• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III WALI NIKAH DALAM KHI DAN KITAB-KITAB MU’TABAR

C. Wali Nikah dalam Kitab Mu’tabar Rujukan KHI

5. Kitâb Tuhfat al-Muhtâj bi Syarh al-Minhâj

Dalam kitab ini, pada pembahasan hal-hal yang menghalangi perwalian dalam pernikahan disebutkan sebagai berikut; pemikirannya terganggu karena umur atau penyakit, begitu juga orang yang dicegah untuk mengelola hartanya menurut pendapat madzhab. Dan jika ditemukan wali aqrab terdapat beberapa sifat di atas, maka hak perwalian berpindah ke wali ab’ad. Jika wali sedang hilang kesadarannya sementara, maka ditunggu sampai kesadarannya kembali.

Atau jika hilang kesadarannya dalam waktu yang lama, maka pendapat terkuat adalah ditunggu sampai kembali kesadarannya. Dan tidak ada perwalian bagi orang yang fasik.”

Sifat yang menjadi perhatian disini adalah sifat fasik yang terdapat pada teks di atas. Ibnu Hajar al-Haitami menuliskan dalam kitab ini, bahwa orang fasik, apakah dia wali mujbir atau selainnya, tidak berhak menjadi wali. Maka secara otomatis perwaliannya pindah ke wali ab’ad. Karena kefasikan adalah kekurangan yang dapat mencederai syahadah atau kesaksian seseorang. Dan ini

20 Muhammad Ibn al-Rusyd, Bidâyat al-Mujtahid ..., juz 3, hlm. 27.

21 Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfat al-Muhtâj bi Syarh al-Minhâj, (Kairo: Matba’ah Mustofa Muhammad, tt), Juz 1, hlm. 3

111

adalah pendapat terkuat dalam madzhab Syâfi’î. Imâm al-Ghazâlî berpendapat, jika hak perwaliannya wali mujbir yang fasik berpindah kepada wali hakim yang fasik juga, maka wali mujbir yang fasik lebih berhak daripada wali hakim yang fasik.

Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa salah satu syarat wali adalah memiliki sifat ‘adl, sifat ‘adl adalah sifat seseorang yang bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya, menjalankan kewajibannya sesuai dengan apa yang menjadi kewajibannya tanpa melalaikan kewajiban terebut, dengan tidak disengaja apalagi disengaja. Sifat ‘adl yang dimiliki wali ini akan membawa kebaikan dan ketentraman jiwa.

Lawan dari sifat ‘adl adalah fisq, orang yang tidak memiliki sifat ‘adl dalam dirinya, dengan melalaikan kewajiban-kewajibannya, maka orang teresbut adalah fasik. Maka jika ada ayah atau wali yang dengan sengaja melalaikan dan mengabaikan kewajibannya atas perwaliannya maka dia dapat dikategorikan sebagai seorang yang fasik.

Dari pemaparan kitab-kitab rujukan KHI di atas, dapat disimpulkan bahwa seluruh kitab-kitab rujukan KHI yang menjadi pisau analisis penulis bersepakat bahwa ayah yang telah mengabaikan kewajibannya sebagai ayah dan juga telah mengabaikan hak-hak keluarganya terutama putrinya, seperti tidak memberikan nafkah, memberikan hak pendidikan yang layak, tidak peduli dengan kebutuhannya sejak kecil, maka hak perwaliannya jatuh dan berpindah ke wali yang lain. Karena sifat abai seperti yang dijelaskan di atas termasuk dalam kategori fasik yang dalam kitab-kitab di atas dijelaskan menjadi penyebab gugurnya hak perwalian dengan adanya sifat tersebut di dalam diri wali.

Berbeda dengan kitab-kitab rujukannya yang secara detail menyebutkan sifat-sifat dan kriteria wali dalam pernikahan, KHI belum menyebutkan secara terperinci

bagaimana sifat wali yang seharusnya atau sifat-sifat apa saja yang dapat menghalangi seseorang menjadi wali.

C. Analisis Kedudukan Ayah Sebagai Wali Nikah Bagi Anak yang Diabaikannya Ditinjau dari Teori Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian Hukum

1. Teori Keadilan

Jika dilihat dari teori keadilan, yang merupakan urutan pertama dalam prioritas nilai-nilai dasaar hukum menurut Gustav. Maka bukan merupakan suatu keadilan bagi sang anak, jika ayah yang sudah mengabaikan kewajibannya dan melalaikan hak sang anak masih menjadi wali dalam pernikahannya. Dalam teori keadilan yang diusung seorang filusuf yunani, Aristoteles, keadilan terbagi menjadi dua, distributif dan korektif. Maka dalam keadilan distributif, bukan suatu keadilan jika ayah yang sudah tidak melakukan tanggungjawabnya sebagai ayah, kemudian meminta haknya sebagai wali nikah bagi putrinya. Karena keadilan distributif adalah keadilan yang berdasarkan dari peran dan kontribusi seorang individu dengan individu lainnya, seberapa besar kontribusi seorang individu, sebesar itu pula hak yang dia dapatkan. Dalam teori tersebut, Aristoteles juga menyebutkan bahwa keadilan adalah ikatan dan timbal balik yang baik antar sesama manusia.

Dalam teori keadilan versi pandangan Islam, maka ayah yang mengabaikan kewajibannya sebagai ayah, jelas-jelas sudah menyalahi aturan yang sudah diatur oleh Al-Qur’ân dan Sunnah dan tidak berlaku adil. Al-Qur’ân memerintahkan setiap muslim untuk menunaikan amanah yang diembannya. Dalam Al-Qur’ân Allah berfirmanْ dalam Surah An Nisa ayat 58 :

او م كْ تح ْن أ ساَّنلا ْين ب ْم تْم ك ح ا ذ إ و ا ه لْه أ لى إ ت ناا م ْلأا اومد ؤ ـت ْن أ ْم ك ر مْ يَ َّللَّا َّن إ لْد عْل با

اًْير ص ب ۢاًعْـي سَ نا ك ٰ للَّا َّن ا ۗ ه ب ْم ك ظ ع ي اَّم ع ن َّللَّا َّن إ

113

Artinya: “Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.”

Dalam ayat tersebut, Allah mengaitkan perintah untuk menyerahkan amanah kepada para ahlinya dengan perintah untuk berbuat adil. Maksudnya adalah orang yang tidak amanah dalam menunaikan kewajibannya, maka dia telah melenceng dan keluar dari perintah Allah.22 Sedangkan seorang putri merupakan amanah bagi ayahnya. Begitu juga dalam sunnah yang sudah mewanti-wanti bahwa setiap orang akan mempertanggungjawabkan amanah yang pernah diembannya di dunia.

2. Teori Kemanfaatan

Teori kemanfaatan merupakan salah satu aspek yang menjadi pertimbangan untuk ditegakannya suatu hukum. Menurut teori ini hukum yang baik adalah yang dapat memberikan kebahagiaan kepada sebanyak-banyaknya orang. Menurut Bentham, seorang filusuf yang mengembangkan teori ini, agar teori ini dapat diaplikasikan dengan baik, maka setiap orang harus memiliki konsep “tahu diri”

pada dirinya masing-masing. Dengan begitu maka tiap individu akan mengetahui hak dan kewajiban mereka masing-masing.23

Dalam kasus ayah yang mengabaikan kewajibannya, maka untuk menghasilkan kemanfaatan yang sebesar-besarnya untuk orang yang sebanyak banyaknya, harus diteliti terlebih dahulu, apakah ayah yang sudah abai dengan kewajibannya sebagai orang tua akan memberikan manfaat ketika menjadi wali nikah bagi putrinya? Atau karena dia sudah mengabaikan kewajibannya sebagai ayah, maka itu menandakan ketidak peduliannya terhadap hak dan kebaikan anaknya.

22 Abû Bakar Jazâ’irî, Aysar Tafasir li kalâmi ‘âliy Kabîr, (Jeddah : Nahr al-Khair, 1990), Juz 1, hlm. 496.

23 Muhammad Erwin, Filsafat Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo, 2015), hlm 294

Menurut analisa penulis, posisi ayah sebagai yang utama dalam urutan wali dalam pernikahan, karena seorang ayah dinilai yang paling mengetahui kebutuhan putrinya, juga yang paling perhatian dengan kemaslahatan putrinya. Namun jika hal tersebut sudah tidak ditemukan, dengan mengabaikan kewajibannya sebagai ayah, maka untuk menghadirkan manfaat dan maslahat untuk calon pengantin wanita, hak perwalian ayah dapat dialihkan kepada yang lebih bertanggung jawab dan lebih paham dengan maslahat calon pengantin wanita.

3. Teori Kepastian Hukum

Kepastian hukum merupakan unsur dasar hukum yang memiliki prioritas pada urutan ketiga, setelah keadilan dan kemanfaatan, menurut Gustav.24 Untuk menghasilkan kepastian dalam hukum, tentunya suatu hukum harus diundangkan dengan jelas, dan kriteria yang mendetail. Artinya tidak ada pasal abu-abu, atau pasal karet yang dapat ditafsirkan berbeda-beda.

Dalam kasus yang sedang dibahas, maka untuk menghasilkan kepastian hukum tentu sulit untuk dicapai, karena belum ada hukum atau perundang-undangan yang membahas tentang kasus ini. Seorang hakim yang memutuskan perkara-perkara semacam ini, mungkin hanya bisa mempertimbangkan dua teori sebelumnya untuk menentukan hukum tersebut, yaitu teori keadilan dan kemanfaatan hukum.

Dari tiga teori di atas, dapat disimpulkan bahwa hak ayah yang abai terhadap anaknya sejak kecil berpindah kepada wali berikutnya, dan ayah tersebut sudah tidak berhak dan layak menjadi wali bagi anaknya tersebut, karena sifat abai yang berada dalam diri wali bertolak belakang dengan tujuan dari teori keadilan dan kemanfaatan hukum yang menjadi bahan pertimbangan utama bagi tegaknya suatu hukum.

D. Analisis Kedudukan Ayah Sebagai Wali Nikah Bagi Anak yang Diabaikannya Dianalisis dari Konsep Maslahah

24 Muhammad Erwin, Filsafat Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo, 2015), hlm 123.

115

Bila menganalisis dalil-dalil dari Al Qur’an dan al-Sunnah, maka tidak ditemukan aturan secara jelas terkait kewajiban adanya wali dalam pernikahan, seperti yang sudah dijelaskan di pembahasan-pembahasan sebelumnya. Karena ulama yang berpendapat mewajibkan wali dan tidak mewajibkannya sama-sama menggunakan dalil zonniy yang tidak melahirkan keyakinan dalam pendapat tersebut.

Banyak faktor yang menyebabkan para ulama berbeda pendapat dalam hal wali dalam rukun nikah, salah satu faktornya adalah dari sisi maslahah calon pengantin wanita itu sendiri. Ulama yang mewajibkan adanya wali dalam pernikahan berpandangan bahwa wali akan memberikan manfaat dan dapat menjaga maslahah untuk calon pengantin wanita. Karena dengan didampingi wali dari ayah atau keluarga terdekatnya, harga diri calon pengantin wanita akan lebih terjaga. Begitu juga sebaliknya, para ulama yang membolehkan akad nikah tanpa adanya wali, atau bahkan wanita dapat menikahkan dirinya sendiri, bagi mereka hal itu juga mengandung maslahah bagi sang wanita. Maka dalam keadaan seperti di atas, manakah yang lebih maslahah?

Akhir-akhir ini, banyak orang membawa nama maslahah untuk berpaling dari ajaran agama dan syari’at Islam, seakan maslahah adalah konsep teori karet yang bisa ditarik kemana saja demi kepentingan teretentu. Ditambahlagi kaum modernis yang berasumsi bahwa sistem peradaban barat (modern) lebih mampu merespon kebutuhan-kebutuhan zaman sekarang daripada sistem peradaban yang dimiliki oleh syari’at Islam.25 Dalam keadaan yang demikian itu, Sa’îd Ramadân al-Bûtî berusaha menyegarkan kembali konsep maslahah dan membatasi konsep maslahah tersebut agar tidak keluar dari ketentuan agama. Beliau mengkaji teori maslahah dalam kitabnya yang berjudul Dawâbit al-Maslahah fî al-Syarî’ah al-Islamiyah. Di dalam kitab tersebut Sa’îd Ramadân al-Bûtî memberikan lima syarat suatu maslahat untuk bisa dinilai sebagai maslahah hakiki.

25 Muẖammad Saʻîd Ramaḏân al-Bûṯî, Ḏawâbiṯ al-Maslaẖah fi al-Syari’ah al-Islamiyyah, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), hlm. 6

Maslahah menurut Sa’îd Ramadân al-Bûtî adalah suatu manfaat yang menjadi maksud dan tujuan al-Syâri’ (Allah) untuk hamba-hamba-Nya, demi melindungi agama, jiwa, akal, keturunan dan harta mereka serta pelaksanaannya sesuai dengan urutan di atas. Segala upaya untuk menghadirkan manfaat dan menjauhi kemudaratan yang ada kaitannya dengan lima aspek tujuan syara’ juga disebut maslahah. Karena tujuan utama suatu hukum syara’ adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan menghindari terjadinya mudarat/mafsadah (kerusakan) bagi ummat untuk kemaslahatan di akhirat.

Sebagaimana yang sudah penulis singgung pada bab II, untuk menjadi maslahah hakiki yang dapat diakui syara’, Sa’îd Ramadân al-Bûtî memberikan 5 kriteria yang wajib terpenuhi, yaitu; (1) Maslahah harus berada dalam ruang lingkup Maqâsid al-syarî’ah, (2) Maslahah tidak bertentangan dengan Al Qur’an, (2) Maslahah tidak bertentangan dengan al-Sunnah, (3) Maslahah tidak bertentangan dengan Qiyâs, dan yang terakhir (5) Maslahah tidak bertentangan dengan maslahah yang lebih besar.

Dalam permasalahan ayah yang mengabaikan anak perempuannya sehingga berdampak pada penolakan anak perempuannya atas perwalian ayahnya dalam pernikahan, maka sesungguhnya sang ayah sudah menyalahi dan melalaikan kewajibannya dan keluar dari pemeliharaan maslahah, bahkan cenderung kepada perbuatan yang menimbulkan mafsadah. Karena bagaimanapun, anak perempuan masih dibawah tanggung jawab dan pemeliharaan ayahnya sampai dia menikah.

Selama masa itu, kewajiban ayah adalah memberikan perhatian secara lahir dan batin.

Sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW.

َّللَّا لو س ر َّن أ ه د ج ْن ع هي ب أ ْن ع ٍبْي ع ش نْب و رْم ع ْن ع

-ملسو هيلع الله ىلص

لا ق :

ْم ه ـنْـي ـب او ق ر ـف و ، ين ن س رْش ع فِ ا هْـي ل ع ْم هو ب د أ و ، ين ن س عْب س فِ ة لاَّصلا م ك نا يْـب ص او م ل ع

فِ

117

مي ف ة رْو عْلا و ه ت رْو ع لى إ ْر ظْن ـت لا ف ه ير ج أ ْو أ ه دْب ع ه ت م أ ْم ك د ح أ جَّو ز ا ذ إ و ، ع جا ض مْلا ْين ب ا

. ة بْكمرلا و ةَّرمسلا

ْ26

Artinya: “Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dia berkata, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : ‘ajarkanlah anak-anak kalian shalat ketika umur 7 tahun, dan biasakan mereka shalat pada umur 10 tahun, dan pisahlah tempat tidur mereka dengan kalian (pada umur 10 tahun). Dan pisahkanlah tempat tidur mereka. Dan jika salah satu dari kalian menikahi hamba sahayanya, maka jangan kalian melihat auratnya. Dan aurat adalah antara pusar dan lutut”

Hadits di atas menjelaskan perintah Rasulullah SAW kepada orang tua untuk mendidik dan mengajarkan anak-anaknya shalat pada umur 7 tahun, dan membiasakannya pada umur 10 tahun. Dan mengajarkannya untuk mandiri dengan memisah tempat tidur mereka pada umur 10 tahun. Kemudian dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda;

َّلا إ ٍدو لْو م ْن م ا م مَّل س و هْي ل ع َّللَّا ىَّل ص َّللَّا لو س ر لا ق لو ق ـي نا ك هَّن أ ة رْـي ر ه بِ أ ْن ع ى ل ع د لو ي

ه نا ر ص ن ـي و ه نا د و ه ـي ها و ـب أ ف ة رْط فْلا ْن م ا هي ف نومس تح ْل ه ءا عْ جم ًة مي به ة مي ه بْلا ج تْـن ـت ا م ك ه نا س ج يُّ و

لا ا هْـي ل ع ساَّنلا ر ط ف تيَّلا َّللَّا ة رْط ف ...ْم تْـئ ش ْن إ او ء رْـقا و ة رْـي ر ه و ب أ لاو ق ـي َّ ثم ءا عْد ج قْل لْ لي دْب ـت

َّللَّا .

27

Artinya: “Dari Abû Hurairah, dia berkata; "Rasulullah SAW telah bersabda:

'Seorang bayi tidak dilahirkan (ke dunia ini) melainkan ia berada dalam kesucian (fitrah). Kemudian kedua orang tuanyalah yang akan membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi -sebagaimana hewan yang dilahirkan dalam keadaan selamat tanpa cacat. Maka, apakah kalian merasakan adanya cacat? ' Lalu Abû Hurairah berkata; 'Apabila kalian mau, maka bacalah firman Allah yang berbunyi: '…tetaplah atas fitrah Allah yang

26 Ahmad bin Husain al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubrâ, (India: Majelis Dairot al-Ma’arif, tt), Juz II, hlm. 229.

27ْْMuhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, (Beirut: Daar Tauq al-Najah, tt), Juz II, hlm. 94.

telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah.' (QS. Ar Ruum (30): 30).”

Hadits di atas menjelaskan, bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kemudian atas didikan dan bimbingan orang tuanya lah yang membuat mereka menjadi orang yahudi atau nasrani, begitu juga atas pendidikan orang tuanya menjadikan mereka menjadi anak yang baik, cerdas, memiliki sopan santun dan lain sebagainya.

Dalam kacamata teori maslahah, didikan orang tua terutama ayah adalah suatu kemaslahatan yang sangat besar bagi anak-anaknya. Dengan didikan orang tua yang baik, maka pendidikan agama si anak juga akan baik, kesehatan jiwa dan raga juga akan baik. Kecerdasan anak juga akan berkembang secara baik. Secara tidak langsung orang tua sudah memelihara kelima maqâsid al-syarî’ah. yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan harta.

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa ayah yang mengabaikan kewajibannya dalam mendidik dan memberi nafkah anaknya, sudah keluar dari kodrat yang digariskan oleh Allah SWT kepadanya, dan dengan kata lain dia sudah bermaksiat kepada Allah SWT dan berlaku fasik.

Kemudian dalam hal perwalian nikah, jika ada anak perempuan yang menemukan ayahnya dengan sifat seperti di atas kemudian tidak ingin ayahnya menjadi wali nikah, dalam arti terjadi penolakan dari anak perempuannya, maka tentu harus dicarikan solusinya. Akan tetapi, menurut penelitian penulis, pencabutan hak perwalian ayah yang telah berlaku fasik dengan mengabaikan kewajibannya mendidik dan memelihara anaknya adalah suatu maslahah bagi putrinya, apalagi jika putrinnya sudah menolak perwalian ayahnya. Karena dengan mengabaikan kewajibannya sebagai ayah selama bertahun-tahun artinya dia sudah tidak peduli dengan putrinya, maka dengan otomatis sesungguhnya dia sudah itdak berhak atas perwalian putrinya.

119

Adapun penjelasan secara terperinci terkait pencabutan hak perwalian ayah yang telah mengabaikan anaknya ditinjau dari perspektif maslahah hasill ijtihad Syeikh al-Bûtî yang memberikan lima kriteria sebagai maslahah hakiki adalah sebagai berikut;

1. Maslahah harus berada dalam lingkup Maqâsid al-Syarî’ah

Pada hakikatnya, dalam pengaplikasian suatu masalah terhadap Maqâsid al-Syarî’ah, cukup poin terkait saja dari lima poin maqâsid al-syarî’ah yang dihubungkan kepada permasalahan tersebut. Misalnya, dalam hal penistaan agama, maka yang diaplikasikan dalam masalah tersebut adalah poin ẖifẕ al-dîn (memelihara agama), sedangkan poin-poin lainnya seperti ẖifẕ al-‘aql (memelihara akal), ẖifẕ al-nasl (memelihara keturunan) dan poin-poin lainnya tidak perlu diapilkasikan. Akan tetapi, menurut pendapat penulis, pernikahan adalah suatu hubungan yang dapat mencakup semua poin Maqâsid al-Syarî’ah.

karena di dalam sebuah pernikahan atau keluarga, ada keterkaitan dengan poin-poin Maqâsid al-Syarî’ah. Dalam keluarga yang baik dapat menjaga Agama dalam sisi pendidikan, maka hal tersebut termasuk ẖifẕ al-dîn (memelihara agama). Dalam keluarga yang baik, akan terpelihara jiwa, akal, dan keturunan.

Hal-hal tersebut termasuk kepada ẖifẕ al-nafs (memelihara jiwa), ẖifẕ al-‘aql (memelihara akal) dan ẖifẕ al-nasl (memeliharaketurunan).

Maka dari itu, bila melihat dari 5 tujuan hukum syari’ah, yaitu ẖifẕ al-dîn (memelihara agama), kedua ẖifẕ al-nafs (memelihara jiwa), ketiga ẖifẕ al-‘aql (memelihara akal), keempat ẖifẕ al-nasl (memelihara keturunan), dan kelima ẖifẕ al-mâl (memelihara harta), maka orang yang memiliki sifat fasik tidak mempunyai keahlian untuk meng-akadkan orang lain atau anak perempuannya.

Karena orang yang fasik tidak peduli dengan keshalihan dan ketaatan dirinya sendiri dalam beragama, maka bisa disimpulkan dengan pemahaman mafhûm muwâfaqoh dalam ilmu ushûl fiqh dia tidak akan peduli dengan kebaikan orang lain. Begitu juga dengan perkara maqâsid al-Syarî’ah yang lain. Maka yang

memberikan maslahah adalah mencabut hak perwalian ayah dan memberikan kepada urutan wali berikutnya atau kepada wali hakim.

2. Maslahah tidak bertentangan dengan Al Qur’an

Menjadi wali dalam pernikahan merupakan tanggungjawab yang sangat besar dan berat. Karena dengan pernikahan, seorang ayah melepas tanggungjawabnya dan kewajibannya atas anak perempuannya kepada lelaki yang menjadi calon suami anaknya. Amanah yang besar ini berkaitan dengan kehidupan dan maslahat orang banyak, bukan hanya kepada dua orang yang akan menikah saja, akan tetapi kepada keluarga besar perempuan dan laki-laki yang akan menikah. Maka dari itu butuh orang yang memiliki keshalehan, rasa takut kepada Allah yang tinggi, dan tanggungjawab yang besar untuk melakukan akad nikah ini. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al Qur’an Surat Al-Nisâ ayat 58;

مْ يَ َّللَّا َّن إ ۚ لْد عْل با او م كْ تح ن أ ساَّنلا ْين ب م تْم ك ح ا ذ إ و ا ه لْه أ ٰ لى إ ت ناا م ْلأا اومد ؤ ـت ن أ ْم ك ر

اًير ص ب اًعي سَ نا ك َّللَّا َّن إ ۗ ه ب م ك ظ ع ي اَّم ع ن َّللَّا َّن إ

Artinya: “Sesungguhnya Allah SWT memerintahkan kalian untuk menyampaikan amanat kepada yang orang yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh Allah adalah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepada kalian. Sungguh Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.”

Ayat di atas menjelaskan untuk benar-benar membebankan amanah kepada yang berhak dan mampu mengerjakannya, tidak hanya itu, pengemban amanah juga harus bertanggungjawab atas amanah yang diembannya tersebut. Begitu juga dalam hal wali pernikahan yang merupakan amanah yang besar.

3. Maslahah tidak bertentangan dengan al-Sunnah

Hadîts atau Sunnah Rasulullah SAW adalah penjelasan dari Al Qur’an, maka kedua dalil tersebut akan selalu seiring sejalan. Dalam masalah wali dalam

121

pernikahan, Rasulullah SAW pernah menyinggung bahwa syarat menjadi wali adalah harus seorang yang mursyid/adil. Sebagaimana yang beliau sabdakan;

َّلا إ حا ك ن لا ٍلْد ع ْي د ها ش و ٍد شْر م لي و ب

28

Artinya: “Tidak ada pernikahan (yang sah) kecuali dengan wali yang mursyid dan dua saksi yang adil”

Pada hadits lain, Rasulullah memperingatkan kepada ummatnya akibat dari melalaikan amanah dan diberikan kepada orang yang tidak ahli dan tidak bertanggung jawab ;

أ ه ءا ج مْو قْلا ث د يح ٍس لْ مج في مَّل س و هْي ل ع َّللَّا ىَّل ص م بَِّنلا ا م نْـي ـب لا ق ة رْـي ر ه بِ أ ْن ع ٌّ بِا رْع

هْي ل ع َّللَّا ىَّل ص َّللَّا لو س ر ى ض م ف ة عاَّسلا تى م لا ق ـف ع سَ مْو قْلا ضْع ـب لا ق ـف ث د يح مَّل س و

ها ر أ نْي أ لا ق ه ثي د ح ى ض ق ا ذ إ َّتى ح ْع مْس ي ْ ل ْل ب ْم ه ضْع ـب لا ق و لا ق ا م ه ر ك ف لا ق ا م ل ئاَّسلا ا ذ إ ف لا ق َّللَّا لو س ر يَ نا أ ا ه لا ق ة عاَّسلا ْن ع

لا ق ة عاَّسلا ْر ظ تْـنا ف ة نا م ْلأا ْت ع ي ض

فْي ك ة عاَّسلا ْر ظ تْـنا ف ه لْه أ ْير غ لى إ رْم ْلأا د س و ا ذ إ لا ق ا ه ـت عا ض إ

29

Artinya: “Dari Abû Hurairah berkata: Ketika Nabi SAW berada dalam suatu majelis membicarakan suatu kaum, tiba-tiba datanglah seorang Arab Badui lalu bertanya: "Kapan datangnya hari kiamat?" Namun Nabi SAW tetap melanjutkan pembicaraannya. Sementara itu sebagian kaum ada yang berkata; "beliau mendengar perkataannya akan tetapi beliau tidak menyukai apa yang dikatakannya itu, " dan ada pula sebagian yang mengatakan; "bahwa beliau tidak mendengar perkataannya." Hingga akhirnya Nabi SAW menyelesaikan pembicaraannya, seraya berkata:

"Mana orang yang bertanya tentang hari kiamat tadi?" Orang itu berkata: "saya wahai Rasulullah!". Maka Nabi SAW bersabda: "Apabila sudah hilang amanah maka tunggulah terjadinya kiamat". Orang itu bertanya: "Bagaimana hilangnya amanat itu?" Nabi SAW menjawab:

28 Ahmad bin Husain al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubrâ..., Juz VII, hlm. 112.

29 Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî,... Juz I, hlm. 21.

"Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka akan tunggulah terjadinya kiamat".

Hadits di atas jelas menerangkan sebab orang fasik tidak bisa diberikan amanah terutama dalam hal perwalian dalam pernikahan, karena dampaknya akan terjadi kerusakan jika amanah diberikan kepada orang yang memiliki sifat fasik, termasuk ayah kandung yang selama ini mengabaikan kewajibannya sebagai ayah.

4. Maslahah tidak bertentangan dengan Qiyâs

Syekh al-Bûtî berpandangan bahwa setiap qiyâs pasti akan menjadikan Maslahah sebagai pertimbangan utama, namun tidak setiap pemeliharaan Maslahah itu mempertimbangkan qiyâs. Setelah melakukan pencarian terhadap permasalahan wali nikah yang mengabaikan anaknya yang diselesaikan dengan menggunakan qiyâs, peneliti tidak menemukan hukum-hukum qiyâs yang bertentangan dengan permasalahan tersebut.

5. Maslahah tidak bertentangan dengan maslahah yang lebih besar

Dalam hal menentukan manakah maslahah yang harus diprioritaskan, Syekh al-Bûtî mewajibkan untuk mempertimbangkan berdasarkan urgensi dan prioritas dari bentuk kemaslahatan tersebut. Maslahah yang diakui oleh syara’ ialah yang sejalan dengan lima maqâsid al-syarîʻah, yaitu perlindungan terhadap agama, jiwa/nyawa,akal, keturunan dan harta. Kemudian alat untuk menentukan maqâsid al-syarîʻah adalah dengan melihat tingkat urgensitasnya, tingkatan urgensitas maslahah terbagi menjadi tiga kelompok seperti yang sudah dijabarkan:

ḏarûriyyah, ẖâjiyyah, dan taẖsîniyyah. Oleh sebab itu, kepentingan ḏarûriyyah harus diutamakan daripada kepentingan ẖâjiyyah, dan seterusnya.30

Pernikahan adalah termasuk kedalam klasifikasi maslahah daruriyyah, maka semua yang berkaitan dengan syarat dan rukun dalam pernikahan harus terpenuhi

Pernikahan adalah termasuk kedalam klasifikasi maslahah daruriyyah, maka semua yang berkaitan dengan syarat dan rukun dalam pernikahan harus terpenuhi