• Tidak ada hasil yang ditemukan

DARI PERSPEKTIF INTERPRETATIF

C. Komunikator dan Pesan dalam Komunikasi Politik

”. Artinya aktivitas komunikasi yang memiliki pengaruh politik baik secara potensial atau aktual untuk mengendalikan mereka yang berada dalam keadaan konflik.57

Berdasarkan teori komunikasi Lasswell yang monumental

‘ dalam

bukunya .58

Pada gilirannya teori ini dikembangkannya dengan menulis buku

pada tahun 1958 berjudul ,dia

mendefinisikan secara lebih khusus komunikator politik sebagai mereka yang menjadi pemimpin dalam proses opini, seperti politisi

56Haris Sumadiria, , 147-153.

57Dan D. Nimmo,

13-21.

58Harold D. Lasswell,

(London, International Institute of Communications, the Loius G. Cowan Lecture, 1977), 5. Lihat juga Lely Arrianie, Sandiwara di Senayan Studi Dramaturgis Komunikasi Politik di DPR RI, dalam Deddy Mulyana dan Solatun ,

ed. (Bandung, Rosda, 2007) , 28.

Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media, Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media, Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media, baik ideolog maupun wakil partisan, komunikator professional dan aktivis.59

Nimmo menguraikan bahwa komunikator politik menyampaikan pesannya sebagai pembicaraan politik bertujuan memberikan informasi dan meyakinkan khalayak, maka untuk memahami pesan politik perlu dilihat gejala linguistik bahasa dan simbol politik serta penggunaan bahasa untuk persuasi politik dalam wujud propaganda, periklanan maupun retorika.60 Pada penjelasan tentang pesan politik, Nimmo membahas bagaimana komunikator politik (politisi, profesional dan aktivis) menggunakan bahasa dan simbol, baik untuk memberikan informasi atau untuk meyakinkan khalayak. Dalam hal ini dia membahas juga tentang persuasi politik sebagai rethorika.

Berkaitan dengan posisi penting komunikator dalam me-nentukan pesan politik, menurut Nimmo ketika komunikator politik sebagai politikus dalam pelaksanaannya terkadang bertindak sebagai wakil partisan dan terkadang pula bertindak sebagai ideolog.61 Sebagai wakil partisan, komunikator politik mewakili kelompok tertentu dalam tawar-menawar dan mencari kompromi pada masalah -masalah politik Mereka bertindak dengan tujuan mempengaruhi opini orang lain, mengejar perubahan atau mencegah perubahan opini. Mereka adalah makelar yang membujuk orang lain agar ikut dan setuju dengan ide yang ditawarkannya seperti yang lazim dilakukan oleh para elite politik partai, para anggota DPR, atau para menteri yang ditugasi khusus oleh presiden untuk melakukan berbagai lobi dan komunikasi politik dengan kelompok atau partai politik lain.

Sementara komunikator politik sebagai ideolog, mereka berusaha memengaruhi opini publik dengan mengendalikan situasi agar menguntungkan pihaknya, dan juga dengan menetapkan dan 59Dan D. Nimmo, 13-21. 60Dan D. Nimmo, 16. 61Dan D. Nimmo, 30-32.

(opinion leader)

Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media,

NU Politik?: Analisis Wacana Media

meyakinkan orang ke satu cara berpikir tertentu. Mereka adalah pesilat lidah yang menawarkan gagasan yang lebih baik.

Dengan demikian, wujud politikus sebagai komunikator politik sekaligus sebagai wakil partisan dan ideolog hanya berbeda pada derajatnya, bukan pada jenisnya. Yang termasuk ke dalam komunikator politik tipe ini adalah setiap calon atau pemegang jabatan politik, baik yang dipilih, diangkat, ditunjuk, maupun pejabat karir tanpa mengindahkan apakah jabatan itu eksekutif, legislatif, atau yudikatif.

Komunikator profesional menggunakan keterampilan yang khusus dalam mengolah simbol-simbol dan memanfaatkan ketram-pilannya untuk menempa mata rantai yang menghubungkan pihak- -pihak yang berbeda atau kelompok-kelompok yang dibedakan. Menurut James Carey, seperti dikutip oleh Nimmo, mereka adalah makelar simbol yang menerjemahkan sikap, pengetahuan, dan minat suatu komunitas bahasa ke dalam istilah-istilah komunitas bahasa lain yang berbeda tetapi menarik dan dapat dimengerti. Mereka menghubungkan para pemimpin yang satu dengan pemimpin lainnya sekaligus para pengikutnya.62 Mereka terdiri dua kelompok, yaitu para jurnalis dan para promotor.

Aktivis sebagai komunikator politik terdiri atas dua k mpok. Kelompok pertama adalah juru bicara yang menggunakan jaringan organisasi, sedangkan kelompok kedua adalah pemuka pendapat

yang menggunakan jaringan interpersonal.63

Juru bicara ini biasanya tidak bercita-cita untuk memegang jabatan tertentu di pemerintahan. Mereka bukanlah aktivis politik pro-fesional dalam komunikasi politik, melainkan karena mereka terlibat dalam politik maupun dalam komunikasi, maka dapat disebut aktivis politik semiprofesional. Tugas juru bicara ini mirip dengan jurnalis, yaitu melaporkan keputusan dan kebijakan pemerintah kepada anggota suatu organisasi. Sedangkan jaringan interpersonal mencakup komunikator politik utama seperti para pemuka pendapat, yaitu orang

62Dan D. Nimmo, 33.

63Fathurin Zen, (Yogyakarta, LKiS,

di>n

dunya> dawlah

Syari>a‘h syu@ra@

dawlah

NU Politik: Analisis Wacana Media

Islam dan Negara Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia

Islam dan Masalah Kenegaraan Studi tentang Percaturan dalam Konstituante

Islam dan Negara Transformasi Gagasan dan Praktik

Politik Islam di Indonesia

yang dimintai petunjuk dan informasinya sebelum suatu persoalan diputuskan. Sehingga, setiap keputusan yang diambil banyak dipengaruhi oleh pemuka pendapat tersebut. Mereka meyakinkan orang lain pada cara berpikir tertentu.64

Sementara itu sehubungan dengan umat Islam dan politik di Indonesia secara umum dapat diklasifikasikan dalam dua pemikiran politik Islam. Pertama sebagian umat Islam yang percaya ajaran Islam itu komprehensif dan sempurna meliputi tiga “D” ( , agama; , dunia; dan , negara). Kedua beberapa kalangan muslim lain berpendapat bahwa Islam “tidak mengemukakan suatu pola baku tentang teori negara (atau sistem politik) harus dijalankan oleh umat Islam.65 Kelompok pertama beranggapan bahwa

Islam harus menjadi dasar negara dan sebagai

konstitusinya karena kedaulatan politik ada di tangan Tuhan, meskipun mereka mengakui prinsip (musyawarah), tapi aplikasinya berbeda dengan demokrasi. Sedangkan kelompok kedua berpendapat bahwa “tidak ditemukan istilah dalam arti sebagai negara dalam al-Qur’an, isi al-Qur’an jelas mengandung nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang bersifat etis…. mengenai aktivitas sosial dan politik umat Islam yang mencakup prinsip-prinsip tentang keadilan, kesamaan, persaudaraan, dan kebebasan.”66 Tapi “al-Qur’an bukanlah buku tentang ilmu politik.”67 Pada perkembangannya

64Fathurin Zen, , 69.

65Lihat uraian komprehensif tentang hal ini dalam Bahtiar Effendy, (Jakarta, Paramadina bekerjasama dengan LSI dan Prenada Media Group, Cetakan II yang diperluas, Juni 2009), 9-11.

66 Ahmad Syafi’i Maarif,

(Jakarta, LP3ES, Cetakan Pertama, Pebruari, 1999), 15.

67

Bahtiar Effendy,

, 14. Secara terurai Bahtiar Effendy menjelaskan tinjauan teoritis Islam politik di Indonesia dari bermacam-macam pendekatan a.l. C.A.O. Nieuwenhuije (1958) meneliti politik Islam Indonesia dengan

Islam. Dia mengatakan seperti halnya jenis dekonfessionalisasi di Belanda, Islam di Indonesia rela melepaskan sikap formal untuk memperluas penerimaan semua kelompok berkepentingan tanpa harus

P endekatan Dekonfessionalisasi

kemudian, setelah rezim Orde Baru tumbang, setidaknya tiga berubah keyakinan, Misalnya ketika umat Islam menerima Pancasila. Lain halnya Harry J. Benda dengan Islamnya meneliti politik Islam Indonesia abad ke-16 sampai abad ke-18, menurutnya kekuasaan politik Islam di Indonesia terdomestifikasi seperti terlihat dalam penolakan ide negara Islam, pembubaran Masyumi, serta pemapanan ideologi Pancasila dalam politik Indonesia kontemporer.

oleh Robert R. Jay dan Clifford Geertz yang berusaha menjawab pertanyaan: Mengapa perebutan kekuasaan antar Islam dan Jawaisme terjadi? Berdasarkan penelitian historis dan penafsiran antropologis yang luas, Robert Jay menyimpulkan sesuai sejarah Islamisasi di tanah Jawa terdapat dua model keberislaman yaitu muslim “ortodoks’ (santri) dan muslim “sinkritisme” (abangan). Kecendrungan skismatis keduan a kemudian berkembang ke bidang non-agama, seperti politik dengan terjadinya permusuhan antara negara-negara pesisir di bawah kerajaan Demak dan negara sinkritisme Mataram sepanjang abad ke-16. Hal itu juga terjadi dalam konteks sejarah politik Indonesia modern seperti antara lain terjadi pada periode pascakolonial pada perdebatan-perdebatan ideologis dan konstitusional yang menyebabkan pengelompokan muslim nasionalis sekuler dan muslim ortodoks pada 1940-an dan 1950-an dan tampak pada hasil pemilu di Indonesia tahun 1955.

Hal itu juga dijadikan contoh oleh Clifford Geertz (1959) yang mengembangkan konsep aliran dalam tiga varian sosio-kultural yang terkenal: abangan (pandangan dunia dan etos yang sinkritis terlihat pada mayoritas nduduk yang petani), santri (Islam terlihat pada pedagang) serta priyayi (bercorak kehinduan tampak pada unsur birokrasi). Menurut Geertz pada pemilu tahun 1950-an kelompok santri cenderung mengarahkan orientasi politik mereka ke partai-partai politik Islam, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Masyumi, sedangkan abangan dan priyayi lebih suka mengekspresikan kedekatan politis mereka dengn partai “nasionlis” Partai Nasionalis Indonesia (PNI) atau Partai Komunis Indonesia (PKI).

Donald K. Emmerson menggunakan dalam meneliti setelah masa kekalahan politis umat Islam pada sedikitnya lima bidang: konstitusi, fisik, pemilu, birokrasi dan simbol, maka umat Islam Indonesia mengerahkan kembali energi mereka dalam rangka mengembangkan sisi non-politis dari agama mereka. Kecenderungan diskursus Islam Indonesia sepanjang 1980-an menegaskan dimensi kulturalnya, maka pada gilirannya jika Islam kultural berkembang semakin pesat dan semakin berpengaruh, pertanyaanya kemudian menurut Emmerson: “Siapa sesungguhnya yang mengkooptasi (mempengaruhi atau menguasai) siapa?

Allan Samson, B.J. Boland dan Howard Federspiel menggunakan

untuk meneliti politik Islam modern. Samson mencatat bahwa pandangan partai-partai Islam mengenai politik, kekuasaan dan ideologi tidak tunggal, menurutnya muncul orientasi fundamentlis, reformis dan akomodasionis.

P endekatan Domestifikasi

Pendekatan Skismatis dan Aliran

P endekatan Kultural

Pendekatan Trikotomi

Progressive-Liberal Islam

Islam Negara dan Civil Society Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer

Wajah Liberal Islam di Indonesia

The Future of Secularism

model gerakan Islam: Pertama gerakan pro syariat yang menegakkan syariat Islam dengan menyerukan kembali ke iagam Jakarta, kedua gerakan Islam moderat yang menolak tegas berbagai upaya untuk kembali ke Piagam Jakarta dan ketiga gerakan dakwah sufistik yang dipimpin tokoh-tokoh seperti KH Abdullah Gymnastiar dan M. Arifin Ilham yang tidak memiliki agenda perjuangan

politik.68 Gerakan pro syariat dipelopori

oleh ormas-ormas Islam seperti Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir (HT), Front Pembela Islam (FPI) dan Forum Komunikasi Ahlussunah Wal Jamaah atau Laskar Jihad. Mereka pendukung fundamentalisme Islam yang membela doktrin Islam dengan menegaskan superioritas Tuhan, melakukan usaha-usaha untuk mengimplementasikannya secara total dan mengharamkan istilah dan konsep demokrasi. Sedangkan gerakan Islam moderat diwakili oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah serta Jaringan Islam Liberal (JIL) yang secara tegas memproklamirkan diri lahir untuk melawan fundamentalisme Islam.69

JIL yang didirikan pada Tahun 2001 oleh antara lain cendikiawan muda NU seperti Ulil Abshar Abdalla dan Ahmad Sahal dll. oleh M. Syafi’i Anwar secara tegas digolongkan sebagai (PLI) berdasarkan agenda mereka untuk mengembangkan pendekatan liberal dan inklusif terhadap ajaran Islam.70 Menurutnya JIL adalah kebangkitan generasi baru intelektual

68 Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, “Tipologi Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia”, dalam

(Jakarta, Paramadina, Cetakan I, Maret 2005), 488-489.

69 JIL berpusat di Jalan Utan Kayu 68H Jakarta adalah komunitas anak muda yang mengkaji ajaran Islam dengan visi keislaman ng toleran dan terbuka dan mendukung penguatan proses demokratisasi di Indonesia. Lihat Luthfi

Assyaukanie, (Jakarta, Paramadina, Cetakan I,

2002), sampul.

70M. Syafi’i Anwar, “The Clash of Religio Political Thought: The Contest between Radical-Conservative Islam and Progressive-Liberal Islam in Post-Soeharto Indonesia”, in T.N. Srinivasan ed. (Oxford, Oxford University Press, 2007), 210-211.

Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII Akar Pembaruan Islam Indonesia

Merambah Jalan Baru Islam Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru

muslim yang memiliki relasi dengan generasi pembaruan pasca dekade tahun 1970-an yang dipelopori oleh almarhum NCM. Secara lebih luas sejarahwan Azyumardi Azra menelusuri akar rakan Islam progressif sebagai bagian dari empat gelombang pembaruan Islam.71 Berbeda dengan Deliar Noer (1973) yang mengemukakan bahwa pembaruan Islam di Indonesia berawal pada abad ke-20, menurutnya gelombang pertama pembaruan Islam di Indonesia bermula pada abad ke-17 dengan bukti adanya jaringan ulama Indonesia dan Haramayn (Makkah dan Madinah) dan sekitarnya.72 Dilanjutkan dengan gelombang kedua pembaruan Islam di Indonesia yang ditandai dengan gerakan Padri di Minangkabau pada abad ke -19, kemudian gelombang ketiga pembaruan Islam di Indonesia pada awal abad ke-20 yaitu era berkembangnya modernisme Islam yang ditransmisikan (Azra: mewariskan dan menurunkan sesuatu sepanjang waktu) dengan kembalinya para pelajar Melayu-Indonesia dari Kairo dan tersebarluasnya buku-buku karya para pembaharu Islam seperti Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Rida dll. yang berpusat di Kairo. Kaum modernis adalah mereka yang melakukan artikulasi dan upaya penyadaran untuk mereformulasikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam dalam istilah-istilah pemikiran modern atau untuk menyatukan pemikiran dan institusi modern dengan tradisi Islam.73

Azra menegaskan bahwa para cendikiawan muslim pendu-kung modernisme Islam dan berbagai macam variasinya kemudian seperti ‘neo-modernist’ dengan tokoh-tokohnya seperti Harun Nasution (1919-1998), NCM, Munawir Sjadzali (1925-2004), Ahmad

71 Azyumardi Azra, “The Root and Nature of Progressive Islam: The Indonesian Experience”, Paper Presented at Seminar on g Progressive Islam: A Global Prespective’, Graduate School Syarif Hidayatullah State Islamic University The IAIN-McGill Social Equity Project, Jakarta, 25-27 July 2009.

72 Azyumardi Azra,

(Jakarta, Prenada Media, Cetakan ke-2, Edisi Revisi, 2004), 300-301.

73 Fachry Ali dan Bahtiar Effendy,

(Bandung, Mizan, Cetakan I, April 1986), 110.

Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post Modernisme

concern

viable

Dari

Neomodernisme ke Islam Liberal

The Limits of Nationalism

Syafi’i Maarif dll.74 serta selanjutnya mereka yang disebut pendukung ‘neo-tradisionalisme’ bahkan ‘post-tradisionalisme’ kemudian gene -rasi muda NU penerus Abdurrahman Wahid (1940-2009) yang melakukan kajian Islam “kontekstual”, “pribumi” dan “liberal” (JIL) yang terkadang melahirkan ide-ide kontroversial di tengah umat muslim Indonesia semuanya dapat digolongkan sebagai Islam progresif.75

Kebebasan dan persamaan merupakan nilai-nilai dasar liberalisme yang bertentangan dengan chauvinisme berupa satu bentuk nasionalisme yang menolak persamaan kedudukan seluruh bangsa-bangsa di dunia. Chaim Gans mengklasifikasikan nasionalis-me berbentuk chauvinisnasionalis-me itu sebagai nasionalisnasionalis-me statis yang ber-tentangan dengan nasionalisme kultural.76 Para pendukung nasio-nalisme kultural saling berbagi persamaan nilai-nilai sejarah dan kebudayaan yang sangat penting antar kelompok mereka dengan

74 Azra menandaskan dengan kritis bahwa neo-modernisme sebagai gerakan Islam lebih menekankan signifikansi warisan pemikiran Islam ketimbang modernisme itu sendiri. Lihat Azyumardi Azra,

, (Jakarta, Paramadina, 1996), xi. Berdasarkan pemikiran ini pada kasus Cak Nur, Azra lebih lanjut meneliti secara seksama bahwa Cak Nur berpegang kuat kepada Islam tradisi hampir secara keseluruhan, pada tingkat teoritis dan eksoteris. Deng sangat bagus dan distingtif, dia bukan sekadar berpijak pada aspek itu, namun ia juga memberikan sejumlah pendekatan dan penafsiran baru terhadap tradisi Islam Ini dalam bidang eksoteris. Sedang dalam bidang esoteris, Cak Nur hampir tidak diragukan lagi mempunyai apresiasi yang cukup tinggi terhadap tasawuf pada umumnya….adapun pergeseran agendanya dapat ditemui pada intelektual Cak Nur … yang melangkah lebih jauh dengan berupaya membangun suatu peradaban Islam yang khas, yang mempunyai akar kuat pada tradisi Islam klasik;bukan hanya dalam era modern, tetapi juga dalam masa postmodern. Berdasarkan hal ini, neomodernisme Islam Indonesia-walaupun tidak dapat disamaratakan-telah mengalami metamorfosis menjadi neotradisionalisme. Lihat pula Azra, “Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia” pengantar dalam Abd A’la,

(Jakarta, Paramadina, April 2003), xii-xiii. 75 Azyumardi Azra, “The Root and Nature of Progressive Islam: The Indonesian Experience”, 9.

76 Chaim Gans, (United Kingdom, Cambridge University Press, First Published, 2003), 7-8.

Pertama

protonasionalisme Kedua

Ketiga

The Limits of Nationalism

Renaisans Islam Asia Tenggara nation

Soekarno, Islam dan Nasionalisme

Islam dan Nasionalisme Reposisi Wacana Universal dalam Konteks Global

tujuan melestarikan nilai moral dan kebudayaan itu antar generasi.77 Di Asia Tenggara, menurut Azra, nasionalisme bukan merupakan konsep baku. Ia merupakan konsep dinamis yang mengalami perubahan sebagai hasil dialektika, baik dengan perubahan sosial, politik, dan ekonomi dalam negeri maupun perubahan pada tingkat global. Paling tidak terdapat tiga fase perkembangan nasionalisme di Indonesia. fase penyerapan gagasan nasionalisme yang diikuti pembentukan organisasi-organisasi, di Indonesia dapat dilihat sejak dari Budi Utomo, Sarekat Dagang Islam (SDI), dan Sarekat Islam (SI). Tahap ini disebut juga

“ ”. fase yang sarat dengan muatan politis

ketimbang sosial dan kultural, nasionalisme di Indonesia saat ini bertujuan mencegah dengan cara apapun kembalinya kolonialisme dan imperialisme Eropa. fase penekakanan nasionalisme ekonomi dalam bentuk program modernisasi dan industria isasi atau pembangunan, di Indonesia ditandai dengan kebangkitan pemerintah Orba di bawah pimpinan Soeharto.78

Menurut Hasan al-Banna, seperti dikutip oleh Adhyaksa Dault, terdapat beberapa nilai-nilai ideal nasionalisme yang relevan dengan doktrin Islam seperti nilai cinta tanah air, cinta kehormatan dan kebebasan, cinta kemasyarakatan dan pembebasan.79

Perspektif atau cara pandang yang digunakan untuk menganalisis makna pesan politik NCM dalam agenda dasar

77Chaim Gans, , 7.

78 Azyumardi Azra, , 105-112.

Nasionalisme berasal dari kata yang berarti bangsa. Bangsa dalam pengertian antropologis dan sosiologis berarti sebagai suatu persekutuan hidup yang berdiri sendiri dan masing-masing anggota persekutuan hidup tersebut merasa sebagai satu kesatuan ras, bahasa, agama, sejarah dan adat istiadat. Sedangkan bangsa d pengertian politis adalah masyrakat dalam suatu daerah yang sama, dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar dan ke dalam. Lihat Badri Yatim, (Ciputat, Logos, Cetakan I, Februari 1999), 57-58.

79 Adhyaksa Dault,

(Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, Cetakan I, 2005), 195-197.