• Tidak ada hasil yang ditemukan

PASAR INTERNAL

KONSTRUKSI BARU DAYA SAING DAN KEBERLANJUTAN PERTANIAN INDONESIA

Iwan Setiawan1), M. Gunardi Judawinata2), Siska Rasiska3)

1)2)Departemen Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian UNPAD 3)

Departemen Hama Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian UNPAD Email: iones73@yahoo.com

Abstract

Pertanian modern yang hampir setengah abad diimplementasikan di Indonesia sudah saatnya dikoreksi secara komprehensif, karena krisis-krisis yang ditimbulkan oleh pendekatan dan teknologinya semakin tidak kondusif, baik terhadap keunggulan komparatif maupun kompetitif. Meskipun model pertanian alternatif sudah dicoba dan diterapkan, namun hingga saat ini Indonesia belum memiliki konsep, kebijakan dan model pertanian yang lebih dari modern. Tulisan ini bertujuan untuk mengonstruksi model pertanian postmodern berdasarkan generalisasi kasus model-model wirausaha pertanian (agribisnis) yang dipraktikkan oleh 280 orang pelaku muda agribisnis terdidik dan berkeahlian (brain gain actors) di pedesaan Jawa Barat. Dengan menggunakan metode campuran (mixed method), analisis SEM dan analisis SSM, maka dapat dirumuskan bahwa model pertanian postmodern bukan pertanian tradisional, berbeda dengan pertanian modern dan lebih dari sekedar berkelanjutan. Pertanian (dan atau agribisnis) postmodern adalah pertanian beradab, maslahat, ekologis, berkelanjutan, produktif (kreatif, inovatif), integratif, adaptif, variatif (divergent), ramah lingkungan (ecologis), diusahakan oleh generasi terdidik dan berkeahlian secara kolektif dan kolaboratif, berbasis keunikan dan kearifan lokal (sustainable competitiveness), bernilai tambah tinggi pada seluruh sistem, berbasis komunitas, serta mendapat pemihakan sosial ekonomi politik dari

bangsa dan negara. Rekomedasinya, diperlukan payung hukum untuk melegalisasi,

menginternalisasi dan melembagakan pertanian postmodern.

Kata kunci: pertanian postmodern, daya saing, keberlanjutan pertanian

1. PENDAHULUAN

Kritik terhadap pendekatan pertanian modern sejatinya telah dikemukakan oleh Anthony Giddens, Herman Soewardi, Sayogyo, Tjondronegoro, Lukman Soetrisno, Lester Brown, Fritjof Capra, Reijntjes et al., Mansour Fakih, Thomas Friedman, Colin Hines dan lainnya sejak akhir abad ke 20, terutama terkait dengan semakin nyata, meningkat dan meluasnya dampak negatif sosial budaya, ekonomi politik, ekologi dan teknologi yang ditimbulkan oleh penggunaan input luar yang tidak terkendali, baik pupuk kimia, pestisida kimia, alat mesin pertanian dan benih/bibit impor, utang (kreadit, sub- sidi) dan rekayasa kelembagaan (institutio- nalisation). Dampak negatif pertanian

modern tidak hanya menjenuhkan lahan, tanaman, lingkungan dan sumber daya manusia, tetapi juga mereduksi perilaku, budaya dan identitas lokalitas.

Memasuki abad 21, dampak negatif pertanian modern yang “setali tiga uang” dengan suksesi generalisasi pangan impor (terigu) dan kebijakan homogenisasi pada “secuil” komoditi (terutama padi, sawit) sangat signifikan implikasinya terhadap melemahnya daya sanding dan daya saing berkelanjutan (sustainable competitiveness) pertanian Indonesia, sehingga menjadi tidak adaptif dengan tren ramah lingkungan (green, blue) dan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Keragaman (diver- sity), keunikan, lokalitas, kearifan dan

kemandirian tereduksi dari sistem sosial, ekosistem dan geosistem. Alih-alih diminati, pertanian modern malah dinilai rendah (under value), sehingga ditinggal migrasi oleh generasi (brain drain). Implikasinya, pertanian modern hanya digeluti oleh sumberdaya manusia yang sebagian besar tua (aging).

Penilaian rendah dari generasi (under value), migrasi tenaga muda berkualitas (brain drain) dan tuanya umur sebagian besar pelaku pertanian modern (aging agriculture), telah mengakibatkan tidak berjalannya regenerasi (succession) pelaku pertanian, timpang dan parsialnya pembangunan, jenuh dan tidak terciptanya lapangan kerja dan wirausaha pedesaan, tidak berjalan dan berlanjutnya peningkatan dan penciptaan nilai tambah (pohon industri) sistem pertanian, jenuhnya kelembagaan pertanian dan pedesaan, tidak suksesnya regenerasi kepemimpinan (leaders and leadership) pertanian dan pedesaan, tidak berlanjutnya suksesi inovasi metode dan teknik pertanian, tidak antisipatif terhadap perubahan, serta tidak efektif dan efisien- sinya aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi.

Secara filsafatis, mencermati berbagai dampak negatif yang ditimbulkannya, maka pertanian modern patut dipertanyakan keberlanjutan, kemaslahatan dan kela- yakannya. Dikatakan demikian karena pertanian modern dipandang telah menga- lami krisis secara paradigmatis (Thomas Khun). Meminjam definisi kemaslahatan dari Al Ghazali, yakni “segala upaya untuk

melindungi (agama, jiwa, akal, keturunan dan harta kekayaan), berbuat kebajikan (berguna bagi manusia lainnya) dan melindungi alam semesta”, yang menegas- kan bahwa maslahat bersifat aktif dan steril dari egois-individualis” (Raghib As-Sirjani, 2015), maka tampak jelas bahwa pertanian modern layak untuk disebut tidak maslahat, karena sangat tidak kondusif terhadap keberlanjutan, keragaman, keu-nikan, lokalitas, kesehatan, keunggulan komparatif dan kompetitif.

Selain tidak maslahat (mafsadat), pertanian modern juga tidak berkelanjutan, baik secara sosial (tidak kondusif terhadap regenerasi pelaku-pelakunya), secara ekonomi (tidak menjamin kesejahteraan pelakunya) dan secara ekologis (tidak ramah terhadap lingkungan, reduktif terhadap keragaman dan lokalitas). Oleh karena demikian, maka diperlukan model pertanian baru yang mengoreksi pertanian modern, yang lebih menjamin daya saing dan keberlanjutan pertanian Indonesia. Ada beberapa model pertanian alternatif yang teridentifikasi diterapkan di Indonesia dalam 15 tahun terakhir, namun hingga saat ini belum dilabeli sebagai konsep, kebijakan dan model terbaru yang lebih dari per- tanian modern. Tulisan ini bertujuan untuk mengonstruksi model pertanian postmodern.

2. KAJIAN LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Secara historis empiris, jauh sebelum konsep pertanian modern dikonstruksi oleh masyarakat modern, telah ada konsep dan

aktivitas pertanian primitif dan tradisional. Pembeda utama pertanian tradisional dengan pertanian modern terletak dalam penggunaan teknologi. Menurut Reijntjes et al (1992), pertanian modern lebih intensif, akseleratif, ekstensif, produktif dan massal, karena menggunakan input-input terkendali hasil rekayasa (skala industri) yang instan, praktis, berlimpah, padat modal dan didatangkan dari luar agroekosistem. Input- input luar bersifat efisien, cepat (instan), massal dan padat teknologi. Sedangkan pertanian primitif dan tradisional bersifat lamban, padat kerja, ektensif, mengandalkan input internal, ramah lingkungan, berprinsip mencukupi kebutuhan

(bukan maksimalisasi hasil),

mengedepankan proses, keseimbangan dan keberlanjutan.

Sejak dikonstruksi dan dipopulerkan hingga sekarang, terminologi pertanian modern belum tergantikan, masih mapan dan dominan (superior), masih ditempatkan sebagai model terbaru (yang lebih baik dari model primitif dan tradisional) dan masih dipakai secara umum di dunia. Secara formal, FAO (2006) mendefinisikan pertanian modern sebagai “pertanian yang mengoptimalkan produksi, produk dan proses-proses agribisnis terkait lainnya (dari hulu sampai hilir), baik kuantitas maupun mutu melalui penggunaan input eksternal (pupuk kimia, pestisida sintetis, benih unggul dan teknologi canggih)”. Jika demikian, maka pertanyaannya kemudian, adakah model alternatif yang lebih baru dan atau lebih baik dari pertanian modern?

Secara riil, sejak kritik (jika tidak disebut anti-thesis) terhadap mode pertanian modern muncul di tahun 1990an, telah lahir dan digunakan beberapa terminologi pertanian yang lebih dari modern. Reijntjes et al (1992) memberi istilah pertanian masa depan (agriculture future) untuk menyebut pertanian yang lebih baik dari pertanian modern dan berbeda dengan pertanian tradisional. Pada perkembangannya, Reijntjes memberi istilah yang lebih umum terhadap konsepnya, yakni pertanian berkelanjutan, yang didefinisikan sebagai pengelolaan sumber daya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus menjaga, mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumber daya alam. Menurut Rogerset al. (2006), pertanian berkelanjutan adalah “pertanian yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang”. Termaktub didalamnya adalah perlindungan keragaman hayati dan pelestarian SDA (lahan, hutan, air). Sedangkan nilai sosial yang menjadi penciri utama keberlanjutan adalah regenerasi dan kearifan (Don Weaver, 2002; Setiawan, 2015 ).

Pada perkembangannya, pertanian berkelanjutan dipahami secara sempit menjadi pertanian organik (organic farming) sebagai konsep penyederhanaan dari sistem pertanian berkelanjutan. Pertanian organik yang warna tradisionalnya ada, tetapi warna modern dari teknologi ramah

lingkungannya tetap terjaga (Sugarda et al., 2004). Salah satu teknologi pertanian organik yang cukup populer adalah SRI (system of rice intensification). Konsep sistem pertanian berkelanjutan lainnya adalah pertanian terintegrasi (integrated farming) yang lebih menautkan dan mendudukan pertanian dalam konteks agro kompleks (integrasi horizontal) dan agribisnis (integrasi vertikal), baik pada tanaman pangan, horti maupun perkebunan (Reijntjes et al., 1992; Rogers et al., 2006).

Konsep alternatif selanjutnya adalah pertanian berkarakter ekonomi hijau (green economy). Pertanian yang tidak hanya bertujuan menghasilkan pangan dan produk pangan, tetapi juga energi alternatif dan material maju. Istilah baru ramah lingkungan

yang muncul dalam arus utama

(mainstream) konsep pembangunan

berkelanjutan. GIZ (2012) menegaskan bahwa ekonomi hijau tidak seharusnya dilihat sebagai paradigma baru, tetapi lebih merupakan sebuah daya dorong baru untuk merealisasikan visi pembangunan berkelanjutan. Pada prinsipnya, ekonomi hijau berpijak pada perspektif ekologi, yang menurut Ife (2002), menjadi perspektif baru berbagai disiplin ilmu. Adiwibowo (2007) menegaskan bahwa prinsip ekologi menjadi inspirasi baru bagi kalangan intelektual/ akademisi dalam mengembangkan para- digma, paham dan gagasan hijau (green). Seperti halnya pembangunan berkelanjutan, green economy juga memadukan aspek keberlanjutan sosial, ekonomi dan ekologis. Namun karena munculnya lebih merupakan

respon atas berbagai fenomena krisis-krisis lingkungan (environmental response), maka sifat prinsip ekologisnya dangkal (shallow ecology) (Satria et al., 2009; Dharmawan 2010; Setiawan, 2012). Oleh karena itu, meskipun didorong niat baik dan upaya keras, ekonomi hijau belum berhasil mencapai batas ketahanan yang dibutuhkan. Bagaimana mungkin hal baik bagi kesehatan dan lingkungan harus mahal, sehingga hanya terakses oleh orang-orang kaya.

Oleh karena itu, Greer et al., (1999) dan Gunter Pauli (2010) merespon green, mengoreksi ekonomi hijau dan sekalgius menawarkan konsep ekonomi biru (blue economy). Ekonomi biru menjawab keberlanjutan lebih dari sekedar konservasi. Ekonomi biru berhadapan langsung dengan regenerasi. Intinya, bagaimana memastikan ekosistem mampu mempertahankan jalan evolusinya sehingga semua dapat memetik manfaat dari kreativitas, adaptasi dan keberlimpahan alam (sumber daya lokal). Sebuah paradigma ekonomi yang berakar dari ekologi dalam (deep ecology), yang benar-benar ramah lingkungan, yang membirukan seluruh ekosistem (Archie- pelago), baik daratan, lautan maupun udara. Ekonomi biru juga merupakan stimulus ekonomi dan inovasi untuk menghasilkan pekerjaan dan wirausaha di wilayah pedesaan (Setiawan, 2015).

Konsep pertanian alternatif lainnya yang dipandang lebih baik dari modern dan tradisional adalah pertanian beradab, yakni pertanian yang maju (bernilai keberlanjutan),

bertata, beretika, bermoral, berjiwa dan berakhlak. Pertanian yang menjunjung tinggi nilai keberkahan dan kemaslahatan, sehingga menghargai dan melindungi hak- hak seluruh makhluk (pelaku, konsumen, tanaman, ternak, mikroorganisme), lokalitas, generasi sekarang dan yang akan datang, dan lingkungan (lahan, air, udara, iklim, musim, lokasi). Pertanian yang menginovasi, menjaga dan melindungi keseimbangan, keragaman dan keharmonisan sebuah sistem (ecosystem, sociosystem dan geosystem). Pertanian yang menge- depankan relasi antar manusia, manusia dengan tuhan dan manusia dengan alam (tanaman, lahan, ternak, air, udara dan lainnya). Pertanian yang epistemologisnya terbebas dari eksploitasi (linearitas, reduk- sionis deterministik), kendali kolonisasi lanjut dan kreasi-kreasi kapitalisme (Setiawan, 2012).

Secara riil, belum dikenal istilah pertanian postmodern, namun terminologi postmodern sendiri sudah lama dikenal dalam ilmu-ilmu sosial dan dinamika paradigma. Istilah postmodern berkembang dari filsafat dan pemikiran kebudayaan (Jean Baudrillard, J.F.Lyotard, Federico de Onis), sosiologi yang digulirkan Friedrich Wilhelm Nietzsche Sche, dan Jacques Derrida dan diadopsi paradigma alternatif (post-positivistik) yang korektif terhadap paradigma positivistik. Paradigma positivistik sendiri disebut posttradisional (Gidden) yang menjadi pijakan kemodernan (juga pertanian modern) yang secara historis merupakan antithesis dari ketradisionalan. Adorno,

Habermas, Freireu, From, Bordieou dan penganut majhab Frankfurt menyebutnya paradigma alternatif (postpositivistik) dan oleh Nietzsche, Foucault, Heideggar disebut paradigma postmodern.

Mengadaptasi postmodern sebagai paradigma baru (alternatif) yang lahir dari kritik dan krisis yang terjadi pada paradigma positivistik, maka hipotesis yang berkem- bang, pertanian postmodern adalah perta- nian yang bercirikan beradab, maslahat, ekologis (seimbang, berkelanjutan), produk- tif (kreatif, inovatif), menyejahterakan, mengedepankan keberagaman (diversity), mengintegrasikan kecerdasan (spirit, emosi, rasio, sosial), mengedepankan kemungkinan ketimbang kepastian, menjadikan yang mutlak sebagai validasi yang relatif, mengadopsi keterbukaan (divergent) ketim- bang pemusatan (homogen, convergent), mendahulukan yang lokal (spesifik, unik, citizenship) ketimbang yang umum (general, global), senantiasa adaptif-antisipatif dan regeneratif, mengintegrasikan etika dan estetika, menggunakan cara berpikir sistem (kedinamisan), menguatkan daya saing dan membangun kemandirian.

3. METODE PENELITIAN

Penelitian didesain secara terpadu (mixed method) dengan menempatkan metode kuantitatif (survey) secara dominan dan metode kualitatif (indepth interview dan observasi) secara less dominant. Penelitian dilaksanakan di dataran tinggi Provinsi Jawa Barat, dengan lokasi sampel Kabupaten Cianjur (Priangan Barat), Kabupaten

Bandung (Priangan Tengah) dan Kabupaten Garut (Priangan Timur). Penelitian dilaksanakan dari bulan Juli 2013 sampai Oktober 2015. Pelaku agribisnis yang berusia muda (15-40 tahun), berpendidikan tinggi (minimal SMA/SMK/MA) dan berkeahlian, yang berjumlah 7.728 orang (dari tiga lokasi terpilih) ditetapkan sebagai populasi penelitian. Dari populasi tersebut kemudian diambil sampel secara acak sebanyak 280 orang (102 orang di Kab. Cianjur, 75 orang di Kab. Bandung dan 103 orang di Kab. Garut). Untuk wawancara mendalam dipilih secara sengaja 10 informan dari setiap lokasi. Data primer dikumpulkan melalui wawancara terstruktur dengan alat bantu kuesioner, wawancara mendalam dan obeservasi. Sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi terkait melalui studi literatur (desk study). Data yang terkumpul kemudian ditabulasi, diseleksi dan dianalisis secara kuantitatif dan deskriptif.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Secara filosofis, pertanian postmodern adalah pertanian yang berlandaskan filosofi dan kerangka berpikir beradab, maslahat, beragam (diversity), kreatif-inovatif berkelanjutan, eco-logically (deep ecology), eco-nomically (blue economy), eco-socially (succes-regeneration), multi sistem (ecosystem, sociosystem, geosystem), lintas pelaku dan bidang ilmu (transdisiplin), integrasi hollistically (pelaku, pemerintah, pelaku usaha, akademisi, konsumen, masyarakat, infrastruktur, iklim, alam),

berbasis komunitas, berbas dari kolonisasi lanjut dan kreatif kapitalisme. Pertanian postmodern adalah pertanian yang menempatkan usahatani (on-farm) sebagai inti (core) pembangunan pertanian dan atau agribisnis. Pertanian yang terintegrasi secara vertikal maupun horizontal, secara sistemik maupun holistik (ecologis). Dalam konteks ini, konsepsi terintegrasi merujuk pada semua subsistem, semua pelaku dan semua sektor. Usahatani merupakan penentu berjalan dan berlanjutnya seluruh subsistem, pelaku dan sektor terkait, sehingga usahatani dipandang penting dan patut untuk diperhatikan dan menjadi perhatian, patut dilindungi (bukan dieksploitasi) dan patut dikembangkan atau diinovasi oleh semua pelaku terkait dalam sistem pertanian dan agribisnis. Tuntutan konsistensi dan konsekuensinya, semua pihak terkait harus menjaga dan melindungi keberlanjutan usahatani beserta sistem yang melingkupinya (agroecosystem), baik eco- system,sociosystemmaupungeosystem.

Pertanian postmodern adalah perta- nian yang dikelola oleh generasi pelaku yang terdidik dan berkeahlian (brain gain actors), generasi yang berusia muda (20-40 tahun), yang berpendidikan tinggi (SMA/SMK hingga sarjana), yang berpen- didikan non formal (seperti magang, kursus, sekolah lapang dan pelatihan), baik bidang pertanian maupun non pertanian. Pelaku muda yang mengembangkan usaha secara beragam, baik sayuran, pangan, hortikultura, ternak, tanaman perkebunan maupun tanaman kehutanan, baik skala besar,

sedang maupun kecil, baik yang mengelola usaha sendiri, warisan, kemitraan, pengem- bangan maupun rintisan.

Pertanian postmodern adalah pertanian yang diusahakan oleh tiga model pelaku muda. Pertama, pelaku primer yang fokus pada usahatani (on-farm) sayuran yang sudah menjadi tradisi keluarga dan masyarakat. Kedua, pelaku sekunder yang fokus pada usaha off-farm (penyedia input on-farm, input agroindustri), pengolahan, perantara, bandar, supplier, pengelola kelompok, pengrajin dan penyuluh. Ketiga, pelaku tersier yang fokus pada usaha alternatif on-farm dan of-farm (seperti kopi, pisang, jamur, supplier ke supermarket dan rumah makan, pengelola pusat pelatihan pertanian dan pedesaan swadaya [P4S], penangkar benih/bibit, peternak, pelaku pengepakan, pengelola agro-ekowisata, pengelola radio komunitas, penyuluh swadaya) dan ekonomi kreatif. Pelaku tersier yang kreatif dan inovatif merupakan pelaku pertanian postmodern yang sejatinya.

Pertanian postmodern adalah pertanian yang dilakukan dengan memperhatikan keseimbangan, keber- lanjutan dan relasi-relasi sistem, baik inter, antar maupun trans agroekosistem. Pertanian postmodern adalah peranian yang sejalan dengan sistem kerja ekosistem (holistik dan ecologis). Dengan kata lain, pertanian postmodern adalah agribisnis ekologis (eco-agribusiness). Agribisnis eko- logis memiliki karakteristik yang sejalan dengan sistem sosial (socio-eco agri- business), sistem geologis (geoagri-

business) dan model bisnis berbasis ekologis (blue economy).

Melalui agribisnis ekologis, peluang penciptaan lapangan kerja dan usaha baru tidak akan dibangun melalui pendekatan “manu” faktur, tetapi akan muncul dari “eco” faktur yang berjalan seperti pencapaian sebuah ekosistem. Eco-factur akan berjalan menggantikan proses-proses linear dan komuflase hijau. Limbah akan menjadi sumber daya kembali, material yang tersedia secara lokal akan terintegrasi ke dalam alur material lainnya, standar pasar akan berubah dan ide-ide kreatif akan menjadi pemula norma bisnis yang stagnan dimana dominasi selama ini berubah pada aliran pemasukan. Budaya melindungi dan mematuhi akan berkembang dan men- dorong regenerasi mengoreksi kesalahan masa lalu dan penciptaan peraturan baru (Pauli 2010).

Model agribisnis ekologis ditawarkan karena sejalan dengan upaya mewujudkan keberlanjutan (termasuk dalam frame Sustainable Development Goals [SDGs]), kesejahteraan dan kebahagiaan. Ada beberapa keunggulan dari model agribisnis ekologis, diantaranya: (1) menyinergikan keberlanjutan sosial, ekonomi, ekologi, teknologi dan institusi (kelembagaan); (2) menyinergikan pengetahuan setempat [tacit knowledge] dengan pengetahuan adaptif yang bersumber dari luar [explicit knowledge] sebagai wujud implementasi manajemen pengetahuan (knowledge management); (3) menyinergikan sistem agribisnis (system of agribusiness), sistem

sosial (socio-system), lingkungan (eco- sysem) dan sisem geologiss (geo-system); (4) menyinergikan modal sosial, modal ekonomi, modal teknologi, modal alami, modal manusia, modal fisik, modal informasi, modal institusi dan modal energi; (5) menyinergikan model bisnis ekonomi biru (blue economy) dengan pendekatan pengembangan masyarakat, kemitraan dan regenerasi dalam mewujudkan “eco-facture” dan menggeser pendekatan “manu-facture”; (6) mengganti manajemen rantai supply (supply chain management) dengan manajemen siklus nilai (value cyclick management) dengan menyinergikan eco- facture, value-ecocreation, keunikan/ spesifikasi lokal, pasar dan value capture; dan (7) mengantisipasi kemungkinan degradasi lingkungan, tidak produktifnya sumber daya manusia (aging), berhentinya inovasi dan meningkatnya residu (sampah) agribisnis melalui fasilitasi, advokasi dan aplikasi teknologi konvergensi (cyber extension, rural innovation center, dan lainnya).

Pertanian postmodern adalah perta- nian yang bersifat mengintegrasikan, mengolaborasikan, menautkan, menjem- batani, mengikat dan melibatkan berbagai pihak terkait (multiple helix) dengan menggunakan pendekatan yang bersifat plural (pluralistic method). Komunitas sebagai otoritas pengelola usahatani dan diversifikasi berbagai produk turunannya merupakan pusat dalam model multiple helix. Dengan demikian, maka penciptaan wirausaha dan lapangan kerja tercipta dan

terjadi dalam banyak ruang, termasuk di pedesaan, pulau-pulau, wilayah pedalaman dan wilayah-wilayah strategis. Pendekatan kepada pelaku pertanian postmodern tidak dapat dilakukan secara parsial, tetapi plural (ragam metode, ragam, teknik, ragam alat bantu, ragam sumber).

Pertanian postmodern adalah perta- nian transdisiplin yang mengintegrasikan pertanian dengan estetika (desain, arsitektur dan seni), baik untuk melakukan perombakan desain, perbaikan bentuk, peragaman rupa, membuat varian, men- desain (wadah, kemasan, bahasa dan mempercantik produk) maupun untuk peningkatan nilai tambah dari proses dan pelayanan. Desain menyangkut kedayaan estetik (daya penyadar, daya pembelajar dan daya pesona), peragaman rupa (seperti gaya dan tema) dan keadaban (apresiasi, kualitas, kesantunan, nilai, norma, cita, kebaruan, keberpihakan dan regenerasi). Keragaman agribisnis dapat didesain dalam bentuk “eco-design, green product, blu- product, green-craft, low-energy, sustainble- design, bio-design, blue-design, foods- design, foods-pill, bio-fractal” dan lainnya. Untuk itu, partisipasi aktif para seniman, desainer dan arsitek dalam menguatkan agribisnis menjadi sangat penting, terutama untuk meningkatkan nilai tambah keunikan yang menjadi penciri utama daya saing berkelanjutan. Estetika juga terkait dengan branding, baik promosi berteknologi, pameran, publikasi dalam berbagai ruang dan media, serta ekspor karya-karya desain.

5. KESIMPULAN

Pertanian postmodern bukan pertanian tradisional, berbeda dengan pertanian modern dan lebih dari sekedar berkelanjutan. Pertanian (dan atau agribisnis) postmodern adalah pertanian yang beradab (humanis), maslahat (melindungi, menghargai, berkah, berkebajikan), ekologis (sistemik, holistik), berkelanjutan (produksi, diversifikasi, distrik- busi, konsumsi, regenerasi), produktif (kreatif, inovatif), integratif, adaptif, variatif dan berbeda (divergent), ramah lingkungan, diusahakan oleh generasi yang terdidik dan berkeahlian, menempatkan usahatani seba- gai inti (core) dari sistem pertanian/agribisnis, dilakukan secara kolektif dan kolaboratif dalam komunitas yang terintegrasi dengan berbagai pihak yang multi dan trans disiplin (multiple helix), berbasis keunikan dan kearifan sumber daya lokal (sustainable competitiveness), bernilai tambah tinggi pada seluruh sistem, menciptakan wira- usaha mandiri dan lapangan kerja di berbagai ruang, mendapat pemihakan sosial ekonomi politik dari bangsa (konsumen dan masyarakat) dan negara, serta menggu- nakan pendekatan pemberdayaan yang adaptif-pluralistik (community polypalen). Rekomedasinya, diperlukan payung hukum untuk melegalisasi, menginternalisasi dan melembagakan pertanian postmodern.

DAFTAR PUSTAKA

Adiwibowo S. 2007. Paradigma, Perspektif dan Etika Ekologi: dalam Bunga Rampai Ekologi Manusia. Bogor (ID): Fakultas Ekologi Manusia IPB.

Dharmawan AH. 2010. Antropologi Budaya, Sosiologi Lingkungan dan Ekologi Politik. Bunga Rampai Ekologi Manusia. Fakultas Ekologi Manusia IPB, Bogor. Don Weaver. 2002. To Love And

Regenerate The Earth: Further Perspectives On The Survival of

Civilization. Earth Health Regeneration. Woodside, CA 94062-0478. e-mail: earthdon@yahoo.com

[FAO] Food and Agricultural Organization. 2005. Food Outlook Number 4. Roma [GIZ] Gesellschaft fur Internationale

Zussamenarbeit. 2012. Integrating Ecosystem Services into Development Planning. Eschborn, Germany.

Greer J, K Bruno. 1999. Komuflase Hijau: Membedah Ideologi Lingkungan

Perusahaan-Perusahaan Transnasional. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia. Gunter Pauli. 2010. The Blue Economy: 10

Tahun, 100 Inovasi, 100 Juta Pekerjaan. Terjemahan. Jakarta (ID): Akast

Publsihing.

Ife J, F Tesoriero. 2010. Community

Development: Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi. Edisi ke- 3. Alih Bahasa oleh Sastrawan

Manullang, Nurul Yakin dan M. Nursyahid. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar.

Raghib As-Sirjani. 2015. The Harmony of Humanity: Teori Baru Pergaulan Antar Bangsa Berdasarkan Kesamaan Manusia. Pustaka Alkautsar. Jakarta Reijntjes C, Bartus H, Water-Bayer. 1992.

Pertanian Masa Depan. Yogyakarta (ID): Kanisius.

Rogers P, KF Jalal, JA Boyd. 2006. An Introduction to Sustainability

Development. Massachusetts (US): The Continuing Education Division, Harvard- University and Glen Educational

Foundation.

Satria, A. 2007. Ekologi Politik: dalam Bunga Rampai Ekologi Manusia. Bogor (ID): Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor.