• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I Pendahuluan

C. Gambaran Perilaku Bidan Dalam Pelaksanaan IMD

4. Perilaku Bidan Dalam Langkah Ketiga Pelaksanaan IMD

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa langkah ketiga yang dilakukan bidan dalam pelaksanaan IMD adalah memberikan kesempatan pada bayi untuk mencari puting susu ibunya. Tindakan yang dilakukan bidan untuk memberikan kesempaatan pada bayi mencari puting susu ibunya yaitu dengan cara memberikan kesempatan pada bayi untuk melakukan kontak kulit dengan ibunya. Namun, bidan hanya memberikan kesempatan kontak kulit antara ibu dan bayi sampai plasenta lahir sempurna. Sedangkan, proses lahirnya plasenta hanya berlangsung selama 5-30 menit setelah bayi lahir. Sehingga, tidak ada bayi yang melakukan kontak kulit dengan ibunya selama satu jam.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebenarnya bidan telah mengetahui bahwa kondisi kontak kulit antara ibu dan bayi harus dipertahankan sampai satu jam. Namun, bidan menganggap waktu tersebut terlalu lama. Bidan juga menyatakan bahwa dalam waktu satu jam setelah persalinan, bayi harus sudah ditimbang, diukur, dan dicap. Pada waktu yang bersamaan pula bidan harus selesai menjahit perineum dan membersihkan tubuh ibu bersalin.

Alasan lain bidan juga menyatakan bahwa sebelum ada program IMD pun kegiatan penimbangan, pengukuran, dan pengecapan dilakukan sebelum bayi menemukan puting susu ibunya dan mulai menyusu. Namun, penyusuan awal tetap dapat kembali dilanjutkan di RB dalam keadaan bayi

sudah dibedong. Bidan memberikan kesempatan pada ibu untuk menyusui bayinya di RB sampai waktu dua jam setelah persalinan.

Menurut Roesli (2012), kemampuan bayi menemukan dan mengisap puting susu ibu terjadi selama satu jam dalam keadaan kontak kulit antara ibu dan bayi. Selain itu, menurut Arvidson (2001) dalam Utami (2012), menyatakan bahwa kemampuan bayi untuk mengisap puting susu ibu paling kuat dilakukan dalam waktu setengah jam setelah lahir.

Selanjutnya, menurut Fikawati dan Syafiq (2003), menyatakan bahwa tindakan memisahkan bayi dari ibunya sebelum bayi berhasil menemukan puting susu ibu menyebabkan kegagalan pelaksanaan IMD. Keadaan tersebut menyebabkan kadar hormon prolaktin dalam darah ibu akan menurun dan sulit untuk menstabilkannya kembali. Hal tersebut menyebabkan produksi ASI kurang lancar dan baru akan keluar setelah tiga hari atau lebih. Keadaaan ini membuat bayi menjadi rewel karena kehauasan, sehingga penolong persalinan akan memberikan makanan atau minuman prelakteal. Akibatnya adalah kegagalan praktek pemberian ASI eksklusif.

Selain itu, menurut Depkes RI (2008), bahwa bayi baru lahir sangat mudah mengalami hipotermia. Salah satu cara yang menyebabkan hipotermia pada bayi baru lahir adalah konduksi. Konduksi adalah kehilangan panas tubuh melalui kontak langsung antara tubuh bayi dengan permukaan yang dingin, seperti meja, tempat tidur atau timbangan

Menurut hasil penelitian Bergman dalam Roesli (2012), menyatakan bahwa kulit ibu bersifat termoregulator bagi suhu bayi. Kulit dada ibu yang melahirkan satu derajat lebih panas dibandingkan ibu yang tidak melahirkan. Jika bayi kedinginan, suhu kulit ibu otomatis naik dua derajat untuk menghangatkan bayi. Namun, jika bayi kepanasan, suhu kulit ibu otomatis turun satu derajat untuk mendinginkan bayinya.

Oleh sebab itu, tindakan bidan memisahkan bayi dari ibunya untuk ditimbang, diukur, dan dicap sebelum kontak kulit antara ibu dan bayi berlangsung selama satu jam dan bayi belum berhasil melakukan penyusuan awal adalah kurang tepat. Tindakan tersebut menyebabkan kegagalan praktek IMD karena bayi tidak berhasil menemukan puting susu ibunya. Selain itu, bayi juga dapat mengalami hipotermi karena harus segera dipisahkan dari ibunya untuk ditimbang, diukur, dan dicap.

Berdasarkan hasil penelitian juga diketahui bahwa bidan tidak memberikan kesempatan kembali kepada bayi untuk melanjutkan kontak kulit dengan ibunya setelah kegiatan penimbangan, pengukuran, dan pengecapan. Padahal sebelum kegiatan tersebut dilakukan, bayi belum berhasil menemukan puting susu ibunya. Artinya, bidan tidak memberikan kesempatan kepada bayi untuk menyusu sendiri. Hal tersebut dapat menjadikan bayi kehilangan kemampuan untuk mengisap puting susu ibu. Sehingga, akan menghambat refleks prolaktin dan reflek oksitosin.

Meskipun bayi tidak berhasil menemukan puting susu ibunya, bidan tetap memberikan kesempatan pada ibu untuk melakukan penyusuan awal di RB. Penyusuan awal tersebut dilakukan dengan cara ibu memasukkan puting susunya ke mulut bayi. Selain itu, saat menyusu pertama kali bayi sudah dalam keadaan dibedong. Penyusuan awal di RB berlangsung sampai waktu dua jam setelah persalinan. Selanjutnya, bidan memberikan suntikan hepatitis B pertama pada bayi dan memindahkan ibu dan bayinya ke ruang perawatan untuk melanjutkan rawat gabung.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pelaksanaan rawat gabung di PKM Kecamatan Pesanggrahan berlangsung selama dua hari setelah melahirkan. Menurut bidan pelaksanaan rawat gabung selama dua hari tersebut sesuai dengan peraturan yang telah dibuat oleh pihak PKM Kecamatan Pesanggrahan.

Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak RI (2010), pelaksanaan rawat gabung merupakan poin nomer tujuh dalam pedoman peningkatan penerapan 10 langkah menuju keberhasilan menyusui. Dalam pedoman tersebut disebutkan bahwa rawat gabung adalah upaya menempatkan ibu dan bayi ditempat yang sama selama 24 jam.

Pelaksanaan rawat gabung dimulai dengan cara mengupayakan penyediaan rawat gabung dengan sarana dan prasarana yang memadai, mempraktekkan rawat gabung kecuali ada indikasi medis yang mengharuskan bayi dirawat secara terpisah, menjamin kebersihan dan

kenyamanan ruangan, menjamin ketertiban jam kunjung ibu dan bayi, dan mengupayakan agar ibu tetap dapat menyusui meskipun bayi harus dirawat terpisah atas indikasi medis (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, 2013).

Oleh sebab itu, aturan di PKM Kecamatan Pesanggrahan untuk memberikan fasilitas rawat gabung pada setiap proses persalinan sudah tepat. Sehingga, ibu dan bayi dapat sama-sama merasakan manfaat rawat gabung untuk mencapai langkah keberhasilan menyusui.

Bidan juga menyatakan bahwa dengan adanya rawat gabung, maka ibu akan terlatih untuk merawat dan menyusui bayinya. Selain itu, menurut bidan, dengan adanya rawat gabung, maka bayi akan lebih sering menyusu sehingga memperoleh ASI eksklusif karena ibu dapat menyusui sesuai permintaan bayi.

Menurut Wijayanti (2011), manfaat rawat gabung dapat ditinjau dari berbagai aspek, yaitu aspek fisik, fisiologis, psikologi, edukatif, ekonomi, dan medis. Manfaat rawat gabung ditinjau dari aspek fisik yaitu, ibu dapat dengan mudah menjangkau bayinya untuk melakukan perawatan sendiri dan mnyusui sesuai keinginan bayi. Selanjutnya, dari aspek fisiologi, maka dengan adanya rawat gabung bayi akan segera dan lebih sering disusui. Sehingga, akan timbul refleks oksitosin dan prolaktin.

Kemudian, dari aspek psikologi, maka dengan adanya rawat gabung akan terjalin proses lekat antara ibu dan bayi. Hal ini mempunyai pengaruh

yang besar terhadap perkembangan psikologi bayi selanjutnya, karena kehangatan tubuh ibu merupakan stimulasi mental yang mutlak dibutuhkan oleh bayi. Selanjutnya, dari aspek edukatif, maka dengan adanya rawat gabung ibu akan mendapatkan pengetahuan dan keterampilan tentang cara menyusui yag benar, merawat tali pusat, merawat payudara, dan memandikan bayi (Wijayanti, 2011).

Selanjutnya, dari aspek ekonomi, maka dengan adanya rawat gabung pemberian ASI dapat dilakukan sedini mungkin. Sehingga, dapat menghemat anggaran pengeluaran untuk pembelian susu formula, botol susu, dot, serta peralatan lain yang dibutuhkan. Terakhir, dari aspek medis, maka dengan adanya rawat gabung akan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi (Wijayanti, 2011).

Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa bidan menyatakan bayi boleh dipisahkan dari ibunya untuk ditimbang, diukur, dan dicap meskipun bayi belum berhasil menemukan puting susu ibunya. Setelah kegiatan tersebut dilakukan, bayi dapat kembali diberi kesempatan untuk melakukan penyusuan awal dalam keadaan telah dibedong.

Menurut Krathwohl dkk (1974), perilaku yang menekankan pada aspek intelektual (otak) termasuk dalam domain kognitif. Domain kognitif meliputi pengetahuan yang dimiliki seseorang. Sehingga, dapat dikatakan bahwa pengetahuan yang dimiliki bidan dalam langkah ketiga pelaksanaan IMD merupakan perilaku dalam domain kognitif.

Peneliti menduga bahwa ketidaktepatan perilaku bidan dalam langkah ketiga pelaksanaan IMD disebabkan oleh pengetahuan yang dimiliki bidan. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa menyatakan sebelum dikeluarkannya program IMD, kegiatan penimbangan, pengukuran, dan pengecapan memang biasa dilakukan sebelum bayi menyusu. Sehingga, bidan menganggap kegiatan penimbangan, pengukuran, dan pengecapan boleh saja dilakukan meskipun bayi belum berhasil menemukan puting susu ibunya.

Menurut Krathwohl dkk (1974), perilaku yang menekankan pada aspek emosional, seperti perasaan, minat, sikap dan kepatuhan merupakan domain afektif. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa sikap bidan terhadap langkah ketiga dalam pelaksanaan IMD merupakan perilaku dalam domain afektif. Selain itu, peneliti juga menduga bahwa selain pengetahuan, sikap yang dimiliki bidan juga menjadi salah satu faktor ketidaktepatan perilaku bidan dalam langkah ketiga pelaksanaan IMD.

Selanjutnya, berdasarkan hasil observasi diketahui bahwa bidan belum melakukan semua tindakan dalam langkah ketiga pelaksanaan IMD. Bidan tidak memberikan kesempatan kembali kepada bayi yang telah dipisahkan dari ibunya untuk kegiatan penimbangan, pengukuran, dan pengecapan untuk kembali melakukan kontak kulit dengan ibunya sampai berhasil menemukan puting susu ibunya dan berhasil melakukan penyusuan awal.

Menurut Azizahwati (2010), keterampilan merupakan tingkat kemahiran dalam penguasaan suatu gerak. Selanjutnya, menurut Dave (1967) dalam Huitt (2003), keterampilan dapat dikelompokkan dalam lima tingkatan, yaitu meniru, manipulasi, ketepatan gerakan, artikulasi, dan naturalisasi.

Oleh sebab itu, sama halnya dengan perilaku bidan dalam langkah kedua pelaksanaan IMD, peneliti juga menduga bahwa sebenarnya bidan sudah terampil dalam melakukan setiap tindakan dalam langkah ketiga pelaksanaan IMD. Selanjutnya, peneliti juga menduga bahwa keterampilan bidan dalam langkah ketiga pelaksanaan IMD hanya termasuk pada tingkat meniru, manipulasi, dan naturalisasi, karena berdasarkan hasil observasi terlihat bahwa bidan selalu melakukan tindakan yang sama dalam langkah ketiga pelaksanaan IMD tanpa melihat pedoman pelaksanaan IMD. Semua tindakan tersebut dilakukan secara berurutan sesuai pedoman pelaksanaan IMD. Namun, masih terdapat tindakan yang belum dilakukan.

102 BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan

1. Perilaku bidan dalam pelaksanaan IMD di PKM Kecamatan Pesanggrahan tahun 2013 sudah dominan dan suportif karena dalam waktu 30 menit pertama setelah bayi lahir, bidan memfasilitasi bayi untuk melakukan IMD.

2. Tindakan yang dilakukan bidan dalam langkah pertama pelaksanaan IMD, yaitu mencatat waktu kelahiran bayi, menilai kondisi bayi, membersihkan tubuh bayi kecuali kedua tangan, memberikan suntikan oksitosin 10UI di paha ibu bersalin, mengklem dan memotong tali pusat. Semua tindakan dalam langkah pertama pelaksanaan IMD sudah dilakukan secara berurutan dan tepat.

3. Tindakan yang dilakukan bidan dalam langkah kedua pelaksanaan IMD, yaitu menengkurapkan bayi di dada ibunya (tidak lebih dari 30 menit) dengan cara mengarahkan mulut bayi ke dekat puting susu ibunya sebelah kiri, menyelimuti bayi dengan kain bersih, meminta ibu bersalin untuk memeluk bayinya, menolong lahirnya plasenta, dan menjahit perineum ibu bersalin. Semua tindakan dalam langkah kedua pelaksanaan IMD sudah dilakukan secara berurutan, namun masih terdapat tindakan yang dilakukan kurang tepat.

4. Tindakan yang dilakukan bidan dalam langkah ketiga pelaksanaan IMD, yaitu menimbang, mengukur, mengecap kedua telapak kaki bayi, memberikan suntikan vitamin K pada bayi, memberikan kesempatan pada ibu dan bayi untuk melakukan penyusuan awal di RB dalam keadaan bayi sudah dibedong, memberikan suntikan HB 0 pada bayi setelah dua jam persalinan, melanjutkan pelaksanaan rawat gabung di ruang perawatan sampai dua hari setelah melahirkan. Masih terdapat tindakan yang belum dilakukan dalam langkah ketiga pelaksanaan IMD, yaitu tidak memberikan kesempatan kembali pada bayi untuk melakukan kontak kulit dengan ibunya sampai berhasil menemukan puting susu ibunya.