• Tidak ada hasil yang ditemukan

DARI PERSPEKTIF INTERPRETATIF

B. Pengertian Bahasa Politik

Printed, 1996), Cover.

39 Hamid Mowlana, 116.

40 Hamid Mowlana,

117-126. Lihat juga M. Tata Taufik,

(Bandung, Sahifa, Cetakan I, Agustus 2008), 109.

Volkskraad

Balai Pustaka

Bahasadan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru

Bahasa dan Kekuasaan Bahasa dan Kekuasaan

hal yang bersifat artistik, dan untuk persuasi. Dalam hidup orang Athena abad ke-5 M, bahasa menjadi alat untuk mencapai tujuan tertentu, yang konkret dan praktis. Bahasa dianggap sebagai senjata ampuh dalam percaturan politik tingkat tinggi.41

Dalam sejarah bangsa Indonesia, M.H. Thamrin secara berani memulai penggunaan bahasa Melayu dalam sidang , kendati hampir semua wakil lainnya menggunakan bahasa Belanda.

Kaitan antara bahasa dan politik sangat terang pada masa penjajahan di Indonesia. Belanda menerapkan politik bahasa dalam rangka mengisolasi bangsa Indonesia dari dunia luar dan menghambat kecerdasannya dengan berusaha menjauhkan mayoritas mereka dari kemungkinan menguasai bahasa sendiri, tapi di lain pihak Belanda terus berusaha menanamkan superioritas bahasaBelanda atas bahasa -bahasa pribumi, termasuk bahasa Melayu. Politik pecah belah pun mereka lakukan dengan menggalakkan pemakaian dan penerbitan bahasa-bahasa daerah yang disebarkan oleh , terutama buku-buku berbahasaJawa.42

Pengertian “bahasapolitik” sering ditumpangtindihkan dengan “bahasa birokrasi”, seperti Ben R. O’G Anderson (1966) yang merujuk kepada Herbert Luethy (1966) dan Cliford Geertz (1966) sudah menggunakan istilah bahasa politik untuk penelitiannya terhadap pidato-pidato Presiden Soekarno pada tahun-tahun terakhir keruntuhan Orde Lama dan permulaan Orba.43 Demikian pula halnya dengan Virginia Matheson Hooker (1990) yang menyatakan bahwa bahasa-bahasa slogan atau propaganda, bahasa pidato pejabat pemerintah merupakan bahasa politik, yaitu bahasa yang digunakan

41Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim, “Prolog,” dalam Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim , ed.,

(Bandung, Mizan, Cetakan II, Juni 1996), 17.

42 Mochtar Pabottingi, “Bahasa Politik dan Otosentrisitas,” dalam Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim , ed., , 214.

43 Benedict R. O’G. Anderson, “Bahasa Politik Indonesia,” dalam Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim , ed., , 124.

common sense

Bahasa dan Kekuasaan

Language, Society, and Power: An Introduction Bahasadan Kekuasaan

Kritik Filosofis Atas Pembangunan, Beberapa Serpihan Pemikiran

sebagai alat politik.44 Jadi menurut mereka bahasa politik adalah bahasayang dipergunakan oleh elite politik dan elite birokrasi untuk menyampaikan kepentingan kekuasaan.

Sedangkan J. Jones dan S. Wareing (1999) melihat bahasa politik berdasarkan tujuan orang sebagai penyampainya dan merumuskan definisinya sebagai bahasa yang digunakan untuk mencapai maksud-maksud politis.45 Dalam hal ini ideologi menjadi suatu yang terpenting untuk ditetapkan dan dikomunikas kepada masyarakat agar menjadi pengetahuan umum ( ) dan ketika ideologi itu sudah menjadi bagian hidup masyarakat banyak, berarti maksud politis dari seorang politisi sudah tercapai.

Sementara itu, Daniel Dhakidae (1992) menerapkan istilah bahasa politik sama dengan pandangan pertama di atas sebagai bahasa birokrasi berupa bahasa pemerintah dan aparaturnya yang bahkan telah tercermin dalam bahasajurnalistik pada masa Orba, baik pidato-pidato para pejabat maupun konferensi pers mereka. Dia lebih lanjut mencatat beberapa ciri spesifik bahasabirokrasi adalah 1) tipe bahasaini dapat dipersingkat menjadi bahasajargon pembangunan, 2) bahasa ini sarat dengan muatan nada-nada ideologis dalam arti yang sangat luas, dan 3) gaya bahasanya menampilkan latar belakang etnis dan kultur para pemakainya.46

Menurut Lewuk terdapat empat kategorisasi ideologi kebahasaan yang dipergunakan oleh kelompok kekuasaan yaitu bahasaberdimensi satu, orwelianisme bahasa, jaringan bahasa takut -takut, dan bahasa yang menyembunyikan pikiran.47 Bahasa

44 Virginia Matheson Hooker, “Bahasa dan Pergeseran Kekuasaan di Indonesia: Sorotan terhadap Pembakuan Bahasa Orde Baru,” dalam Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim , ed., , 56-75.

45J. Jones dan S. Wareing, “Language and Politics,” dalam L. Thomas dan

S. Wareing, eds., (London,

Routledge, 1999), 32.

46 Daniel Dhakidae, “Bahasa, Jurnalisme, dan Politik Orde Baru,” dalam Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim , ed., , 246-251.

47 Peter Lewuk,

Kritik Filosofis Atas Pembangunan, Kritik Filosofis Atas Pembangunan,

Bahasa Politik Pasca Orde Baru

BahasaPolitik Pasca Orde B

berdimensi satu menuntut orang yang menyatakan sikap dan pernyataan yang sama (satu), sesuai dengan kemauan penguasa. Di sini tidak ditemukan logika protes, seperti halnya tidak ada tempat bagi para oposisi di masa Orde Baru. Orwelianisme bahasa dalam konteks ini adalah teknik penyatuan dua pengertian yang sebenarnya bertentangan, sehingga perbedaan antara yang benar dengan yang salah menjadi kabur, seperti istilah kritik konstruktif atau kritik membangun yang maknanya setiap kritik tidak boleh menyinggung kebijakan dan tidak boleh bertentangan dengan kehendak kekuasaan.48

Bahasa takut-takut adalah bahasa yang diucapkan masyarakat yang memiliki kepatutan monoloyalitas terhadap berbagai instruksi yang dilambangkan melalui simbol bahasa, seperti pernyataan bahwa Golput haram. Terakhir, bahasa menyembunyikan pikiran, artinya bahasa bukan lagi sebagai alat menyatakan pikiran. Di balik pikiran itu terdapat kepentingan yang memanipulasi bahasaitu sendiri.49

Dalam uraian tertulis di atas, tersurat bahwa wujud dan makna istilah bahasa politik dan bahasa birokrasi dapat dibedakan dari segi nuansa maknanya, bahwa bahasa politik lebih berkaitan dengan bahasa untuk pengaturan masyarakat secara umum yang memiliki keberagaman latar belakang sosial budaya dengan menggunakan alat (piranti) ideologi dan kekuasaan yang terwujud dalam bahasa,50 sedang bahasa birokrasi lebih berkaitan dengan bahasa untuk pengaturan institusi-institusi yang secara hirarkis berada dibawahnya. Dan dilihat dari segi ruang lingkupnya, bahasa politik memiliki lingkup yang lebih luas dari bahasa birokrasi, sehingga sering istilah bahasapolitik dan bahasa birokrasi disatukan dalam istilah yang lebih luas, yakni bahasa politik.51 Berdasarkan perbedaan tersebut, bahasa politik dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai bahasa yang digunakan untuk mencapai maksud-maksud politis.

48Peter Lewuk, 187.

49Peter Lewuk, 187.

50 Anang Santoso, (Jakarta, Wedatama

Widya Sastra, Cetakan I, Maret 2003), 2-3.

eufemisme, puffery labelling

w-ly vali

vilayet mollah maulvi maulana

Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media

Dasar-dasar Komposisi Bahasa Indonesia Bahasa Politik Islam

Pengajaran Gaya Bahasa

Dan D. Nimmo melakukan analisis bahasa politik pada tataran pragmatik dengan menguraikan bagaimana cara penggunaan kata-kata dan akibatnya untuk tujuan memperoleh keuntungan dengan meyakinkan dan membangkitkan massa melalui kalimat

antara lain , , metafora dan mitos; dan

tujuan untuk peningkatan status atau otoritas sosial dan identitas sosial dengan cara pengungkapan identitas personal atau identitas pribadi dan diskusi publik dalam proses pemberian informasi.52

Gaya bahasa adalah penggunaan bahasa seseorang yang merefleksikan cara atau tekniknya dalam menyusun kalimat dan tulisan tentang pengalaman, nilai-nilai dan kualitas kesadaran pikiran dan pandangannya yang istimewa dan khusus.53 Dalam penggunaan bahasa politik Islam, menurut Bernard Lewis, penuh dengan gaya bahasa metafora, misalnya perumpamaan antara hubungan kekuasaan dengan jarak dekat dan jauh, dalam dan luar atau –meminjam istilah ilmu-ilmu sosial–pusat dan pinggiran. Satu dari akar kata yang paling sering digunakan untuk mengkonotasikan kekuasaan dan otoritas ialah –yang menjadi asal usul istilah populer seperti dan

dari Turki, dari Iran, dan dan dari

India– memiliki makna utama “mendekat”.54 Metafora adalah sejenis gaya bahasa perbandingan yang singkat padat dan rapi. Di dalamnya terlihat dua gagasan. Gagasan pertama adalah suatu kenyataan, sesuatu yang dipikirkan, sesuatu yang menjadi objek. Gagasan kedua merupakan perbandingan terhadap kenyataan pertama tersebut.55

Selain gaya bahasa perbandingan yang membandingkan dua hal yang sama atau dua hal yang berbeda seperti a.l. perumpamaan, metafora, personifikasi dan depersonifikasi, alegori, antithesis terdapat pula gaya bahasa pertentangan yang membandingkan dua hal

52Dan D. Nimmo, , terj.

Tjun Surjaman (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, Cetakan II, 1993), 100.

53 Mukhsin Ahmadi, (Malang,

Yayasan Asish Asah Asuh, , Cetakan I, Januari, 1990), 179.

54 Bernard Lewis, , terjemahan Ihsan Ali-Fauzi, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1994), 16-17.

55 Henry Guntur Tarigan, (Bandung, Angkasa, Cetakan III, 1985), 183.

Political Communi-cation and Public Opinion in America

Communication (activity) considered political by virtue of its consequences (actual or potential) which regulate human conduct under condition of conflict

who says what, to whom, in which channel, whith what effect’ The Structure and Functions of Communication in Society

Politics: Who Gets What, When, How

Bahasa Jurnalistik

Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media, Communication in a Divided World: Opportunities

and Constrain

Metode Penelitian Komunikasi

bertolak belakang seperti a.l. hiperbola, litoses, ironi, oksimoron, satire, klimaks dan antiklimaks, sinisme, sarkasme dan gaya bahasa pertautan yang menunjukkan adanya pertalian diantara dua hal yang dibicarakan seperti a.l. metonomia, sinekdoke, alusi, eufemisme, eponym, epitet serta gaya bahasa perulangan yakni gaya bahasa yang mengandung perulangan bunyi, suku kata, kata, frasa, atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuaiseperti a.l aliterasi, asonansi, antanaklasis.56

Dan D. Nimmo (1989) dalam bukunya,

, memberi pengertian komuni -kasi politik dengan lebih dahulu menguraikan apa arti dan apa arti politik. Menurutnya hakikat politik adalah komunikasi (baca: mempengaruhi orang lain) dan komunikasi politik merupakan bidang kajian ilmu lintas disiplin. Dia mendefinisikannya sebagai, “

”. Artinya aktivitas komunikasi yang memiliki pengaruh politik baik secara potensial atau aktual untuk mengendalikan mereka yang berada dalam keadaan konflik.57

Berdasarkan teori komunikasi Lasswell yang monumental

‘ dalam

bukunya .58

Pada gilirannya teori ini dikembangkannya dengan menulis buku

pada tahun 1958 berjudul ,dia

mendefinisikan secara lebih khusus komunikator politik sebagai mereka yang menjadi pemimpin dalam proses opini, seperti politisi

56Haris Sumadiria, , 147-153.

57Dan D. Nimmo,

13-21.

58Harold D. Lasswell,

(London, International Institute of Communications, the Loius G. Cowan Lecture, 1977), 5. Lihat juga Lely Arrianie, Sandiwara di Senayan Studi Dramaturgis Komunikasi Politik di DPR RI, dalam Deddy Mulyana dan Solatun ,

ed. (Bandung, Rosda, 2007) , 28.