• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respons terhadap Aktivitas Politik Nurcholish Madjid

BAB III AKTIVITAS POLITIK NURCHOLISH MADJID

B. Respons terhadap Aktivitas Politik Nurcholish Madjid

85Idris Thaha, 87.

double movement

Pertama

Kedua

ratio legis

Reorientasi Pembaruan Islam Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia

Reorientasi Pembaruan Islam Artikulasi Islam Kultural

kelompok yang menolak mentah-mentah modernitas dan memberikan alternatif apolegetik, berdasarkan pemahaman al-Qur’an secara literal.86 Karena pemahaman al-Qur’an yang sepotong-sepotong ini, Fazlur Rahman menyarankan jalan keluar melalui dua gerakan dalam penafsiran al-Qur’an yang dikenal dengan . Saran tersebut dibuat, untuk mengatasi kecenderungan para mo klasik, yang apolegetik terhadap Barat, dan para neo-revivalis (fundamentalis), yang skripturalis.87

Dua cara termaksud adalah: , pahami arti atau makna suatu pernyataan dengan mengkaji situasi atau problem di mana pernyataan al-Qur’an tersebut merupakan jawabannya. Menurut Rahman, sebelum mengkaji ayat-ayat spesifik dalam sinaran situasi-situasi spesifik, suatu kajian mengenai situasi-situasi makro, mengenai konteks sosial masyarakat saat itu (saat al-Qur’an diturunkan) harus dilakukan. , mengeneralisir jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyata-kannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan moral sosial umum yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio-historis dan yang sering dinyatakan.88

M. Syafi’i Anwar membuat rancang bangun gagasan-gagasan NCM berdasar-kan sosiologi agama dengan pendekatan holistik yang menggambarkan konstruksi dialektika dan kesatuan gagasan pemikiran NCM tentang keislaman, keindonesiaan, dan kemoderenan yang merlahirkan ide-ide pendukung “neo modernisme”, “integrasi”

86 Budhy Munawar-Rachman,

(Jakarta, Lembaga Studi Agama dan Filsafat bekerjasama dengan Paramadina, Cetakan I, Juni 2010), 400.

87Budhy Munawar-Rachman, , 401.

88Budhy Munawar-Rachman, “Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah: Pemikiran Neo-Modernisme Islam di Indonesia” dalam Asep Gunawan, ed.,

Islam Kemodernan dan Keindonesiaan Islam Kemodernan dan Keindonesiaan,

dan “pembangunan” dengan teologi inklusif sebagai pangka tolaknya.89

Artikel panjang NCM yang berjudul “Modernisasi ialah Rasionalisasi, bukan Westernisasi” menjelaskan makna modernisasi itu identik dengan rasionalisasi dan menolak pengertian yang mengatakan bahwa modernisasi adalah westernisasi, karena westernisme menurutnya berisikan sekularisme,90 oleh Muhammad Kamal Hasan, seorang sarjana Muslim Malalysia, dinilai mencermin-kan pandangan Muslim idelalis. Berdasarmencermin-kan pandangannya itu dan aktivitasnya menjadi Ketua Umum PB HMI ketika itu yang bersama koleganya berhasil menyusun dokumen “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI”, NCM diterima oleh umat Islam secara luas dan dikenal sebagai tokoh yang memiliki citra “Natsir Muda”.91 Mohammad Natsir adalah tokoh intelektual Muslim modernis yang pernah aktif dalam kepemimpinan JIB, Persis dan Masyumi dan pendukung demokrasi dengan sifat kenegarawanan yang memper-juangkan tujuan-tujuan politiknya secara konstitusional.

Posisi intektual NCM sebagai seorang muslim modernis seperti tertulis di atas dengan citranya sebagai “Natsir Muda” berubah menjadi dipertanyakan oleh kalangan umat Islam yang curiga terhadapnya setelah dia menyajikan makalah berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, di Jakarta, pada tanggal 2 Januari 1970. Dalam makalah itu, NCM menjelaskan bahwa kaum Muslimin telah mengalami kejumudan dalam pemikiran dan pengembangan ajaran-ajaran Islam. Pemikiran mereka telah beku dan kekuatan moralnya telah hilang, terbukti dengan kenyataan semakin bertambahnya pemeluk agama Islam

89M. Syafi,i Anwar, “Sosiologi Pembaruan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid”, 517.

90 Nurcholish Madjid, “Modernisasi Ialah Rasionalisasi Bukan Westernisasi” dalam Nurcholish Madjid,

(Bandung, Mizan, Cetakan XI, November, 1998), 173.

91 M. Dawam Rahardjo, “Islam dan Modernisasi: Catatan atas Paham Sekularisasi Nurcholish Madjid”, dalam Nurcholish Madjid,

idea of progress

Indonesia Raya

Indonesia Raya the speech of the year

Islam Kemodernan dan Keindonesiaan,

Menembus Batas Tradisi Menuju Masa Depan Yang Membebaskan Refleksi atas Pemikiran Nurcholish Madjid

ketika itu, tapi semakin sedikit diantara mereka yang ik dengan partai-partai atau organisasi-organisasi Islam. Sepertinya mereka bertanya dengan mengatakan Islam Yes, Partai Islam, No? Oleh karena itu perlu upaya pembaruan pemikiran kegamaan yang dilakukan oleh kelompok pembaruan yang “liberal” untuk melakukan liberalisasi pandangan terhadap ajaran-ajaran Islam dengan sekulari-sasi dan berpikiran bebas serta bersikap terbuka terhadap ‘

’.92

Istilah “sekularisasi” dalam makalah NCM itu mendapat bermacam-macam reaksi dari masyarakat Indonesia. Salah satu dari mereka yang mendukung ide NCM adalah Moctar Lubis, pemimpin

redaksi Koran yang memuat isi makalah NCM dengan

antusias dalam Koran secara penuh dan Nono Anwar

Makarim yang mengatakan bahwa makalah NCM itu akan menjadi

“ ”, bahkan tidak kurang dari seratus tulisan

artikel pada tahun 1970-an telah terbit menyambut gagasan NCM itu seperti yang muncul dalam Harian Abadi, Kompas dan Mercu Suar, dan majalah mingguan Panji Masyarakat, Angkatan Baru, Mimbar Demokrasi, Forum dan Tempo.93 Sementara kalangan umat Islam yang curiga dan bereaksi emosional berkaitan dengan terminologi “sekularisasi” dengan mengatakan seperti “sekularisasi disifatkan sebagai jembatan ke arah komunisme,” atau “komunisme adalah anak sekularisme.” Atau “sekularisme meniadakan atau menghampakan segala sangkut paut tindakan negara dan pribadi dengan Tuhan,” dan sebagian lainnya mencap pemikiran NCM berorientasi ke Barat, terjebak pemikiran Yahudi, memberi angin kepada Kristenisasi, keterangannya membuat umat bingung, teologinya mengganggu kemapanan iman dan lembaga keagamaan, ikut merangsang i

92Nurcholish Madjid, “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masa-lah Integrasi Umat”, dalam Nurcholish Madjid,

204-214.

93Budhy Munawar-Rachman, “Nurcholish Madjid dan Perdebatan Islam di Indonesia”, dalam Abdul Halim, ed.,

(Jakarta, Paramadina dan Kompas, Cetakan II, Oktober 2006), 123.

Menembus Batas Tradisi,

fundamentalis, menimbulkan skeptisisme terhadap agama, bahkan menyim-pang dari ajaran Islam.94

Gagasan NCM tertulis di atas tentang pembaruan Islam, sebenarnya adalah sebuah respon intelektual terhadap kondisi sosial politik umat Islam yang ketika itu berada dalam posisi periferal dalam menghadapi kebijakan “era pembangunan” Orba yang berparadigma modernisasi. Para senior tokoh Islam modernis menunjuk-kan sikap ragu terhadap kebijakan politik pemerintah Orba itu, bahkan mereka berapologi dengan menolak modernisasi karena dinilai sebagai westernisasi atau sekularisasi. Sikap seperti ini melahirkan kesan yang kurang menguntungkan, yakni bahwa Islam itu tradisonalis, anti modernisasi, anti pembangunan dan bahkan anti Pancasila.95

Hampir tiga tahun kemudian, NCM mengisi acara pada bulan Oktober 1972 di Taman Ismail Marzuki (TIM) yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta dengan menjelaskan kembali tesisnya dengan judul “Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia” yang menyinggung tentang “paham apolegetik” khususnya konsep “Negara Islam” yang merupakan suatu bentuk apolegetis umat Islam terhadap ideologi-ideologi modern seperti

94Budhy Munawar-Rachman, “Nurcholish Madjid dan Perdebatan Islam di Indonesia”dalam Abdul Halim, ed., 124. Tulisan-tulisan yang memberi tanggapan itu a.l. Rusydi, “Pembaruan Nurcholish Madjid” (Mercu Suar 29/1/1970). Hermansjah Nasirun, “Tentang Ceramah Madjid (Mercu suar, 3/2/1970). Muhammad Natsir, “Arahkan Kegiatan pada masalah Kemahasiswaan” (Abadi, 29/3/1970). M. Amien Rais, “Tanggapan terhadap Pendapat Nurcholish Madjid, (Kedaulatan Rakyat, 25-30/3/1970). Ahmad Wahib, “Dialog Pembaruan Pemikiran Islam” (Mercu suar, 6-7/4/1970). Endang Saefuddin, “Pembahasan terhadap Prasaran Drs. Nurcholish Madjid” Masyarakat, April/Mei/1970). Saifuddin Anshari, “Sebuah Catatan atas Wawancara sdr. N. Madjid” (Panji Masyarakat, 7/1970). Dr. A. Mukti Ali, Sekularisme” (Panji Masyarakat, no. 73-74/1971). RM Samhudi, “Saya Kembali dengan Rasa Kecewa” (Masa Kini, 13/5/1972). Ahmad Basuni, “Memahami dan Melaksanakan Ajaran Islam, Sebuah Komentar terhadap Pendapat Drs. N. Madjid” (Panji Masyarakat, 15-17/5/1972). Syaichu Usman, “Keseimbangan yang Dinamis: Jalan Keluar dari Perdebatan” (Panji Masyarakat, 10-12/5/1970).

95M. Syafi’i Anwar, “Sosiologi Pembaruan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid”, 525.

Koreksi Terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi

semau gue

Islam Kemodernan dan Keindonesiaan,

Koreksi Terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi

The Sacred Canopy: Elements of Social Theory of Religion

demokrasi, sosialisme, komunisme dsb bersumberkan pemikiran legalisme terhadap ketentuan-ketentuan hukum fikih (fikihisme),96 dan pernyataannya ini pun mendatangkan reaksi keras juga.

Salah seorang tokoh Islam yang memberikan reaksi keras adalah Guru Besar IAIN, M. Rasjidi dengan menganalisis secara sistematis dan serius dengan mengungkapkan tulisan NCM secara singkat yang akan dikritiknya lalu dianalisis dan dinilai dalam sebuah tulisan yang berisi koreksi berjudul

(Jakarta: Bulan Bintang, Cetakan I, 1972). Seperti tertulis dalam judul buku itu, koreksi M. Rasjidi ditujukan kepada penggunaan istilah “sekularisasi”. Menurutnya akibat yang akan ditimbulkan oleh “sekularisasi” tidak lain kecuali “sekularisme” yaitu pemisahan pola kehidupan antara keagamaan kenegaraan. Tidak mungkin ada “sekularisasi” tanpa “berujung pada sekula-risme”. “Kalau soalnya sebagai yang dituturkan oleh saudara Nurcholish, maka segala sesuatu telah menjadi arbitrer atau

”.97 Pada awalnya, NCM merasa perlu memberikan penjelasan

96Nurcholish Madjid, “Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia” dalam Nurcholish Madjid,

253-255. 97 M. Rasjidi,

(Jakarta, Bulan Bintang, Cetakan I, 1972), 13. Ada dua macam sekularisme menurut Peter L. Berger (

, New York, Doubleday and Company, Inc., 1969) yaitu sekularisme objektif dan sekularisme subjektif. Sekularisasi objektif terjadi bila secara struktural atau institusional terdapat pemisahan antara agama dengan lembaga-lembaga lain. Sekularisasi subjektif terjadi bila pengalaman sehari-hari tidak dapat lagi dipetakan dalam agama, ada pemisahan pengalaman hidup dengan pengalaman keagamaan. Sekularisme objektif dalam politik diwujudkan dalam pemisahan antara negara dan agama. Negeri Islam ng terang-terangan menganut sekularisme ialah Turki. Kemalisme (Kemal Ataturk, 1881-1938) berusaha menghilangkan pengaruh ulama dan pemimpin tarekat pada negara. Gerakan sekularisme Turki mempunyai pengaruh pada pertumbuhan nasionalisme Indonesia, sehingga sebelum kemerdekaan sering dibedakan dua kelompok nasionalis, nasionalis sekular dan nasionalis Islam. kipun secara resmi Indonesia adalah Negara Pancasila, tidak sekular tapi bukan negara agama, isu “nasionalis sekular dan nasionalis Islam dengan baju baru tetap ada dalam politik praktis (dipersangkakan ada “ABRI Merah-Putih” dan “ABRI Hijau”). Sekularisasi

niyat

Identitas Politik Umat Islam

Kesaksian Intelektual Mengiringi Kepergian Sang Guru Bangsa

Islam Kemodernan dan Keindonesiaan

lebih lanjut bahwa dirinya membedakan antara “sekularisasi” dan “sekularisme”, sekularisasi yang NCM maksudkan adalah ng bersifat sosiologis seperti yang digunakan oleh Talcott Parsons dan Robert N. Bellah, bukan filosofis.98 Yudi Latif menuliskan bahwa ‘sekularisasi’ menurut NCM sebenarnya adalah ‘rasional i’, maka ada benang merah antara pemikiran NCM terdahulu yang menegaskan bahwa modernisasi adalah rasionalisasi bukan wester -nisasi.99 Pada bagian akhir penjelasannya tentang kontroversi konsep sekularisasi dengan rendah hati NCM menerima alasan keberatan Pak Rasjidi atas penggunaan konsep sekularisasi yang digunakannya: “…, cukup sulit untuk menentukan kapan proses sekularisasi, dalam makna sosiologisnya, berhenti dan berubah menjadi proses penerapan sekularisme filosofis itu…. Jika benar dugaan ini, maka keberatan Pak Rasjidi itu cukup beralasan dan dapat diterima.”.100 Seraya dia menyimpulkan dengan ajakan untuk tidak menggunakan istilah-istilah itu lagi dan lebih baik menggantinya dengan istilah-istilah teknis yang lebih netral.

Paham rasional NCM itu kemudian mendorongnya untuk ikut berkampanye bagi PPP pada tahun 1977 yang menimbulkan

subjektif dapat terjadi pada siapa saja, misalnya dalam penelitian fisika untuk contoh seorang ilmuwan, hasil penelitian orang beragama sama saja dengan hasil penelitian dengan orang kafir, karena Tuhan itu Maha Adil, tidak pilih kasih dalam hal-hal yang memang objektif. Perbedaannya terletak bahwa g sekular mengadakan subjektivikasi pada pengalamannya, sedang orang beriman mengadakan internalisasi. Dalam hal fisika orang sekular akan berhenti dengan berpikir bahwa ia telah menemukan salah satu hukum Alam, sedang orang beriman akan pergi lebih jauh dengan mengatakan bahwa hukum Alam itu juga hukum Tuhan. Dengan kata lain perbedaan itu tidak terletak di ujung, tapi di pangkal, dalam perorangan. Lihat Kuntowijoyo, “Demokrasi Agama” dalam Kuntowijoyo, (Bandung, Mizan bekerjasama dengan majalah Ummat, Cetakan I, Mei 1997), 174-176.

98Nurcholish Madjid, “Sekularisasi Ditinjau Kembali”, 258.

99Yudi Latif, “Cak Nur, Kekuatan Satu Visi”, dalam Muhammad Wahyuni Nafis dan Achmad Rifki, ed.

, 142.

100 Nurcholish Madjid, “Sekularisasi Ditinjau Kembali”, dalam , 260.

underdog

check and balance

subcontinent

Demokrasi Religius

Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem Tidak Ada Negara Islam

pertanyaan bukankah itu bertentangan dengan pemikiran iknya? Dalam kampanye PPP itu, dia mengemukakan teori “memompa ban kempes” yaitu pemikiran agar mahasiswa memilih partai politik, misalnya PPP atau PDI, ketimbang Golongan Karya (Golkar) yang didukung oleh militer, mesin birokrat dan money (3M) sudah dapat dipastikan menang. Jadi PPP itu seperti sebuah becak yang gembos bannya sehingga sulit berjalan, maka NCM berkampanye untuk berusaha memompa ban PPP yang pada saat itu berada dalam posisi dan paling memungkinkan untuk dijadikan sarana mendorong keseimbangan. Dengan begitu NCM sebenarnya telah

mengemukakan pemikiran politiknya tentang yang

menjadi salah satu hal penting dalam demokrasi.101 Jadi pemihakannya kepada PPP untuk menunjukkan bahwa dia beroposisi kepada pemerintah, tapi loyal kepada negara, loyal kepada cita-cita bersama membangun demokrasi Pancasila.

Sejak tahun 1978 sampai tahun 1984, NCM pergi belajar filsafat Islam di University of Chicago, Amerika Serikat. Tanggal 23 Maret 1983 sampai dengan 15 September 1983, ketika dirinya kuliah di sana, dia berkirim surat dengan Mohamad Roem mendiskusikan tentang topik “Tidak Ada Negara Islam”. Pemicunya adalah tulisan M. Amien Rais di majalah Panji Masyarakat, no. 376/1982 dengan judul “Tidak Ada Negara Islam”. Menurut NCM jelas sekali sebutan “Negara Islam” yang formalistik itu tidak pernah digunakan, baik oleh Nabi sendiri maupun para peng-gantinya selama berabad-abad, dan jelas sekali pula bahwa ia muncul di kalangan umat han sebagai gejala di zaman modern ini.102 Istilah “negara Islam” seperti Republik Islam baru muncul setelah negara Pakistan berdiri. Dahulu wilayah India itu dikuasai kekuasaan Moghul (Islam), padahal mayoritas penduduknya Hindu. Ketika India merdeka dari Inggris tahun 1947, orang Islam sadar bahwa tak mungkin lagi berkuasa,

101Idris Thaha, , 94.

102Nurcholish Madjid, “Menyambung Matarantai Pemikiran yang Hilang” dalam Agus Edy Santoso, eds.,

(Jakarta, Djambatan, Cetakan ketiga, edisi revisi, 2004), 29.

Menelusuri Kekeliruan Pembaruan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid

Menelusuri Kekeliruan Pembaruan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid

karena dari segi pendidikan saja kalah dari orang Hindu. Secara psikologis bisa dimengerti kalau mereka akhirnya merasa perlu mendirikan negara sendiri. Islam lalu dipakai sebagai identifikasi nasional, sehingga Pakistan kemudian disebut sebagai negara Islam.103

Atas pendapat NCM tentang tidak ada negara Islam dan keberatannya untuk masuk partai politik Islam seperti dalam pernyataannya “Islam Yes, Partai Islam No?” kemudian mendapat kritikan Abdul Qadir Djaelani (l. 1939) dalam bukunya berjudul (Bandung, Yadia, 1994). Menurutnya, NCM harus ikut bertanggung jawab terhadap kemerosotan posisi partai-partai politik Islam di Indonesia, karena persetujuannya dengan Undang-Undang No. 8/1985, yang menyatakan bahwa semua partai politik dan organisasi massa harus menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Dia menolak pernyataan NCM bahwa umat Islam meninggalkan partai Islam karena isu yang dikemukakan oleh partai-partai Islam itu sudah tidak menarik lagi atau sudah usang. Mereka melakukan hal itu, menurut Djaelani, karena telah dipaksa oleh rezim penguasa Orba untuk menyalurkan aspirasi politik mereka hanya ke Golkar. Oleh karena itu, dia menegaskan, meskipun dalam realitasnya berasas Pancasila, partai politik seperti PPP masih berfungsi sarana yang amat penting untuk menyuarakan aspirasi politik umat Islam Indonesia.104 Jadi Djaelani dalam hal ini mengkritisi kebijakan politik rezim Orba dan menumpahkannya kepada NCM untuk bertanggung jawab atas kekalahan umat Islam Indonesia akibat dari kebijakan itu.

Sesungguhnya perbedaan pandangan di kalangan umat Islam tentang hubungan antara Islam dan negara antara kelompok formalis dan substansialis disebabkan karena perbedaan pandangan mereka tentang kesempurnaan ajaran Islam. Islam merupakan agama sempurna yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang meliputi

103Nurcholish Madjid, “Negara Islam: Produk Isu Modern”, 157-158. 104 Abdul Qadir Djaelani,

nation state

kalimatun sawa> common platform

civil society

Islam dan Civil Society

Pandangan Muslim Indonesia

Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi

ekonomi, sosial keagamaan dan politik, tapi persoalannya ialah bagaimana memahami sifat sempurna itu, khususnya berkenaan dengan hubungan antara Islam dan negara sehingga dapat sejalan dengan prinsip dasar Islam. Di sinilah NCM memberikan pemahaman dengan arah baru pemikiran keislaman dengan menekankan pentingnya deideologisasi agama, rasionalisasi, modernisasi masyarakat, demokrasi, keadilan sosial, pluralisme, dan inklusivisme.105 Sebab menurutnya, sekalipun nilai-nilai ajaran Islam itu bersifat universal, pelaksanaan ajarannya sendiri ut lingkungan sosiokultural masyarakat Indonesia secara keseluruhan, termasuk didalamnya lingkungan politik dalam kerangka negara bangsa ( ), maka setiap langkah melaksanakan ajaran Islam di Indonesia harus memperhitungkan kondisi sosial budaya yang ciri utamanya adalah pertumbuhan, perkembangan dan kemajemukan.106 Dalam konteks ini, secara politik dia melihat bahwa

Pancasila adalah atau yang

mempertemukan gagasan keisla-man dan keindonesiaan.

Jadi, berdasarkan keinginan untuk mengintegrasikan pembaru -an pemikir-an keislam-an, keindonesia-an d-an kemoderen-an inilah, NCM mengembangkan wacana yang mengandung muatan kontroversial semisal sekularisasi, liberalisasi dan anjuran meninggalkan wacana negara Islam ke arah Islam kultural, misalnya tentang keadilan, demokrasi, hak asasi manusia, inklusivisme Islam dan pluralisme Islam. Dari sini ia mulai meluncurkan pemikiran

, istilah yang diterjemahkannya menjadi “masyarakat madani” bercirikan masyarakat egaliter, demokratis dan inklusif, dengan mengacu kepada Piagam Madinah sebagai model.107 Dan semua itu yang menjadi pangkal tolaknya ialah teologi inklusiv yang berpijak pada semangat humanitas dan universalitas Islam dalam arti bahwa

105 Hendro Prasetyo dan Ali Munhanif, eds.,

(Jakarta, Gramedia Pustaka Utama-PPIM IAIN Jakarta, Cetakan I, 2002), 238-241.

106M. Syafi,i Anwar, “Sosiologi Pembaruan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid”, 522-523.

107Budhy Munawar-Rachman, “Kata Pengantar,” dalam Nurcholish

fit}rah open religion al-islam al-isla>m al-isla@m ber-islam

al-islaam par excellence al-isla>m

Islam merupakan agama yang sesuai dengan kemanusiaan yang menjadikan cita-cita Islam sejalan dengan cita-cita kemanusiaan pada umumnya karena misi Nabi Muhammad saw sebagai rahmat bagi semesta alam dan Islam secara sosiologis merupakan agama yang berwatak kosmopolitan.108

Ciri lain teologi inklusif adalah memberikan formulasi bahwa Islam itu merupakan agama terbuka ( ), karena ia meno -lak eksklusifisme dan absolutisme, dan memberikan apresiasi yang tinggi terhadap pluralisme yang menjadi komitmen dan paradigma teologi inklusif yang terpenting.109 Bagi NCM karena kitab suci Al -Qur’an mencantumkan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai,110 maka bukan saja Islam memandang bahwa pluralitas itu merupakan suatu kenyataan sejarah manusia, tapi juga berarti bahwa pluralitas itu meningkat menjadi pluralisme, yaitu suatu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri,

108M. Syafi,i Anwar, “Sosiologi Pembaruan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid”, 531.

109 M.Syafi,i Anwar, “Sosiologi Pembaruan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid”, 532. Berdasarkan pemahaman NCM terhadap beberapa ayat al-Qur’an S. Yu>nus (10):71-72, S. al-Baqa>rah (2):131 Serta S. al-Baqa>rah (2):132., dia

menegaskan bahwa agama para nabi terdahulu adalah semuanya dan dalam

menjelaskan hal ini dia merujuk tafsir Abdullah Yusuf dan tafsir Muhammad Asad. Dalil universalisme seperti tersurat dalam al-Qur’an dinyatakan

bahwa yang pertama kali menyadari atau sikap pasrah kepada Tuhan

sebagai perintah inti agama ialah Nabi Nuh, kemudian perintah ditegaskan

kepada Nabi Ibrahim, yang mewasiatkannya kepada anak keturunannya. Salah satu dari keturunan itu adalah Nabi Ya’qub atau Israîl (artinya, hamba Allah) dari jurusan Nabi Ishaq, salah seorang putera Ibrahim. Wasiat Ibrahim dan Ya’qub itu kemudian menjadi dasar agama-agama Israîl, yaitu (yang sekarang bertahan), agama-agama Yahudi dan Kristen. Atas dasar ini NCM menegaskan bahw dikarenakan agama

yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw pun secara sadar dengan terang benderang

mengajarkan sikap pasrah kepada Tuhan, maka disebut agama Islam (dengan I

besar) yang menjadi agama , namun bukan satu-satunya dan

tidak unik dalam arti berdiri sendiri, melainkan tampil dalam rangkaian dengan

agama-agama yang lain.

ahl al-Kita>b kalimah sawa>

committed

Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan

Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan

Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan

dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kernyataan itu.111

Hal itu berarti juga bahwa ajaran Islam mamandang bahwa kondisi sosial-budaya dengan pola kemajemukan selalu memerlukan adanya sebuah titik temu dalam nilai kesamaan dari semua kelompok yang ada. Dalam al-Qur’an pun ada perintah Allah swt kepada Nabi

Muhammad saw untuk mengajak kaum bersatu dalam

satu pandangan yang sama ( ),112 yaitu paham

Ketuhanan Yang Maha Esa.113 Maka dalam sejarah Islam di Madinah, Nabi Muhammad saw berusaha mencari titik pertemuan dengan berbagai golongan di Madinah dengan terlebih dahulu mengakui hak eksistensi masing-masing kelompok, dalam dokumen yang terkenal sebagai “Konstitusi Madinah”. Dan Khalifah kedua , Umar ibn al-Khattab, meneruskan sunnah Nabi itu dalam sikapnya terhadap penduduk Yerusalem dalam dokumen yang kemudian dikenal dengan “Piagam Aelia” (karena Yerusalem saat itu juga dikenal dengan