• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I Pendahuluan

C. Gambaran Perilaku Bidan Dalam Pelaksanaan IMD

3. Langkah Ketiga

Setelah melakukan observasi langkah kedua pelaksanaan IMD pada proses persalinan sebanyak 15 kali di PKM Kecamatan pesanggrahan, diketahui bahwa langkah ketiga yang dilakukan bidan dalam pelaksanaan IMD adalah memberikan kesempatan pada bayi untuk mencari puting susu ibunya. Tindakan yang dilakukan bidan untuk memberikan kesempaatan pada bayi mencari puting susu ibunya yaitu dengan cara memberikan kesempatan pada bayi untuk melakukan kontak kulit dengan ibunya.

Berdasarkan hasil observasi pada lampiran 9, diketahui bahwa kontak kulit antara ibu dan bayi berlangsung tidak lebih dari 30 menit. Kecuali pada observasi persalinan kedua yang ditolong oleh bidan P, dimana bidan P sama sekali tidak memberikan kesempatan pada bayi untuk melakukan kontak kulit dengan ibunya. Hasil observasi dapat dilihat pada lampiran 6c.

Hasil observasi tersebut berbeda dengan hasil wawancara terhadap informan utama yang menyatakan bahwa IMD dilakukan dengan cara kontak kulit antara ibu dan bayi selama satu jam. Berikut pemaparan informan utama:

“...karna kan kalo dia IMD satu jam...”(bidan N)

“...ya itu kita biarin aja dulu sampai satu jam kan ya...”(bidan SA) “...di dada ibunya, nah itu sampai satu jam.”(bidan A)

Hasil wawancara terhadap informan utama tersebut berbeda dengan hasil wawancara selanjutnya yang menyatakan bahwa kontak kulit antara ibu dan bayi yang dilakukan selama satu jam dianggap terlalu lama. Berikut pemaparan informan utama:

“...kelamaan, kan kita tunggu satu jam pun gak ada yang berhasil si

sebenernya...”(bidan SA)

“...kelamaan itu mah, harusnya udah beres semuanya kan...”(bidan E) Berdasarkan hasil observasi diketahui bahwa kontak kulit antara ibu dan bayi memang tidak ada yang berlangsung sampai satu jam. Hal ini terjadi karena sebelum bidan melakukan penjahitan perineum, bidan mengangkat bayi dari dada ibunya untuk melakukan kegiatan penimbangan, pengukuran dan pengecapan kedua telapak kaki bayi, meskipun kontak kulit antara ibu dan bayinya belum mencapai waktu satu jam dan bayi pun belum ada yang berhasil menyusu.

Hasil observasi tersebut diperkuat dengan hasil wawancara terhadap informan utama yang menyatakan bahwa bayi boleh segera dipisahkan dari ibunya untuk kegiatan penimbangan, pengukuran, dan pengecapan meskipun bayi belum berhasil menyusu. Selain itu, informan utama juga menyatakan bahwa kegiatan tersebut boleh dilakukan karena sebelum ada program IMD pun kegiatan tersebut dilakukan sebelum bayi berhasil menyusu. Berikut pemaparan informan utama:

“...kadang kalo kelamaan dia gak dapet-dapet puting ibunya kita

angkat dulu, kita timbang, kita ukur, kita bersihin, kita bungkus, nanti ibunya suruh disusuin, dulu juga gak pake IMD kalo dulu mah.”(bidan SA)

“...lagian dulu kan sebelum ada IMD juga gitu kok, gak papa lah diangkat dulu, diberesin, terus kan kita kasih lagi sama ibunya...”(bidan E)

“...jadi bisa aja sambil kita bersihkan ibunya, bayinya kita angkat

dulu, sambil waktu untuk nimbang dan lain-lain...”(bidan A)

Selanjutnya, berdasarkan hasil observasi diketahui bahwa setelah bayi ditimbang, diukur dan di cap, bidan memberikan kembali bayi kepada ibunya untuk di susui dalam keadaan sudah dibedong. Ibu dan bayi tetap berada di RB sampai waktu dua jam setelah persalinan. Waktu penyusuan awal terjadi di RB dalam keadaan bayi sudah dibedong.

Hasil observasi tersebut diperkuat dengan hasil wawancara terhadap informan utama yang menyatakan bahwa setelah bidan menimbang, mengukur, dan mengecap, bidan mengembalikan bayi kepada ibunya untuk disusui. Berikut pemaparan informan utama:

“...kita selalu tau kalo belom dua jam pasti masih di ruang bersalin...”(bidan N)

“...kita angkat dulu, kita timbang, kita ukur, kita bersihin, kita

bungkus, nanti ibunya suruh disusuin.”(bidan SA)

“...gak nyampe sejam udah dulu, kita bersihin bayinya baru kita taro lagi biar di susuin.”(bidan E)

“...bisa aja sambil kita bersihkan ibunya, bayinya kita angkat dulu,

sambil waktu untuk nimbang dan lain-lain, kan abis itu bisa dilanjutkan nyusui gitu.”(bidan A)

Hasil observasi dan wawancara terhadap informan utama tersebut diperkuat dengan hasil observasi selanjutnya yang terlihat bahwa bidan tidak memberikan kesempatan lagi kepada bayi untuk melanjutkan kontak kulit dengan ibunya setelah bidan menimbang, mengukur dan mengecap kedua telapak kaki bayi. Bidan hanya memerintahkan kepada ibu bersalin agar tetap berada di RB sampai waktu dua jam setelah melahirkan. Saat berada di RB, bidan memerintahkan ibu bersalin untuk menyusui bayinya yang sudah dibedong. Hasil observasi diapat dilihat pada lampiran 6d.

Hasil observasi ini diperkuat dengan hasil wawancara terhadap informan utama yang menyatakan bahwa sebelum dipindah ke ruang perawatan bidan memberikan suntikan hepatitis B pertama pada bayi. Berikut pemaparan informan utama:

“...dua jam kemudian HB 0, abis HB 0 kita pindahkan ke ruang

perawatan...”(bidan N)

“...di RB sampe dua jam, terus kan kita kasih HB 0, baru pindah ke ruang perawatan...”(bidan SA)

“...kan aturannya gitu, HB 0 tuh dua jam post partum, baru boleh dipindahin...(bidan E)

“...oh iya dalam APN gitu juga...”(bidan A)

Hasil observasi terakhir menunjukkan bahwa setelah ibu dan bayi berada di RB selama dua jam setelah melahirkan, bidan meminta bantuan suami/keluarga yang mendampingi persalinan untuk memindahkan ibu bersalin dan bayinya ke ruang perawatan. Hasil observasi diapat dilihat pada lampiran 6d.

Hasil observasi ini diperkuat dengan hasil wawancara terhadap informan utama yang menyatakan bahwa setelah dua jam melahirkan, ibu dan bayi dipindahkan ke ruang perawatan. Tindakan tersebut merupakan aturan dari PKM untuk memberikan fasilitas rawat gabung sampai dua hari setelah melahirkan. Berikut pemaparan informan utama:

“...abis HB 0 kita pindahkan ke ruang perawatan, rawat gabung,

udah, kita selalu tau kalo belom dua jam pasti masih di ruang bersalin...”(bidan N)

“...setelah 2 jam pindah ke ruang perawatan ya biasanya

perawatannya sampe 3 hari si kalo disini mah, pokoknya terhitung

dari dia masuk sampe dia pulang 3 hari kok...”(bidan SA)

“...dari dua jam pindah sampe dua hari post partum...pokoknya sampe

dia lahiran trus masuk ruang perawataan terus sampe besoknya dia pulang jadi tiga hari...”(bidan E)

“...minimal kalo di sini sih 3x24 jam setelah dia lahir... kalo di sini emang peraturannya seperti itu...”(bidan A)

Hasil wawancara terhadap informan utama selanjutnya menyatakan bahwa rawat gabung adalah menempatkan bayi di tempat yang sama

dengan ibunya, sehingga bayi selalu berada di dekat ibunya. Menurut informan utama, rawat gabung dilakukan agar ibu terlatih untuk merawat dan menyusui bayinya. Selain itu, bayi akan lebih sering menyusu sehingga memperoleh ASI eksklusif. Berikut pemaparan informan pendukung:

“...kalo rawat gabung kan bayi sama-sama, udah oke ya...”(bidan N) “...biar ASInya lebih eksklusif, ibunya juga terlatih nyusuin gitu, ngerawat di rumah juga lebih gampang...”(bidan SA)

“...bareng-bareng ibu sama bayinya, biar ibunya lebih teratur nyusuin...”(bidan E)

“...bayi ada di deket ibunya terus, rawat gabung berarti si ibu lebih memperhatikan si bayi, si ibu bertanggung jawab atas bayinya, apalagi awal-awal abis lahiran kan belum tentu ASInya keluar, dengan terus dirangsang kan otomatis bakal keluar ASInya...”(bidan A)

Hasil observasi dan wawancara terhadap informan utama diperkuat dengan hasil wawancara terhadap informan pendukung yang menyatakan bahwa ibu dan bayi dipindahkan ke ruang perawatan sampai waktu dua hari setelah melahirkan. Berikut pemaparan informan pendukung:

“...kalo gak salah di puskes itu dua hari...”(Ny.U) “...kan dua hari baru pulang...”(Ny.M)

Berdasarkan hasil observasi, diketahui bahwa semua tindakan dalam langkah ketiga pelaksanaan IMD dilakukan tanpa melihat panduan pelaksanaan IMD. Semua tindakan sudah dilakukan secara berurutan. Namun, masih ada beberapa tindakan yang tidak dilakukan kurang tepat,

yaitu bidan melakukan penimbangan, pengukuran, dan pengecapan sebelum bayi melakukan kontak kulit dengan ibunya selama satu jam, bidan tidak memberikan kesempatan pada bayi untuk melanjutkan kembali kontak kulit dengan ibunya setelah kegiatan penimbangan, pengukuran, dan pengecapan.

Selain itu, berdasarkan hasil wawancara terhadap informan utama juga diketahui bahwa bidan masih memiliki alasan yang belum tepat dalam melakukan beberapa tindakan dalam langkah ketiga pelaksanaan IMD. Alasan bidan yang belum tepat, yaitu penyusuan awal dilakukan dalam keadaan bayi sudah dibedong. Selain itu, berdasarkan hasil wawancara terhadap informan pendukung juga diketahui bahwa tindakan yang dilakukan bidan dalam langkah ketiga pelaksanaan IMD sama dengan tindakan yang dilakukan bidan saat diobservasi.

71 A. Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti hanya dapat menjelaskan bagaimana gambaran tiap langkah yang dilakukan bidan dalam pelaksanaan IMD. Sehingga, peneliti hanya dapat menjawab pertanyaan tindakan apa yang dilakukan dalam setiap langkah pelaksanaan IMD serta bagaimana tindakan tersebut dilakukan. Namun, peneliti belum dapat menjawab pertanyaan mengapa tindakan tersebut dilakukan. Oleh sebab itu, diperlukan penelitian serupa untuk menjawab pertanyaan mengapa bidan berperilaku seperti itu dalam pelaksanaan IMD.

Selain itu, peneliti juga tidak dapat menampilkan gambar setiap tindakan yang dilakukan bidan dalam ketiga langkah pelaksanaan IMD karena pihak PKM tidak memperbolehkan peneliti untuk mengambil gambar dalam proses persalinan. Oleh sebab itu, peneliti menggunakan triangulasi waktu dalam melakukan observasi. Hal ini dilakukan untuk menjaga validitas data hasil observasi.

B. Pembahasan Hasil Penelitian

1. Gambaran perilaku bidan dalam pelaksanaan IMD

IMD merupakan program yang dikeluarkan oleh WHO dan UNICEF pada tahun 2007, dimana pada prinsipnya bukan ibu yang menyusui bayi, tetapi bayi yang harus aktif menemukan sendiri puting susu ibu, serta melakukan kontak kulit ibu dengan kulit bayi segera setelah lahir selama

paling sedikit satu jam (Depkes, 2007). Meskipun program IMD telah diresmikan sejak tahun 2007, namun Departemen Kesehatan RI baru mengeluarkan pedoman bagi penolong persalinan dalam melakukan langkah-langkah pelaksanaan IMD dalam asuhan bayi baru lahir pada tahun 2008 (Depkes RI, 2008).

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa PKM Kecamatan Pesanggrahan sudah menjalankan program IMD sejak Departemen Kesehatan RI mengeluarkan program IMD. Pelaksanaan program IMD di PKM Kecamatan Pesanggrahan tepatnya dimulai sejak tahun 2009.

Dalam program IMD, dinyatakan agar semua sarana pelayanan kesehatan menerapkan 10 langkah menuju keberhasilan menyusui (LMKM) atau ten step to successful breastfeeding. Poin nomer empat dalam penerapan LMKM yaitu menganjurkan seluruh petugas kesehatan untuk membantu para ibu dalam pelaksanaan IMD setelah melahirkan (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2010).

Untuk mewujudkannya, setiap fasilitas kesehatan harus melakukan lima langkah pelaksanaan IMD. Pertama, IMD harus dilakukan baik di ruang bersalin maupun di ruang operasi. Kedua, IMD dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang membantu proses persalinan. Ketiga, ibu bersalin dan pihak keluarga berhak meminta pihak penyedia pelayanan kesehatan untuk melakukan IMD sepanjang ibu dan bayi tidak mengalami indikasi medis. Keempat, ibu bersalin yang menjalani operasi caesar dan menggunakan

anestesi lumbal (bukan anestesi lokal) tetap dibantu untuk melakukan IMD di ruang operasi. Kelima, setiap fasilitas bersalin harus menerapkan IMD sesuai dalam prosedur tetap mulai dari konsultasi pada waktu kunjungan ibu hamil hingga saat persalinan dan waktu menyusui (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2010).

Berdasarkan hasil penelitian dikatahui bahwa setiap proses persalinan di PKM Kecamatan Pesanggrahan merupakan persalinan normal. Sehingga, pelaksanaan IMD terjadi di RB PKM Kecamatan Pesanggrahan. Meskipun, tidak ada ibu bersalin atau keluarga yang mendampingi persalinan yang meminta bidan untuk melaksanakan IMD, namun bidan tetap melaksanakan IMD setiap menolong persalinan.

Selanjutnya, berdasarkan hasil penelitian dikatahui bahwa bidan selalu memberitahu ibu bersalin dan keluarga yang mendampingi persalinan pada setiap tindakan yang akan dilakukan. Bidan penolong persalinan melakukan prosedur tetap pelaksanaan IMD hanya pada saat menolong persalinan sesuai pedoman langkah-langkah pelaksanaan IMD dalam asuhan bayi baru lahir. Sedangkan, konsultasi mengenai IMD pada waktu kunjungan ibu hamil dan ibu menyusui dilakukan oleh bidan pemeriksa kehamilan di bagian Poli Kesehatan Ibu dan Anak (Poli KIA). Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa bidan di PKM Kecamatan Pesanggrahan sudah mewujudkan langkah menuju keberhasilan menyusui melalui pelaksanaan IMD.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terdapat tiga langkah pelaksanaan IMD yang dilakukan oleh bidan saat menolong persalinan. Langkah pertama, bidan melakukan penilaian awal pada bayi baru lahir dan mengeringkan tubuh bayi. Semua tindakan yang dilakukan bidan dalam langkah pertama pelaksanaan IMD sudah dilakukan secara berurutan dan tepat.

Langkah kedua, bidan memberikan kesempatan pada bayi untuk melakukan kontak kulit dengan ibunya. Setiap tindakan dalam langkah ini sudah dilakukan secara berurutan. Namun, masih terdapat tindakan yang dilakukan kurang tepat. Bidan mengarahkan mulut bayi dekat dengan puting susu ibu sebelah kiri. Selain itu, bidan juga hanya memberi kesempatan pada bayi untuk melakukan kontak kulit dengan ibunya tidak ada yang lebih dari 30 menit.

Langkah ketiga, bidan memberikan kesempatan pada bayi untuk mencari puting susu ibunya. Dalam langkah ini, masih terdapat tindakan yang dilakukan kurang tepat. Bidan mengangkat bayi dari dada ibunya untuk ditimbang, diukur, dan dicap sebelum bayi berhasil menemukan puting susu ibunya. Selain itu, masih terdapat tindakan yang belum dilakukan oleh bidan. Bidan tidak memberikan kesempatan kembali kepada bayi yang belum berhasil menemukan puting susu ibunya untuk melakukan kontak kulit dengan ibunya setelah kegiatan penimbangan, pengukuran, dan pengecapan. Meskipun tidak ada bayi yang berhasil melakukan IMD, bidan tetap

memerintahkan kepada ibu bersalin untuk melakukan penyusuan awal di RB dalam keadaan bayi sudah dibedong.

Menurut penelitian Ja’fara (2001), menyatakan bahwa petugas kesehatan tidak dapat bekerja sesuai SOP karena banyak pasien yang harus dilayani. Selain itu, menurut Roesli (2012), menyatakan bahwa anggapan tenaga kesehatan yang kurang tersedia merupakan anggapan yang salah yang dapat menghambat pelaksanaan IMD. Namun, berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dalam waktu 24 jam setidaknya hanya ada 2-3 orang ibu bersalin di PKM Kecamatan Pesanggrahan. Selain itu, setiap persalinan akan ditolong oleh dua orang bidan. Sehingga, kurang tepat jika alasan bidan belum melaksanakan IMD karena banyaknya jumlah pasien yang harus dilayani dan kurang tersedianya tenaga penolong persalinan.

Menurut Sukma (2009), IMD dikatakan berhasil apabila bayi dapat menemukan puting susu ibu dan mulai menyusu. Selanjutnya, menurut Roesli (2012), jika bayi baru lahir segera dikeringkan dan diletakkan di perut ibu dengan kontak kulit ke kulit dan tidak dipisahkan dari ibunya setidaknya selama satu jam, semua bayi dengan sendirinya akan berhasil menemukan puting susu ibunya melalui lima tahapan perilaku saat menyusu pertama kali. Tahap pertama dimulai dalam 30 menit Awal. Pada tahap ini bayi akan beristirahat dan tidak bergerak. Sesekali matanya terbuka lebar melihat ibunya. Masa tenang yang istimewa ini merupakan penyesuaian peralihan dari keadaan dalam kandungan ke keadaan diluar kandungan. Keadaan ini

merupakan dasar pertumbuhan bayi dalam suasana aman yang dapat meningkatkan kepercayaan diri ibu terhadap kemampuan praktik menyusui selanjutnya dan mendidik bayi (Roesli, 2012).

Tahap kedua dimulai dalam 30-40 menit selanjutnya. Pada tahap ini bayi mulai mengeluarkan suara, menggerakkan mulut seperti ingin minum, mencium dan menjilat tangan. Bayi mencium dan merasakan cairan ketuban yang ada di tangannya. Bau ini sama dengan bau cairan yang dikeluarkan payudara ibu. Bau dan rasa ini akan membimbing bayi untuk menemukan payudara dan puting susu ibu (Roesli, 2012).

Tahap ketiga yaitu bayi mulai mengeluarkan air liur. Bayi mulai mengeluarkan air liurnya saat menyadari bahwa ada makanan di sekitarnya. Kemudian, bayi berusaha untuk mencapai areola (Roesli, 2012).

Tahap keempat yaitu bayi mulai bergerak ke arah payudara. Kaki bayi akan menekan perut ibu untuk mencapai areola. Bayi akan menjilat-jilat kulit ibu, menghentak-hentakkan kepalanya ke dada ibu, menoleh ke kanan dan ke kiri, serta menyentuh dan meremas daerah puting susu dan sekitarnya dengan tangannya yang mungil (Roesli, 2013).

Tahap kelima yaitu bayi mulai menemukan puting susu ibu. Kemudian, bayi akan menjilat dan mengulum puting susu ibu. Mulut bayi akan terbuka lebar untuk menghisap puting sus ibu. Kemudian, bayi akan melekat di dada ibunya dengan baik (Roesli, 2012).

Selanjutnya, menurut Mashudi (2011), masih terdapat beberapa kesalahan dalam pelaksanaan IMD, yaitu bayi baru lahir diletakkan di perut ibu yang sudah dialasi kain kering, tali pusat dipotong lalu diikat, bayi segera dibedong karena takut kedinginan, bayi diletakkan di dada ibu dalam keadaan sudah dibedong, bayi dibiarkan di dada ibu selama 10-15 menit atau sampai tenaga kesehatan selesai menjahit perineum. Selanjutnya, bayi disusukan dengan cara memasukkan puting susu ibu ke mulut bayi.

Menurut penelitian Fikawati dan Syafiq (2003), menyatakan bahwa penolong persalinan merupakan faktor kunci keberhasilan pelaksanaan IMD. Dalam 30 menit pertama setelah bayi lahir umumnya peran penolong persalinan masih sangat dominan. Apabila ibu bersalin difasilitasi oleh penolong persalinan untuk segera memeluk bayinya diharapkan interaksi ibu dan bayi akan segera terjadi. Dengan IMD, ibu semakin percaya diri untuk tetap memberikan ASI nya sehingga tidak merasa perlu untuk memberikan makanan atau minuman apapun kepada bayi karena bayi bisa nyaman menempel pada payudara ibu atau tenang dalam pelukan ibu segera setelah lahir.

Sejalan dengan hasil penelitian di atas, menurut penelitian Rahardjo (2006), juga menyatakan bahwa tenaga kesehatan merupakan faktor dominan yang berhubungan dengan pelaksanaan IMD. Sehingga, perlu adanya perilaku yang suportif dari petugas kesehatan dalam melaksanakan IMD (Afifah, 2008).

Menurut penelitian Fikawati & Syafiq (2003), ketidakberhasilan bayi melakukan IMD disebabkan karena ketidaktepatan penolong persalinan dalam memfasilitasi pelaksanaan IMD. Hal tersebut menyebabkan bayi kehilangan kemampuan untuk menyusu. Padahal, bayi yang berhasil melakukan IMD akan memiliki kesempatan delapan kali untuk berhasil memperoleh ASI eksklusif. Sehingga, kegagalan IMD dapat menyebabkan kemungkinan ketidakberhasilan pemberian ASI eksklusif.

Berdasarkan penelitian-penelitian di atas, diketahui bahwa perilaku bidan dalam pelaksanaan IMD di PKM Kecamatan Pesanggrahan sebenarnya sudah dominan dan suportif, karena dalam waktu 30 menit pertama bayi lahir, bidan sudah memfasilitasi bayi untuk melakukan IMD. Bidan sebenarnya sudah melaksanakan tiap langkah pelaksanaan IMD. Namun, masih terdapat beberapa tindakan yang dilakukan kurang tepat. Tindakan tersebut menyebabkan tidak ada bayi yang berhasil menemukan puting susu ibunya. Sehingga dapat dikatakan bahwa pelaksanaan IMD di PKM Kecamatan Pesanggrahan belum berhasil.

Menurut penelitian Niswah & Noveri (2010), menyatakan bahwa bidan akan memfasilitasi IMD dengan baik apabila bidan memiliki pengetahuan yang baik dan sikap yang positif terhadap pelaksanaan IMD. Selain itu, menurut penelitian Legawati, dkk (2011), menyatakan bahwa bidan masih memiliki pemahaman yang berbeda mengenai pelaksanaan IMD karena program ini masih dianggap baru. Sehingga, menimbulkan keraguan

dan kesulitan untuk menerapkannya. Ketidaksabaran bidan dalam memfasilitasi IMD karena alasan keterbatasan waktu padahal masih banyak tugas yang harus diselesaikan juga dapat menjadi penyebab kegagalan pelaksanaan IMD.

Selanjutnya, menurut penelitian Afifah (2008), menyatakan bahwa petugas kesehatan yang belum pernah mengikuti pelatihan IMD dan ASI serta tidak adanya kebijakan dan supervisi pelaksanaan IMD di sarana pelayanan kesehatan kemungkinan dapat menyebabkan petugas kesehatan berprilaku pasif terhadap pelaksanaan IMD.

Selanjutnya, menurut penelitian Puspita (2010), menyatakan bahwa masih ada penolong persalinan belum meyakini manfaat IMD. Sehingga, dimungkinkan penolong persalinan tidak akan melaksanakan IMD apabila terjadi hambatan dalam pelaksanannya.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa bidan sudah melakukan tiga langkah dalam pelaksanaan IMD, yaitu dimulai dengan menilai kondisi bayi baru lahir dan mengeringkan tubuh bayi, memberikan kesempatan pada bayi untuk melakukan kontak kulit dengan ibunya, dan memberikan kesempatan pada bayi untuk mencari puting susu ibunya. Meskipun secara umum bidan sudah melakukan ketiga langkah tersebut, namun masih terdapat beberapa tindakan bidan yang dilakukan kurang tepat.

Menurut Green et all (2005), terdapat tiga faktor yang menentukan perilaku seseorang yaitu faktor predisposisi, faktor penguat, dan faktor

pemungkin. Faktor predisposisi meliputi pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai-nilai, persepsi, dan motivasi. Faktor penguat meliputi penghargaan dan keuntungan yang diperoleh dalam berperilaku. Faktor pemungkin adalah keberadaan fasilitas atau sumber daya yang ada.

Berdasarkan teori tersebut, peneliti menduga bahwa perilaku bidan dalam pelaksanaan IMD disebabkan oleh adanya dua faktor determinan perilaku, yaitu faktor predisposisi dan faktor pemungkin. Faktor predisposisi meliputi pengetahuan dan sikap yang dimiliki bidan menjadi alasan bidan untuk melakukan setiap tindakan dalam langkah-langkah pelaksanaan IMD. Sedangkan faktor penguat meliputi kebijakan mengenai program IMD yang telah dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI merupakan faktor pemungkin bagi para bidan untuk melaksanakan IMD dalam setiap menolong persalinan.