali aqrab tidak ada karena wafat, maka wali yang jaraknya lebih dekat yang berhak menikahkan.28

Dalam kitab Al-fiqh ‘alâ madzâhib arba’ah karangan Abdurrahman al-Jazairi, dikatakan meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqih tentang perpindahan wali, namun mereka bersepakat bahwa perpindahan wali terjadi karena ada hal yang mempengaruhi, tanpa hal tersebut hak perwalian tetap untuk wali yang berhak.

26 Ibrâhîm ibn Muhammad al-Bâjûrî, Hâsyiah al-Bâjuri.., Juz 3, hlm. 361. Lihat juga : HSA.

al-Hamdani, Risalah Nikah; Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : Pustaka Amani, 2002), hlm. 112.

27 Ibrâhîm ibn Muhammad al-Bâjûrî, Hâsyiah al-Bâjuri..., Juz 3, hlm. 364. Lihat juga: M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fiqih, (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2000), hlm. 140.

28 Abd al-Rahmân al-Jazâiri, al-Fiqh ‘Ala Mazahib al-Arba’ah.,(Beirut : Dar al-Fikr, tt), Juz IV, hlm. 39. Lihat juga: M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab …., hlm. 136.

ْن أ م كا لا ْو أ د عْـب لأا لي وْل ل ح لْص ي لا هَّن أ ى ل ع ةَّي ف ن لا و ة ل با ن لا و ةَّي ع فاَّشلا ق ف ـتا ْو رمشل ل ل مْك تْس لما ب رْـق لأا لي ولا دْو ج و ع م جا وَّزلا دْق ع ر شا ب ـي ط

29

Artinya: “Madzhab Syâfi’î, Hanafi dan Hanbali sepakat bahwa wali ab'ad (jauh) atau wali hakim tidak bisa melakukan akad nikah selam masih ada wali aqrab yang memenuhi syarat.”

Penjelasan di atasْْ mengisyaratkan bahwa hak perwalian bisa berpindah ke wali yang lain, baik dari wali nasab kepada wali nasab, ataupun dari wali nasab kepada wali hakim. Sebab perpindahan hak perwalian ini antara lain adalah:

a. Tidak adanya wali aqrab.

Tidak adanya wali aqrab, atau ghiyâb wali aqrab dalam istilah fiqih, yakni keadaan ketika wali aqrab tidak ada di tempat ketika akad nikah, atau bahkan tidak diketahui keberadaannya. Imâm al-Syâfi’î berpendapat, jika ditemukan keadaan seperti ini maka perwaliannya pindah ke wali hakim.

Sedangkan Imâm Abû Hanîfah dan Imâm Mâlik berpendapat hak perwalian pindah kepada wali dalam urutan selanjutnya (wali ab’ad).30 Dalam suatu kasus, jika keberadaan wali aqrab diketahui berada dalam penjara dan tidak memungkinkan untuk menghadirkannya, meskipun jaraknya dekat maka ia dianggap jauh. Demikianjuga jika wali aqrab tidak diketahui keberadaannya walaupun sebenarnya posisi dia dekat dengan letak tempat tinggalnya.31

Dalam masalah ini, kedua pendapat bisa saja diikuti dengan melihat keadaan dan syarat-syarat tertentu, jika diketahui wali aqrab akan menerima pernikahan tersebut, maka perwalian bisa pindah ke wali ab’ad seperti pendapat Imâm Abû Hanîfah dan Imâm Mâlik. Namun jika ada prasangka

29 Abd al-Rahmân al-Jazâiri, al-Fiqh ‘Ala Mazahib al-Arba’ah.,(Beirut : Dar al-Fikr, tt), Juz IV, hlm. 33.

30 Rahmad Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 65.

31 Sayyid Sâbiq, Fiqh Sunnah, Terj: Mahyuddin Shaf, (Bandung: PT. al-Maarif, 1998), Jilid.

VII, hlm. 26

67

bahwa wali aqrab tidak rela dengan pernikahan tersebut maka perwaliannya pindah ke tangan hakim untuk menghindari sengketa antar wali.

b. Adanya Perselisihan Antar Wali yang Derajatnya Sama.

Pernikahan yang tidak dihadiri wali mujbir, seharusnya yang menggantikan wali mujbir adalah wali ab’ad. Namun, jika dalam satu kasus ada wali ab’ad yang derajatnya sama, maka yang lebih tua, berilmu dan rendah hati lebih didahulukan. Namun jika ada perselisihan antar sesama wali ab’ad yang derajatnya sama, maka diundi antara keduanya, yang keluar dari undian tersebut maka dialah yang berhak menjadi wali.32

c. Wali ‘Adal

Wali adal adalah wali yang enggan menikahkan anak perempuannya yang sudah dewasa yang akan menikah dengan seorang lelaki yang se-kufu`

dengannya. Wali mujbir atau ayah memang mempunyai hak untuk menolak pernikahan anak perempuannya, jika dia memandang ada hal-hal yang akan mengganggu kelangsungan rumah tangga anaknya di masa depan. Misalnya pria yang akan menikahkannya tidak se-kufu’ dalam segi kehormatan keluarga, atau anak perempuannya sudah ada yang meminang terlebih dahulu.

Maka wali mujbir berhak melarang, karena hal-hal tersebut termasuk dalam sebab yang dapat diterima secara syar’i.

Dalam Islam, ikatan nasab dan keharmonisan dalam keluarga harus sangat dijaga, jika seorang wanita yang ingin menikah dengan lelaki pilihannya maka adabnya adalah dia meminta izin kepada ayahnya agar hubungan mereka tetap terjalin harmonis. Apabila seorang ayah enggan menikahkan putrinya yang sudah baligh yang akan menikah dengan laki-laki yang se-kufu` dengannya, maka ayah tersebut tergolong wali ‘adal. Dalam kasus seperti ini maka

32 Yahyâ bin Syaraf al-Nawawî, al-Majmû’ …., Juz XVI, hlm. 147.

perwalian berpindah kepada wali hakim, dan bukan kepada wali ab’ad.

Karena sikap ‘adal-nya seorang ayah dinilai sebagai suatu kezaliman dalam kacamata syar’i, dan kezaliman adalah koridor hakim untuk meluruskannya agar tidak terjadi fitnah yang berkelanjutan.33

Para ahli fiqih ber-ijma’ bahwa seorang wali tidak berhak menghalangi wanita yang berada di bawah perwaliannya yang hendak menikah dengan lelaki yang se-kufu` dengannya. Jika dilakukan maka dia telah berlaku zalim kepada perempuan tersebut.

Wali ‘adal adalah wali nikah yang tidak berkenan atau enggan untuk menikahkan perempuan yang berada di bawah perwaliannya karena dia tidak menyukai calon suami perempuan tersebut, hal ini bisa menjadi dosa dan suatu kezaliman baginya jika tidak ada hal mendasar yang dapat diterima dengan kacamata syar’i, hal ini sejelan dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 232:

فْو رْع مـل با ْم ه ـنْـي ـب اْو ضا ر ـت ا ذ إ َّن ه جا وْز أ نْح كْن ـي ْن أ َّن هْو ل ضْع ـت لا ف

Artinya: “maka jangan kamu halangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya, apabila telah terjalin kecocokan di antara mereka dengan cara yang baik”

ْْ

‘Adal-nya wali ditentukan oleh hakim, dalam konteks Negara Republik Indonesia keputusannya ditentukan oleh Pengadilan Agama, Pengadilan Agama yang menilai alasan penolakan dari wali, apakah berdasarkan alasan-alasan yang diterima oleh syar’ atau tidak. Jika alasan-alasannya diterima oleh pengadilan agama dan diterima oleh syar’ maka perwalian tidak berpindah kepada siapapun, dan ia bukan termasuk wali yang adal / menghalangi.34

33 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munahat, (Bandung : Pustaka Setia, 1999), hlm. 24

34 Ibnu al-Rusyd al-Hafîd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Cairo : Maktabah Dar al-Salam, tt), Juz I, hlm. 9.

69

Seorang wali mujbir berhak menolak pernikahan anak perempuannya yang hendak menikah dan masih perawan, dengan alasan yang diterima oleh hukum syar’ atau sebaliknya. Alasan syar’i adalah alasan yang diperbolehkan atau dilarang oleh kacamata syar’i demi menjaga maslahah, seperti wali menolak menikahkan anaknya karena melihat calon suaminya adalah orang yang fasiq atau non muslim, atau calon suaminya merupakan warga negara asing yang tidak diketahui asal usul keluarganya, dan lain sebagainya. Jika dengan alasan ini wali menolak menikahkan putrinya, maka putrinya wajib mematuhinya, dan hakim –dalam hal ini pengadilan agama- tidak berhak menikahkannya.35

Namun ada kalanya seorang wali enggan menikahkan anak perempuannya dengan alasan yang tidak syar’i, seperti ketika ia menolak calon suami anaknya yang tidak tampan, atau karena dendam dengan salah satu keluarga dari calon suaminya, dan sebagainya. Alasan-alasan seperti diْْatas adalah alasan yang tidak benar menurut kacamata syar’i, jika wali enggan menikahkan anaknya dengan alasan seperti di atas, maka wali tersebut bisa disebut wali adal.

Berikut adalah alasan-alasan wali yang enggan menikahkan putrinya yang dapat dibenarkan oleh hukum syar’i, antara lain :

1) Anak perempuannya sudah dalam pinangan orang lain

Wanita yang sudah dilamar oleh seseorang tidak diperbolehkan menerima lamaran dari laki-laki lain sebelum ia memutuskan lamarannya terlebih dahulu, hal ini dijelaskan oleh Rasulullah SAW;

ر م ع نْبا ْن ع –

هنع الله يضر

هْي ل ع الله ىَّل ص بِ نلا ْن ع ْع ب ي لا : لا ق مَّل س و

ه ل ن ذْ يَ ْن أ َّلا إ هْي خ أ ة بْط خ ى ل ع ْب طْ يَ لا و هْي خ أ عْي ـب ى ل ع ل جَّرلا

36

35 HSA. al-Hamdani, Risalah Nikah; Hukum Perkawinan Islam…., hlm. 90-91

36 Abû Abdullâh Muhammad Ibn Abdullâh al-Hâkim, Al-Mustadrak ‘alâ as-Sahîhain, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1998), Juz IV, hlm. 79.

Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallah ‘anhu, ia berkata, dari Nabi SAW, ia bersabda: “tidaklah seorang dari kalian membeli barang yang sudah dibeli oleh saudaranya. Dan juga tidaklah salah seorang dari kalian meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya, kecuali atas izinya”.

Melamar wanita yang sudah dilamar oleh orang lain adalah suatu yang dilarang oleh hukum syar’i, karena hal ini dapat menimbulkan perselisihan di kedua belah pihak, atau dapat menyakiti hati pelamar pertama juga dapat memecah belah hubungan kekeluargaan.

2) Calon suami berakhlak buruk (fâsiq)

Dalam membangun rumah tangga sangat diperlukan suami dan istri yang berakhlak baik, karena hal tersebut menjadi modal yang amat penting demi terjalinnya keluarga yang sakinah mawaddan wa rahmah.

Suami yang fasiq atau berakhlak buruk tidak akan bisa membawa keluarganya kepada kebaikan. Suami yang berakhlak buruk tidak akan bisa menjaga kehormatan istri dan keluarganya. Maka tanggung jawab seorang wali adalah mencarikan untuk anak perempuannya calon suami yang baik, berakhlak mulia dan baik dalam beragama. Seorang wali berhak menolak menikahkan putrinya jika calon pilihan putrinya adalah orang yang dikenal berakhlak buruk atau fâsiq.37

3) Calon suami yang bukan muslim

Dalam Islam, haram hukumnya bagi seorang muslimah menikah dengan seorang laki-laki yang bukan muslim, maka kewajiban bagi seorang wali menolak menikahkan anak perempuannya jika calonnya merupakan laki-laki yang tidak beragama Islam. sebagaimana yang disampaikan dalam Al Quran surat Al-Baqarah : 221;

لا و اْو ـن مْؤ ـي َّتى ح ْين ك رْش ـلما او ح كْن ـت

37 HSA. al-Hamdani, Risalah Nikah; Hukum Perkawinan Islam…., hlm. 47.

71

Artinya: “Dan Janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman”. (QS.

Al Baqarah 221)

4) Kafâ`ah

Kafâ`ah atau kuf`un dalam bahasa arab bisa diartikan dengan setara, sepadan, serasi, seimbang, dan sesuai. Dalam konteks pernikahaan yang dimaksud dengan kâfa`ah adalah keserasian antara calon suami dan calon istri, keserasian dalam hal ketaatan, keshalehan, keturunan, harta,ْْ

pekerjaan, kesempurnaan anggota tubuh dan harga diri.38

Allah berfirman dalam Al Qur’an mengenai kafa’ah dalam surat An Nur ayat 26;

ْين ب يَّطل ل تا ب يَّطلا و تا ثْـي ب خْل ل نْو ـثْـي ب لْا و ْين ثْي ب خْل ل تا ثْـي ب لْا تا ب يَّطل ل نْو ـب يَّطلا و

Artinya: “Perempuan-perempuan yang (akhlaknya) buruk adalah untuk laki-laki yang (akhlaknya) buruk, dan laki-laki yang (akhlaknya)buruk adalah untuk perempuan-perempuan yang (akhlaknya) buruk. Dan perempuan-perempuan yang (akhlaknya) baik adalah untuk laki-laki yang (akhlaknya) baik. Dan laki-laki yang (akhlaknya) baik adalah untuk perempuan-perempuan yang (akhlaknya) baik.”

Kafâ`ah adalah haknya pihak calon istri, yakni yang berhak menuntut kafâ`ah adalah calon istri dan para walinya. Namun, kafâ`ah ini bukanlah syarat sahnya pernikahan, tanpa adanya kafâ`ah dalam suatu pernikahan, pernikahan tersebut akan tetap sah. Kafâ`ah dibutuhkan untuk menghindari munculnya aib yang mungkin saja terjadi setelah

38 Muhammad al-Zuhaili, al-Mu’tamad fi al-Fiqh al-Syâfi’î, (Damaskus: Dârul Qolam, 2010), Juz IV, hlm 24.

pernikahan, kafâ`ah juga bertujuan untuk meminimalisir terjadinya konflik keluarga setelah pernikahan.39

B. Kompilasi Hukum Islam