• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III WALI NIKAH DALAM KHI DAN KITAB-KITAB MU’TABAR

C. Wali Nikah dalam Kitab Mu’tabar Rujukan KHI

2. Kitâb al-Majmû’ْSyarhu al-Muhadzab

a. Deskripsi Kitab dan Biografi Singkat Pengarang

Kitab al-Majmû’ Syarhu al-Muhadzab merupakan karya Imâm Abû Zakariyya Yahya bin Syaraf al-Nawawi. Kitab ini merupakan salah satu referensi terbesar dalam fiqih Madzhab Syâfi’î secara khusus, dan referensi

57 Imâm Abû Bakar Ahmad bin al-Husain al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, (India: Dairoh Al Ma’arif, tt), Juz VII, hlm, 125.

58 Ibrâhîm ibn Muhammad al-Bâjûrî, Hâsyiah al-Bâjuri..., Juz 3, hlm. 349.

81

fiqih untuk madzhab lain secara umum. Kitab ini merupakan syarh atau penjelasan dari kitab Muhadzab yang ditulis oleh Imâm Abû Ishâq al-Syîrâzî (w. 476 H).

Kitab al-Majmû’ Syarhu al-Muhadzab ini menjadi istimewa dan sedikit berbeda dengan kitab-kitab fiqih lainnya, karena kitab ini meskipun isinya terfokus pada fiqih madzhab Syâfi’î, akan tetapi di dalamnya juga membahas pendapat-pendapat dari madzhab lain, terutama dari 4 madzhab yang populer di dunia ilmu fiqih. Selain itu, dalam kitab ini tidak hanya membahas perkara-perkara yang sudah terjadi, tetapi banyak perkara yang belum terjadi dibahas di kitab ini, sehingga ketika perkara tersebut terjadi sudah ada hukum atau penyelesaian dari perkara tersebut, dalam ilmu fiqih ini disebut dengan fiqih ihtimâlât.

Pengarang kitab ini adalah Muhiddîn Abû Zakariya Yahya bin Syaraf al-Syâfi’i al-Nawawi, dan dikenal dengan panggilan Imâm Nawawi. Beliau adalah seorang Imâm yang merupakan pakar Ilmu Hadits dan Fiqh. Lahir di sebuah kampung bernama Nawa, di perbatasan Kota Damaskus pada tahun 631 H dan wafat pada tahun 671 H. Dengan umur yang terbilang singkat, yakni 40 tahun, Imâm Nawawi mampu menuliskan banyak kitab semasa hidupnya. Tidak kurang dari 115 kitab dari berbagai macam cabang ilmu sudah ia tuliskan semasa hidupnya.59

Salah satu karya terakhir yang ia tulis sebelum wafat adalah kitab ini, Kitab al-Majmû’ Syarhu al-Muhadzab, bahkan beliau wafat sebelum menyelesaikan penulisan kitab ini. Imâm Nawawi menulis kitab ini hanya sampai bab jual-beli, selanjutnya penulisan kitab ini dilanjutkan oleh seorang ulama’ fiqih Syâfi’î, yaitu Taqiyuddîn al-Subki.60

b. Wali Nikah dalam Kitâb al-Majmû’ Syarhu al-Muhadzab

59 Yahyâ bin Syaraf al-Nawawî, Kitab al-Majmû’ Syarhu al-Muhadzab, (Jeddah: Maktabah al-Irsyad, tt), Juz 1, hlm. 5

60 Yahyâ bin Syaraf al-Nawawî, Kitab al-Majmû’..., Juz 1, hlm. 5

Pembahasan wali nikah dalam kitab yang ditulis oleh al-Nawawi ini sangat detail dan terperinci, kurang lebih 38 halaman kitab ini membahas wali nikah. Wali nikah dalam kitab ini masuk pada bab Mâ Yasihhu bihi al-Nikâh (Hal-hal yang karenanya pernikahan menjadi sah) pada jilid ke 17.61

Konsep Imâm Nawawi dalam kitab ini adalah, pertama ia cantumkan teks dari kitab Al Muhadzab yang dikarang oleh al-Syîrâziy. Setelah itu beliau akan jelaskan secara terperinci maksud dari teks tersebut, serta memberikan pendapat-pendapat lain dari madzhab Imâm al-Syâfi’î juga dari madzhab-madzhab yang lain. Kemudian, ia menghadirkan cabang-cabang masalah dari hukum yang sedang dibahas. Dalam cabang-cabang masalah ini, tidak selalu masalah yang memang sudah real terjadi, namun ada juga masalah-masalah yang sebelumnya tidak pernah terjadi, hal ini biasa disebut dalam istilah fiqih adalah fiqih ihtimâlât.

Dalam pembahasan pertamanya, Imâm Nawawi mencantumkan teks dari kitab al Muhadzab yang menjelaskan, bahwa sebuah pernikahan tidak sah tanpa kehadiran wali dari pihak pengantin perempuan. Kemudian ia menyantumkan pendapat dari Abû Tsaur yang mengatakan bahwa seorang perempuan bisa menikahkan dirinya sendiri dengan izin walinya. Pendapat ini terlahir dari pendapat yang mengatakan bahwa perempuan adalah ahli al-tasarruf. Sedangkan dilarangnya mereka untuk melakukan akad sendiri karena akad adalah hak seorang wali, jadi jika wali sudah mengizinkan, maka hilanglah sebab larangan tersebut.62

Namun pendapat ini disalahkan oleh Imâm Nawawi, dengan dalil sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abû Hurairah, dari Rasulullah SAW;

61 Yahyâ bin Syaraf al-Nawawî, Kitab al-Majmû’..., Juz 17, hlm. 270.

62 Yahyâ bin Syaraf al-Nawawî, Kitab al-Majmû’..., Juz 17, hlm. 240.

83

ا ه سْف ـن ة أْر مـلا ح كْن ـت لا و ة أْر مـلا ةأْر مـلا ح كْن ـت لا

63

Artinya: “Tidaklah seorang wanita menikahi wanita yang lain, tidak pula seorang wanita menikahi dirinya sendiri”

dan hadits dari ‘Aisyah ra. yang berbunyi;

ٌل ط با ا ه حا ك ن ف ، ا همـي ل و نْذ إ ْير غ ب ْت ح ك ن ٍة أ رْما ا ميُّ أ ا ه حا ك ن ف ، ٌل ط با ا ه حا ك ن ف ،

ْن إ ف ، ٌل ط با لا ْن م ٌّ لي و نا طْلمسلا ف اْو ر جا ش ت ْن إ و ، ا بها ص أ ا بِ ا ه رْه م ا ه ل ـف ، ا بها ص أ

ا ل لي و

64

Artinya: “Siapa saja perempuan yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya tidak sah, nikahnya tidak sah, nikahnya tidak sah, jika sudah terlanjur, maka dia wajib mendapatkan maharnya. Jika para walinya berselisih, maka hakim adalah wali bagi mereka yang tidak mempunyai wali.”

Setelah menjelaskan istidlâl dari kedua hadits di atas, Imâm Nawawi memberikan kesimpulan dan faidah yang bisa diambil dari hadits tersebut, berikut adalah sebagian dari kesimpulan yang dapat diambil dari dua hadits di atas;65

1) Perwalian dalam pernikahan berlaku untuk seluruh perempuan tanpa terkecuali, karena lafadz yang digunakan dalam hadits tersebut adalah lafadz umum, jadi berlaku untuk semua perempuan.

2) Seorang wali bisa mewakilkan hak perwaliannya kepada orang lain.

3) Makna mutlak pernikahan dalam Islam adalah ‘akad nikah’, karena makna hadits di atas adalah ‘siapa saja perempuan yang melakukan akad nikah’.

63 Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan ibn Majah, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), Juz 1, hlm.

606.

64 Imâm Abû Bakar Ahmad bin al-Husain al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra.., Juz VII, hlm, 105.

65 Yahyâ bin Syaraf al-Nawawî, Kitab al-Majmû’..., Juz 17, hlm. 247.

4) Kata ‘nikah’ berlaku untuk pernikahan yang sah maupun yang tidak sah.

5) Hubungan suami istri yang syubhat (pernikahan yang tidak sah) mewajibkan mahar untuk perempuan.

6) Pernikahan yang tidak sah, jika tidak terjadi hubungan suami istri maka tidak ada kewajiban mahar bagi pria.

7) Kewajiban mahar bagi pria berlaku kepada mereka yang mengetahui kewajiban mahar maupun yang tidak mengetahui.

8) Tidak ada had (hukuman) bagi yang melakukan hubungan suami istri yang berhukum syubhat.

9) Seorang perempuan bisa saja mempunyai beberapa orang wali.

10) Hakim adalah wali bagi perempuan yang tidak memiliki wali.

11) Kalau walinya melakukan ‘adal, maka hakim berhak menjadi walinya.

Setelah itu Imâm Nawawi melanjutkan penjelasannya seputar wali nikah dalam berbagai kondisi menurut madzhab Imâm al-Syâfi’î secara khusus, dan juga pendapat dari madzhab lain secara umum.