• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.KONFIGURASI POLITIK DAN KARAKTER PRODUK HUKUM Fungsi dan peran hukum sangat dipengaruhi dan kerapkali diintervensi

NEGARA DAN PEREMPUAN

1.KONFIGURASI POLITIK DAN KARAKTER PRODUK HUKUM Fungsi dan peran hukum sangat dipengaruhi dan kerapkali diintervensi

oleh kekuatan politik. Sepanjang sejarah Indonesia ternyata telah terjadi tolak-tarik atau dinamika antara konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter ( non demokratis ). Demokrasi dan otoriterisme muncul secara bergantian dengan kecenderungan linear di setiap periode pada konfigurasi otoriter.30 Sejalan dengan tolak-tarik konfigurasi politik itu, perkembangan karakter produk hukum memperlihatkan keterpengaruhannya dengan terjadinya tolak-tarik antara produk hukum yang berkarakter responsif dan produk hukum yang berkarakter konservatif dengan kecenderungan linear yang sama.31

30

Moh.Mahfud, “ Tampilnya Negara Kuat Orde Baru, Studi Teoretis dan Konstitusional tentang Perkembangan Peranan Negara di Indonesia,” tesis S-2 Ilmu Politik, Fakultas Pascasarjana UGM, 1989, hal.169.

31Moh.Mahfud, Pergulatan Poliik dan Hukum di Indonesia,Yogyakarta : Gama Media, 1999, hal.11.

Konsep demokratis dan otoriter ( non-demokratis ) diidentifikasi berdasarkan tiga indikator yaitu sistem kepartaian, dan peranan badan perwakilan, peranan eksekutif, dan kebebasan pers sedangkan konsep hukum responsif/otonom diidentifikasi berdasarkan proses pembuatan hukum, pemberian fungsi hukum dan kewenangan menafsirkan hukum.

Berdasarkan indikator-indikator tersebut, konsep-konsep itu kemudian diberi pengertian konseptual yang khusus dipakai tulisan yaitu32

1. Konfigurasi Politik Demokratis adalah konfigurasi yang membuka peluang bagi berperannya potensi rakyat secara maksimal untuk turut menentukan kebijakan negara. Di dalam konfigurasi yang demikian pemerintah lebih merupakan “ komite “ yang harus melaksanakan kehendak-kehendak masyarakatnya, yang dirumuskan secara demokratis, badan perwakilan rakyat dan partai politik berfungsi secara proporsional dan lebih menentukan dalam pembuatan kebijakan negara.

:

2. Konfigurasi Politik Otoriter adalah konfigurasi yang menempatkan pemerintah pada posisi sangat dominan dengan sifat yang intervensi dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan negara sehingga potensi dan aspirasi masyarakat teragregasi dan terartikulasi secara proporsional. Bahkan, dengan peran pemerintah yang sangat dominan, badan perwakilan rakyat dan partai politik tidak berfungsi dengan baik dan lebih merupakan justifikasi ( rubber stamps ) atas kehendak pemerintah.

3. Produk Hukum Responsif/Otonom adalah produk hukum yang karakternya mencerminkan pemenuhan atas tuntutan-tuntutan baik individu maupun berbagai kelompok sosial di dalam masyarakat sehingga lebih mampu mencerminkan rasa keadilan di dalam masyarakat. Proses pembuatan hukum responsif ini mengundang secara terbuka partisipasi dan aspirasi masyarakat dan lembaga peradilan, hukum diberi fungsi sebagai alat pelaksana bagi kehendak masyarakat, sedangkan rumusannya biasanya

32Moh.Mahfud, Ibid.,hal.8-9.

cukup rinci sehingga tidak terbuka untuk dapat diinterpretasi berdasarkan kehendak dan visi pemerintah sendiri.

4. Produk Hukum Konservatif/Ortodoks adalah produk hukum yang karakternya mencerminkan visi politik pemegang kekuasaan dominant sehingga pembuatannya tidak mengundang partisipasi dan aspirasi masyarakat secara sungguh-sungguh. Biasanya bersifat formalitas sehingga hukum diberi fungsi dengan sifat positivis instrumentalis atau menjadi alat bagi pelaksanaan ideologi dan program pemerintah

Semua konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia menjadikan “demokrasi“ sebagai salah satu asasnya yang menonjol tetapi tidak semua konstitusi mampu melahirkan konfigurasi politik yang demokratis. Artinya, sebuah konstitusi yang jelas-jelas menganut paham demokrasi dapat melahirkan konfigurasi politik yang tidak demokratis atau otoriter. Bahkan, di bawah sebuah konstitusi yang sama dapat lahir konfigurasi politik yang berbeda-beda pada periode yang berbeda-beda pula.

UUD 1945 yang berlaku pada periode 1945-1949 melahirkan konfigurasi yang jauh berbeda dengan konfigurasi politik pada saat UUD tersebut berlaku pada periode 1959-1966 untuk selanjutnya melahirkan konfigurasi politik yang berbeda lagi pada periode setelah 1966. Secara lebih rinci, perkembangan konfigurasi politik dari periode-periode adalah sebagai berikut33

33Moh.Mahfud, Ibid., hal.11-12.

PERIODE 1945-1959

Pada periode 1945-1959 konfigurasi politik yang tampil adalah konfigurasi politik yang demokratis. Kehidupan politik pada periode ini dicirikan sebagai demokrasi liberal.34 Di dalam konfigurasi yang demikian tampak bahwa partai-partai memainkan peranan yang sangat dominan dalam proses perumusan kebijakan negara melalui wadah konstitusionalnya ( parlemen ).35 Seiring dengan itu lembaga eksekutif berada pada posisi yang ” kalah kuat ” dibandingkan dengan partai-partai sehingga pemerintah senantiasa jatuh bangun dan keadaan politik berjalan secara tidak stabil.36

Konfigurasi politik yang demokratis berakhir pada tahun 1959, ketika tanggal 5 Juli Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit yang kemudian dianggap sebagai jalan bagi tampilnya demokrasi terpimpin. Pada era demokrasi terpimpin yang berlangsung tahun 1959 sampai 1966 konfigurasi politik yang ditampilkan adalah konfigurasi politik yang otoriter. Di dalamnya Sukarno menjadi aktor utama dalam agenda politik nasional sehingga pemerintahan Sukarno dicirikan sebagai rezim yang otoriter.

PERIODE 1959-1966

37

34Moeljarto T., Beberapa Pokok Pikiran tentang Sistem Kepartaian di Indonesia, Yogyakarta : Fakultas Sosiologi UGM, 1969, hal.7.

35

Yahya Muhaimin, Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980, terj.Hasan Basari dan Muhadi Sugiono, Jakarta : LP3ES, 1990, hal.43.

36Moeljarto, op.cit., hal.7.

37Sutan Takdir Alisjahbana, Indonesia : Social and Cultural Revolution, terj. Benedict R. Anderson, Kuala Lumpur : Oxford University Press, 1966, hal.173.

Tiga kekuatan politik yaitu Sukarno, Angkatan Darat, Partai Komunis Indonesia. Presiden Sukarno mengatasi lembaga-lembaga konstitusional, menekan partai-parati dengan menutup kebebasan pers sambil

sering membuat peraturan perundang-undangan yang secara konstitusional tidak dikenal seperti Penpres dan Perpres.

PERIODE 1966 – 1998

Pada periode ini, atas dasar logika pembangunan yang menekankan pada bidang ekonomi dan paradigma pertumbuhan,38 konfigurasi politik didesain untuk negara kuat yang mampu menjamin dan membentuk negara kuat. Pada awalnya Orde Baru memulai langkahnya secara demokratis39

Pada periode ini, konfigurasi politik yang ditampilkan adalah demokrasi. Demokrasi yang dianut oleh Indonesia adalah demokrasi pancasila, masih dalam taraf perkembangan dan mengenai sifat-sifat dan ciri-cirinys terdapat pelbagai tafsiran dan pandangan. Tetapi tidak dapat disangkal bahwa beberapa nilai tidak poko dari demokrasi konstitusional cukup jelas tersirat dalam Undang-undang Dasar 1945. Sesuai dengan apa makna yang tertuang dalam demokrasi, dimana rakyat menjadi subyek dalam pengambilan kebijakan negara ( Undang-undang ) dan pengambilan keputusan pemerintah. Pemerintah berasal dari rakyat yang

tetapi secara pasti lama-kelamaan membentuk konfigurasi politik yang cenderung otoriter. Eksekutif sangat dominan, kehidupan pers dikendalikan, legislatif dicirikan sebagai lembaga yang lemah karena di dalamnya telah ditanamkan tangan-tangan eksekutif melalui Golongan Karya dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

PERIODE 1998- SEKARANG

38Moeljarto T., Politik Pembangunan Sebuah Analisis Konsep, Arah dan Strategi, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1987, hal.106.

39Amir Effendi Sitegat, Pers Mahasiswa Indonesia, Patah Tumbuh Hilang Berganti, Jakarta : Karya Unipress, 1983, hal.32,

dipilih melalui proses pemilihan umum dituntut harus dapat melaksanakan apa yang menjadi kehendak rakyat. Jadi dalam hal ini pemerintah bertindak sesuai dengan apa yang menjadi keinginan rakyat yang telah memilihnya.

2. KEBIJAKAN NEGARA TERHADAP PEREMPUAN 2.1.DISKRIMINASI PEREMPUAN

Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial penting yang perlu ditangani negara dan juga sangat membutuhkan partisipasi dari semua elemen masyarakat untuk terlibat menanganinya. Dalam arti yang luas kemiskinan dapat meliputi ketidakcukupan yang lain, seperti rendahnya kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya kapasitas sumber daya manusia, situasi rentan yang membuat orang jatuh miskin, lemahnya dukungan kelembagaan, atau lemahnya akses mengartikulasikan suara dan kepentingannya dalam proses-proses politik.40

Laki-laki dan perempuan memiliki pengalaman kemiskinan yang berbeda. Dampak yang diakibatkan oleh kemiskinan terhadap kehidupan laki-laki juga berbeda daripada perempuan. Sumber dari permasalahan kemiskinan perempuan terletak pada budaya patriarki, yaitu nilai-nilai yang hidup di masyarakat yang memosisikan laki-laki sebagai superior dan perempuan sebagai subordinat. Budaya patriarki seperti ini tercermin dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, maupun bernegara dan menjadi sumber

Dalam hal ini, situasi kemiskinan sebenarnya dapat dialami oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja.

40Muhadjir , Op.cit.,hal.161.

pembenaran terhadap sistem distribusi kewenangan, sistem pengambilan keputusan, sistem pembagian kerja, sistem kepemilikan dan sistem distribusi risorsis yang bias gender. Muara dari masalah kultural ini adalah kecenderungan terjadinya pelecehan, diskriminasi, marginalisasi, eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan. 41

1. Marginalisasi ( Pemiskinan ekonomi ) perempuan

Proses marginalisasi ( pemiskinan ekonomi ) yang mengakibatkan kemiskinan, banyak terjadi dalam masyarakat di negara berkembang seperti penggusuran dari kampung halamannya, eksplotasi dan lain sebagainya. Namun pemiskinan atas perempuan maupun laki-laki yang disebabkan karena jenis kelaminnya adalah salah satu bentuk ketidakadilan yang disebabkan gender.

Sebagai contoh, banyak pekerja perempuan tersingkir dan menjadi miskin akibat dari program pembangunan seperti intensifikasi pertanian yang hanya memfokuskan pada laki-laki. Perempuan dipinggirkan dari beberapa jenis kegiatan pertanian dan industri yang lebih memerlukan keterampilan yang biasanya lebih banyak dimiliki oleh laki-laki. Selain itu, perkembangan teknologi telah menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang pada umumnya dikerjakan oleh tenaga laki-laki. Sebaliknya, banyak pula lapangan pekerjaan yang menutup pintu bagi laki-laki karena anggapan bahwa mereka kurang teliti dalam melakukan pekerjaan yang memerlukan kecermatan dan kesabaran.

41Muhadjir, Ibid., hal.166.

2. Subordinasi

Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Banyak kasus bahwa masih ada nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang gerak terutama perempuan diberbagai kehidupan. Sebagai contoh, apabila seorang istri yang hendak mengikuti tugas belajar atau hendak bepergian ke luar negeri, ia harus mendapat izin dari suami. Tetapi apabila suami yang akan pergi, ia bisa mengambil keputusan sendiri tanpa harus mendapat izin dari istri. Kondisi semacam ini telah menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting sehingga karena kemampuannya perempuan bisa menempati posisi penting sebagai pemimpin, bawahannya yang berjenis kelamin laki-laki seringkali merasa tertekan.

3. Pandangan Stereotip

Pelabelan atau penadaan ( stereotip ) yang sering kali bersifat negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotip yang melahirkan ketidakadilan dan diskriminasi bersumber dari pandangan gender, karena menyangkut pelabelan atau penandaan terhadap salah satu jenis kelamin tertentu. Misalnya, pandangan terhadap perempuan bahwa tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan kerumahtanggaan atau tugas domestik, sebagai akibatnya ketika berada di ruang publik maka jenis pekerjaan, profesi atau kegiatannya di masyarakat bahkan di tingkat pemerintahan dan negara hanyalah merupakan ’perpanjangan’ peran domestiknya itu.

4. Kekerasan

Berbagai kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan peran muncul dalam berbagai bentuk. Kata ” kekerasan ” yang merupakan terjemahan dari ” violence ” artinya suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Oleh karena itu, kekerasan tidak hanya menyangkut serangan fisik saja seperti pemerkosaan, pemukulan dan penyiksaan tetapi juga yang bersifat non fisik seperti pelecehan seksual, ancaman dan paksaan sehingga secara emosional perempuan atau laki-laki yang mengalaminya akan merasa terusik batinnya.

Kekerasan yang dialami oleh perempuan baik di ranah domestik maupun di ranah publik, dapat lebih parah manakala negara tidak mempunyai keberpihakan yang kuat terhadap perempuan. Ketika negara secara tidak disadari terbangun oleh kultur patriarkis yang sejak lama telah mengakar di masyarakat, negara menjadi tidak sensitif terhadap fenomena kekerasan yang dialami oleh perempuan. Hukum negara yang patriarkis cenderung memberi sanksi yang lebih ringan kepada pelaku kekerasan terhadap dan tidak memberi perlindungan serta pelayanan yang memadai kepada perempuan korban kekerasan.

Sistem pemerintahan yang hirarkis, hegemonis dan patriarkis telah meminggirkan perempuan secara sistematis melalui kebijakan, program dan lembaga yang tidak responsif gender. Data statistik tidak mampu mengungkap dinamika kehidupan perempuan – laki-laki sehingga kebijakan, program dan lembaga yang dirancang menjadi buta gender ( gender blind ) dan menimbulkan kesenjangan gender di berbagai bidang kehidupan. Peminggiran perempuan oleh

negara ini pada gilirannya akan dapat menghambat optimalisasi pencapaian kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.42

Peraturan undangan bias gender adalah peraturan perundang-undangan yang pendulumnya berat sebelah dan tidak mentransformasikan

Banyak masalah sosial yang terkait dengan kesejahteraan perempuan bermuara pada kultur patriarki. Untuk menyebut diantaranya adalah angka kematian ibu yang masih tinggi, keluarga berencana dan aborsi yang tidak aman, ketidakcukupan konsumsi nutrisi perempuan, khususnya perempuan hamil dan menyusui, pengiriman TKW yang sarat dengan penipuan, eksploitasi, pelecehan seksual, perdagangan perempuan dan buruknya sanitasi air bersih.

Masalah-masalah tadi tidak akan terpecahkan dengan baik jika akar permasalahannya yaitu ketidakadilan dan ketimpangan gender di masyarakat, tidak di atasi terlebih dahulu.

2.2.TINJAUAN KEBIJAKAN

Apabila konsep gender telah dipahami, maka kriteria peraturan perundang-undangan yang berwawasan gender adalah kriteria yang tidak bias gender yang dimana salah satu jenis kelamin tidak dirugikan karena pemberlakukan sistem dan/atau struktur tersebut. Peraturan perundang-undangan bias gender adalah peraturan perundangan-undangan yang pendulumnya berat sebelah dan tidak mentransformasikan keadilan kepada perempuan, sekalipun perempuan adalah pihak yang berhak atas keadilan tersebut.

42Muhadjir, Ibid.,hal.167.

keadilan kepada perempuan, sekalipun perempuan adalah pihak yang berhak atas keadilan tersebut.

Untuk menentukan apakah suatu peraturan perundang-undangan tersebut bias gender tertentu diperlukan pengkajian yang komprehensif obyektif dengan menggunakan tolak-ukur minimal sebagai berikut :

1. Faktor Akses

Apakah perempuan dan laki-laki memperoleh akses dan dapat mempergunakannya dengan cara yang sama pula dalam implementasi peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

2. Faktor Kontrol

Apakah perempuan dan laki-laki memiliki kontrol ( penguasaan ) yang sama terhadap sumber-sumber daya guna implementasi dan/atau pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan.

3. Faktor Partisipasi

Apakah partisipasi atau peran serta perempuan dan laki-laki telah dibuka dengan peluang-peluang yang sama sejak rumusan awal ( rancangan ), pembahasan, pengesahan dan kemudian pelaksanaan peraturan perundang-undangan tersebut.

4. Faktor Manfaat

Apakah perempuan dan laki-laki memperoleh dan/atau menikmati manfaat yang sama dengan pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan. Metode Penafsiran Peraturan Perundang-undangan yang Berperspektif Gender adalah tool atau alat yang dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk melakukan penafsiran terhadap peraturan perundang-undangan.