• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang dan Sejarah Pembangunan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan

Jakarta sebagai Ibu Kota Republik Indonesia di samping sebagai pusat kegiatan pemerintah, perdagangan, jasa, pariwisata dan kebudayaan juga sekaligus merupakan pintu gerbang keluar masuknya nilai-nilai budaya dari berbagai penjuru dunia yang merupakan suatu wadah berinteraksinya dari berbagai aspek social budaya masyarakat, baik yang bersifat local maupun nasional, sehingga dengan demikian Kota Jakarta menempatkan kedudukan yang sangat potensial dan strategis baik dalam kala nasional, regional maupun internasional.

Akibat dari pesatnya pembangunan dan pertumbuhan penduduk serta terbatasnya lahan di Jakarta, menyebabkan beban tugas di sekitar kebudayaan akan menjadi sangat kompleks dan dikhawatirkan lambat laun akan memusnahkan adapt istiadat tradisional budaya warganya terutama masyarakat Betawi sebagai inti warga Jakarta. Untuk mengantisipasi hal tersebut perlu penanganan yang ekstra hati-hati dalam merumuskan konsep pembangunan budaya daerah yang meliputi pembinaan, pengembangan nilai luhur budaya bangsa khususnya bagi generasi muda sebagai pewaris dan penerus estafet pembangunan.

Pembangunan budaya daerah pada hakekatnya adalah meningkatkan harkat martabat yang luhur masyarakat Betawi dengan dilandasi keimanan dan ketaqwaan

Terhadap Allah SWT. Sehingga tidak hanya mampu melahirkan sikap prilaku warga kota Jakarta yang bercita rasa halus tetapi juga dapat menghayati akan masalah pembangunan dan berbagai sendi kehidupan masyarakat. Berbangsa dan bernegara guna memperkokoh jati diri dan kepribadian bangsa sebagai benteng modal Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk menciptakan hal tersebut tidaklah semata-mata menjadi tanggung jawab pemerintah daerah saja, melainkan juga menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah Daerah dan warga masyarakat Jakarta yang dalam hal ini adalah masyarakat Betawi.

Berdasarkan hal tersebut maka perlu membangun suatu system pembinaan, pengembangan dan pelestarian budaya khususnya budaya Betawi secara berkesinambungan pada suatu lingkungan yang tertata sesuai dengan karakteristik budayanya dalam rangka memperkokoh khasanah budaya bangsa Indonesia, dari lima lokasi yang disurvey untuk menetapkan suatu system tersebut antara lain Marunda Jakarta Utara, Kemayoran Jakarta Pusat, Condet Jakarta Timur, Serengseng Jakarta Barat, dan Serengseng Sawah Jakarta Selatan, maka lokasi di Kelurahan Serengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta Selatan ditetapkan sebagai Perkampungan Budaya Betawi karena lingkungannya masih sesuai dan masih kental dengan karakteristik kehidupan masyarakat Betawi, keasrian adat Betawi, dan tradisi Betawi. Pada tahun 200 oleh Gubernur kemudian keluarlah surat keputusan NO.29 pada bulan Agustus 2000 dan pada bulan Oktober akhir setelah 3 bulan rampung dibuka tahap awal pada 20 Januari 2001 ditetapkan prasasti bangunan awal sudah dapat digunakan sebagai tempat-tempat rekreasi dan peristirahatan lalu dikuatkan lagi peraturan daerah tanggal 10 Maret 2005 di dalamnya terdapat peraturan daerah

Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 3 didalamnya terdapat perubahan luas wilayah dari 162 ha menjadi 289 ha.29

Kelurahan Serengseng Sawah (dahulu kawasan tersebut biasa disebut Serengseng saja. Tanpa kata Sawah. Orang Belanda VOC menyebutnya Sringsing mungkin karena disitu banyak dibuka persawahan, maka kemudian disebut Serengseng Sawah atau, mungkin juga untuk membadakannya dengan Serengseng Jakarta Barat yang sekarang menjadi nama Kelurahan di wilayah kecamatan Kebon Jeruk

Serengseng diambil dari nama semacam pandan berdaun lebar, pinggirnya berduri-duri, Pandanus Caricosus Rmph., termasuk famili Pandaneseae. Daunnya biasa dianyam dijadikan tikar atau topi kasar). Sampai meletusnya Perang Dunia II produksi tikar dan topi pandan dari Distrik kebayoran mempunyai nilai ekonomis yang cukup berarti, dapat dipasarkan ke daerah-daerah lain bahkan ke luar Pulau Jawa. Sampai tahun tujuh puluhan abad ke-20 masih banyak penduduk asli Serengseng Sawah dan sekitarnya yang membuat tikar dan topi pandan sebagai usaha sampingan.

Pada tahun 1674 kawasan Serengseng Sawah tercatat sebagai milik Karim, anak seorang bekas Kapten Jawa, bernama Citragladak. Kemudian jatuh ke tangan Cornelis Chalestein, tuan tanah kaya raya antara lain memiliki tanah partikelir Depok. Di Serengseng ini mempunyai sebuah rumah peristirahatan.30

29

Wawancara kepada TIM Pengelola Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan 30

Asal Usul Nama Tempat Di Jakarta: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Dinas Kebudayaan dan Permusiuman: 2004.

Menurut suatu hikayat tentang Setu Babakan dahulu ada sepasang kekasih yang tidak disetujui hubungannya oleh orang tua sigadis karena sipemua sangat miskin. Akhirnya sipemuda memutuskan untuk merantau degan tujuan hidup lebih baik. Ia mengatakan pada si gadis. Dengan berlinang air mata si gadis mengizinkan pemuda itu pergi. Setelah setahun berlalu tidak tidak ada kabar berita tentang si pemuda sedangkan si gadis resah menanti pemuda tersebut karena ia ingin dijodohkan oleh orang tuanya. Hingga saat mendekati hari perkawinan gadis itu tetap mengharapkan sipemuda tersebut. Namun, harapan tinggal harapan. Akhirnya karena putus asa ia pergi ke danau (Setu) Babakan dengan perasaan hancur ia menceburkan dirinya k eke sungai, para siluman penghuni danau itu menaruh belas kasihan pada gadis itu. Maka ia tidak meniggal terbenam danau itu, tetapi menjelma menjadi buaya putih. Hingga kini buaya putih itu masih setia menjelma menjadi buaya putih.31hikayat tersebut belum tebukti kebenaranya tetapi sebagian masyarakat Setu Babakan mempercayai adanya legenda tersebut.

Batas fisik kawasan ini adalah:

Sebelah Utara: Jalan Muhammad Kahfi II sampai dengan jalan Desa Putra (jalan H.Pangkat).

Sebelah Timur: Jalan Desa Putra (jalan H. Pangkat), jalan Pratama, jalan Wika, jalan Mangga Bolong Timur dan jalan Lapangan Merah.

Sebelah Selatan: Batas Wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dengan Kota Depok.

31

…, Cerita Rakyat Betawi: Pemerintah Profinsi DKI Jakarta Dinas Kebudayaan dan Permusiuman: 2004.

Daerah ini membentuk Kelurahan tersendiri sebagai bagian penataan Perkampungan Budaya Betawi yang ditetapkan oleh Keputusan Gubernur.

Tujuan penetapan Perkampungan Budaya Betawi adalah:

1) Membina dan melindungi secara sungguh-sungguh dan terus-menerus menata kehidupan serta nilai-nilai Budaya Betawi.

2) Menciptakan dan memanfaatkan potensi lingkungan fisik baik alami maupun buatan yang bernuansa Betawi.

3) Menata dan memanfaatkan potensi lingkungan fisik baik alami maupun buatan yang bernuansa Betawi.

4) Mengendalikan pemanfaatan lingkungan fisik dan non fisik senigga saling bersinergi untuk mempertahankan ciri khas Betawi.

Sasaran penataan Perkampungan Budaya Betawi sebagai berikut:

1) Tumbh dan berkembangnya kesadaran masyarakat penduduk setempat akan pentingnya lingkungan kehidupan komunitas berbudaya Betawi sehingga upaya untuk mempertahankan kelestarian keberadaan Perkampungan Budaya Betawi.

2) Terbina dan terlindunginya lingkungan Perkampungan yang memiliki system nilai, system norma, dan system kegiatan Budaya Betawi.

3) Dimanfaatkannya potensi lingkungan baik fisik maupun non fisik guna kepentingan penigkatan kesejahteraan social.

4) Terkendalinya pemanfaatan ruang sesuai dengan peraturan undang-undang yang berlaku.

Fungsi penetapan Perkampungan Budaya Betawi adalah sebagai sarana pemukiman, ibadah, informasi, seni budaya, pendidikan dan perkampungan serta sebagai pariwisata.32