• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pendidikan adalah hal yang sangat penting dalam peradaban manusia, karena dengan pendidikan manusia menjadi orang yang mempunyai wawasan yang luas. Pendidikan mampu menjadikan seseorang dapat mencapai kehidupan yang lebih baik. Dalam pendidikan tidak terlepas dari kata belajar dan mengajar. Pendidikan tidak hanya diberikan dalam batas ruang saja, melainkan pendidikan juga bisa didapatkan di mana dan waktu kapan saja. Sehingga pendidikan dapat disimpulkan adalah suatu pembelajaran yang tidak terikat oleh ruang dan waktu dan bisa dilakukan oleh siapa saja.

Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 pasal 1, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar anak secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Ada dua hal yang menjadi poin penting dari pendidikan yaitu pendidikan dilakukan secara sadar dan pendidikan yang dilakukan secara terencana.

Kedua poin penting ini akan menggiring manusia untuk memaksimalkan potensi yang dimilikinya. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ahmad Tafsir yang menyatakan bahwa pendidikan adalah sebagai usaha yang dilakukan oleh seseorang (pendidik) terhadap seseorang (anak didik) agar tercapai perkembangan maksimal yang positif.1

Dalam ajaran Islam, pendidikan sudah dikenalkan pertama kali saat Jibril datang menemui Nabi Muhammad Saw. Di Gua Hira untuk membaca

1 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1992), hal. 28

dan mengikuti apa yang dibicarakan kepadanya. Turunya surat Al-Alaq dari ayat 1-5 adalah adanya bukti tentang adanya proses pengajaran dan pendidikan. Dari ke-5 ayat yang turun pertama kali, Mahmudi dalam jurnalnya mengatakan setidaknya ada 4 poin, yaitu pertama, manusia sebagai subjek dalam membaca, memperhatikan, merenungkan, meneliti dengan prinsip niat baik yang ditandai dengan menyebut nama Tuhan.

Kedua, objek yang dibaca, diperhatikan, dan direnungkan, yaitu materi dan proses penciptaan menjadi manusia yang sempurna. Ketiga, media dalam aktivitas membaca dan lainnya. Dan keempat, motivasi dan potensi yang dimiliki oleh manusia, “rasa ingin tahu”. 2

Seperti yang diketahui bahwa proses pendidikan itu terjadi karena adanya pendidik, siswa, dan alat pendidikan baik itu secara nampak atau secara kasat mata. Pendidikan yang dialami oleh seseorang dimulai sejak mereka masih berbentuk janin sampai menjadi manusia yang utuh atau dewasa. Sehingga tak salah bila ada pepatah mengatakan buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Begitu juga dengan apa yang dilakukan oleh anak adalah cerminan dari orang tuanya dahulu. Karena anak adalah fitrah dan orang tuanyalah yang membimbingnya ke arah mana yang diinginkannya sesuai dengan kecenderungan potensi yang dimiliki oleh anak-anaknya.

Sebagaimana yang dikatakan hadis Nabi Saw. bersabda :

َع اَن َ

` 2 Mahmudi, Pendidikan Agama Islam dan Pendidikan Islam Tinjauan Epistimologi, Isi, dan Materi, Ta’dibuna : Jurnal Pendidikan Agama Islam¸ Vol. 2, No. 1, Mei 2019, hal. 91

ْ ل َه َءا َع ْم َج ًة َمْي ِهَب ِة َمْي ِهَب ْ

“Abdan menceritakan kepada kami (dengan berkata) ‘Abdullah memberitahukan kepada kami (yang berkata) Yunus menceritakan kepada kami (yang berasal) dari al-Zuhri (yang menyatakan) Abu Salamah bin

;abd al-Rahman memberitahukan kepadaku bahwa Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah Saw. bersabda: ‘Setiap anak lahir (dalam keadaan) fitrah, kedua orang tuanya (memiliki andil dalam) menjadikan anak beragama Yahudi, atau Nasrani, atau bahkan beragama Majusi, sebagaimana binatang ternak mempertahankan seekor binatang (yang sempurna anggota tubuhnya). Apakah anda melihat anak binatang itu ada yang cacat (putus telinganya atau anggota tubuhnya yang lain)’?”.3

Begitulah Islam sangat intens sekali memperhatikan tentang pendidikan, terutama dalam prosesnya seperti proses tumbuh kembangnya seorang anak. Realitanya, tidak sedikit bagi pendidik yang tidak begitu paham akan perkembangan anak-anaknya. Sehingga momen terpenting dalam kehidupan pendidik untuk menyaksikan hal tersebut kerap tidak pernah disadari dengan sungguh-sungguh. Padahal masa yang paling penting dalam mendidik adalah masa anak-anak. Namun tidak sedikit pula pendidik yang menyaksikan tumbuh kembang anak menggunakan cara yang tidak tepat dalam mendidiknya. Akibatnya, dari cara mendidik tersebut anak tumbuh dengan pengetahuan yang didapatnya dari luar.

Oleh karena itu orang tua harus menjadi suri tauladan bagi anak-anaknya. Karena anak akan meniru secara tidak langsung perilaku yang diperlihatkan oleh orang tuanya. Masa meniru secara tidak langsung ini akan membentuk watak anak di kemudian hari. Dengan demikian orang tua harus memiliki usaha dalam mengasuh dan memelihara anak-anaknya.

Anak merupakan daya penyerap yang pintar sehingga apapun pengalaman

3 Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar Ibn Katsir al-Yamamah, 1987), kitab al-Janaiz, Bab idza aslam al-shabiyyu fa mata hal yushallo ‘alaih, Hadis Nomor 1293, Jilid I, hal.

456

yang dialaminya akan diingat dengan kuat.4 Karena tak jarang orang tua yang menginginkan anaknya berhasil dan sukses justru mendapatkan hasil yang sebaliknya dikarenakan kurangnya perhatian orang tua terhadap pendidikan anaknya.

Dalam pandangan Islam, anak adalah amanat yang dibebankan oleh Allah Swt. kepada kedua orang tuanya, karena itu orang tua harus menjaga dan memelihara serta menyampaikan amanah itu kepada anaknya seperti mengantarkan anaknya untuk mengenal dan menghadapkan diri kepada Allah Swt. sebagai Tuhan seluruh alam yang mengatur segala urusan hambanya. Namun kenyataannya, banyak dari golongan orang tua yang tidak memperhatikan persoalan ini, khususnya orang tua yang mementingkan karirnya daripada menemani tumbuh kembangnya anak untuk mendidiknya. Sehingga orang tua rela mengeluarkan uang yang tidak begitu sedikit untuk mendidik anaknya oleh orang lain.

Padahal sejalan dengan itu, tugas bahkan kewajiban orang tua dalam ajaran Islam khususnya adalah mengajarkan kitab Al Quran kepadanya, mendidik dengan mencintai Nabinya dan mendidik untuk segera mengerjakan sholat. Sebagaimana tertera dalam hadits Rasulullah Saw. :

:َم َّ

mereka, mencintai anggota keluarganya, dan membaca Al Quran, karena orang yang menghafal Al Quran akan berada dalam lindungan Allah,

4 Maria Montessori, The Absorbent Mind, (Madras: Theosophical Publishing House, 1949b), hal.2

disuatu hari yang tidak ada perlindungan lain kecuali perlindungan Allah”

(HR Al-Dailami dari ‘Ali)5

Akan tetapi dalam mengajarkan hal tersebut harus disertai dengan cara menyampaikan yang tepat kepada sang anak. Materi yang sempurna dan disampaikan dengan cara yang sempurna dengan memperhatikan tahap kembang anak, akan sangat mudah untuk langsung memahaminya. Anak akan senang dan tertarik terhadap apa yang disampaikan oleh pendidik.

Nyatanya dalam kehidupan yang serba modern saat ini, pendidikan yang diberikan orang tua tidaklah sesuai dengan tuntutan Islami seperti hadits Nabi di atas. Karena kurangnya waktu mendidik anak dan terlalu fokus pada urusan di luar bagi orang tua yang berkarir, mengakibatkan kurangnya keterampilan dalam hal mendidik anak. Sehingga metode atau cara yang diberikan terkesan satu arah. Metode yang diberikan dengan model yang seperti ini akan membawa anak kepada minimnya rasa dan perasaan yang dimilikinya, minimnya komunikasi yang terjalin secara harmonis, sehingga anak akan terbiasa dan akan membiasakan diri dengan hal tersebut.

Padahal orang tua harus sering berjumpa dan berdialog dengan anak-anaknya. Pergaulan dalam keluarga harus terjalin secara harmonis.

Kurangnya kedekatan antara kedua orang tua dengan anak-anaknya dapat menimbulkan kerenggangan kejiwaan yang dapat menjerumuskan kepada kerenggangan secara jasmaniah misalnya akan kurang betah di rumah dan lebih senang berada di luar rumah dengan teman-temannya atau betah di dalam rumah namun tidak menghiraukan dengan keadaan sosialnya (fokus terhadap dunianya sendiri). Keadaan pergaulan yang kurang terkontrol ini akan memberi pengaruh yang kurang baik bagi perkembangan kepribadiannya, karena kedua orang tuanya jarang memberi pengarahan dan nasehat kepada dirinya.

5 Sayyid Ahmad Hasyimi, Mukhoratul Hadis al-Nabawiyah, (Bairut Libanon: Darul Bayan al-Arabi, 2002), hadis ke-48, hal. 23

Memberikan pendidikan yang tepat dan terbaik adalah tuntutan orang tua bagi anaknya. Informasi dan metode mengenai program yang membantu tahap kembang anak pada zaman modern ini tentu sangat beragam. Meskipun metode pendidikan anak usia dini beragam tetapi metode pembelajarannya belum tentu cocok bagi semua anak. Sangat sulit bagi orang dewasa untuk menentukan metode yang cocok dan sesuai kebutuhan bagi pendidikan anak usia dini. Hal inilah yang menjadi tugas orang tua dan guru atau orang dewasa untuk memilih dan memahami metode pendidikan anak dan membantu proses tumbuh kembang anak.6

Nyatanya pada anak zaman sekarang dalam mengeksplorasi pengetahuannya cenderung lebih mandiri. Hal ini diakibatkan mudahnya akses informasi yang ada di mana-mana melalui internet. Namun bagi pendidik juga harus menyadari akan hal tersebut dan tidak kalah dengan pengetahuan anak akan era digital sekarang. Dewasa ini dengan mudahnya akses informasi dimana-mana, pendidik bisa mencari-cari tentang metode-metode pendidikan terhadap anak yang sesuai dengan perkembangannya.

Dari sekian banyak metode yang ada, pendidik harus pintar memilah dan memilih metode mana saja yang cocok dengan buah hatinya. Selama beberapa tahun terakhir, ada salah satu metode yang sangat digandrungi oleh masyarakat saat ini yaitu metode Montessori.

Metode Montessori adalah sebuah metode yang disandarkan kepada namanya yaitu Maria Montessori. Ia adalah seorang dokter perempuan pertama di Italia. Metode Montessori ini lahir ketika ia merasakan kejanggalan terhadap anak-anak yang disatukan dengan orang dewasa yang sakit jiwa dan ia berinisiatif untuk memisahkannya. Montessori yakin bahwa anak-anak ini bukanlah anak yang sakit jiwa, melainkan anak hiperaktif dan kurang stimulasi dari lingkungannya. Montessori melakukan

6 Wijayanti L.K. Pemikiran Pendidikan Anak Usia Dini Perspektif Maria Montessori dan Abdullah Nashih Ulwan: Studi Analisis Komparatif.(Tesis) Sekolah Pasca Sarjana. Universitas Islam Maulana Malik Ibrahim, Malang, 2018) hal, 2

observasi dan penelitian terhadap perilaku anak-anak tersebut dengan mencari kegiatan yang relevan dengan mereka dengan menggunakan berbagai macam cara dan alat tentunya. Dan pada akhirnya Montessori membuat suatu kesimpulan bahwa :

1. Semakin menantang materi pembelajaran melalui alat peraga yang disiapkan dengan pengendali kesalahan yang ada dalam alat peraga tersebut, semakin materi itu menarik bagi anak-anak.

2. Anak-anak melakukan kegiatan tidak karena tertarik pada hadiah, melainkan pada keinginan menaklukkan materi pembelajaran tersebut.

3. Pendidikan harus mengikuti perilaku alami anak dan menyiapkan lingkungan yang bisa mendorong kegiatan spontan belajar agar anak mampu memanifestasikan dirinya melalui kegiatan belajar tersebut.7

Dari pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa mendidik anak adalah sebuah usaha yang tidak mudah dilakukan begitu saja. Karena masing-masing anak mempunyai karakter yang berbeda apalagi fase pertumbuhan antara satu anak dengan anak yang lainnya juga tidak sama.

Begitu juga halnya dalam mendidik anak. Seorang pendidik harus lebih cerdas dalam memberikan cara yang terbaik untuk memberikan pendidikan yang optimal dengan memperhatikan setiap fase perkembangannya. Karena setiap fase perkembangan anak membutuhkan cara mendidik yang berbeda.

Dalam klasifikasi pembagian tahap perkembangan anak, yaitu menurut ilmuwan yang sedang penulis teliti adalah Montessori. Menurut Montessori pembagian usia ada tiga bagian, yaitu tahap pertama terjadi pada anak usia 0-6 tahun, tahap kedua pada usia 6-12 tahun, dan tahap ketiga anak usia 12-18 tahun.8 Dengan demikian, bagi seorang pendidik khususnya orang tua dan umumnya bagi para guru harus mengetahui karakteristik

7 Agustina Prasetyu Magini, Sejarah Pendekatan Montessori, (Yogyakarta: Kanisius, 2013), hal. 51

8 Vidya Dwina Paramitha, Jatuh Hati Pada Montessori, (Yogyakarta: PT Bintang Pustaka, 2017), hal. 12

setiap perkembangan usia anak dengan baik agar dapat menstimulasikan metode yang tepat dalam mendidik anak-anaknya sesuai usia perkembangannya. Karena terkadang masih ada orang tua yang menanamkan sistem pendidikan yang sama terhadap anak-anaknya, sehingga timbul kesenjangan antara orang tua dan anak karena berasal dari sistem pendidikan yang diberikan tidak tepat sasaran.

Menurut penulis dengan menggunakan metode yang tepat dalam mendidik anak, anak akan mampu mengeksplorasi pengetahuan yang didapatkan dengan sendirinya. Dengan demikian jiwa mereka akan terbentuk lebih mandiri daripada biasanya begitulah dengan metode Montessori dalam mendidik anak. Metode ini merupakan pendekatan yang berpusat pada anak (children centered), serta berdasarkan pengamatan ilmiah terhadap anak-anak (scientific observation).9 Tujuan pokok yang hendak dicapai Montessori adalah membuat anak-anak mandiri dan melakukan segala sesuatunya sendiri. “Tak ada orang bebas, kecuali dia MANDIRI”.10 Itulah kalimat yang ditanamkan Montessori yang dijadikan sebagai motto dalam mendekatkan diri dalam mendidik anak-anak.

Doktrin lain yang diajarkan Montessori adalah “manusia itu berhasil bukan karena sudah diajarkan oleh gurunya, tetapi karena mereka mengalami dan melakukannya sendiri. Pengalaman adalah guru terbaik”.

Oleh karena itu, guru dalam lingkup pendekatan Montessori tidak lagi disebut sebagai guru, melainkan direktris karena fungsi guru lebih sebagai pengarah, fasilitator, dan observer atau pengamat.11

Oleh karena itu, penulis berinisiatif mengadakan sebuah penelitian tentang cara pendekatan Montessori kepada anak dalam menanamkan nilai-nilai keIslaman dalam kehidupannya. Hal ini menjadi kepentingan bagi diri

9 Zahra Zahira, Islamic Montessori Inspired Activity, (Yogyakarta: Bintang Pustaka, 2019), hal. 1

10 Agustina Prasetyu Magini, Op.Cit., hal. 54

11 Agustina Prasetyu Magini, Ibid., hal. 55

sendiri yaitu penulis khususnya dan umumnya para pembaca yang budiman dalam memberikan pengetahuan-pengetahuan keIslaman dalam menanamkan nilai-nilai spiritual sebagai pondasi dasar kepada anak.

Karena anak yang mempunyai pondasi dasar keagamaan dan spiritualitas yang kuat akan mampu menjalankan kehidupannya dengan baik di fase pertumbuhan setelahnya.

Dengan memperhatikan cara yang tepat dalam mendidik anak, penulis berasumsi hal ini akan menjadi stimulus bagi para pendidik untuk menjadi semangat dan berlomba-lomba dalam mendidik anak-anaknya untuk berprestasi dari segi keilmuan dan juga budi pekerti, yang mana anak-anak yang dididik ini menjadi sumber kebahagiaan. dan ini menjadi modal dasar bagi para calon pendidik baik guru maupun calon orang tua, karena sejatinya kita tidak bisa memilih ingin mempunyai orang tua yang seperti apa, akan tetapi kita semua bisa menjadi orang tua yang seperti apa yang kita inginkan. Berdasarkan hal inilah penulis menyusun skripsi dengan judul

“METODE PENDIDIKAN ANAK MONTESSORI DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM”.