• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM PENGATURAN SINGLE

A. Latar Belakang Lahirnya Single Presence Policy

Krisis perbankan yang terjadi pada tahun 1997 telah memberikan pelajaran akan pentingnya menciptakan industri perbankan nasional yang memiliki ketahanan dan kemampuan yang memadai untuk mengadapi berbagai macam gejolak eksternal. Hal ini dikarenakan secara keseluruhan akibat krisis perbankan tersebut telah memperburuk tidak saja aspek likuiditas perbankan, tetapi juga aspek solvabilitas dan rentabilitasnya, mengingat perbankan merupakan dominan dalam industri keuangan di Indonesia, maka secara sistematis sektor keuangan juga mengalami kelumpuhan. Krisis keuangan dan perbankan tersebut telah menyedot keuangan negara yang mencapai sekitar 50 % Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, sehingga dapat dikategorikan terbesar dalam sejarah krisis keuangan.88 Biaya krisis tersebut tentu saja belum memperhitungkan dampak negatif krisis pada perekonomian secara keseluruhan akibat hilangnya pertumbuhan ekonomi, investasi dan tingkat

88

Biaya fiskal penanganan krisis perbankan Indonesia mencapai Rp.654 triliun atau 51% GDP tahunan dan menempati posisi tertinggi di antara negara-negara Asia lainnya. Menurut Hohonan dan Klingebiel, biaya fiskal penanganan krisis di Thailand 32,8%, Korea Selatan 26,5%, Jepang 20 %, Malaysia 16,4%, dan Filipina 0,5%(1988) dan 13,2% (1983-1987). Patrick Honohan dan Daniella Klingebiel, Controlling Fiscal Costs of Banking Crisis, Policy Research Paper No.2441, (The World Bank, 2000) dalam Kusumaningtuti SS, Peranan Hukum dalam Penyelesaian Krisis Perbankan di Indonesia, (Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada, 2009), hlm.,1

pengangguran, aspek sosial lainnya akibat terjadinya instabilitas sosial politik sebagai dampak ikutan disaat krisis terjadi.89

Belajar dari pengalaman krisis tersebut, dengan pangsa aset terhadap keseluruhan sistem keuangan yang melebihi 80%, industri perbankan yang sehat dan kuat sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjamin kesinambungan pembangunan ekonomi nasional, termasuk pencegahan krisis dan menjaga stabilitas sistem keuangan, maka Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia telah mengeluarkan rekomendasi untuk percepatan penyehatan perbankan dalam kurun waktu 5 sampai dengan 10 tahun ke depan dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (selanjutnya disingkat dengan API).90 Bank Indonesia mengatakan bahwa API dirancang sebagai rekomendasi kebijakan (policy recommendation) bagi industri perbankan nasional dalam menghadapi segala perubahan yang terjadi di masa mendatang sekaligus menjadi arah kebijakan (policy direction) yang harus ditempuh oleh perbankan dalam kurun waktu yang cukup panjang. Isi dokumennya

89

Anwar Nasution, “Masalah-Masalah Sistem Keuangan…..Loc.,cit. Kondisi tidak stabilnya ekonomi suatu negara dimulai dengan kondisi instabilitas finansial dan dilanjutkan dengan kondisi resesi atau krisis ekonomi. Sejarah menunjukkan manakala sistem finansial semakin besar, maka resiko terjadinya gejolak dan krisis juga semakin tinggi. Maka dari itu, bisa dikatakan bahwa sektor finansial menjadi transmisi yang paling efektif untuk memunculkan gejolak dan krisis. Meskipun, sumber krisis tidak selalu harus dimulai dari suatu masalah di pasar finansial itu sendiri. Jika krisis masih terisolasi pada sektor finansial saja, maka boleh dikatakan situasi belum sampai menjalar pada krisis ekonomi. Tapi manakala gejolak finansial telah mengganggu kinerja makro ekonomi, seperti inflasi yang parah, pertumbuhan yang melambat dan lain sebagainya, maka kondisi ini boleh dikatakan telah merembet pada situasi krisis ekonomi. A.Prasetyantoko, Bencana Finansial Stabilitas Sebagai Barang Publik, (Jakarta: Kompas, 2008), hlm 12.

90

Bank Indonesia mengunakan istilah arsitektur perbankan karena dianggap memberikan nuansa yang bersifat lebih komprehensif dan luas mengenai tatanan perbankan yang diinginkan sampai waktu yang akan datang. Ada banyak istilah lain yang memiliki pengertian hampir serupa dengan arsitektur perbankan. Istilah itu antara lain adalah blueprint perbankan, landscape perbankan, stratifikasi perbankan dan pemetaan perbankan. Hermansyah, Op.,Cit. hlm.177.

menyangkut hampir semua aspek yang berhubungan dengan perbankan, seperti kelembagaan, struktur, pengawasan, pengaturan dan lembaga penunjang lainnya.91Dimana visi API yaitu mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.92

Guna mempermudah pencapaian visi API, maka dijabarkan dalam 6 (enam) sasaran yang ingin dicapai. Keenam sasaran ini merupakan pilar untuk menunjang pencapaian visi API tersebut.93 Salah satu pilar dari enam pilar yang menjadi agenda perbankan ke depan adalah pilar pertama yang menyangkut struktur perbankan yang sehat.94 Struktur perbankan yang sehat tersebut merupakan inti dari semua permasalahan perbankan karena baik buruknya industi perbankan akan banyak

91

Awawil Rizky dan Nasyith Majidi, Op.,Cit., hlm. 152. Dengan adanya API tersebut, memungkinkan industri perbankan memiliki struktur yang kuat dalam jangka panjang sehingga internal maupun external shocks yang datang secara tiba-tiba, seperti krisis moneter 1997 lalu dapat dicegah ataupun diatasi dengan baik. Bank-bank diharapkan akan memiliki fundamental yang kuat dalam jangka panjang sehingga perbankan nasional, tidak hanya beroperasi di pasar domestik saja melainkan juga mampu melaukan penetrasi sampai di pasar internasional. Agus Sugiarto, “ Membangun Fundamental Perbankan yang Kuat”, Media Indonesia,26 Januari 2004

92

API menjadi kebutuhan yang mendesak bagi perbankan Indonesia dalam rangka memperkuat fundamental industri perbankan. Krisis ekonomi tahun 1997 menunjukkan bahwa industri perbankan nasional belum memiliki kelembagaan perbankan yang kokoh yang didukung infrastruktur untuk dapat mengatasi gejolak internal maupun eksternal. Belum kokohnya fundamental perbankan nasional merupakan tantangan, bukan hanya bagi industri perbankan secara umum, tetapi juga bagi Bank Indonesia sebagai otoritas pengawasnya. Dahlan Siamat, Op.,Cit., hlm.,125.

93

Keenam pilar API tersebut adalah sebagai berikut: 1. Struktur perbankan yang sehat dan mampu mendorong pembangunan ekonomi nasional dan berdaya saing internasional; 2. Sistem pengaturan yang efektif dan mampu mengantisipasi perkembangan pasar keuangan domestik dan internasional; 3. Sistem pengawasan bank yang independen; 4. Penguatan kondisi internal industri perbankan; 5. Penciptaan dan penguatan infrastruktur pendukung industri perbankan; dan 6. Perlindungan dan pemberdayaan nasabah. Hermansyah, Op.,Cit., hlm. 182.

94

Program ini bertujuan untuk memperkuat permodalan bank umum dalam rangka meningkatkan kemampuan bank mengelola usaha maupun resiko, mengembangkan teknologi informasi, maupun meningkatkan skala usaha guna mendukung peningkatan kapasitas pertumbuhan kredit perbankan dimana implementasi program penguatan bank dilaksanakan secara bertahap. Leo J.Susilo dan Karlen Simarmata, Op.,Cit., hlm. 73.

ditentukan oleh bagus tidaknya struktur yang dibuat disamping perlu adanya fungsi pendukung lain seperti pengawasan dan pengaturan yang efektif.95 Struktur perbankan Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan antara lain:96

a) Belum optimalnya struktur perbankan di Indonesia ditandai oleh terkonsentrasinya struktur perbankan hanya pada 11 bank besar (yang menguasai 75 % asset perbankan Indonesia). Namun, bagi bank-bank kecil juga perlu mendapat perhatian karena selain jumlahnya relatif banyak, bank-bank kecil tersebut juga memiliki cakupan usaha yang relatif sama dengan bank-bank besar namun dengan kemampuan operasional, manajemen resiko dan corporate

governance yang relatif lebih terbatas. Demikian pula, dibandingkan dengan

negara-negara lain, kepemilikan pemerintah Indonesia dalam perbankan nampak cukup tinggi, bahkan lebih tinggi di kawasan Asia. Hal ini juga merupakan persoalan tersendiri terhadap struktur perbankan karena dapat menimbulkan konflik kepentingan yang akan mengganggu efisiensi pasar.97 b) Jumlah bank yang masih banyak (131 bank) dengan ribuan kantor cabang di

dalam negeri dan luar negeri menyulitkan pengawasan secara intensif oleh bank sentral.98

95

Agus Sugiarto, “ Mencari Struktur Perbankan yang Ideal”, Kompas,16 Juli 2003. 96

Ryan Kiryanto, :Konsolidasi Perbankan Nasional Menuju Best Prsctice, Makalah Seminar disampaikan di Jakarta, 2 Juni 2007, dalam http://rahmansaleh.files.wordpress.com/2007/08/best- practice-konsolidasi-perbankan-indonesia-2-juni-2007.ppt.

97

Dahlan Siamat, Op.,Cit., hlm. 127. 98

Pertumbuhan jumlah bank yang amat pesat sebagai hasil kebijakan deregulasi 1988 (Pakto 88) yang tidak disertai dengan ketentuan prudensial dan pengawasan yang memadai oleh bank sentral. Masalah-masalah utama yang timbul setelah deregulasi adalah: pertama, mengenai perkembangan dan pertumbuhan sektor perbankan di Indonesia. Akibat deregulasi tahun 1988 yang antara lain mencakup

c) Selain itu modal bank-bank di Indonesia tergolong rendah jika dibandingkan dengan modal bank di negara tetangga padahal bank dikenal sebagai usaha padat modal dan berisiko tinggi. Rata-rata modal inti bank umum di Indonesia adalah Rp.1.347,4 milyar sedangkan di Malaysia Rp.5.503,62 milyar, Thailand Rp.8.919,36 milyar, Philipina Rp.1.961,32 milyar dan Singapura Rp.34.976,88 milyar. Tidak satu pun bank di Indonesia termasuk dalam 200 besar tingkat dunia bandingkan dengan Singapura yang memiliki tiga bank, Thailand satu, India dua dan Korea Selatan tujuh bank. Dari 131 bank di Indonesia hanya 9 bank yang tercatat masuk dalam peringkat 1000 dunia. Bank Mandiri sebagai bank terbesar dari sisi aset hanya menduduki peringkat ke-251 dunia.99

d) Konsentrasi atau dominasi kepemilikan bank oleh individu-individu sekaligus sebagai pengurus bank (langsung atau tidak langsung) berpotensi menimbulkan benturan kepentingan dan moral hazard dalam pengelolaan bank.100

persyaratan mendirikan bank yang terlalu ringan, jumlah bank di Indonesia menjadi sangat banyak, dan kebanyakan dalam skala kecil. Jumlah yang banyak ini yang terjadi dalam tempo yang sangat singkat sangat mempersulit otoritas moneter (Bank Indonesia) untuk mengawasi setiap bank secara individu. Selain jumlahnya yang banyak, sebagian besar dari bank-bank tersebut sangat lemah, baik dilihat dari sumber daya manusia, prasarana dan sarana pendukung, maupun struktur modalnya. Kedua, terlalu terkonsentrasinya kredit perbankan hanya pada sejumlah perusahaan tertentu saja, yakni sekitar 300 perusahaan atau khususnya 50 konglemerat. Akibatnya, sistem perbankan di Indonesia menjadi sangat tidak sehat karena sangat tergantung pada kemampuan atau keinginan dari hanya segelintir orang saja. Tulus Tambunan, Op.,Cit., hlm.193-194. Akan tetapi sejak krisis moneter yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997, jumlah bank menyusut sebagian besar disebabkan oleh penutupan, dari 239 bank pada tahun 1996 menjadi 222 bank pada akhir tahun 1997. Selanjutnya, lebih menurun menjadi 208 pada akhir tahun 1998 dan menjadi 173 bank pada tahun 1999. Pada tahun 2006, jumlah bank mencapai 131 bank. Kusumaningtuti SS, Op.,Cit.,hlm., 11.

99

Zulkarnain Sitompul, “Merger, Akuisisi dan Konsolidasi…Loc.,cit. 100

Sejak diluncurkannya Pakto 88, terjadinya penambahan jumlah bank swasta yang pendirian dan penguasaan lembaga-lembaga perbankan hampir seluruhnya dilakukan oleh kelompok bisnis milik para konglemerat yang sebelumnya memiliki bisnis inti dalam sektor riil sehingga praktis belum pernah menjalankan operasi perbankan. Akibatnya, kaitan yang erat antara pengusaha yang terlibat di dalam bisnis dengan usaha perbankan, sulit dipisahkan. Hal ini dikarenakan sejumlah bank

e) Kasus fraud di industri perbankan nasional dalam beberapa tahun terakhir mengindikasikan lemahnya kualitas kontrol internal dan kurang terpujinya moralitas sebagaian pengurus bank serta kurang optimalnya pengawasan oleh bank sentral karena ketidakseimbangan jumlah bank dengan jumlah aparat pengawas bank.

Salah satu cara untuk memperkuat struktur perbankan Indonesia adalah dengan konsolidasi perbankan. Konsolidasi perbankan merupakan salah satu prasyarat untuk mewujudkan struktur perbankan Indonesia yang sehat dan kuat. Dengan konsolidasi diharapkan terjadi peningkatan skala ekonomi sehingga dapat meningkatkan efetivitas pengawasan bank101. Langkah penguatan struktur perbankan yang ditempuh melalui kebijakan konsolidasi antara lain dengan melakukan penataan kembali struktur kepemilikan bank. Untuk itu, Bank Indonesia pada bulan Oktober 2006 mengeluarkan,Paket Kebijakan Oktober 2006 yang dikenal dengan PAKTO 2006. Salah satu isi paket tersebut adalah berisi kebijakan mengenai Kepemilikan Tunggal Perbankan (Single Presence Policy) yang tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/16/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006.102

yang tumbuh dan berkembang tidak lepas dari kepentingan bisnis pemiliknya. Sebagai contoh terjadinya praktik penyaluran kredit melebihi batas maksimum kepada perusahaan yang merupakan anggota kelompok usaha bank tersebut. Dalam kondisis seperti ini bank telah kehilangan fungsi utamnya sebagai lembaga perantara keuangan yang seharusnya bertindak netral. Kecendrungan ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip persaingan yang sehat yang menjadi prasyarat bagi efisiensi sektor perbankan. Didik J.Racbini, Suwido Tono, dkk, Op.,Cit., hlm., 46-47.

101

Zulkarnain Sitompul, “Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi….Loc.cit.. 102

Selain PBI mengenai kebijakan Kepemilikan Tunggal Perbankan, Pakto 2006 juga berisi 13 PBI lainnya, dimana 11 kebijakan untuk optimalisasi pemberian kredit perbankan serta 3 kebijakan untuk menciptakan perbankan yang sehat dan kuat termasuk didalamnya kebijakan kepemilikan tunggal. Menurut Bank Indonesia, Pakto 2006 ini untuk meningkatkan peran perbankan dalam pembiayaan, mendorong upaya penguatan industri perbankan, memberi ruang gerak perbankan dalam

Alasan dikeluarkannya Single Presence Policy ini dapat dilihat bagian menimbang dari peraturan tersebut yaitu:

a) bahwa untuk mewujudkan struktur perbankan Indonesia yang sehat dan kuat diperlukan langkah-langkah konsolidasi perbankan;

b) bahwa dalam rangka mendorong konsolidasi perbankan perlu dilakukan penataan kembali struktur perbankan melalui penerapan kebijakan kepemilikan tunggal;

c) bahwa disamping itu, kebijakan kepemilikan tunggal pada perbankan Indonesia merupakan salah satu faktor penting dalam mendukung efektivitas pengawasan bank.103

Berdasarkan hal diatas sasaran dikeluarkannya single presence policy ini adalah untuk meningkatkan konsolidasi perbankan sesuai dengan API, meningkatkan efetivitas pengawasan perbankan oleh Bank Indonesia, memudahkan pelaksanaan

pemberian kredit dengan aspek kehati-hatian, dan memberi ruang dalam meningkatkan konsolidasi perbankan. “Efek Doping Pakto 2006” dalam situs http://www.infobanknews.com/artikel/rubrik/artikel.php?aid=4089. Diakses tanggal 12 April 2009.

103

Dengan kebijakan kepemilikan tunggal ini merupakan upaya untuk mendukung langkah Bank Indonesia dalam menyempurnakan sistem pengawasan bank yang menggunakan pendekatan pengawasan berdasarkan resiko secara terkonsolidasi (consolidated supervision). Consolidated Bank Supervision adalaha pengawasan bank secara konsolidasi, baik downstream dengan anak perusahaan maupun upstream hingga ke perusahaan induk. Metode pengawasan bank secara terkonsolidasi ini merupakan tambahan dari metode pengawasan bank secara solo (solo-basis) yang umumnya dilakukan oleh otoritas pengawas. Melalui metode tersebut, otoritas pengawas turut memperhitungkan potensi resiko yang ada di anak perusahaan dan perusahaan induk dari bank. Bank Indonesia, “Glosari Laporan Pengawasan Perbankan 20007”. dalam http://www.scribd.com/doc/6455650/Bank-Indonesia- Laporan-Pengawasan-Perbankan-2007. Diakses tanggal 25 April 2009.

proses pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) dan meningkatkan level

supervisory review dan risk management dalam rangka implementasi Basel II.104