• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III WALI NIKAH DALAM KHI DAN KITAB-KITAB MU’TABAR

C. Wali Nikah dalam Kitab Mu’tabar Rujukan KHI

3. Kitâb al-fiqh ‘alâ Madzâhib al-Arba’ah

a. Deskripsi Kitab dan Biografi Singkat Pengarang

Kitâb al-fiqh ‘alâ Madzâhib al-Arba’ah, sesuai namanya adalah kitab yang membahas permasalahan fiqih dari sisi empat madzhab yang terkenal.

Yaitu Syâfi’îyah, Hanafiyyah, Hanabilah, dan Mâlikiyah. Kitab ini termasuk kitab rujukan utama para pakar fiqih kontemporer karena cakupannya yang lengkap membahas permasalahan-permasalahan terkini.

Penulis kitab ini adalah Abdurrahman bin Muhammad ‘Iwad al-Jazâiriy. Dilahirkan di Mesir tahun 1880 M. Beliau Menempuh pendidikannya di Universitas Al Azhar Kairo hingga mampu menjadi seorang pakar Fiqih Hanafi. Kesibukannya dalam mengajar menjadikan ia ditunjuk oleh

85

Kementrian Agama dan Wakaf untuk menjadi penanggung jawab Lembaga Pentashih di kementrian tersebut.66

Kitab yang membahas empat madzhab ini disusun untuk mempermudah pembaca mengetahui perbedaan pendapat antar madzhab dalam fiqih. Kitab ini mencakup berbagai macam permasalahan fiqih, seperti bersuci Shalat, Puasa, Zakat, Haji, Makanan-minuman yang dilarang dan dibolehkan, Jual-beli, Nikah, Thalaq, Hudud, Qisash, Bughat, Murtad, Takzir, Dosa-dosa besar, dan lain sebagainya.67

Kitab ini pada awalnya adalah kumpulan permasalahan fiqih yang ditulis oleh sekumpulan ‘Ulama di bawah bimbingan Kementrian Agama dan Wakaf Mesir. Kemudian al-Jaziriy melakukan sebuah perombakan besar dalam kitab ini, perombakan dari segi bahasa, membenarkan kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam kitab ini, hingga menyusun kembali bab-babnya sesuai dengan pembahasan dan permasalahan fiqih pada umumnya.68

Konsep dari kitab ini adalah, penulis menyebutkan masalah-masalah fiqih, kemudian menyertakan pendapat dari empat madzhab beserta dalil-dalilnya. Penulis mengatakan dalam muqodimah kitab ini, “Kitab ini disusun untuk mempermudah para imam masjid untuk menemukan pembahasan fiqih dalam berbagai madzhab”.

Meskipun penulis sudah berusaha sebaik mungkin untuk menyempurnakan kitab ini, tapi kitab ini tidak terlepas dari kritikan dan masukan. Syeikh Abdulkarim al-Khudair mengatakan ketika mengkritik kitab ini, “kitab ini masih kurang sempurna, karena sebagian pendapat madzhab dinukil dari kitab-kitab yang tidak masyhur dalam madzhabnya. Dan beberapa pendapat tidak diakui oleh madzhab tersbut”.69

66 Abdurrahman Jaziriy, Kitâb Fiqh ‘alâ Madzâhib Arba’ah, (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah, 2003), Juz 1, hlm 4.

67 Abdurrahman al-Jaziriy, Kitâb al-Fiqh ‘alâ Madzâhib…, Juz 1, hlm 5.

68 Abdurrahman al-Jaziriy, Kitâb al-Fiqh ‘alâ Madzâhib…, Juz 1, hlm 5.

69 Abdurrahman al-Jaziriy, Kitâb al-Fiqh ‘alâ Madzâhib …, Juz 1, hlm 4.

b. Wali Nikah dalam Kitâb al-fiqh ‘alâ Madzâhib al-Arba’ah

Pembahasan wali nikah dalam kitab ini termasuk pembahasan yang luas dan lengkap bagi kitab yang mencakup empat madzhab fiqih. Kitab ini memiliki bab khusus yang membahas tentang wali nikah dari keempat madzhab.70

Kitab ini memulai pembahasan wali nikah dari definisi wali nikah dalam setiap madzhab, serta urutan prioritas wali nikah dalam setiap madzhab. Menurut madzhab Imâm Mâlik urutan perwalian dalam pernikahan sebagai berikut; yang pertama adalah wali mujbir, yakni ayah atau yang diwasiatkan, kemudian anak laki-laki (bagi wanita yang sudah menikah sebelumnya), kemudian anak dari anak laki-laki (cucu), kemudian ayah angkat, kemudian saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki se-ayah, kemudian anak laki dari saudara laki-laki kandung, dan seterusnya.71

Sedangkan menurut madzhab Imâm Abû Hanîfah, urutan perwalian dalam pernikahan adalah sebagai berikut; Pertama adalah ahli waris yang mendapatkan ‘asobah dari nasab ataupun dari sebab.72 Kemudian saudara yang mempunyai hubungan darah, dan kemudian Hakim.73 Sedangkan urutan ahli waris yang mendapat asobah dalam madzhab Imâm Abû Hanîfah sebagai berikut; Anak laki perempuan tersebut, kemudian anak dari anak laki tersebut, kemudian saudara laki-laki dari ayah, kemudian kakek, kemudian saudara kandung, kemudian saurada se-ayah, dan seterusnya.74

Sedangkan ururan wali nikah menurut Madzhab Imâm al-Syâfi’î adalah sebagai berikut; Ayah, kakek dari ayah dan seterusnya, kemudian saudara laki kandung, kemudian saudara laki dari ayah, kemudian anak dari saudara laki kandung, saudara laki dari ayah, kemudian paman dari ayah,

70 Abdurrahman al-Jaziriy, Kitâb al-Fiqh ‘alâ Madzâhib …, Juz 4, hlm 529

71 Abdurrahman al-Jaziriy, Kitâb al-Fiqh ‘alâ Madzâhib …, Juz 4, hlm 30.

72 Ahli waris yang mendapatkan asobah karena ada sebab, contohnya adalah tuan dari seorang budak perempuan yang sudah dibebaskan.

73 Abdurrahman al-Jaziriy, Kitâb al-Fiqh ‘alâ Madzâhib …, Juz 4, hlm 29.

74 Abdurrahman al-Jaziriy, Kitâb al-Fiqh ‘alâ Madzâhib …, Juz 4, hlm 29.

87

kemudian anak kandung paman. Kemudian hak perwalian akan berpindah wali hakim jika sudah tidak ditemukan wali nasab.75 Sedangkan urutan wali nikah dalam madzhab Imâm Ahmad bin Hanbal tidak jauh berbeda dengan urutan wali nikah dalam madzhab Imâm al-Syâfi’î.76

Dalam kitab ini juga dijelaskan macam-macam wali dan fungsional dari wali tersebut, misalnya wali mujbir dalam madzhab Imâm al-Syâfi’î salah satunya berfungsi untuk melakukan akad nikah tanpa seizin yang akan dinikahkan, mereka adalah; perempuan yang masih belum balig, dan perempuan sudah balig ataupun belum yang memiliki gangguan mental, dan perempuan yang sudah dewasa, berakal, dan belum menikah. Wali mujbir memiliki wewenang untuk menikahkan mereka tanpa seizin mereka dengan 7 syarat;77

1) Tidak ada perselisihan secara terang-terangan antara wali mujbir dan perempuan yang akan dinikahkannya, jika perselisihan antar keduanya adalah perselisihan yang tidak tampak maka hal tersebut tidak menghilangkan hak kewalian wali mujbir.

2) Tidak ada perselisihan sama sekali antara perempuan yang akan dinikahkan dengan calon suaminya. Jika perempuan tersebut dinikahkan dengan orang yang ada perselisihan antar keduanya maka pernikahan tersebut tidak sah.

3) Antara perempuan dan calon suaminya adalah pasangan yang kufu’.

4) Calon suami adalah orang yang dimudahkan dan mampu membayar mahar.

Empat syarat di atas harus dipatuhi untuk terjadinya pernikahan yang sah, jika ada satu syarat yang tidak dipatuhi maka pernikahan tidak sah jika tanpa seizin calon istri.

75 Abdurrahman al-Jaziriy, Kitâb al-Fiqh ‘alâ Madzâhib …, Juz 4, hlm 31.

76 Abdurrahman al-Jaziriy, Kitâb al-Fiqh ‘alâ Madzâhib …, Juz 4, hlm 31.

77 Abdurrahman al-Jaziriy, Kitâb al-Fiqh ‘alâ Madzâhib …, Juz 4, hlm 37.

1) Maharnya adalah mahar mitsl.

2) Maharnya adalah mata uang yang berlaku di negeri tersebut.

3) Mahar dibayar secara cash atau kontan.

Tiga syarat di atas adalah syarat untuk menjadkan wali mujbir sebagai

‘aqid, maka wali mujbir tidak boleh melakukan akad jika ada syarat yang belum terpenuhi dari tiga syarat tersebut. Jika masih dilakukan, maka hukum akad tersebut adalah sah akan tetapi wali tersebut mendapat dosa.78