• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III WALI NIKAH DALAM KHI DAN KITAB-KITAB MU’TABAR

A. Konsep Wali Nikah

2. Macam-macam Wali Nikah dan Urutannya

Wali dalam pernikahan dapat dibagi menjadi tiga bagian, sesuai peran dan kondisinya;

10 Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, (Berut: Darul Fikr, 1985), Juz VII, hlm 194.

11 Abd al-Rahmân al-Jazâiri, Kitab al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003), Juz III, hlm 315. Lihat juga: Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkainan di Dunia Islam, (Bandung: Pustaka al-Fikri, 2009), hlm. 3

59

a. Wali Nasab: ialah wali yang mendapatkan hak kewalian sebab adanya ikatan darah atau persaudaraan dari garis keturunan ayah, bukan ibu.12

b. Wali Hakim: adalah wali dari pihak penguasa negeri atau wilayah yang resmi dan diakui. Dalam konteks Negara Indonesia adalah kementrian Agama yang telah mewakilkannya kepada Kantor Urusan Agama tiap wilayah.

c. Wali Muhakkam: adalah seseorang yang diangkat atau ditunjuk oleh wanita untuk menjadi walinya dan menikahkannya dengan pria yang melamarnya, adanya wali muhakkam biasanya ketika keadaan darurat, atau ketika wanita yang akan menikah jauh dari keluarganya. Abû Abdillah al-Qurtubi dalam menafsirkan {

ضْع ـب ءا ي لْو أ ْم ه ضْع ـب تا ن مْؤ ـلما و نْو ـن مْؤم لا و

} berkata, “Jika perempuan tinggal di tempat yang tidak ada sultan serta tidak mempunyai wali, maka penyelesaiannya dapat ia serahkan kepada tetangga yang ia percayai untuk mengakad/ menikahkannya.” 13

Imâm Mâlik berpendapat, anak laki-laki kandung termasuk dalam urutan wali mujbir, bahkan anak laki-laki kandung lebih berhak daripada ayah dan kakek.14 Sedangkan dalam wali nasab ada urutan yang berhak menjadi wali, wali yang hubungan darahnya lebih jauh tidak bisa menjadi wali jika ada wali nasab yang lebih dekat, kecuali jika wali yang hubungannya lebih dekat berhalangan menjadi wali atau menyerahkan hak kewaliannya kepada wali nasab yang lebih jauh.

12 Ibrâhîm ibn Muhammad al-Bâjûrî, Hâsyiah al-Bâjuri ‘alâ Syarhi al-‘Allâmah Ibn Qâsim al-‘Izzi ‘alâ Matni Abi Syujâ’, (Jeddah: Daar al-Minhaj, 2016), Juz III, hlm. 360. Lihat juga: Rahmad Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 20.

13 Imâm Abû Abdillâh al-Qurtubî, al-Jami’li Ahkam al-Qur’an, (Beirut : Dar al-Fikr, tt), Juz III, hlm. 76.

14 Abd al-Rahmân al-Jazâiri, al-Fiqh Ala Madzahib Al-Arba’ah, (Beirut : Dar al-Fikr, tt), Juz VI, hlm. 27

Berikut ini adalah urutan wali nasab dari yang hubungannya paling dekat, menurut Madzhab Syâfi’î;15

1. Ayah Kandung.

2. Kakek dari ayah kandung.

3. Saudara laki-laki kandung.

4. Saudara laki-laki se-ayah.

5. Anak laki dari saudara laki-laki kandung 6. Anak laki dari saudara laki-laki se-ayah.

7. Saudara laki-laki kandung ayah (Paman).

8. Saudara laki-laki ayah se-ayah (Paman).

9. Anak dari saudara laki-laki kandung ayah atau se-ayah.

10. Semua ahli waris yang bisa mendapat ‘ashobah.

11. Hakim.

Urutan Wali Nasab menurut Kompilasi Hukum Islam terdapat pada bagian ketiga pasal 21, sebagai berikut;

1. Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama : kelompok kerabat lakilaki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.

Kedua : kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga : Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, dan keturunan laki-laki mereka.

Keempat: Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.

2. Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kerabatnya dengan calon mempelai wanita.

15 Ibrâhîm ibn Muhammad al-Bâjûrî, Hâsyiah al-Bâjuri ‘alâ Syarhi al-‘Allâmah Ibn Qâsim al-‘Izzi ‘alâ Matni Abi Syujâ’, (Jeddah: Daar al-Minhaj, 2016), Juz 3, hlm. 361. Lihat juga: Imam Taqiyuddin bin Abû Bakar, Kifâyat al-Akhyâr…., hlm. 484.

61

3. Apabila dalam satu kelompok sama derajat kerabatnya, maka yang paling berhak menjadi wali nikah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.

4. Apabila dalam satu kelompok derajat kerabatnya sama, yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.16

Urutan wali nasab di atas bersifat mengikat, maka tidak dibenarkan wali yang urutannya lebih jauh melangkahi wali yang lebih dekat tanpa ada alasan atau persetujuan wali yang lebih dekat. Kakek dari ayah kandung tidak berhak menjadi wali nikah bagi cucu perempuannya jika ayah kandung masih hidup, begitu juga paman tidak berhak menjadi wali nikah jika saudara kandung laki-laki masih hidup tanpa ada penghalang menjadi wali. Kecuali apabila yang mempunyai hak menyerahkan haknya kepada wali nasab urutan yang setelahnya.17

Seorang wali berhak mewakilkan hak perwaliannya kepada orang lain, walaupun orang yang mewakilkan bukan termasuk dalam daftar wali.18 Kejadian seperti ini sering terjadi di masyarakat, dengan mewakilkan hak perwaliannya kepada pemuka agama, atau tokoh masyarakat untuk menjadi wali dalam pernikahan, dengan maksud menghormati kehadiran mereka dalam acara pernikahan, atau sekedar menjadikan acara pernikahan lebih bermakna.

Wali yang menyerahkan hak perwaliannya kepada orang lain harus memberikan persetujuan, begitu juga yang akan mewakilkannya harus menerima penyerahan hak tersebut, dalam arti lain harus ada akad yang menerangkan bahwa hak perwalian telah diserahkan kepada orang lain dari wali yang semestinya.

16 Abdurrahman, kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2010), hlm. 118

17 Ibrâhîm ibn Muhammad al-Bâjûrî, Hâsyiah al-Bâjuri ‘alâ Syarhi al-‘Allâmah Ibn Qâsim al-‘Izzi ‘alâ Matni Abi Syujâ’, (Jeddah: Daar al-Minhaj, 2016), Juz 3, hlm. 360

18 Ibrâhîm ibn Muhammad al-Bâjûrî, Hâsyiah al-Bâjuri..., Juz 2, hlm. 753.

Namun, jika hak perwalian ini diserahkan kepada orang lain tanpa izin wali aslinya, maka pernikahan tidak sah.19

Sebagai contoh, ketika seorang ayah kandung tidak bisa hadir dalam sebuah akad nikah anak perempuannya yang sedang berada di luar negeri, maka ayah kandung dari calon pengantin wanita bisa saja menyerahkan hak perwaliannya kepada orang lain, walaupun orang tersebut bukan termasuk dalam urutan daftar orang yang berhak menjadi wali. Namun, apabila hak perwalian itu berpindah tanpa ada izin dari wali yang semestinya, maka akad nikah tidak dibenarkan atau tidak sah.

Dalam fiqih syâfiyyah, perempuan yang akan menikah terbagi menjadi 2;

perempuan yang sudah pernah menikah dan perempuan yang masih belum pernah menikah atau perawan. Selain itu, dalam pernikahan ada istilah wali mujbir, yaitu wali yang mempunyai hak preogratif dalam menikahkan seorang perempuan tanpa izin atau meminta pendapat terlebih dahulu dari perempuan tersebut. Hal ini hanya berlaku bagi perawan atau perempuan yang belum pernah menikah, dan yang berhak melakukan itu hanyalah wali mujbir, yaitu ayah kandung dari perempuan tersebut, atau kakek kandung. Sedangkan bagi perempuan yang janda atau sudah pernah menikah, maka hal itu tidak berlaku. Wali yang akan menikahkan perempuan yang sudah pernah menikah harus mendapatkan izinnya terlebih dahulu.20

Rasulullah SAW bersabda, yang diriwayatkan oleh Imâm Al Baihaqi:

َّللَّا لو س ر َّن أ ا م هْـن ع َّللَّا ى ض ر ٍساَّب ع نْب َّللَّا دْب ع ْن ع

-ملسو هيلع الله ىلص

: لا ق

ا تها م ص ا نهْذ إ و ا ه سْف ـن في ن ذْأ تْس ت رْك بلا و ا ه ي ل و ْن م ا ه سْف ـن ب مق ح أ ب ي ـثلا

21

19 Yahyâ bin Syaraf al-Nawawî, al-Majmû’ Sarh al Muhaddzab (Beirut : Dar al-Fikr, 2005), Juz XVII, hlm. 305.

20 Ibrâhîm ibn Muhammad al-Bâjûrî, Hâsyiah al-Bâjuri ‘alâ Syarhi al-‘Allâmah Ibn Qâsim al-‘Izzi ‘alâ Matni Abi Syujâ’, (Jeddah: Daar al-Minhaj, 2016), Juz 3, hlm. 361. Lihat juga: Imam Taqiyuddin bin Abû Bakar, Kifâyat al-Akhyâr…., hlm. 484.

21 Imâm Abû Bakar Ahmad bin al-Husain al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, (India: Dairoh Al Ma’arif, tt), Juz VII, hlm, 115.

63

Artinya: Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas –radiyallah ‘anhuma-, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Seorang janda lebih berhak bagi dirinya sendiri, dan perawan dimintai izinnya terlebih dahulu, dan diamnya adalah izinnya”

Imâm Nawawi dalam kitabnya Al-Majmû’ mengatakan ketika menjelaskan hadits di atas, meminta izin untuk anak perempuan perawan bagi wali mujbir adalah sunnah dan bukan suatu kewajiban, karena dalam hadist di atas dibedakan antara janda dan perawan, jika perlakuannya harus sama –yakni harus izin- maka membedakan antara perawan dan janda dalam hadits di atas tidak ada maknanya.22

Berbeda dengan Imâm Mâlik yang berpendapat bahwa wali mujbir hanyalah ayah kandung, Imâm al-Syâfi’î berpendapat bahwa wali mujbir yang mempunyai hak preogratif menikahkan perawannya adalah ayah kandung dan kakek kandung, mereka berdalil karena kakek juga mendapat jatah ‘ashabah sama seperti ayah kandung dalam hal warisan,23 sedangkan Imâm Abû Hanîfah berpendapat bahwa tidak ada istilah wali mujbir bagi perawan, karena tidak ada yang berhak memaksanya untuk menikah.24

Menurut Madzhab al-Syâfi’î, Wali mujbir berhak menikahkan anak perempuannya yang masih perawan jika hubungan keduanya harmonis dan tidak ada permusuhan. Namun jika terlihat ada ketidak harmonisan atau permusuhan, maka wali mujbir tidak berhak menikahkannya tanpa izin.25