• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penurunan Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Balita (AKABA) yang terintegrasi dalam upaya peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) merupakan salah satu agenda penting dalam Millenium Development Goals (MDGs) yaitu pada tujuan keempat dan kelima.

Program KIA secara nasional merupakan salah satu prioritas program dalam pembangunan kesehatan di Indonesia (Kemenkes RI, 2010).

Menurut Kementerian Kesehatan RI (2008), indikator pelaksanaan program KIA dilihat dari Kunjungan Ibu Hamil Kala Keempat (K4), persentase cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan atau bidan, persentase ibu hamil refsiko tinggi yang dirujuk, persentase kunjungan neonatus, persentase kunjungan bayi dan persentase kunjungan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) yang ditangani. Hal ini sejalan dengan target-target yang direkomendasikan dalam Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang kesehatan.

Program KIA terfokus pada 3 (tiga) pesan kunci Making Pregnancy Safer (MPS) atau Gerakan Nasional Kehamilan yang Aman, antara lain (1) setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih, (2) setiap komplikasi obstetri dan neonatal memperoleh pelayanan yang adekuat, dan (3) setiap wanita usia subur mempunyai akses terhadap kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan

komplikasi keguguran (Kemenkes RI, 2010). Keseluruhan pesan tersebut terjabarkan dalam program KIA yang dimaksudkan untuk menurunkan AKI dan bayi baru lahir, dan meningkatkan KIA.

Sampai tahun 2013, masalah KIA di Indonesia masih menjadi permasalahan kesehatan dan masih menjadi kontribusi permasalahan kesehatan dalam mencapai target MDGs. Secara terus-menerus Indonesia berkomitmen untuk mencapai tujuan MDGs tersebut di tahun 2015 melalui upaya penurunan AKI dari 359 menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB dari 32 menjadi 23 per 1.000 kelahiran hidup, dan kematian balita dari 40 menjadi 32 per 1.000 kelahiran hidup.

Hasil analisis Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan bahwa lebih dari tiga perempat dari semua kematian balita terjadi dalam tahun pertama kehidupan anak dan mayoritas kematian bayi terjadi pada periode neonatus. Menurut data World Health Organization (WHO) 2003, AKB di Indonesia sebagian besar terkait dengan faktor nutrisi yaitu sebesar 53%, beberapa penyakit yang timbul akibat malnutrisi antara lain pneumonia (20%), diare (15%), dan perinatal (23%) (Kemenkes RI, 2013).

Berbagai penyebab terjadinya kematian ibu di Indonesia, antara lain penyebab langsung yaitu pendarahan, hipertensi/eklamsia dan infeksi, serta penyebab tidak langsung yaitu terlambat dalam pemeriksaan kehamilan, terlambat dalam memperoleh pelayanan persalinan dari tenaga kesehatan, dan terlambat sampai di fasilitas kesehatan pada saat dalam keadaan darurat. Kematian ibu didominasi 90%

pada saat persalinan dan segera setelah persalinan yaitu perdarahan (28%), eklamsia

(24%), infeksi (11%), komplikasi puerperium (8%), abortus (5%), trauma obstetrik (5%), emboli (5%), partus lama/macet (5%), dan lain-lain (11%) termasuk didalamnya penyebab penyakit non obstetrik (Kemenkes RI, 2011c).

Kondisi objektif permasalahan kematian ibu, bayi dan balita di Indonesia berimplikasi terhadap pencapaian program KIA secara keseluruhan. Program KIA menjadi salah satu program wajib di tingkat pelayanan dasar di puskesmas serta program utama dalam pelayanan rujukan di tingkat rumah sakit. Otorisasi pelaksanaan program KIA secara umum dilakukan oleh Dinas Kesehatan sebagai organisasi pemerintah yang memiliki kewenangan di bidang kesehatan. Implementasi program KIA akan berjalan dengan baik jika pada level perencanaan benar-benar dilakukan berdasarkan analisa kebutuhan yang objektif dan terukur.

Permasalahan yang lazim terjadi terhadap pencapaian program kesehatan pada umumnya adalah adanya disparitas antara perencanaan dengan penganggaran, artinya kuantitas anggaran dialokasikan tidak sesuai dengan kebutuhan anggaran yang efektif untuk implementasi program kesehatan yang telah direncanakan. Permasalahan lain, masih tingginya alokasi anggaran untuk keperluan fisik, dibandingkan pelaksanaan program-program kesehatan berbasis masyarakat seperti program pemberdayaan masyarakat dan program peningkatan KIA. Untuk itu perencanaan yang tepat memegang peranan penting. Menurut Gani (2004), perencanaan yang tepat diperlukan agar tidak terjadi alokasi anggaran yang salah sasaran.

Secara umum diketahui bahwa alokasi anggaran bidang kesehatan sesuai Undang-Undang No 36 tahun 2009 tentang kesehatan adalah 10% dari total anggaran,

dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran tersebut di luar gaji. Namun secara aktual persentase anggaran bidang kesehatan di beberapa daerah di Indonesia masih di bawah 10%. Demikian halnya dengan provinsi Sumatera Utara, sebagian besar masih berkisar antara 5-9%, apalagi alokasi anggaran untuk program-program kesehatan berbasis masyarakat juga masih sangat rendah. Hal ini tentunya berkaitan dengan perencanaan program kesehatan yang dirumuskan oleh Dinas Kesehatan kabupaten/kota.

Perencanaan sebagai suatu proses berkesinambungan yang mencakup pengambilan keputusan atau pilihan mengenai bagaimana memanfaatkan sumber daya yang ada semaksimal mungkin guna mencapai tujuan-tujuan tertentu atau kenyataan-kenyataan yang ada dimasa datang. Perencanaan program yang baik seharusnya berbasis bukti/data (evidence based). Pada kenyataanya, perencanaan program kesehatan banyak yang belum dijalankan dengan baik, dan bentuk kegiatan yang direncanakan hanya menyesuaikan atas program dan kegiatan pada tahun sebelumnya (Arsyad, 2002).

Proses penyusunan anggaran dimulai dari analisis situasi yang mencakup review kinerja tahun lalu dan analisis situasi dan kebijakan kesehatan. Langkah selanjutnya adalah dilakukan rapat kerja perencanaan tahap pertama, musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) desa/kelurahan, unit-unit di Dinas Kesehatan menyusun perencanaan dan penganggaran terpadu, kemudian dilanjutkan dengan musrenbang kecamatan, rapat kerja perencanaan tahap kedua, dan dilakukan pemaparan dalam forum Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan dihadiri oleh

1. Analisis Situasi 2. Raker Perencanaan I

3. Musrenbang Desa/Kelurahan 4. Puskesmas dan Unit-unit di Dinas

Kesehatan menyusun PKT 5. Musrenbang Kecamatan

6. Raker Perencanaan II 7. Forum SKPD

8. Musrenbang Kabupaten

9. Kebijakan Umum & Anggaran

10. Asistensi Anggaran 11. Keputusan Anggaran

unsur Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), selanjutnya dilakukan musrenbang kabupaten. Langkah berikutnya adalah kebijakan umum anggaran dan asistensi anggaran serta keputusan angggaran yang melibatkan Dinas Kesehatan, Bappeda dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Anggaran yang telah disahkan berupa Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) SKPD menjadi dasar bagi eksekutif untuk melaksanakan aktivitasnya dalam pemberian pelayanan publik dan acuan bagi legislatif untuk melaksanakan fungsi pengawasan dan penilaian kinerja eksekutif dalam hal pertanggungjawaban kepala daerah. Secara skematis dapat dilihat pada Gambar 1.1. berikut ini (Depkes RI, 2007).

Keterangan :

PKT = Perencanaan Kerja Tahunan Raker = Rapat kerja

Gambar 1.1. Siklus Perencanaan dan Penganggaran Tahunan

Menurut WHO (2009), ada variasi alokasi anggaran untuk peningkatan KIA.

Alokasi anggaran untuk KIA di negara-negara di Asia Selatan seperti Bangladesh, India, Nepal dan Pakistan rata-rata sebesar US$1,21-2,97 per kapita pertahun.

Alokasi anggaran program KIA untuk wilayah Asia Tenggara seperti China, India, Myanmar, Papua Nugini dan Timor Leste rata-rata berkisar antara US$0,61-0,83 per kapita pertahun. Artinya bahwa investasi anggaran untuk program KIA seperti di Indonesia cenderung sangat sedikit untuk menanggulangi permasalahan-permasalahan KIA.

Penelitian Vincente, et all., (2013) menjelaskan bahwa keberhasilan program KIA di Philipina sangat didukung oleh proporsi anggaran yang disediakan dengan program kesehatan lainnya. Pendekatan perencanaan berbasis bukti dan alokasi anggaran secara proporsional dapat menurunkan permasalahan KIA di Philipina.

Pendekatan analisa perencanaan berbasis bukti adalah dengan mengidentifikasi data dan informasi yang objektif tentang keadaan kesehatan ibu dan anak di semua wilayah seperti data proporsi jumlah fasilitas kesehatan dengan jumlah penduduk, dan jumlah kemampuan ekonomi daerah.

Komitmen pemerintah di bidang kesehatan, khususnya KIA, dapat dinilai dengan melihat kecenderungan alokasi anggaran untuk kesehatan secara umum.

Selama periode 2006-2013, kecenderungan keseluruhan alokasi anggaran pemerintah Indonesia untuk sektor kesehatan mengalami peningkatan secara nominal. Namun, meskipun kecenderungan peningkatan nilai nominal, nilai faktual sebenarnya mengalami penurunan. Artinya ada kesenjangan antara alokasi anggaran yang real

dibutuhkan untuk menjalankan program-program kesehatan dibandingkan dengan besaran alokasi anggaran yang telah ditetapkan, dan tidak disesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Dengan kata lain bahwa pemerintah Indonesia berada pada posisi di luar komitmen dalam upayanya untuk memenuhi komitmen kesehatan ibu sebagaimana terindikasi bahwa pemerintah gagal mempertahankan kecenderungan peningkatan nilai riil alokasi anggaran kesehatan (Dwicaksono dan Donny, 2013).

Penelitian Faulia, dkk., (2009) di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menemukan bahwa porsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk program KIA selama kurun waktu 2007-2008 cenderung menurun dari 0,7% menjadi 0,6%, dan di tahun 2009 menurun menjadi 0,4% dari alokasi belanja langsung, dan dari sejumlah anggaran tersebut salah satu alokasi anggaran terendah justru pada kegiatan dan upaya penurunan kasus kematian ibu dan anak. Hal ini disebabkan karena alokasi anggaran untuk program KIA cenderung lebih didukung oleh sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) seperti dana dekonsentrasi dan dana bersumber dari bantuan lembaga donor seperti United Nation International Children’s Emergency Fund (UNICEF) dan United States Agency for International Development (USAID).

Penelitian Iswarno, dkk., (2013), menunjukkan bahwa komitmen pemerintah di Kabupaten Kepahiang Provinsi Bengkulu terhadap program KIA masih rendah.

Hal ini terbukti dengan minimnya alokasi anggaran program KIA pada tahun 2008 yang hanya 2 % dari total anggaran Dinas Kesehatan Kabupaten Kepahiang.

Penelitian Erpan, dkk., (2012) di Kabupaten Lombok Tengah, mendeskripsikan bahwa alokasi anggaran program KIA tahun 2010 sebesar 4,2% dari belanja langsung Dinas Kesehatan, dan dari sejumlah anggaran KIA tersebut 81,9% diperuntukkan untuk jaminan persalinan gratis, namun pada tahun 2011 menurun drastis menjadi 0,8% dari belanja langsung Dinas Kesehatan. Hal ini disebabkan adanya sharing dana dari APBN berupa program Jampersal.

Kondisi disparitas proporsi anggaran KIA juga terjadi di Kabupaten Sabu Raijua Provinsi Nusa Tenggara Timur. Hasil penelitian Dodo, dkk., (2012), bahwa alokasi anggaran KIA tahun 2010 hanya 0,8% dari belanja langsung yang bersumber APBD Dinas Kesehatan, sedangkan alokasi anggaran KIA dari APBD Propinsi NTT sebesar 11,9%, dan bersumber dari pemerintah pusat berupa dana BOK, dan Jampersal sebesar 45,93%. Permasalahan yang dihadapi dalam perencanaan program KIA adalah adanya porsi anggaran yang lebih besar dari pemerintah pusat, sehingga alokasi anggaran diarahkan kepada pemenuhan sarana dan prasarana.

Fenomena perencanaan kesehatan di Provinsi Sumatera Utara juga masih menjadi permasalahan awal terhadap pencapaian seluruh indikator program-program kesehatan, termasuk program KIA. Data profil kesehatan Provinsi Sumatera Utara tahun 2012 menunjukkan bahwa capaian K4 secara umum sudah mencapai 85,92%, namun masih dibawah 95%, cakupan kunjungan neonatus 89,97% dan cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan masih mencapai 88,78%, masing-masing mendekati target sebesar 90%. Hal ini karena semakin membaiknya kondisi distribusi tenaga bidan diseluruh daerah di Provinsi Sumatera Utara dengan adanya

program bidan Pegawai Tidak Tetap (PTT). Namun kondisi objektif tersebut jika dilihat secara parsial masih ada beberapa daerah yang memiliki permasalahan KIA baik dilihat dari AKI, AKB, AKABA dan masalah KIA lainnya seperti balita dengan gizi buruk.

Salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara yang masih memiliki permasalahan KIA adalah Kabupaten Deli Serdang. Profil Kesehatan Kabupaten Deli Serdang (2012) menunjukkan bahwa kematian ibu, bayi dan balita mengalami penurunan sepanjang tahun 2008 sampai 2012. Namun masih adanya kasus kematian menunjukkan permasalahan KIA masih menjadi masalah program kesehatan, dan perlu ada peningkatan upaya strategis guna mencapai indikator program KIA sebagaimana diharapkan. Adapun jumlah kematian ibu, bayi dan balita di Kabupaten Deli Serdang dapat dilihat di tabel 1.1.

Tabel 1.1. Jumlah Kematian Ibu, Bayi dan Balita di Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008-2012

No. Indikator Jumlah Kematian

2008 2009 2010 2011 2012

1. Ibu 32 21 20 20 15

2. Bayi 126 134 98 97 74

3. Balita 151 171 135 133 96

Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang, 2014

Pencapaian SPM untuk program KIA di Kabupaten Deli Serdang selama kurun waktu 2009-2013 cenderung bervariatif setiap tahunnya. Secara aktual, persentase secara keseluruhan pencapaian program KIA sudah memenuhi target yang diharapkan. Namun dilihat secara komprehensif, dampak dari pencapaian program KIA tersebut masih belum mampu mereduksi masalah KIA seperti kematian ibu,

bayi, balita, balita dengan status gizi buruk, dan masih ada ibu melahirkan dengan komplikasi. Hal ini disebabkan karena masih ada sebagian ibu melahirkan yang tidak melakukan pemeriksaan kehamilan secara terus-menerus sampai empat kali. Data tahun 2013 menunjukkan terdapat 42.423 sasaran ibu hamil, namun yang melakukan kunjungan K4 sebanyak 40.969 ibu hamil, artinya masih terdapat 1.454 ibu hamil tidak mendapatkan pemeriksaan kehamilan sampai dengan selesai, sehingga dapat menyebabkan tidak dapat dimonitoring perkembangan dan keadaan kehamilan ibu menjelang waktu melahirkan, dan keadaan ini dapat juga menyebabkan kematian bayi saat dilahirkan. Adapun hasil pencapaian program KIA dapat dilihat pada tabel 1.2.

berikut ini:

Tabel 1.2. Pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) Program KIA Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang Tahun 2009-2013

No. Kegiatan Pencapaian SPM (%) Target

2009 2010 2011 2012 2013 (%)

1. Cakupan kunjungan ibu hamil (K4) 93,13 96,01 96,06 95,91 96,2 95 2. Cakupan komplikasi kebidanan

yang Ditangani 100 100 100 100 100 80

3. Cakupan pertolongan persalinan oleh nakes yang memiliki kompetensi kebidanan 7. Cakupan desa/kelurahan Universal

Child Immunization (UCI) 89,85 96,95 82,99 96,45 96,7 100 8. Cakupan pelayanan anak 89,95 96,95 82,99 96,45 85,59 90 9. Cakupan pemberian makanan

pendamping ASI anak usia 6 - 24 bulan

85,02 76,56 84,76 84,96 100 100 10. Cakupan balita gizi buruk

mendapat perawatan 100 100 100 100 100 100 Sumber: Dinas Kesehatan Deli Serdang, 2014

Data tahun 2013 menunjukkan di Kabupaten Deli Serdang terdapat 8.486 ibu hamil komplikasi yang ditangani tenaga terlatih (bidan), dan masih ada 7 (tujuh) balita dengan gizi buruk, demikian juga dengan kuantitas neonatus yang komplikasi ada sebanyak 5.786 kasus. Hal ini menunjukkan peran puskesmas dalam upaya menurunkan kematian ibu, bayi dan balita belum maksimal yang diindikasikan dari rendahnya jumlah puskesmas yang melakukan PONED yaitu 21 puskesmas dari 34 puskesmas yang ada, dan dari 21 puskesmas yang dinyatakan PONED hanya 16 puskesmas saja (76,2%) efektif melaksanakannya.

Berbagai upaya telah dilakukan Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang dalam menurunkan kematian ibu dan anak yaitu melalui penguatan program KIA seperti pelatihan Asuhan Persalinan Normal (APN) bagi bidan desa, distribusi tenaga bidan keseluruhan wilayah di Kabupaten Deli Serdang, pembangunan poskesdes, dan peningkatan jumlah puskesmas rawatan, serta penetapan Puskesmas Penanganan Obstetri Neonatal Emergency Dasar (PONED). Hal ini berkontribusi terhadap pencapaian program yang dapat dilihat dalam SPM.

Berdasarkan alokasi anggaran APBD Pemerintah Daerah Kabupaten Deli Serdang diketahui bahwa proporsi anggaran bidang kesehatan (Dinas Kesehatan, Rumah Sakit, dan Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan) berfluktuasi selama tahun 2012-2014. Tahun 2012 dan 2013 proporsi anggaran kesehatan di Kabupaten Deli Serdang belum memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan pemerintah. Tahun 2012 masih sebesar 7,66 % dan tahun 2013 menurun menjadi 6,05%. Namun tahun 2014 sudah memenuhi ketentuan dengan proporsi

sebesar 14,67%. Deskripsi alokasi anggaran di Kabupaten Deli Serdang secara umum dapat dilihat pada tabel 1.3.

Tabel 1.3. Distribusi Alokasi Anggaran Bersumber Dana APBD Bidang Kesehatan di Kabupaten Deli Serdang Tahun 2012-2014

Alokasi Anggaran Belanja Langsung 1.023.034.033.947

(50,67%) Belanja Langsung 78.733.359.400

(38,77%)

Persentase anggaran* 7,66% 6,05% 14,67%

*) Persentase belanja langsung APBD bidang kesehatan dibandingkan dengan belanja langsung APBD kabupaten

Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang,2014

Alokasi anggaran untuk Dinas Kesehatan tahun 2012-2014 menunjukkan lebih dominan untuk belanja tidak langsung, dan dari sejumlah belanja langsung hanya 9,73% di tahun 2012 berkontribusi terhadap peningkatan program KIA. Tahun 2013 menurun menjadi 3,72 % dan 3,73 % di tahun 2014. Anggaran untuk program KIA di Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang selain bersumber dari APBD Pemerintah Kabupaten Deli Serdang juga bersumber dari dana APBN berupa

Jampersal, BOK dan JKN. Adapun distribusi alokasi anggaran untuk program KIA dapat dilihat pada Tabel 1.4.

Tabel 1.4. Distribusi Alokasi Anggaran Program KIA Bersumber APBD di Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang Tahun 2012-2014

Alokasi Anggaran

Tahun Anggaran

2012 2013 2014

Rp dan % Rp dan % Rp dan %

APBD Dinas Kesehatan

Belanja Tidak Langsung 97.098.701.290 (71,38%)

103.039.036.954 (76,46%)

108.395.886.308 (51,15%) Belanja Langsung 38.930.050.000

(28,62%) Program KIA* 3.789.662.000

(9,73%)

Jampersal 6.835.340.000 2.490.268.000 0

BOK 2.871.920.000 2.905.000.000 3.193.150.000

JKN 0 0 22.500.000.000

Total 9.707.260.000 5.395.268.000 25.693.150.000

*) Persentase program KIA dibandingkan dengan belanja langsung APBD Dinas Kesehatan

Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang, 2014

Tabel 1.4 juga menunjukkan bahwa secara kuantitatif total anggaran Jampersal, BOK dan JKN tahun 2012-2014 lebih besar (2-7 kali) dibandingkan program KIA bersumber dana APBD Kabupaten Deli Serdang. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah pusat memiliki keseriusan dan perhatian yang lebih dalam program KIA dibandingkan pemerintah daerah. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa daerah memiliki komitmen yang kurang terhadap program KIA.

Hasil penelitian Trisnantoro, dkk., (2012) di 4 (empat) kabupaten/kota (Merauke, Sikka, Tasikmalaya, dan Pontianak), menjelaskan bahwa dalam 5 (lima)

tahun terakhir ini, ada indikasi bahwa pendanaan program KIA mengalami penurunan, yang disebabkan oleh adanya realokasi dana bagi penjaminan kesehatan masyarakat miskin melalui skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).

Hasil analisa bahwa kontribusi pembiayaan KIA yang terbesar di tingkat daerah, masih bersumber dari pembiayaan pemerintah pusat seperti Dana Kementrian Kesehatan (DKK), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Dekonsentrasi (Dekon).

Secara rata-rata, untuk sumber pembiayaan, APBN pusat mempunyai kontribusi sebesar 57%, ditambahkan dana pusat yang didaerahkan (DAK dan dekonsentrasi) sebesar 13%. Kontribusi lokal melalui APBD sebagai dana pendamping hanya 7%, dan alokasi APBD untuk program inisiatif KIA di daerah sebesar 14%, selain itu juga ada beberapa daerah yang menerima donor dari luar untuk kegiatan program 9%.

Apabila dibandingkan dengan pembiayaan kesehatan lokal (total APBD kesehatan), proporsi untuk kegiatan KIA hanya sekitar 2% dari APBD kesehatan atau sekitar 18% jika termasuk gaji dan pembiayaan rutin terkait dengan program KIA.

Kondisi ini diasumsikan karena proses perencanaan anggaran program KIA maupun program kesehatan lainnya belum didasarkan pada kebutuhan yang objektif dan belum didasarkan pada data yang real, dan masih pada pemenuhan pagu anggaran saja. Perencanaan juga diasumsikan belum optimal dalam melibatkan sektor pelayanan dasar seperti puskesmas dan stakeholder bidang kesehatan lainnya, sehingga berimplikasi terhadap implementasi program KIA guna mencapai indikator program KIA.

Berdasarkan hasil wawancara singkat dengan Kepala Bidang Kesehatan Keluarga pada tanggal 04 Januari 2014 menjelaskan bahwa anggaran untuk KIA sangat kecil dibandingkan dengan bidang lain, karena program KIA masih dianggap belum prioritas dibandingkan dengan upaya percepatan pembangunan fisik, selain itu juga karena adanya pembatasan anggaran, sehingga sulit memilah prioritas program yang bisa diajukan dalam Rencana Kerja dan Anggaran (RKA).

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti proses perencanaan dan penganggaran program KIA di Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang tahun 2014.