• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Pengembangan Agribisnis

MEDAN GLOBAL

Wahyu Riawanti1)

1)BKPP DIY

Abstrak

Keamanan pangan menjadi concern yang semakin penting dengan semakin mengemukanya

globalisasi dan perdagangan dunia. Perannya tidak hanya dalam meningkatkan nilai tambah komoditas pertanian, tetapi menjadi syarat utama kegiatan ekspor impor terutama pangan segar. Sayangnya untuk memenuhi syarat tersebut setiap pemerintah negara dihadapkan pada regulasi perdagangan bebas yang sering sulit untuk dipenuhi. Dalam konteks ini dikhawatirkan aspek keamanan pangan menjadi kendala bagi daya saing komoditas pertanian terutama komoditas pertanian lokal. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana pemerintah dan petani menerjemahkan masalah daya saing tersebut melalui implementasi regulasi keamanan pagan bagi komoditas pangan lokal. Sertifikasi Salak Pondoh di Yogyakarta dipakai sebagai studi kasus kebijakan. Metode penelitian menggunakan triangulasi data dan analisis berupa data primer hasil pengawasan selama tahun 2014 sampai 2015. Data didapatkan dari hasil pengawasan pada di 7 (tujuh) kelompok tani yang dilakukan oleh BKPP dan data kualitatif lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa indikator yang dianggap paling penting bukanlah substansi sertifikasi dalam meningkatkan daya saing. Tiga indikator tersebut adalah: (a) hasil akhir berupa sertifikat, (b) transparansi program dan (c) kedekatan personal antara petugas dan penerima program kegiatan. Pangan aman telah menjadi kesadaran bagi petani produsen tetapi belum telah menjadi laku dari pelaku kebijakan secara keseluruhan. Meskipun proporsi dan intensitas dukungan pemerintah semakin meningkat, kebijakan ini tidak banyak memberikan dampak berupa daya ungkit bagi petani produsen secara signifikan. Oleh karenanya diperlukan strategi yang lebih tepat sasaran sehingga program pemerintah memberikan manfaat yang nyata.

Kata kunci: keamanan pangan, komoditas pertanian, perdagangan bebas

1. PENDAHULUAN

Sejalan dengan semakin menge- mukanya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), sektor pertanian juga dituntut untuk memajukan perannya. Pada sektor ini tuntutan tersebut meliputi kuantitas dalam basis produksi maupun kualitas yang menjadi indikator utama daya saing pertanian. Kualitas komoditas pangan, salah satunya diwujudkan dengan peningkatan mutu keamanan pangan.1 Karenanya

pemerintah mengusahakan peningkatan

1

PP No. 28 tahun 2004 tentang Mutu dan Keamanan Mutu dan Gizi Pangan

awareness keamanan pangan tersebut sampai pada level daerah melalui serangkaian kebijakan dan regulasi keamanan pangan. Kajian ini berusaha untuk memberikan gambaran Kebijakan Keamanan Pangan terutama komoditas pangan segar2. Untuk memberikan kebaruan, penelitian ini mengambil studi kasus keamanan pangan pada komoditas pertanian lokal di Yogyakarta dalam rangka Masyarakat Ekonomi ASEAN.

2

Terminologi yang dipakai adalah PSAT (Pangan Segar Asal Tumbuhan). Proses sertifikasi PSAT terkait keamanan pangan tersebut menjadi kewenangan pemerintah daerah.

Penelitian ini merupakan respon dari kenyataan rendahnya daya saing dan ketidaksiapan sektor pangan dan pertanian dalam menghadapi perdagangan dunia. Ke(tidak)siapan sektor pertanian kita tidak dapat dilepaskan dengan kondisi para petani produsen tingkat lokal yang melakukan budidaya secara konvensional dan subsisten. Gap teknologi dan pengetahuan menjadi faktor utama sehingga cita-cita keamanan pangan nasional sering tidak mampu diterjemahkan oleh petani maupun lembaga tingkat lokal. Karenanya beberapa kasus masih sering dijumpai terkait dengan sertifikasi keamanan pangan. Pada tahun 2014 ditemukan sejumlah kasus seperti ekspor “manggis berbuah salak” (BKPP, 2015). Pada aktivitas ekspor ke Tiongkok ijin ekspor dan sertifikat buah manggis disalahgunakan untuk komoditas salak dan menjadi contoh lemahnya daya tawar pemerintah Indonesia dalam perang perdagangan dunia.

Kajian ini berusaha mengungkapkan bagaimana sesungguhnya isu keamanan pangan diterjemahkan melalui regulasi kemudian diimplementasikan oleh pelaku usaha termasuk petani produsen dalam konteks daya saing dan perdagangan bebas. Tulisan akan dibagi menjadi dua yaitu (1) regulasi sertifikasi keamanan pangan di tingkat daerah, dan (2) sejauh mana konsep agenda keamanan pangan dapat diterima (sebagai laku, tidak sekedar

informasi searah) di tataran petani

produsen.

Dukungan pemerintah semestinya diberikan bukan sebagai kebijakan “pemadam kebakaran” yang bersifat sementara. Beberapa negara yang terbukti dapat memajukan sektor pertanian dilaporkan memiliki kebijakan berupa dukungan pemerintah yang telah kuat mengakar. Sektor pertanian di Jepang telah melewati masa Restorasi Meiji yang sulit pada akhir abad 19, sedangkan di Korea kebijakan Semaul Undong berhasil mengakarkan konsep pertanian organik secara luas. Pemerintah Vietnam dengan kebijakan Doi Moi dapat mengubah negaranya dari predikat importir beras menjadi eksportir beras. Sementara itu Thailand dengan serangkaian perjalanan panjangnya dapat mencapai predikat negara terbaik dalam hal varietas pertanian unggul “serba Bangkok”.

Regulasi mendorong keamanan pangan melalui sertifikasi juga tidak khas Indonesia. Meski demikian karakter kebijakan ini sangat berbeda jika dibandingkan antara Indonesia dengan negara Asia lain yang memiliki inovasi dan teknologi tinggi pada budidaya pertani- annya. Keamanan pangan dianggap sebagai tantangan bagi negara yang siap dengan transfer teknologi, tetapi semata- mata menjadi kutukan bagi negara yang sesungguhnya tidak siap menghadapi globalisasi.

Globalisasi pangan dan perdagangan bebas terkait erat dengan Berdirinya World Trade Organization (WTO) pada tahun 1995

yang mempengaruhi peta kekuatan perdagangan bebas secara signifikan dan juga mempengaruhi cara bagaimana pemerintah suatu negara memberlakukan aturan domestiknya (Silverglade, 2000: 517). Perkembangan perdagangan bebas pada gilirannya menciptakan masalah keamanan pangan yang baru. Selanjutnya, dalam merespon masalah baru tersebut dilakukan perubahan besar dalam pengukuran keamanan pangan dengan apa yang disebut Sanitary and Phytosanitary (SPS) Measures Agreement yang harus disepakati secara internasional. Sayangnya SPS tersebut hanya sebagian kecil memenuhi harapan dan sekadar menjadi metode tentang bagaimana antar negara dapat melangsungkan kegiatan ekspor impor.

Masalah keamanan pangan yang muncul kemudian membuka peluang untuk mengatasinya dengan peningkatan input pertanian yang berperan pada awal budidaya. Karenanya penelitian di bidang bibit berkualitas dianggap penting. Penelitian varietas beras oleh Rockefeller (GRAIN dalam McMichael, 2001) yang didanai oleh Uni Eropa menghasilkan varietas baru yang diharapkan dapat mengatasi kelangkaan pangan. Sayangnya bibit unggul dimaksud justru merupakan alat bagi industri pangan transgenik. Terkait nutrisi dan keamanan pangan kajian McMichael (2001) tersebut mengonfirmasi bahwa Golden Rice yang diharapkan

menjadi jalan keluar justru menjadi masalah ketimbang solusi.

Di level pemerintah negara berkembang, isu keamanan pangan diterjemahkan dengan lebih beragam lagi. Salah satu hambatan adalah bahwa produk pangan segar memiliki inelastisitas income yang tinggi terutama terhadap permintaan. Pun itu belum termasuk hambatan lain yang sifatnya tradisional.

Meskipun komoditas pangan segar adalah potensi besar bagi negara LDC’s

(Least Developed Countries), komoditas ini memiliki hambatan besar karena beresiko tinggi terkait syarat keamanan pangan. Akibatnya eksportir, termasuk petani lokal Indonesia, harus menguasai syarat keamanan pangan tersebut sehingga dapat memenuhi standar keamanan yang diberlakukan. Karenanya sertifikasi “from

farm to table”menjadi sangat penting. Pada

saat yang sama publik menuntut penerapan dan standar Hazard Analysis and Critical Point (HACCP), sehingga petani produsen (komponen utama produsen pangan dari negara LDC’s) mendapatkan tekanan yang lebih untuk meningkatkan sistem manajemen kualitas. Pertanyaannya kemudian adalah apakah standar keamanan pangan yang lebih tinggi akan menjadi bencana bagi kegiatan pertanian lokal, atau sebaliknya dapat mendorong investasi yang lebih besar untuk produksi yang lebih bernilai tambah. Hal ini tergantung pada kebijakan dan tindakan publik yang dilakukan oleh pemerintah.

Sertifikasi oleh pihak ketiga, saat ini muncul sebagai mekanisme baru dalam tatanan sistem pangan global (Hatanaka, 2005). Secara konvensional, pengawasan mutu dan keamanan pangan dilakukan oleh lembaga pemerintah. Meski demikian, globalisasi pangan yang menjadi lebih mendunia menuntut peran pihak ketiga dalam melakukan sertifikasi. Perkembangan ini selanjutnya mencipta -kan konfigurasi baru dalam tatanan sosial ekonomi dan politik. Hasil kajian Hatanaka menunjukkan bahwa keberadaan sertifikasi oleh pihak ketiga tersebut menunjukkan kekuatan atas keberadaan supermarket yang mengen- dalikan sistem pangan global. Pada saat yang sama sertifikasi oleh pihak ketiga tersebut juga menjanjikan alternatif pengawasan yang menghasilkan praktik budidaya maupun lingkungan yang lebih berkelanjutan (Hatanaka, 2005).

Tak pelak lagi, negara yang paling menderita secara dampak sosial karena pengenalan teknologi dalam perdagangan dunia adalah negara yang terbelakang dan tidak memiliki kekuatan ekonomi. Kebijakan global yang mengekspresikan globalisasi neolib dengan cirinya yang lebih ramah terhadap korporasi terbukti memiliki tautan dengan regulasi turunan bersifat neolib dan teknologi tinggi.

Penelitian yang dilakukan oleh Pechlaner dan Otero menyebutkan rejim pangan yang menguasai pangan dunia saat ini sebagai Food Regime generasi ketiga. Hasil penelitian menjelaskan bahwa rejim

tersebut dapat disebut dengan Neolib Food Regime dengan karakteristik utama berupa bioteknologi dan NMCs sebagai aktor kunci ekonomi (Pechlaner dan Otero, 2008). Bukti membuktikan perkembangan yang masih atas entitas Food Regime global yang sangat neoliberal (Pechlaner dan Otero, 2008). Perkembangan di masing-masing negara pada prinsipnya tergantung sikap dan dukungan pemerintah terhadap kebijakan liberalisasi perdagangan dan regulasi teknologi baru. Meski demikian kadar resistensi tersebut secara alami berbeda di setiap negara.

Telusur literatur menunjukkan dinamika yang sangat menarik. Dengan melihat perkembangan di negara ASEAN dalam menangkap dan menerjemahkan isu MEA, dapat dilihat bahwa poin terpenting adalah kesiapan dan daya saing sektor tersebut. Tanpa kesiapan dan daya saing yang kuat, maka peluang MEA yang diimpikan semua banyak kalangan akan menjadi mitos belaka dan berubah wujud menjadi ancaman.

Telusur literatur MEA di Indonesia ini berangkat semangat positif atas hasil penelitian Hadi dan Mardianto (2004) tentang daya saing pertanian. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa

pertumbuhan ekspor-impor komoditas pertanian di ASEAN relatif baik. Karenanya perdagangan bebas dalam wujud apapun selalu disertai dengan semangat atas terminologi “peluang” yaitu kesempatan

yang hendak dicapai oleh pemerintah dan pelaku usaha.

Selanjutnya peluang MEA mengacu pada 3 kunci angka: GDP sebesar 3,36 triliun pada tahun 2013 dan pertumbuhan ekonomi 5,6%/th, dan dukungan 617 juta penduduk. Di Indonesia dukungan regulasi terhadap MEA diformulasikan dalam UU no. 7 th 2014 tentang Perdagangan Dunia. Peluang berupa penetrasi ASEAN baru 34% dengan kesiapan Indonesia 82% (Hendri Saparini, dalam Wangke, 2014).

Dalam mewujudkan mimpi

keberhasilan tersebut, UKM dan pelaku budidaya pertanian menjadi kunci keberhasilan. Tedjasuksma (2014) menjelaskan bahwa UKM terbukti lebih fleksibel dan memiliki daya tahan lebih baik dibandingkan korporasi pada saat krisis. Karenanya, mengurai masalah kemiskinan hanya bisa dilakukan dengan menggandeng petani dan UMKM sebagai mitra. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian AbduRofiq (2014) Tantangan utama MEA di Indonesia adalah (a) tingkat regulasi yang kurang mengikat, dan (b) ketegasan sebagai jalan keluar berupa pelarangan/ pembatasan kepemilikan asing sesuai amanah konstitusi. Malau (2014) mengonfirmasi hasil penelitian yang sama dan menyatakan bahwa di Indonesia permasalahan regulasi berkutat pada (a) proses implementasi kebijakan tdak selaras dengan kebijakan pemerintah, dan (b) sistem birokrasi dan ekonomi politik yang kurang kondusif. Pertanyaan pentingnya adalah bagaimana sesungguhnya entitas

MEA akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat Indonesia (Nagel, 2013). Jika sektor pertanian tidak dipersiapkan dengan baik maka peluang yang didengungkan justru akan menjadi hambatan.

3. METODE PENELITIAN

Triangulasi data berupa data kualitatif/studi kasus dan kuantitatif produsen salak pondoh pada Kelompok Tani dengan sertifikasi ekspor. Data primer diperoleh dari telusur literatur dan kuesioner di lapangan. Data sekunder diperoleh dari BPS/World Bank. Materi kajian dalam penelitian ini dibagi menjadi dua sesuai dengan metode penelitian triangulasi berupa kualitatif dan kuantitatif.

Metode kualitatif dilakukan pada awal penelitian untuk memberikan gambaran implementasi kebijakan dan membuat hipotesis awal berdasarkan inisiasi penelitian. Pengambilan sampel sebanyak 100 responden dilakukan dengan purposive sampling pada dua Kecamatan. Data kuesioner didapatkan dengan bantuan staf peneliti karena keterbatasan responden untuk menginterpretasikan pertanyaan kuesioner dalam Skala-Likert.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN