• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 1 Kerangka Strategi Pengembangan Daya Saing Pisang Mas Kirana Kabupaten Lumajang pada Software Super Decisions

ANALYSIS COMPETITIVENES OF SOYBEAN FARMING SYSTEM IN EAST JAVA AND SOUTH SULAWESI PROVINCE

2. METODE PENELITIAN a Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian diambil secara sengaja (purposive) di propinsi Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, dimana kedua provinsi tersebut merupakan sentra produksi kedelai di Jawa dan Luar Jawa. Dengan mengambil lokasi pada sentra-sentra produksi kedelai tersebut, diharapkan dampak kebijakan yang ada

akan lebih terlihat karena kedua lokasi tersebut banyak rumah tangga petani dan penggunaan input dalam usaha tani kedelai.

Penelitian menggunakan data struktur ongkos usaha tani palawija tahun 2014 dan 2015 yang dikeluarkan oleh Dinas Pertanian setempat sebagai data dasar dan data pendukung lainnya.

b. Metode Analisis

1.

Alokasi Komponen Biaya

Dibagi atas komponen biaya tradable (kedelai, pupuk kimia, dan pestisida) dan komponen biaya non- tradable (pupuk hijau, tenaga kerja, bunga modal, irigasi, tanah dan pajak)

2.

Policy Matrix Analysis (PAM)

Menurut Monkey dan Pearson, Model PAM dapat memberikan pemahanan lebih lengkap dam konsisten terhadap semua pengaruh kebijakan dan kegagalan pasar pada penerimaanm biaya dan keuntungan dalam usaha tani pertanian secara luas. Konstruksi Model PAM dapat dilihat pada Tabel 1. Tiga isu yang menyangkut prinsip-prinsip model PAM, yaitu : (1) Dampak kebijakan terhadap daya saing dan tingkat profitabilitas pada system usaha tani, (2). Pengaruh kebijakan investasi pada tingkat efisiensi ekonomi dan keunggulan komparatif, dan (3)

pengaruh kebijakan penelitian pertanian.

3.

Keunggulan Komparatif.

Keunggulan komparatif

merupakan konsep untuk

membandingkan usaha tani dan perdagangan di dalam negeri dengan perdagangan dunia. Indikator keunggulan kompratif digunakan untuk mengetahui apakah suatu negara memiliki keunggulan ekonomi untuk memproduksi suatu komoditas.

Indikator keunggulan kompratif adalah nilaiDomestic Resources Cost Ratio (DRCR). DRCR menunjukan jumlah sumberdaya domestic yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu unit output. Semakin kecil nilai

DRCR maka semakin tinggi

keungulan komparatifnya.

4.

Keunggulan Kompetitif

Keunggulan kompetitif dapat didekati dengan menghitung keuntungan private (Monke dan Pearson). Keuntungan private merupakan indicator daya saing berdasar teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan.

Indikator untuk mengukur keunggulan kompetitif ditunjukan oleh nilai Private Cost Ratio (PCR). Nilai PCR kurang dari satu maka komoditas tersebut mempunyai

Tabel 1 KonstruksiModel Policy Analysis Matrix. Komponen Penerimaan Biaya Keuntungan Input yang diperdagangankan Faktor Domestik Harga Private A B C D Harga Sosial E F G H Pengaruh Divergensi I J K L Keterangan : Daya Saing :

1. Keuntungan Private (D) = A-B-C 2. Keuntungan Sosial (H) = E-F-G

3. Keunggulan Komparatif (DRCR) = G/(E-F) 4. Keunggulan Kompetitif (PCR) = C/(A-B)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Struktur Biaya Usaha Tani Kedelai Berdasarkan perhitungan pada Tabel 2 terlihat bahwa pada tahun 2014 nilai keuntungan usaha tani kedelai diprovinsi Jawa Timur dan Sulawesi Selatan lebih besar dibandingkan pada tahun 2015. Terjadi penurunan keuntungan di Jatim sebesar Rp. 201,5 ribu dan di Sulsel Rp 288,2 ribu. Penurunan keuntungan tersebut

disebabkan karena menurunya

penerimaan petani dan meningkatnya biaya faktor domestik. Di Jatim

penurunan penerimaan petani

diakibatkan karena menurunnya produktivitas dan harga kedelai. Selain itu penurunan penerimaan petani tersebut diakibatkan karena peningkatan harga faktor domestik.

Penurunan keuntungan usaha tani kedelai di Sulsel disebabkan karena penurunan harga kedelai dari Rp.

7.000/kg menjadi Rp. 6.500/kg. Hal tersebut mengakibatkan penerimaa petani juga menurun. Selain itu juga disebabkan karena penurunan produksi kedelai per ha. Jika dibandingkan usaha tani kedelai dikedua provinsi, maka usaha tani kedelai di Sulsel lebih tinggi dibandingkan di Jatim. Hal ini disebabkan karena produktivitas kedelai di Sulsel lebih tinggi dan harga input tradablenya lebih murah.

Sehubungan dengan hal

tersebut, maka upaya untuk

meningkatkan keuntungan usaha tani kedelai di Jatim dan Sulsel disarankan untuk tetap menjaga produktivitiasnya, karena harga private (harga yang diterima petani) masih menguntungkan. Sedangkan untuk pengembangan usaha tani kedelai kedepan disarankan dilakukan di luar Jawa. Hal tersebut didasarkan karena lahan diluar Jawa masih tersedia, dan kajian penelitian ini,

usaha tani di Sulsel lebih menguntungkan dibandingkan di Jatim.

Tabel 2 Struktur Biaya Usaha Tani Kedelai di Jatim dan Sulsel, 2014-2015 (Rp.000/ha)

Uraian Jatim Selisih Sulsel Selisih

2014 2015 2014 2015

Penerimaan 3.410,5 3.251,6 (158,9) 3.237,5 2.941,2 (296,3)

Biaya input tradable (Benih, pupuk kimia, pestisida)

547,9 490,5 (57,4) 268,2 260,1 (8,1)

Biaya Faktor Domestik (TK, sewa alat, irigasi, sewa lahan)

1.528,9 1.628,9 100,0 1.588,5 1.588,5 0

Profit 1.333,7 1.132.2 (201,5) 1.380,7 1.092,5 (288,2)

Sumber : Dinas Pertanian Propinsi Jatim dan Sulsel, 2014-2015 Keterangan : Angka dalam kurung menujukkan penurunan

b. Analisis Daya Saing

Analisis daya saing berdasarkan analisi model PAM dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3Analisis PAM Usaha Tani Kedelai di Jatim dan Sulsel 2014-2015

No Rasio Jatim Sulsel

2014 2015 2014 2015

1 NPCO (Nominal Protection Coefficient Output) 1.23 1.18 1.17 1.15 2 NPCI (Nominal Protection Coefficient Input) 1.07 1.06 1.05 1.03

3 PCR (Private Cost Ratio) 0.53 0.59 0.54 0.59

4 DRCR (Domestic Resources Cost Ratio) 0.67 0.71 0.63 0.69

5 EPC (Effective Protection Coefficient) 1.26 1.20 1.18 1.16

6 PC (Profitability Coefficient) 1.80 1.69 1.49 1.50

Sumber : Analisis Data Sekunder

1.

NPCO (Nominal Protection Coefficient Output)

NPCO merupakan rasio penerimaan pada harga private dengan harga sosial. Rasio ini menunjukkan seberapa besar harga private berbeda dengan harga sosialnya. NPCO merupakan indicator

proteksi output akibat suatu kebijkan pada output usaha tani kedelai. Nilai NPCO>1 mengindikasikan adanya proteksi berupa subsidi outputnya, sebaliknya NPCO<1 menngindikasikan tidak adanya proteksi.

Nilai NPCO usaha tani kedelai di Jatim dan Sulsel masing-masing adalah 1.18 dan 1.15. Nilai NPCO > 1 berarti pemerintah memberikan proteksi pada sisi output, sehingga harga actual kedelai di Jatim lebih tinggi 18% dan di Sulsel lebih tinggi 15%. Nilai NPCO yang lebih besar dari satu ini bukan disebabkan karena adanya proteksi terhadap kedelai di dalam negeri, tetapi lebih diakibatkan karena rendahnya harga sosial. Rendahnya harga sosial tersebut diakibatkan karena politik dumping di negara produsen utama kedelai.

2.

NPCI (Nominal Protection Coefficient Input).

NPCI merupakan ratio untuk mengukur tingkat proteksi pada input tradable (benih, pupuk kimia dan pestisida). NPCI merupakan rasio biaya input tradable pada harga private dengan biaya input tradable pada harga sosialnya. Nilai NPCI <1 mengindikasikan adanya proteksi berupa subsidi input tradable, begitu pula sebaliknya. Berdasarkan hasil perhitungan analisis PAM nilai NPCI usaha tani kedelai di Jatim nilain > 1. Hal ini berarti tidak ada proteksi terhadap input tradablenya.

3.

EPC (Effective Protection Coefficient)

EPC merupakan perbandingan nilai tambah pada harga private (domestic)

dengan nilai tambah pada harga dunia (sosial). EPC merupakan indicator tingkat proteksi pada sisi input maupun output secara simultan. Nilai EPC >1 berarti mengindikasikan adanya proteksi secara simultan pada input maupun output, begitu juga sebaliknya.

Berdasar analisis PAM nilai EPC di Jatim dan Sulsel bernilai > 1. Hal ini mengindikasikan adanya proteksi dari kebijakan usaha tani kedelai pada sisi input-Outputnya. Tetapi pada kenyataanya usaha tani kedelai di kedua propinsi tidak mendapat proteksi baik dari sisi output maupun inputnya. Nilai EPC>1 diduga karena penerimaan dan biaya input tradable pada harga sosial jumlahnya lebih kecil dibandingkan penerimaan dan biaya input tradable pada harga private, sehingga rasio nilai tambah pada harga private dibanding pada harga soosial nilainya >1.

4.

PCR (Private Cost Ratio)

PCR merupakan indikator daya saing kompetitif usaha tani kedelai disuatu wilayah berdasarkan harga private. Keunggulan kompetitif merupakan perbandingan usaha tani pada suatu wilayah yang sama dengan komoditas yang berbeda. Nilai PCR>1 mengindikasikan usaha tani tidak mempunai daya saing, begitu juga sebaliknya.

Hasil analisis PCR di Jatim dan Sulsel mempunyai nilai <1. Hal ini

menunjukkan bahwa usaha tani kedelai di kedua propinsi mempunyai keunggulan kompetitif di banding komoditas lainnya. Indokator untuk mengukur daya saing adalah dengan melihat keuntungan dari usaha tani tersebut. Usaha tani kedelai di Jatim dan Sulsel masih menguntungkan pada periode tersebut.

Usaha tani kedelai di kedua propinsi masih memiliki daya saing. Hal ini diduga karena harga kedelai di Jatim dan Sulsel masih lebih tinggi dibandingkan dengan harga kedelai impor, sehingga masih mendapat keuntungan.

5.

DRCR (Domestic Resources Cost Ratio)

DRCR merupakan indikator untuk mengukur keunggulan komparatif usaha tani kedelai pada harga sosial. Keunggulan komparatif merupakan perbandingan suatu usaha tani disuatu wilayah dengan wilayah lain dengan komoditas yang sama. Nilai DRCR <1 mengindikasikan bahwa usaha tani kedelai mempunyai keunggulan komparatif, begitu juga sebaliknya.

Berdasarkan hasil analisis PAM, nilai DRCR usaha tani kedelai di Jatim dan Sulsel mempunyai nilai kurang dari satu. Hal ini berarti usaha tani kedelai di Jatim dan Sulsel mempunyai keunggulan komparatif atau dengan kata lain faktor domestiknya digunakan secara efisien. Nilai DRCR yang lebih

kecil dari satu disebabkan karena penerimaan pada harga sosial lebih besar dibandingkan biaya input tradable-nya akibat subsidi domestic di negara produsen.

6.

PC (Profitability Coefficient)

PC merupakan indicator untuk mengukur keuntungan pada harga private dibandingkan keuntungan pada harga sosial. Nilai PC >1 mengindikasikan keuntungan usaha tani pada harga private lebih besar dibandingkan pada harga sosial, begitu juga sebaliknya.

Nilai PC di kedua provinsi mempunyai nilai >1, yang berarti keuntungan pada harga private lebih besar dibandingkan pada harga sosialnya. Hal ini disebabkan karena harga sosial kedelai lebih murah akibat faktor dumping.

Untuk meningkatkan keunggulan kompetitif dan komparatif usaha tani kedela, disarankan agar pemerintah menerapkan kebijakan tarif impor sepanjang tidak bertentangan dengan komitmen perdagangan internasional. Selain itu kebijakan yang diambil hendaknya tidak mendistorsi pasar, mengingat kondisi perdagangan dunia saat ini yang tidak adil dimana tingkat harga dunia tidak mencerminkan efisiensi yang sebenarnya. Namun mengingat kebijakan proteksi tersebut dihadapkan pada berbagai kesepakatan dalam WTO, maka dalam jangka

panjang disarankan agar pemerintah dapat menerapkan kebijakan yang

dapat mendorong peningkatan

produktivitas kedelai dalam negeri, seperi penyediaan varietas unggul, teknologi pemupukan dan penyediaan lahan pendukung.

c. Analisis Profitabilitas (Net Transfer) Tingkat profitabilitas usaha tani kedelai diukur dengan pendekatan nilai Net Transfer dari Matrix PAM. Net Transfer merupakan indikator profitabilitas usaha tani kedelai. Nilai Net Transfer > 0 mengindikasikan bahwa keuntungan usaha tani kedelai pada tingkat harga private lebih tinggi dibanding pada harga sosialnya, sehingga usaha tani dikatakan menguntungkan pada harga aktual.

Tabel 4 Nilai Net Transfer Usaha Tani Kedelai di Propinsi Jatim dan Sulsel, 2014-2015 Propinsi Tahun 2014 2015 Naik/Turun Jawa Timur 593.144 463.919 (129.225) Sulawesi Selatan 455.175 366.468 (88.707)

Sumber : Analisis Data Sekunder

Dari Tabel 4 terlihat bahwa Net Transfer usaha tani kedelai > 0. Hal ini mengindikasikan bahwa usahatani kedelai dikedua provinsi masih menguntungkan ditingkat harga private dibandingkan pada harga sosialnya. Usaha tani kedelai lebih menguntungkan pada harga actual sebagai

akibat proteksi output dan subsidi input pada harga sosial dinegara produsen utama.

Dari hasil pembahasan dapat dilihat bahwa usaha tani kedelai di provinsi Jawa Timur dan Sulawesi Selatan masih menguntungkan. Hal ini tercermin dari nilai Net Transfer yang bernilai positif dikedua provinsi tersebut. Net Transfer yang bernilai positif mengindikasikan bahwa keuntungan usaha tani kedelai pada harga private lebih tinggi dibandingkan pada harga sosial

4. KESIMPULAN DAN SARAN a. Kesimpulan

1. Secara umum usaha tani kedelai di provinsi Jawa Timur dan Sulawesi Selatan masih menguntungkan pada tingkat harga aktual dibandingkan pada harga sosial. Hal tersebut tercermin dari nilai Net Transfer yang lebih besar dari nol.

2. Usaha tani kedelai di provinsi Jatim dan

Sulsel mempunyai keunggulan

kompetitif dan komparatif. Keunggulan kompetitif terlihat dari nilai PCR yang lebih dari satu, sedangkan keunggulan komparatif tercermin dari nilai DRCR usaha tani kedelai yang juga lebih dari satu.

3. Dampak divergensi di sisi input menunjukkan harga private yang lebih tinggi dibanding harga sosialnya akibat distorsi pasar. Hal ini mengakibatkan petani membayar harga faktor produksi di pasar lokal lebih mahal dibanding di

pasar internasional. Sementara dari sisi output, petani mendapatkan harga output yang lebih rendah daripada yang seharusnya mereka terima jika menggunakan harga sosial.

b. Saran

1. Dalam jangka pendek pemenuhan kebutuhan kedelai dalam negeri lebih efisien dipenuhi dengan cara impor. Sumberdaya yang tersedia sebaiknya dialokasikan untuk pengembangan komoditas lain yang memiliki daya saing lebih tinggi sebagai komoditas pesaing, yaitu padi dan jagung.

2. Dalam jangka panjang dan dalam

rangka mendukung swasembada

kedelai dan ketahanan pangan nasional, pemerintah perlu meningkatkan keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif usaha tani kedelai. Dukungan tersebut terutama adalah penyediaan lahan dan insentif harga yang layak bagi petani.

DAFTAR PUSTAKA

Hadi, P.U dan S. Mardiyanto, 2010. Analisis Komparasi Daya Saing Produk Ekspor Pertanian antar Negara ASEAN dalam Perdagangan

Bebas AFTA. Journal Agro

Ekonomi, 22 (1) : 46-73

Sayekti, A.L dan L. Zamzami. 2009. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Jeruk Siam di Sentra Produksi. Widyariset, Vol. 14 No 1: 1-9

Handayani, T. 2010. Simulasi Kebijakan Daya Saing Kedelai Lokal pada Pasar Domestik. Jurnal Teknologi Industri Pertanian Vol. 19(1), 7-15 Cuiling, Y.U. 2009. Quantitative Analysis on

Comparative Advantage and International Competitiveness of Soybean in China. (http://en.cnki.com.cn/Article_en/CJF DTOTAL -NXDH200501007, diakses 11 Juni 2014). Saliem, H.P. dkk., 2004. Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap

Kinerja Ketahanan Pangan

Nasional. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Jakarta

Silitonga, C.B. Santoso dan N. Indiarto. 2005. Peranan Kedelai dalam Perekonomian Nasional. Dalam Amang. et all. Ekonomi Kedelai di Indonesia. IPB Press. Bogor

Aji, M. Joni. 2012. Analisa Efisiensi dan Daya Saing Usaha tani Kedelai di Jember. Laporan Hasil Penelitian. Fakultas Pertanian Universitas Jember. Jember

Anonim. 2000. Table Input-Output Indonesia 1995. BPS. Jakarta ______. 2014. Struktur Ongkos Usaha

Tani Kedelai di Jatim. BPS. Surabaya

______. 2015. Struktur Ongkos Usaha Tani Keelai di Sulsel. Makasar BPS. Statistik Pertanian. Tahun 2008,

Kementerian Pertanian. 2009. Kinerja Sektor Pertanian tahun 2009-2014. Kementerian Pertanian, Jakarta. _______. 2009. Rencana Strategis

Kementerian Pertanian 2009-2014. Kementerian Pertanian, Jakarta Monke, E.A & S.R Pearson. 1989. The

Policy Analysis Matrix for Agricultural Development. Cornel University Press. Ithaca and London.

Wiendiyati et. All. 2012. Dampak Kebijakan Tarif Impor dan Biaya Transportasi Kedelai di NTT. Laporan Penelitian. Universitas Nusa Cendana. Kupang.

Zakaria, A.K, et. All. 2010. Analisis Daya Saing Komoditas Kedelai Menurut Agro Ekosistem : Kasus di Tiga Provinsi di Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi, Vol.28 No.1.

KENDALA DALAM PENINGKATAN DAYA SAING KOPI ARABICA DI ACEH