• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.2. Koordinasi Lembaga Ombudsman Republik Indonesia Dengan

4.2.3 Komunikasi

Komunikasi adalah pemberian informasi kepada orang lain dengan harapan orang yang menerima informasi dapat memahami dan mengubah tingkah lakunya atau melaksanakan informasi yang disampaikan Harold Koontz & Cyyril O’Donnell (1989:124). Ombudsman Sumatera Utara dan Badan Pertanahan Sumatera Utara telah melakukan koordinasi dalam setiap penanganan kasus pertanahan yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara untuk membangun komunikasi koordinasi antara kedua belah pihak telah melakukan beberapa kali pertemuan dan bahwa sejauh ini komunikasi yang terjalin antara kedua lembaga ini bisa dikatakan berjalan dengan baik. Berdasarkan kamunikasi yang terjalin selama ini terjalin antara Ombudsman Sumatera Utara dan Badan Pertanahan informan mengatakan bahwa:

“Jadi artinya komunikasinya begini ini menurut saya jangankan karna hanya ada MoU ya, tapi dalam proses penyelesaian laporan itu kayaknya antara instansi harus mempunyai kedekatan untuk membangun komunikasi. Kadang-kadang mentoknya penyelesaian masalah itu karena tidak tahu dan kita tidak punya jalur atau pintu masuk kedalam, sehingga berkomunikasi pun susah. Birokrasi itu kan kelemahannya ketertutupan karna tidak mau membuka. Kadang kadang keterbukaan ada namun menyelesaikan nya susah, meski sudah kita tunjukkan aturannya tapi tidak mau juga dia menyelesaikannya. Mungkin dengan kedekatan yang seperti ini dalam menjalankan wewenang kita akan lebih memudahkan kita, andaikan Ombudsman dan BPN ribut nanti susah nanti kita bilang nya.

Jadi intinya menurut saya bagaimana membangun komunikasi aktif dengan BPN maupun dengan semua penyelenggara pelayanan publik sehingga membantu Ombudsman menyelesaikan setiap laporan dari masyarakat. ya mungkin tanpa MoU pun itu, misalnya kalau kita butuh informasi pun di dalam undang-undang 37 sudah diatur semua, ya Ombudsman mempunyai kewenangan untuk memintak itu kok semua, Cuma dengan membangun komunikasi yang lebih aktif maka dibuatlah memalui MoU tadi ” .(Wawancara 28 januari 2019).

Pendapat ini juga didukung oleh informan lainnya yang mengatakan bahwa:

“menyangkut bentuk segala data yang diminta oleh Ombudsman selalu pihak BPN selau berikan, hal itu kan merupakan kewenangan dari Ombudsman kita sebagai pelayanan publik saat ada pemeriksaan dari Ombudsman tentu kami terbuka untuk itu.”(Wawancara 30 Januari 2019)

Komunikasi yang terjalin antara Ombudsman dan Badan Pertanahan bukan karna ada MoU yang diatur oleh kedua lembaga saja, sebelum adanya MoU komunikasi sudah sering terjadi. terlihat dalam penyelesaian kasus dan kerjasama yang pernah terjalin selama ini antara kedua lembaga ini. Dalam mewujudkan kamunikasi yang baik harus mempunyai kedekatan sehingga komunikasi bisa terbangun sesuai dengan dengan tujuan yang diinginkan. Dengan komunikasi merupakan jalur masuk untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat dan taransparan. Dalam membangun hubungan di dalam koordinasi diperlukan komunikasi aktif, komunikasi aktif yang dilakukan oleh Ombudsman dan Badan Pertanahan Nasional seperti berupa saling menghubungi antara kepala instansi melalui media sosial, bertemu dan duduk bersama. Karena birokrasi itu kelemahannya merupakan ketertutupan oleh sebab itu keterbukaan sulit untuk didapatkan, sehinggga dengan adanya kamunikasi yang aktif dijalankan baik oleh Ombudsman dan Badan Pertanahan maka akan memudahkan informasi bisa diperoleh.

Terkait dengan tugas Ombudsman dalam menerima laporan , berdasarkan Peraturan Ombudsman Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2017 yang menyatakan bahwa Ombudsman menerima laporan baik laporan tentang masalah pelayanan administrasi pertanahan yang meliputi penundaan berlarut, penyimpangan prosedur maupun masalah lainnya dapat disampaikan dengan cara datang langsung, mengirim surat ataupun surat elektronik, telepon, media sosial, dan media lainnya yang ditujukan langsung kepada Ombudsman.

Gambar : 4.7 Alur Penyelesaian Laporan Sumber: Ombudsman.go.id 2018

Laporan tersebut kemudian dilakukan verifikasi syarat formil dan materiil.

Syarat formil tersebut meliputi:

1. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, status perkawinan, pekerjaan dan alamat lengkap pelapor serta dilengkapi dengan fotokopi identitas

2. Surat kuasa apabila laporan dikuasakan kepada pihak lain

3. Memuat uraian peristiwa, tindakan, atau keputusan yang dilaporkan secara rinci

4. Sudah menyampaikan laporan secara langsung kepada pihak terlapor atau atasannya tetapi laporan tersebut tidak mendapat penyelesaian sebagaimana mestinya.

5. Peristiwa, tindakan, atau keputusan yang dilaporkan belum lewat 2 tahun sejak peristiwa, tindakan, atau keputusan yang bersangkutan terjadi.

Kemudian syarat materiil tersebut yaitu:

a. Substansi laporan tidak sedang dan telah mejadi objek Pemeriksaan Pengadilan, kecuali laporan tersebut menyangkut tindakan maladministrasi dalam proses Pemeriksaan di Pengadilan.

b. Laporan tidak sedang dalam proses penyelesaian oleh instansi yang dilaporkan dan menurut Ombudsman, proses penyelesaiannya masih dalam tenggang waktu yang patut

c. Pelapor belum memperoleh penyelesaian dari instansi yang dilaporkan d. Substansi yang dilaporkan sesuai dengan ruang lingkup kewenangan

Ombudsman

e. Substansi yang dilaporkan sedang dan/atau telah ditindaklanjuti oleh Ombudsman

Proses ini merupakan pelaporan yang dilakukan oleh masyarakat saat melapor tehadap permasalahan pelayanan administrasi pertanahan di Ombudsman. Masyarakat pada proses awal hanya mengisi persyaratan formil dan materil. Persyaratan ini dibuat berdasarkan aturan dalam undang-undang yang telah ditetapkan sebelumnya. Setelah ada laporan yang disampaikan kepada Ombudsman menyangkut masalah pelayanan pertanahan maka akan dilakukan

oleh ombudsman tahap pemeriksaan yang nantinya akan melibatkan Badan pertanahan sebagai pihak yang terlapor. Adapun proses verifikasi laporan berdasarkan peraturan Ombudsman RI Nomor 26 tahun 2018 yaitu:

1. Tahap pemeriksaan a. Pemeriksaan dokumen

 Pemeriksaan dokumen pada tahap ini berbeda dari penyusunan

ringkasan hasil verifikasi. Pada tahap pemeriksaan, pemeriksaan dokumen dilakukan dengan melihat peraturan terkait, melakukan analisa, mengambil kesimpulan sementara dan tindaklanjut.

 Unit Pemeriksaan mengadakan bedah laporan sebelum menetapkan laporan hasil pemeriksaan dokumen (LHPD) beserta tindaklanjut.

 Tindaklanjut pada tahap ini antara lain Permintaan data,

permintaan klarifikasi, pemanggilan, pemeriksaan lapangan, konsiliasi atau menghentikan pemeriksaan (optional).

 Ditetapkan Laporan Hasil Pemeriksaan Dokumen (LHPD) b. Tindak Lanjut Penyelesaian Laporan

 Permintaan data/informasi tambahan

Tindak lanjut Laporan dengan permintaan data dapat dilakukan dalam hal masih diperlukan informasi tambahan dari pelapor.

 Klafirikasi dan pemanggilan

Permintaan Klarifikasi dapat dilakukan dengan meminta penjelasan secara tertulis maupun secara langsung. Dalam melakukan pemeriksaan, Ombudsman dapat melakukan pemanggilan secara tertulis kepada terlapor. Pemanggilan sebagaimana dimaksud dapat

dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali dengan jangka waktu masing-masing 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya surat panggilan.

c. Pemeriksaan Lapangan

 Pemeriksaan lapangan dilakukan dalam hal subtansi permasalahan

memerlukan pembuktian visual, memastikan subtansi permasalahan dan memperoleh penjelasan dari pihak terkait.

 Tahapan pemeriksaan lapangan meliputi tahap persiapan, berupa

penyusunan kerangka acuan, lembar kerja, dan pembentukan tim pemeriksaan lapangan, Tahap pelaksaan, Tahap pelaporan yang meliputi penyusunan kerangka acuan, Penyusunan lembar kerja pemeriksaan lapangan, Pembentukan tim pemeriksaan lapangan.

Pemeriksaan lapangan dapat dilakukan maksimal 2 kali terhadap 1 laporan masalah dan apabila diperlukan pemeriksaan kembali harus melalui gelar laporan yang dihadiri paling sedikit 2 anggota (Pusat) atau rapat penyelesaian laporan (Perwakilan).

d. Hasil Akhir Pemeriksaan

 Keseluruhan hasil pemeriksaan dituangkan dalam Laporan Akhir

Hasil Pemeriksaan (LAHP), dengan kesimpulan ditemukan bentuk maladministrasi atau tidak ditemukan bentuk maladministrasi.

 Apabila menyatakan tidak ditemukan bentuk maladministrasi, maka LAHP di sampaikan kepada Pelapor dengan tembusan terlapor.

 Apabila menyatakan ditemukan bentuk maladministrasi, maka dilengkapi dengan Tindakan Korektif.

 Selanjutnya LAHP di sampaikan kepada Terlapor dan meminta

tanggapan. Apabila tidak memperoleh tindaklanjut, maka dilanjutkan pada tahap resolusi.

 Penetapan LAHP dilakukan melalui bedah laporan yang

melibatkan anggota atau kepala perwakilan.

Laporan akhir hasil pemeriksaan merupakan proses hasil terhadap pemerikasan yang telah dilakukan Ombudsman terhadap laporan masyarakat yang mana pihak terlapor Badan Pertanahan akan memerima LAHP tersebut untuk di tindak lanjuti, apabila tidak dilanjuti selama 60 hari maka Ombudsman akan melaksanakan tahap resolusi dan monitoring.

2. Tahap Resolusi

a. Mediasi atau Konsiliasi

Kriteria Laporan yang dapat diselesaiakan melalui Mediasi dan/atau Konsiliasi adalah Laporan yang merupakan sengketa hak atas layanan.

 Laporan yang timbul karena ada dampak kerugian yang dialami Pelapor

 Laporan yang melibatkan banyak pihak dan/atau unsur-unsur

masyarakat lain yang terdampak oleh kebijakan penyelesaian laporan

Monitoring dilakukan melalui:

 Permintaan keterangan kepada Pelapor, Terlapor, atau Atasan Terlapor;

 Pemeriksaan Lapangan;

 Permintaan bukti dan/atau dokumen terkait.

Penyelesaian Laporan melalui Konsiliasi pada tahapPemeriksaan difasilitasi oleh Unit Pemeriksaan, sedangkan setelah tahap Pemeriksaan difasilitasi oleh Unit Resolusi. Penyelesaian Laporan melalui Mediasi diusulkan oleh Unit Pemeriksa kepada Unit Resolusi dan dalam waktu 7 (tujuh) hari harus diputuskan dapat atau tidaknya diselesaikan melalui mediasi. Proses penyelesaian Laporan dapat dilakukan atas permintaan para pihak/prakarsa Ombudsman. Apabila hasil kesepakatan Mediasi/Konsiliasi dapat tidak dilaksanakan atau dilaksanakan sebagian, maka Ombudsman menindak lanjuti dengan menerbitkan Rekomendasi.

Adapun Laporan dinyatakan selesai apabila dalam penanganan suatu kasus apabila:

a. Telah memperoleh penyelesaian dari terlapor b. Tidak ditemukan maladministrasi

c. Laporan dalam proses penyelesaian oleh instansi dalam tenggang waktu yang patut

d. Ombudsman tidak berwenang melanjutkan pemeriksaan

e. Substansi yang dilaporkan ternyata bukan wewenang Ombudsman f. Substansi telah atau sedang menjadi objek pemeriksaan pengadilan g. Telah mencapai kesepakatan dalam Konsiliasi dan/atau Mediasi h. Telah diterbitkan rekomendasi

Dan setiap Laporan dapat ditutup pada setiap tahapan penyelesaian laporan apabila:

a. Pelapor mencabut laporan

b. Laporan dinyatakan selesai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a s.d huruf g.

c. Rekomendasi telah dilaksanakan

d. Rekomendasi tidak dilaksanakan dan telah dipublikasikan atau telah dilaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.

Penyelesaian kasus oleh Ombudsman dan Badan Pertanahan dapat dikatakan belum efektif dari pengamatan peneliti, itu terlihat masih ada masyarakat yang kecewa terhadap layanan yang diberikan oleh dua lembaga ini, bahkan ada yang tidak mengetahui kehadiran salah satu lembaga ini di Sumatera Utara. Terlihat masih kebingungan masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan oleh lembaga ini.

Sebagai salah satu contoh dalam Undang-Undang mengetahui bahwa dalam pengurusan sertifikat kepemilikan atas tanah waktu nya sampai 60 hari.

Dan apabila surat tersebut tidak selesai dalam jangka waktu 60 hari maka pihak yang mengurus bisa menanyakan kepada pihak terkait yaitu badan pertanahan mengapa belum selesai. Apabila tidak juga direspon dengan baik oleh pihak yang bersangkutan maka pihak yang mengurus dapat melaporkan kejadian kasus penundaan berlarut ini ke Ombudsman. Kendala yang dihadapi pada saat ini oleh masyarakat minimnya pengetahuan masyarakat terhadap Pengaduan kepada lembaga Ombudsman. Kehadiran lembaga Ombudsman tidak banyak diketahui oleh masyarakat. Terkait masalah ini informan mengatakan bahwa :

“apa itu Ombudsman saya tidak tau, selama ini saya hanya menyakan kepada pihak BPN kenapa belum selesai surat yang saya urus. Saya tidak pernah melapor kepada instansi lain seperti Ombudsman yang saudara bilang itu.”(Wawancara 5 februari 2019).

Pernyataan ini juga didkukung oleh informan lainnya yang mengatakan:

Dari segi pelayanan di Ombudsman Sumut sendiri dari pengalaman saya saat mengurus masalah kesana karyawan-karyawan disana melayani dengan baik, namun yang saya kecewakan saat saya sudah mengurus masalah tanah saya di Ombudsman tidak dapat menyelesaikannya. Saya harus kepengadilan lagi untuk mengurus masalah tanah yang saya hadapi”. (Wawancara 8 februari 2019)

Minimnya pengetahuan masyarakat terhadap kehadiran Ombudsman sebagai lembaga pengawas pelayanan publik. Menyebabkan masyarakat hanya bisa pasrah terhadap pelayanan yang tidak baik seperti penundaan yang berlarut yang dialami oleh sebagian masyarakat. Ini menjadi catatan penting oleh Ombudsman sebagai lembaga yang mengawasi pelayanan publik khususnya di bidang pertanahan harus gencar dalam melakukan sosialisasi kepada masyarakat sehingga masyarakat mengerti tentang fungsi tugas dan wewenang Ombudsman.

Sehingga apabila masyarakat mengalami kasus dalam pelayanan pertanahan maka bisa melaporkan kepada Ombudsman Provinsi Sumatera Utara.

4.2.4 Pembagian kerja

Tumpang tindihnya pekerjaan yang dilakukan oleh suatu unit organisasi atau kelompok dalam melaksanakan program yang di lakukan oleh suatu organisasi adanya unsur pembagian kerja yang tidak jelas atau adanya ketidak pahaman antara pelaksana program yang menyebabkan pencapaian hasil kerja belum dapat optimal sesuai rencana kerja Harold Koontz & Cyyril O’Donnell (1989:124)

Pembagian kerja Ombudsman dengan Badan Pertanahan Provinsi Sumatera Utara berdasarkan fungsi tugas dan wewenang dari setiap lembaga

dalam menjalankan pelayanan publik maupun mengawasi kegiatan pelayanan publik. Perwakilan Ombudsman Provinsi Sumatera Utara merupakan lembaga yang berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik di wilayah kerjanya baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Pertahan Provinsi Sumatera Utara. Wewenang dari Ombudsman dapat meminta keterangan secara lisan dan tertulis dari pelapor, terlapor, atau pihak lain yang terkait mengenai laporan yang disampaikan kepada Perwakilan Ombudsman. Memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pada pelapor ataupun terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu laporan. Meminta klarifikasi dan/atau salinan atau fotokopi dokumen yang diperlukan dari instansi mana pun untuk pemeriksaan laporan dari instansi terlapor. Melakukan pemanggilan terhadap pelapor, terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan laporan. Menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak. Menyampaikan usul rekomendasi kepada Ombudsman mengenai penyelesaian Laporan, termasuk usul rekomendasi untuk membayar ganti rugi dan rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan. Demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan rekomendasi.

Sedangkan sesuai Sesuai Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2015 tentang Badan Pertanahan Nasional, BPN mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan dibidang pertanahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam melaksanakan tugas tersebut, BPN menyelenggarakan fungsi diantaranya penyusunan dan penetapan kebijakan di bidang pertanahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dibidang survei, pengukuran, dan pemetaan perumusan pelaksanaan kebijakan di bidang penetapan

hak tanah, pendaftaran tanah, dan pemberdayaan masyarakat dan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dibidang pengendalian dan penanganan sengketa dan perkara pertanahan.

Pembagian kerja yang terjalin antara Ombudsman dan Badan Pertanahan Provinsi Sumatera Utara sudah dikatakan baik. Karena sudah menjadi rutinitas bagi Ombudsman karena setiap penyelesaian kasus maladministrasi di partanahan selalu berkoordinasi dengan pihak Badan Pertanahan. Dan juga Ombudsman melihat tupoksi laporan jika laporan atau permasalahan tidak selesai di kantor pertanahaan masing- masing wilayah maka itu akan diselesaikan di kantor wilayah Sumatera Utara jadi itu tidak dibahas di kantah. Pernyataan ini sesuai yang dinyatakan oleh informan bahwa:

“sebenarnya Pembagian kerja dan koordinasi Ombudsman dengan BPN dapat katakan sebuah rutinitas. Rutinitas itu melihat tupoksi laporan dulu dari masyarakat.”(Wawancara 17 januari 2019)

Pembagian kerja yang terjadi antara Ombudsman dan Badan Pertanahan yang telah diatur oleh undang-undang dalam peningkatan pelayanan publik, kedua lembaga ini saling berinteraksi apabila ada laporan dari masyarakat tentang sebuah pelayanan administrasi pertanahan. Namun hubungan kedua instansi ini belum dikatakan baik karena masih adanya ketidak sesuaian terhadap informasi maupun saran yang diberikan. Informan mengatakan bahwa:

“kadang-kadang saran yang diberikan oleh Ombudsman tidak sinkron menurut kami contohnya saja ombudsman mengharuskan setiap kantor pertanahan mempunyai wc di setiap kantor pertanahan untuk masyarakat.

Uangnya darimana anggaran kami kan terbatas seharusnya Ombudsman tidak menegur kami namun harus menyampaiakan ini kepada menteri keuangan.”(Wawancara 30 Januari 2019)

Pendapat ini berbeda dengan Informan lainnya yang mengatakan bahwa:

“segala setiap kegiatan dalam pelayanan Publik harus memiliki sarana dan prasarana yang memadai sehingga masyarakat terayomi dalam menyelesaikan kegiatan-kegiatan mereka di BPN. Badan pertanahan itu kan tempat umum sudah seharusnya kebutuhan masyarakat secara umum disana disediakan.”(Wawancara 28 januari 2019)

Dari pernyataan informan diatas terlihat masih ada ketidakpahaman tentang tupoksi kerja baik wewenang maupun fungsi yang yang terjadi antara dua instansi ini. Masih banyak masukan yang diberikan yang tidak langsung diterima oleh salah satu pihak yang menyebabkan pelayanan di masyarakat tidak optimal dengan baik. Seharusnya masyarakat didalam mengurus pelayanan publik mendapatkan pelayanan yang seharusnya. pengamatan peneliti terlihat bahwa pelayanan di kantor pertanahan Provinsi Sumatera Utara terlihat kurang baik dikarenakan masih banyak masyarakat yang datang terlihat kebingungan saat berada memasuki kantor pertanahan karena petugas loket yang sering tidak berada di tempat. Tersediannya sarana dan prasarana merupakan hal pendukung dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, sarana dan prasarana yang dimiliki haruslah menunjang terciptanya pelayanan yang berkualitas. Badan Pertanahan Provinsi Sumatera Utara dalam memberikan layanan haruslah memiliki sarana dan prasarana yang memadai agar dalam memberikan pelayanan lebih maksimal dan menunjang pelaksanaan fungsinya.

Keadaan yang seperti ini membuat masyarakat tidak nyaman dalam mendapatkan pelayanan dikantor pertanahan. apalagi juga disana masyarakat harus menunggu lama akibat dari sibuknya petugas pelayanan administrasi dan dalam beberapa waktu terlihat tidak adanya petugas pelayanan di tempat.

Pernyataan ini informan mengatakan bahwa:

“ kurang nyaman untuk mengurus disini, kami sering disuruh menunggu namun petugasnya tidak kunjung datang. Aktivitas kami pun terganggu akibat lama menunggu disini (Wawancara 5 februari 2019).

Seharusnya peran dari Ombudsman sebagai pengawas dalam pelayanan publik memberikan teguran kepada pihak Badan Pertanahan akibat dari kelalaian petugas dalam melayani masyarakat. Namun partisipasi masyarakat untuk melaporkan hal seperti ini kepada Ombudsman sangat kurang, apalagi minimya pengetahuan masyarakat terhadap tugas dan fungsi dari Ombudsman. Perlunya sosialisasi yang lebih baik lagi oleh Ombudsman terhadap fungsi tugas dan wewenangnya sebagai lembaga yang mengawasi pelayanan publik. Sehingga masyarakat dapat mengetahui kehadiran Ombudsman dalam pelayanan publik yang dapat mewujudkan pelayanan yang lebih Optimal ke depannya.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Koordinasi merupakan bentuk hubungan kerja yang harus dilaksanakan oleh lembaga negara karena satu lembaga dengan lembaga negara lainnya merupakan satu kesatuan yang saling berintegrasi satu sama lain dalam melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing dalam mencapai tujuan negara.

Koordinasi yang dilaksanakan Ombudsman dan Badan Pertanahan Provinsi Sumatera Utara bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan kasus-kasus pertanahan serta mencegah terjadinya pelanggran- pelanggran dalam pelayanan administrasi pertanahan. Koordinasi antara Ombudsman dan badan Pertanahan Provinsi Sumatera Utara sudah diatur didalam perjanjian kerjasama kementrian agraria bersama Ombudsman Republik Indonesia. Banyaknya masyarakat yang tidak mengetahui Ombudsman sebagai lembaga pengawas pelayanan publik yang menyebabkan dalam menyelesaikan kasus pertanahan masyarakat lebih memilih pengadilan sebagai jalan yang mudah dalam penyelesaian sengketa kasus pertanahan.

1. Rencana Kerja

Rencana kerja Ombudsman dan Badan Pertanahan Provinsi Sumatera Utara termuat dalam perjanjian kerjasama Memorandum of Understanding (MoU) yang dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, Serta Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2015 tentang Badan Pertanahan Nasional pasal 20.

Rencana kerja yang dilaksanakan oleh Ombudsman dan Badan Pertanahan Provinsi Sumatera Utara masih mengacu kepada perjanjian kerjasama di pusat, sedangkan perjanjian secara tertulis di Sumatera Utara belum ada. Sehingga koordinasi antara Ombudsman dan Badan Pertanahan Provinsi Sumatera Utara masih mengacu kepada perjanjian rencana kerja di pusat.

2. Pertemuan atau Rapat

Pertemuan yang terjadi antara Badan Pertanahan dan Ombudsman Provinsi Sumatera Utara selama ini sering terjadi dalam pembahasan kasus-kasus tanah yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara. Selain permasalahan kasus pertemuan antara Ombudsman Sumatera Utara dengan Badan Pertanahan Provinsi Sumatera Utara. Selain itu pertemuan juga pernah dilakukan dalam rangka meningkatkan kerjasama dan pencegahan maladministrasi. Namun masih ada kekurangan yang terjadi dalam pertemuan antara kedua instansi ini. Belum adanya pertemuan yang dibuat untuk mengevaluasi kinerja maupun penyelesaian laporan yang cepat diantara kedua Instansi

3. Komunikasi

Komunikasi antara Ombudsman dan Badan Pertanahan Provinsi Sumatera Utara sering terjadi dalam penaganan kasus pertanahan di Provinsi Sumatera Utara . Komunikasi yang terjalin antara Ombudsman dan Badan Pertanahan Provinsi Sumatera Utara terlihat masih kurang optimal, serta kurangnya kedua lembaga ini mensosialisasikan tentang lembaga mareka masing-masing kepada masyarakat seperti lembaga Ombudsman yang masih kurang diketahui keberadaanya oleh masyarakat. Yang menyebabkan masih banyak masyarakat

yang tidak melaporkan masalah yang dihadapinya ke Ombudsman sehingga sering masalah pertanahan tadi berakhir dipengadilan yangdapat merugikan masyarakat.

4. Pembagian Kerja

Pembagian kerja Ombudsman dengan Badan Pertanahan Provinsi Sumatera Utara sudah terlihat berdasarkan fungsi tugas dan wewenang dari setiap lembaga masing masing baik dalam menjalankan pelayanan publik maupun mengawasi kegiatan pelayanan publik. terlihat masih kurangnya pengetahuan masing- masing aparatur terhadap fungsi tugas dan wewenangnya. dengan masih banyak masukan yang diberikan yang tidak langsung diterima oleh salah satu pihak yang menyebabkan pelayanan dimasyarakat tidak optimal dengan baik.

Seharusnya masyarakat didalam mengurus pelayanan publik mendapatkan pelayanan yang seharusnya.

5.2 Saran

Dalam mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik di bidang pertanahan Ombudsman dan Badan Pertanahan Provinsi Sumatera Utara perlu menigkatkan Koordinasi yang lebih baik lagi terutama dibeberapa aspek pendukung kelancaran dalam koordinasi, sehingga pelayanan untuk masyarakat dalam megurus segala kegiatan tentang pertanahan dapat diselesaikan dengan baik. Maka oleh sebab itu diperlukan perhatian dalam peneingkatan dibeberapa aspek antara Ombudsman dan Badan Pertanahan Provinsi Sumatera Utara yaitu:

1. Rencana Kerja

Pelaksanaan koordinasi antara Ombudsman dan Badan Pertanahan Provinsi Sumatera Utara harus diikuti dengan rencana kerja tertulis di daerah.

Pelaksanaan koordinasi antara Ombudsman dan Badan Pertanahan Provinsi Sumatera Utara harus diikuti dengan rencana kerja tertulis di daerah.