• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang

Dalam dokumen STRUKTUR HUKUM PEGADAIAN SYARIAH DALAM P (Halaman 184-189)

OLEH KOMUNITAS SANTRI STUDI DI DESA TANGGUNGHARJO KECAMATAN GROBOGAN

1.1. Latar Belakang

Penelitian ini diilhami oleh suatu kegelisahan akademik yang dirasakan oleh peneliti sehubungan dengan kesenjangan antara teori dan realita di kalangan komunitas santri yang peduli dengan hukum Islam terutama yang berhubungan dengan harta benda. Kegelisahan dimaksud bermula dari teori-teori hasil temuan para pakar hukum Islam yang kredibilitasnya tidak diragukan lagi. Sebut saja misalnya, teori Van den Berg sebagaimana dikutip oleh Bustanul Ariin yang meyatakan bahwa umat Islam di Indonesia selama ini melaksanakan hukum Islam meskipun ada sedikit penyimpangan (Bustanul Ariin, 2001: 36); teori Ichtiyanto sebagai lanjutan dari penemuan Hazairin menyatakan bahwa hukum Islam itu “ada” di Indonesia, teori eksistensi ini menyatakan bahwa hukum Islam di Indonesia ini ada

Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri

dalam arti merupakan bagian integral dari, sebagai bahan penyaring bahan-bahan, diakui kemandiriannya dan diberi status sebagai, serta sebagai bahan dan unsur utama dalam pembentukan hukum nasional (Ichtiyanto, 1990: 79). Sementara itu H.M. Tahir Azhary menyampaikan teorinya “konsentris”, yakni bahwa antara agama, hukum dan Negara mempunyai hubungan yang apabila disatukan akan membentuk lingkaran konsentris dan merupakan satu kesatuan serta saling membutuhkan (Tahir Azhary, 1992: 43) Berikutnya Teori Penerimaan Autorita Hukum: teori ini menyatakan bahwa seseorang yang telah menyatakan dan menerima bahwa Islam sebagai agamanya, maka semua norma yang ada pada ajaran Islam memiliki otoritas, kekuasaan untuk memaksa orang itu untuk melaksanakan ajarannya (H.A.R Gibb, 1993: 85) meskipun bentuk paksaan sebuah ajaran terhadap pemeluknya masih perlu dipertanyakan, kecuali atas dasar kepercayaan dan keimanan.

Di pihak lain ada teori yang dikemukakan oleh tokoh lain yang sangat berbeda atau bahkan bertentangan dengan teori-teori di atas. Yang terakhir ini misalnya teori yang ditemukan oleh Snouck Hurgronje, yang menyatakan bahwa hukum Islam dapat dianggap digunakan dan dilaksanakan bagi umat Islam Indonesia manakala ia telah diserap oleh hukum adat. Artinya hukum Islam yang belum diterima oleh adat dan menjadi tradisi masyarakat tidak dapat digunakan sebagai alat dan norma hukum untuk menyelesaikan masalah yang menjadi sengketa dalam komunitas santri yang mengajukan perkaranya dalam rangka mencari keadilan, kecuali jika hakim yang menyelesaikan perkara itu memperhatikan nilai dan norma hukum yang hiduip di masyarakat itu. Dalam proses penyelesaian perkara hakim tidak boleh hanya menemukan norma hukum yang telah ada dalam Undang-undang sebagai hukum materiil pengadilan itu. Hakim harus menggali dan memperhatikan rasa keadilan dan hukum yang hidup di masyarakat bersangkutan.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang penggunaannya oleh masyarakat yang membutuhkan ditetapkan melalui instruksi Presiden nomor 1 tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama nomor 154 tahun 1991 tidak dapat mengangkat kedudukan norma hukum Islam yang tertuang di dalamnya menjadi “hukum tertulis”, KHI tetap sebagai hukum yang tidak tertulis, meskipun materi hukum Islam ini telah

dikumpulkan dalam sebuah buku serta proses pengumpulannya memerlukan waktu yang cukup panjang, serta metode yang bervariasi. Metode penelitian pandangan para ulama masa lalu dilakukan dengan library research. Materi-materi yang berhubungan dengan masalah perkawinan, kewarisan serta masalah sedekah dan wakaf diteliti melalui penelusuran pada kitab-kitab karya ulama ratusan tahun yang lalu. Metode perbandingan juga digunakan untuk mengetahui lebih mendalam bagaimana materi hukum Islam djadikan sebagai norma hukum tertulis di beberapa Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Di samping dua metode tersebut di atas, metode wawancara juga dimanfaatkan, wawancara dilakukan kepada beberapa tokoh / ulama yang diyakini mengerti bagaimana sesungguhnya norma hukum yang dilaksanakan oleh komunitas santri. Namun nampaknya metode yang terakhir ini kurang dapat memberikan kontribusi yang signiikan dalam proses penyatuan norma hukum Islam yang akan diberlakukan kepada komunitas santri di Indonesia. Ini dapat dilihat bahwa para ulama yang diwawancarai tidak ada yang mengangkat norma mana yang sesungguhnya berlaku dan hidup di komunitas santri, utamanya dalam bidang kewarisan oleh komunitas santri Jawa. Dalam bidang kewarisan ini, jawaban para informan yang terdiri dari para ulama sesuai dengan pandangan ulama yang termaktub dalam karya-karya mereka. Artinya jawaban ulama itu lebih mengarah pada bagaimana norma hukum itu “seharusnya” berlaku bagi umat muslim, tanpa mengungkap bagaimana norma hukum yang “sesungguhnya hidup” di komunitas santri tempat para tokoh itu berada. Hal ini dapat dimengerti karena sangat mungkin para ulama dan tokoh masyarakat itu kurang mengerti norma mana yang sesungguhnya hidup di komunitas santri tersebut. Di sini letak ketidaksinkronan antara yang dikehendaki para pembina hukum nasional dengan para tokoh yang diwawancarai.

Hasil wawancara akan menjadi lain jika yang diwawancarai adalah para birokrat desa yang selalu mendapat laporan pembagian harta waris pasca pembagian yang dilakukan oleh para ahli waris. Meskipun harus diakui bahwa hakim agama hampir selalu memanfaatkan KHI ini - sejak diinstruksikan penyebaran dan penggunaannya oleh Presiden Soeharto bagi yang ingin menggunakannya - dalam proses penyelesaian perkara yang diajukan kepadanya. Dengan ungkapan lain kedudukan KHI tetap sama dengan norma hukum tidak tertulis lainnya, seperti norma hukum adat.

Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri

Dua arus besar teori tersebut di atas membuat peneliti bergegas mengadakan penelitian untuk memastikan bagaimana sesungguhnya realita di lapangan. Hukum Islam yang termaktub dalam KHI buku I tentang perkawinan harus kita akui bahwa komunitas santri di Indonesia benar-benar menaatinya. Ini terbukti komunitas santri yang berkehendak melaksanakan pernikahan selalu mencari tahu apa saja yang harus dipenuhi untuk mengadakan akad tersebut menurut hukum Islam.1Demikian juga, aturan tentang wakaf yang tertuang dalam buku III KHI, komunitas santri juga telah sadar untuk menyelamatkan harta wakaf umat Islam dengan mengajukan pensertiikatannya2 sebagai bukti isik eksistensi harta wakaf itu. Info resmi dari sekretaris desa “semua tanah wakaf di desa Tanggungharjo kecamatan Grobogan ini telah bersertiikat” baik itu mushalla, masjid atau bangunan untuk pendidikaan. (Wawancara dengan sekdes pada tanggal 09 September 2009), Di dua bidang tersebut, hukum Islam memang telah merupakan hukum yang hidup di komunitas santri di Indonesia. Sementara penelitian lapangan tentang pelaksanaan norma hukum di bidang kewarisan yang termaktup dalam KHI buku II, belum banyak tersentuh.

Dipilihnya desa Tanggungharjo kecamatan Grobogan kabupaten Grobogan sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa secara geograis kabupaten ini merupakan wilayah persimpangan dan sekaligus pertemuan Islam santri dan Islam kejawen. Islam santri

1. Khusus di desa Tanggungharjo, tempat penelitian ini dilak - kan, pernikahan secara diam-diam yang menurut istilah yang berkembang di masyarakat disebut “nikah sirri” hamper tidak ada. Disebut hamper tidak ada karena kurang lebih sudah 15 tahun yang lalu atau 4 tahun setelah KHI diresmi- kan penggunaannya pernah terjadi ada seorang gadis yang diketahui telah hamil sebelum nikah, dan laki-laki yang menghamilinya siap bertanggungjawab dengan menikahinya, namun karena laki-laki ini masih dalam proses pendidikan sebagai calon anggota ABRI, yang menurut regulasi yang ditetapkan tidak boleh menikah sebelum pendidikan selesai, maka nikah dilakukan secara sirri, tanpa pencatatan oleh Pegawai pencatat nikah. Sayangnya sesaat setelah pendidikan selesai, laki- laki calon ABRI ini tidak menepati janjinya. Berita itupun sangat cepat menyebar di seluruh penjuru desa tersebut. Dampak negatifnya pasti ada utamanya bagi ke- luarga gadis yang dinikah secara sirri itu. Namun dampak positifnya ternyata juga ada, yakni bahwa para orang tua di desa tersebut tidak bersedia menikahkan anak gadisnya secara sirri, karena takut akan dikecewakan oleh calon menantu laki-laki yang tidak bertanggungjawab. Artinya sejak 1995 yang lalu pernikahan secara sirri di desa Tanggungharjo tidak pernah terjadi lagi.

berada di daerah Demak dan Kudus yang merupakan batas sebelah barat dan barat laut wilayah Grobogan sementara daerah Pati dan Rembang berada di sebelah utara dan timur laut kabupaten yang unik itu. Daerah-daerah tersebut merupakan lumbung dan lambang Islam santri sedang di sebelah selatan, Grobogan berdekatan dengan Surakarta, lambang supremasi Islam kejawen. Pertemuan atau konlik (meminjam istilah Bustanul Ariin) dua nilai atau lebih menurut teori antropologi hukum akan selesai dengan wajar. Jika masyarakat menganggap nilai baru yang datang sebagai nilai yang cocok dengan budaya dan rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat itu, maka masyarakat bersangkutan akan menerimanya dengan senang hati. Namun jika masyarakat menganggap bahwa nilai-nilai yang datang belakangan itu tidak sesuai dengan rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat itu, maka nilai itu dibiarkan, mereka hanya tidak memakainya. Inilah arti wajar dalam pertemuan dua nilai atau lebih. Masyarakat mempunyai daya serap dan daya penyesuaian terhadap konlik-konlik sistem nilai tersebut.

Norma hukum adat merupakan nilai yang paling awal mendampingi orang Jawa sejak sebelum norma hukum ajaran Islam dan kolonial Belanda datang ke bumi nusantara ini. Kehadiran agama Islam dengan ajaran yang penuh toleransi dengan cepat dapat beradaptasi dengan norma-norma yang ada sebelumnya. Islam membiarkan norma-norma masyarakat itu berkomunikasi dan berkumpul. Masyarakat dipersilakan memahami, menilai, dan menentukan pilihan nilai mana yang djadikan sebagai norma hukum yang akan mengatur perilaku mereka dalam mengarungi kehidupan mareka sehari-hari. Sesuai teori pertemuan / konlik nilai, sesbenarnya kehadiran norma hukum BW yang dibawa oleh pemerintah Belanda juga akan berlaku teori itu. Namun karena pertemuan nilai yang terakhir ini direkayasa dengan menggunakan sarana kekuasaan, maka konlik tidak dapat dihindari, karena pertemuannya tidak berjalan secara alami, yang ujungnya tidak dapat selesai dengan wajar. Penggunaan kekuasaan untuk memberlakukan BW di kalangan seluruh rakyat Indonesia

Aturan peralihan harta kekayaan oleh orang Jawa baik yang beragama Islam ataupun tidak dari satu generasi ke generasi berikutnya merupakan bagian dari norma hukum yang ada di antara mereka. Kenyataan di lapangan menunjukkan semakin kuatnya teori

Pembagian Harta Kekayaan Oleh Komunitas Santri

Qodri Azizy bahwa ada tiga sistem hukum yang benar-benar ada di lingkungan orang Jawa itu, yakni norma hukum BW, Islam dan adat. Tiga sistem hukum ini saling berebut di hati masyarakat Jawa. Penelitian ini ingin mengkaji peralihan harta kekayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya oleh komunitas santri di desa Tanggungharjo kecamatan Grobogan kabupaten Grobogan Jawa Tengah.

Agar tidak terjadi salah pemahaman, di bawah ini akan diuraikan beberapa term pada judul yang sangat mungkin para pembaca salah mengerti. Istilah “komunitas santri” dalam penelitian ini ditujukan pada sebuah komunitas muslim yang taat menjalankan ajaran agama dengan indikator aktif melakukan shalat lima waktu dan aktif menjalankan puasa pada bulan Ramadhan. Dengan demikian maksud judul di atas adalah kajian ilmiah dan sistematis yang pokok bahasannya pada pelaksanaan pembagian harta waris kepada ahli warisnya yang dilakukan oleh komunitas muslim, aktif menjalankan shalat lima waktu serta menjalankan puasa Ramadhan, dan sebagai penduduk asli desa Tanggungharjo kecamatan Grobogan kabupaten Grobogan Jawa Tengah serta masih berdomisili di desa tersebut sampai saat penelitian ini dilakukan.

Dalam dokumen STRUKTUR HUKUM PEGADAIAN SYARIAH DALAM P (Halaman 184-189)