• Tidak ada hasil yang ditemukan

LEPTOSPIROSIS Keluhan : mual muntah, badan kuning, BAK coklat

Dalam dokumen soal ukdi TO optima mei 2015 (Halaman 144-156)

Derajat II: dibedakan menjadi 2: Derajat II Superficial:

LEPTOSPIROSIS Keluhan : mual muntah, badan kuning, BAK coklat

seperti teh; Pemeriksaan laboratorium : SGOT 143 dan SGPT 140 keterlibatan sistem hepatobilier Demam 5 hari, Leukosit 12.500m3 adanya infeksi bakerial sistemik

Pemeriksaan fisik : perdarahan subkonjungtiva, nyeri tekan gastronekmius dan faktor resiko membersihkan selokan

Gambaran Klinik Utama Leptospirosis

Nyeri tekan gastronekmius: nyeri otot terutama di daerah betis, punggung dan paha. Nyeri ini diduga akibat kerusakan otot sehingga creatinin phosphokinase pada sebagian besar kasus akan meningkat, dan pemeriksaan cretinin phosphokinase ini dapat untuk membantu diagnosis klinis leptospirosis

Conjunctival suffusion

Gangguan fungsi hati yang paling mencolok adalah ikterus, gangguan factor pembekuan, albumin serum menurun, globulin serum meningkat. Gagal ginjal merupakan penyebab kematian yang penting pada leptospirosis.

Penurunan fungsi ginjal disebabkan oleh hipotensi, hipovolemia dan kegagalan sirkulasi. Gangguan aliran darah ke ginjal menimbulkan nefropati pada leptospirosis. Kadang-kadang dapat terjadi insufisiensi adrenal karena perdarahan pada kelenjar adrenal.

Sindrom, fase Manifestasi klinik Spesimen

laboratorium Manajemen Leptospirosis anikterik fase leptospiremia (3-7 hari). Fase imun (3-30 hari).

Demam tinggi, nyeri kepala, mialgia, nyeri perut, mual, muntah, conjungtiva

suffusion. Demam ringan , nyeri kepala, muntah. Darah, LCS Urin Pemberian antibiotik harus dimulai secepat mungkin, 4 hari setelah onset cukup efektif Profilaksis daerah resiko tinggi : Doxycycline 200mg/minggu Antibiotik efektif : sefotaksim,doxycycline, penicillin, ampicillin, dan amoxicillin . Larutan Glukosa dan

garam dapat diberikan secara I.V Dialisis digunakan dalam kasus-kasus serius Pmberian kortikosteroid selama 7-10 hari (tappering off) Leptospirosis ikterik fase leptospiremia dan

fase imun (sering menjadi satu atau overlapping) terdapat periode asimptomatik (1-3 hari)

Demam tinggi, nyeri kepala, mialgia, ikterik gagal ginjal, hipotensi, manifestasi perdarahan, pneumonitis,

leukositosis.

Sindrom klinik berat : Gagal ginjal akut, ikterus, manifestasi perdarahan, dan hepato-splenomegali Weil’s disease. Darah, LCS minggu pertama. Urin minggu kedua.

Referensi:

1. Pavli A, Maltezou HC.2008."Travel-acquired leptospirosis". J Travel Med 15 (6): 447– 53.doi:10.1111/j.1708-8305.2008.00257.x.PMID19090801

2. World Health Organization (WHO). 2003.Human Leptospirosis: Guidance for diagnosis,

surveillance and control. Geneva.

3. Zein, Umar. 2007. Leptospirosis.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. H.1845-48

111. B. TT dan ATS

Anti serum atau Human Tetanus Immunoglobuline (HTIG)

Dosis ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU im dan 50.000 IU iv. Pemberian ATS harus berhati-hati akan reaksi anafilaksis.

- Pada tetanus anak, pemberian anti serum dapat disertai dengan imunisasi aktif DT setelah anak pulang dari rumah sakit. Bila fasilitas tersedia, dapat diberikan HTIG (3.000-6.000 IU) secara intramuskular (IM) dalam dosis tunggal.

- Untuk bayi, dosisnya adalah 500 IU IM dosis tunggal. Sebagian dari dosis tersebut diberikan secara infiltrasi di tempat sekitar luka.

HTIG hanya dapat menghilangkan toksin tetanus yang belum berikatan dengan ujung saraf. Intraveneous Immunoglobuline (IVIG) mengandung antitoksin tetanus dan dapat digunakan jika HTIG tidak tersedia. Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas terhadap imunoglobulin atau komponen human immunoglobuline sebelumnya; trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian secara IM. Tujuan pemberian ATS dan HTIG adalah untuk menetralisasi toksin yang beredar di dalam darah dan dapat juga diberikan sebagai profilaksis.

Terdapat 2 jenis toksoid yang tersedia, yaitu toksoid teradsorbsi (adsorbed) (aluminium salt precipitated) dan toksoid cair. Meskipun secara serokonversi adalah hampir sama, toksoid adsorbed lebih disukai karena respon antitoksinnya mencapai titer yang lebih tinggi dan lebih lama dibandingkan dengan toksoid cair.

Tetanus toxoid tersedia dalam bentuk antigen tunggal yang dikombinasi dengan toksoid difteri ( diphteria toxoid tetanus (DT) pada anak, sedangkan pada dewasa dalam bentuk adult tetanus-diphteria (Td)) dan dikombinasi dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis aseluler (Dtap atau Tdap).

Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (< 6 jam) dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif. HTIG juga dapat diberikan sebagai profilaksis luka. Berikut ini adalah pedoman pemberian profilaksis terhadap tetanus:

Keterangan :

Td: difteri adult-type dan vaksin tetanus toksoid: TIG: tetanus immune globulin; TdaP: booster tetanus toksoid, toksoid difteri dengan dosis lebih kecil dan pertusis aselular.

1. Antara lain (tidak terbatas hanya): luka yang terkontaminasi oleh kotoran/feses, tanah, dan air liur; tusukan; avulsi; dan luka akibat tembakan, tabrakan, luka bakar, dan frostbite

2.TdaP lebih baik dibandingkan Td untuk remaja yang belum pernah mendapat imunisasi TdaP. Td lebih baik dibandingkan TT untuk remaja yang telah diimunisasi TdaP atau TdaP memang tidak tersedia di Indonesia.

3.Imun globulin i.v. Diberikan bilamana TIG tidak tersedia. TIG: 250 U i.m. di sisi ekstremitas lain dari pemberian tetanus toksoid

4. Bilamana telah diberikan 3 dosis toxoid fluid, dosis keempat tetap diberikan dan sebaiknya berupa adsorbed toxoid

5.Ya, jika >10 tahun mendapat imunisasi yang mengandung tetanus

6.Ya, jika >5 tahun mendapat imunisasi yang mengandung tetanus dan tidak diperlukan booster lagi.

Referensi:

1. CDC. Tetanus. http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/tetanus.pdf 2. Health Technology Assessment Indonesia Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

112. E. Pada pr dewasa kehami Pengob Umur K Trimest Trimest Trimest Pengob Umur K Trimest Trimest Trimest Dosis k Sebagai malaria Pada fa tenaga menggu Referen Pedoma Pengen Jakarta. 113. A. Quinin + K rinsipnya p lainnya. P lan. Pada ib batan Mala Kehamilan ter I (0-3 bu ter II (4-6 b ter III (7-9 b batan Mala Kehamilan ter I (0-3 bu ter II (4-6 b ter III (7-9 b klindamisin i kelompok a yang dilak asilitas kese kesehatan unakan kela nsi: an Penatala dalian Peny . Amenore p Klindamisin pengobatan Perbedaann bu hamil tid aria falcipa ulan) bulan) bulan) aria vivaks ulan) bulan) bulan) 10 mg/kgB yang berisi kukan sebaik ehatan, skrin n/fasilitas k ambu berins aksanaan Ka yakit dan Pe primer n malaria pa nya adalah dak diberika rum pada I pada Ibu H BB diberikan iko tinggi p knya sedini ning ibu ham kesehatan. sektisida set

asus Malari enyehatan L

ada ibu ham pada pem an Primakuin Ibu Hamil Peng Kina ACT ACT Hamil Peng Kina ACT ACT n 2 x sehari pada ibu ham

i mungkin a mil dilakuk Selanjutny tiap tidur. ia di Indone Lingkungan mil sama de mberian oba n. gobatan a tablet + K T tablet sela T tablet sela gobatan a tablet sela T tablet sela T tablet sela . mil dilakuka atau begitu kan pada ku ya pada i esia. Gebrak . Departeme engan peng at malaria Klindamisin ama 3 hari ama 3 hari ama 7 hari ama 3 hari ama 3 hari an penapisa ibu tahu ba unjungannya ibu hamil k Malaria. en Kesehata gobatan pad berdasarka selama 7 ha an/skrining t ahwa diriny a pertama s juga dia Direktorat J an Indonesi da orang an umur ari terhadap ya hamil. sekali ke anjurkan Jenderal ia. 2012.

Amenorea Definisi:

Amenorea adalah keadaaan tidak terjadinya menstruasi pada seorang wanita. Hal tersebut normal terjadi pada masa sebelum pubertas, kehamilan dan menyusui, dan setelah menopause. Siklus menstruasi normal meliputi interaksi antara komplek hipotalamus hipofisis-aksis indung telur serta organ reproduksi yang sehat (lihat artikel menstruasi). Amenorea sendiri terbagi dua, yaitu:

Amenorea primer

Amenorea primer adalah keadaan tidak terjadinya menstruasi pada wanita usia 16 tahun. Amenorea primer terjadi pada 0.1 – 2.5% wanita usia reproduksi

Amenorea sekunder

Amenorea sekunder adalah tidak terjadinya menstruasi selama 3 siklus (pada kasus oligomenorea <jumlah darah menstruasi sedikit>), atau 6 siklus setelah sebelumnya mendapatkan siklus menstruasi biasa. Angka kejadian berkisar antara 1 – 5%

Penyebab:

Penyebab tersering dari amenorea primer adalah: Pubertas terlambat

Kegagalan dari fungsi indung telur

Agenesis uterovaginal (tidak tumbuhnya organ rahim dan vagina) Gangguan pada susunan saraf pusat

Himen imperforata yang menyebabkan sumbatan keluarnya darah menstruasi dapat dipikirkan apabila wanita memiliki rahim dan vagina normal

Penyebab terbanyak dari amenorea sekunder adalah kehamilan, setelah kehamilan, menyusui, dan penggunaan metode kontrasepsi disingkirkan, maka penyebab lainnya adalah:

Stress dan depresi

Nutrisi yang kurang, penurunan berat badan berlebihan, olahraga berlebihan, obesitas Gangguan hipotalamus dan hipofisis

Gangguan indung telur Obat-obatan

Penyakit kronik dan Sindrom AshermanGambar 2. Komplek hipotalamus-hipofisi-aksis indung telur

Tanda dan gejala:

Tanda amenorea adalah tidak didapatkannya menstruasi pada usia 16 tahun, dengan atau tanpa perkembangan seksual sekunder (perkembangan payudara, perkembangan rambut pubis), atau kondisi di mana wanita tersebut tidak mendapatkan menstruasi padahal sebelumnya sudah pernah mendapatkan menstruasi. Gejala lainnya tergantung dari apa yang menyebabkan terjadinya amenorea.

Pemeriksaan Penunjang:

Pada amenorea primer, apabila didapatkan adanya perkembangan seksual sekunder maka diperlukan pemeriksaan organ dalam reproduksi (indung telur, rahim, perlekatan dalam rahim) melalui pemeriksaan USG, histerosalpingografi, histeroskopi, dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Apabila tidak didapatkan tanda-tanda perkembangan seksualitas sekunder maka diperlukan pemeriksaan kadar hormon FSH dan LH.

Setelah kemungkinan kehamilan disingkirkan pada amenorea sekunder, maka dapat dilakukan pemeriksaan Thyroid Stimulating Hormone (TSH) karena kadar hormon tiroid dapat mempengaruhi kadar hormon prolaktin dalam tubuh. Selain itu kadar hormon prolaktin dalam tubuh juga perlu diperiksa. Apabila kadar hormon TSH dan prolaktin normal, maka Estrogen/Progestogen Challenge Test adalah pilihan untuk melihat kerja hormon estrogen terhadap lapisan endometrium dalam rahim.

Terapi:

Pengobatan yang dilakukan sesuai dengan penyebab dari amenorea yang dialami, apabila penyebabnya adalah obesitas, maka diet dan olahraga adalah terapinya. Belajar untuk mengatasi stress dan menurunkan aktivitas fisik yang berlebih juga dapat membantu. Terapi amenorea diklasifikasikan berdasarkan penyebab saluran reproduksi atas dan bawah, penyebab indung telur, dan penyebab susunan saraf pusat.

A. Saluran reproduksi

1) Aglutinasi labia (penggumpalan bibir labia) yang dapat diterapi dengan krim estrogen 2) Kelainan bawaan dari vagina, hymen imperforata (selaput dara tidak memiliki lubang),

septa vagina (vagina memiliki pembatas di antaranya). Diterapi dengan insisi atau eksisi (operasi kecil)

3) Sindrom Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser. Sindrom ini terjadi pada wanita yang memiliki indung telur normal namun tidak memiliki rahim dan vagina atau memiliki keduanya namun kecil atau mengerut. Pemeriksaan dengan MRI atau ultrasonografi (USG) dapat membantu melihat kelainan ini. Terapi yang dilakukan berupa terapi non-bedah berupa dilatasi (pelebaran) dari tonjolan di tempat seharusnya vagina berada atau terapi bedah dengan membuat vagina baru menggunakan skin graft

4) Sindrom feminisasi testis. Terjadi pada pasien dengan kromosom 46, XY kariotipe, dan memiliki dominan X-linked sehingga menyebabkan gangguan dari hormon testosteron. Pasien ini memiliki testis dengan fungsi normal tanpa organ dalam reproduksi wanita (indung telur, rahim).

Secara fisik bervariasi dari wanita tanpa pertumbuhan rambut ketiak dan pubis sampai penampakan seperti layaknya pria namun infertil (tidak dapat memiliki anak).

5) Parut pada rahim. Parut pada endometrium (lapisan rahim) atau perlekatan intrauterine (dalam rahim) yang disebut sebagai sindrom Asherman dapat terjadi karena tindakan kuret, operasi sesar, miomektomi (operasi pengambilan mioma rahim), atau tuberkulosis. Kelainan ini dapat dilihat dengan histerosalpingografi (melihat rahim dengan menggunakan foto roentgen dengan kontras).

Terapi yang dilakukan mencakup operasi pengambilan jaringan parut. Pemberian dosis estrogen setelah operasi terkadang diberikan untuk optimalisasi penyembuhan lapisan dalam rahim

B. Gangguan Indung Telur

1) Disgenesis gonadal. Disgenesis gonadal adalah tidak terdapatnya sel telur dengan indung telur yang digantikan oleh jaringan parut. Terapi yang dilakukan dengan terapi penggantian hormon pertumbuhan dan hormon seksual.

2) Kegagalan Ovari Prematur. Kelaianan ini merupakan kegagalan dari fungsi indung telur sebelum usia 40 tahun. Penyebabnya diperkirakan kerusakan sel telur akibat infeksi atau proses autoimun.

3) Tumor ovarium. Tumor indung telur dapat mengganggu fungsi sel telur normal. C. Gangguan Susunan Saraf Pusat

1. Gangguan hipofisis. Tumor atau peradangan pada hipofisis dapat mengakibatkan amenorea. Hiperprolaktinemia (hormon prolaktin berlebih) akibat tumor, obat, atau kelainan lain dapat mengakibatkan gangguan pengeluaran hormon gonadotropin. Terapi dengan menggunakan agonis dopamin dapat menormalkan kadar prolaktin dalam tubuh.

Sindrom Sheehan adalan tidak efisiennya fungsi hipofisis. Pengobatan berupa penggantian hormon agonis dopamin atau terapi bedah berupa pengangkatan tumor. 2. Gangguan hipotalamus. Sindrom polikistik ovari, gangguan fungsi tiroid, dan Sindrom

Cushing merupakan kelainan yang menyebabkan gangguan hipotalamus. Pengobatan sesuai dengan penyebabnya.

3. Hipogonadotropik, hipogonadism. Penyebabnya adalah kelainan organik dan kelainan fungsional (anoreksia nervosa atau bulimia). Pengobatan untuk kelainan fungsional membutuhkan bantuan psikiater.

114. B. Denial

Reaksi respon: menolak mempercayai bahwa kehilangan terjadi secara nyata dan mengisolasi diri. Reaksi fisik: letih, lemah, diare, gelisah, sesak napas dan nadi cepat. Contoh: "tidak mungkin, berita kematian itu tidak benar. Saya tidak percaya suami saya pasti nanti kembali".

115. D. 24-36 jam

LEBAM MAYAT/LIVOR MORTIS

• Bercak warna merah ungu (livide) pada bagian terendah tubuh dan yang bebas tekanan.

• Mekanismenya: Orang setelah meninggal sistem kardiovaskulernya berhenti, terjadi stasis aliran darah, pengaruh gaya gravitasi darah menuju bagian tubuh yg terendah tapi masih dalam pembuluh darah.

• Darah tetap cair karena masih ada aktivitas fibrinolisin yang berasal dari endotel pembuluh darah.

• Lebam mayat mulai nampak 30 menit-1 jam postmortem. Menetap 6-8 jam postmortem. Jadi, sebelum 6 jam pada penekanan masih hilang atau memucat.

• Lebam mayat menetap disebabkan karena pembuluh darah sudah penuh terisi sel-sel darah & otot-otot pembuluh darah sudah mengalami kekakuan.

KAKU MAYAT (RIGOR MORTIS)

Kekakuan otot baik otot volunter maupun non volunter yang terjadi setelah meninggal,dan didahului oleh relaksasi primer.

Mekanismenya:

Setelah meninggal, lama-lama kadar ATP habis sehingga protein otot (aktin & miosin) menggumpal & otot kaku.

Kaku mayat dibuktikan dengan memeriksa persendian.

Mulai muncul 2 jam postmortem pada otot-otot kecil,menetap 12 jam sampai 24 jam, setelah 24 jam menghilang.

Faktor yang mempercepat terjadinya kaku mayat: Aktivitas fisik

Suhu tubuh & lingkungan yg tinggi Bentuk tubuh kurus

PEMBUSUKAN (DECOMPOSITION)

Proses kerusakan atau degradasi jaringan yg terjadi akibat autolisis dan kerja bakteri. Autolisis karena faktor enzim.

Terjadi 24 jam postmortem. Ada warna kehijauan pada perut kanan bawah (daerah sekum).

Pembusukan lebih cepat bila:

Suhu lingkungan optimal (26,5 oC sampai suhu tubuh normal) Kelembapan udara yang cukup

Banyak bakteri pembusuk Tubuh gemuk

Menderita penyakit infeksi/sepsis 116. B. Eritromisin

Pertusis yang berat terjadi pada bayi muda yang belum pernah diberi imunisasi. Setelah masa inkubasi 7-10 hari, anak timbul demam, biasanya disertai batuk dan keluar cairan hidung yang secara klinik sulit dibedakan dari batuk dan pilek biasa. Pada minggu ke-2, timbul batuk paroksismal yang dapat dikenali sebagai pertusis. Batuk dapat berlanjut sampai 3 bulan atau lebih. Anak infeksius selama 2 minggu sampai 3 bulan setelah terjadinya penyakit.

Diagnosis

Curiga pertusis jika anak batuk berat lebih dari 2 minggu, terutama jika penyakit diketahui terjadi lokal. Tanda diagnostik yang paling berguna:

Batuk paroksismal diikuti suara whoop saat inspirasi, sering disertai muntah. Perdarahan subkonjungtiva.

Anak tidak atau belum lengkap diimunisasi terhadap pertusis.

Bayi muda mungkin tidak disertai whoop, akan tetapi batuk yang diikuti oleh berhentinya napas atau sianosis, atau napas berhenti tanpa batuk. Periksa anak untuk tanda pneumonia dan tanyakan tentang kejang.

Tatalaksana

Kasus ringan pada anak-anak umur ≥ 6 bulan dilakukan secara rawat jalan dengan perawatan penunjang. Umur < 6 bulan dirawat di rumah sakit, demikian juga pada anak dengan pneumonia, kejang, dehidrasi, gizi buruk, henti napas lama, atau kebiruan setelah batuk. Antibiotik

Beri eritromisin oral (12,5 mg/kgBB/kali, 4 kali sehari) selama 10 hari atau jenis makrolid lainnya. Hal ini tidak akan memperpendek lamanya sakit tetapi akan menurunkan periode infeksius.

Oksigen

Beri oksigen pada anak bila pernah terjadi sianosis atau berhenti napas atau batuk paroksismal berat. Gunakan nasal prongs, jangan kateter nasofaringeal atau kateter nasal, karena akan memicu batuk. Selalu upayakan agar lubang hidung bersih dari mukus agar tidak menghambat aliran oksigen. Terapi oksigen dilanjutkan sampai gejala yang disebutkan di atas tidak ada lagi. Perawat memeriksa sedikitnya setiap 3 jam, bahwa nasal prongs berada pada posisi yang benar dan tidak tertutup oleh mukus dan bahwa semua sambungan aman.

Tatalaksana jalan napas

Selama batuk paroksismal, letakkan anak dengan posisi kepala lebih rendah dalam posisi telungkup, atau miring, untuk mencegah aspirasi muntahan dan membantu pengeluaran sekret.

- Bila anak mengalami episode sianotik, isap lendir dari hidung dan tenggorokan dengan lembut dan hati-hati.

- Bila apnu, segera bersihkan jalan napas, beri bantuan pernapasan manual atau dengan pompa ventilasi dan berikan oksigen.

Perawatan penunjang

• Hindarkan sejauh mungkin segala tindakan yang dapat merangsang terjadinya batuk, seperti pemakaian alat isap lendir, pemeriksaan tenggorokan dan penggunaan NGT.

• Jangan memberi penekan batuk, obat sedatif, mukolitik atau antihistamin.

• Obat antitusif dapat diberikan bila batuk amat sangat mengganggu. Jika anak demam (≥ 390 C) yang dianggap dapat menyebabkan distres, berikan parasetamol. Beri ASI atau cairan per oral. Jika anak tidak bisa minum, pasang pipa nasogastrik dan berikan makanan cair porsi kecil tetapi sering untuk memenuhi kebutuhan harian anak. Jika terdapat distres pernapasan, berikan cairan rumatan IV untuk menghindari risiko terjadinya aspirasi dan mengurangi rangsang batuk. Berikan nutrisi yang adekuat dengan pemberian makanan porsi kecil dan sering. Jika penurunan berat badan terus terjadi, beri makanan melalui NGT.

Pemantauan

Anak harus dinilai oleh perawat setiap 3 jam dan oleh dokter sekali sehari. Agar dapat dilakukan observasi deteksi dan terapi dini terhadap serangan apnu, serangan sianotik, atau episode batuk yang berat, anak harus ditempatkan pada tempat tidur yang dekat dengan perawat dan dekat dengan oksigen. Juga ajarkan orang tua untuk mengenali tanda serangan apnu dan segera memanggil perawat bila ini terjadi.

Komplikasi

Pneumonia merupakan komplikasi tersering dari pertusis yang disebabkan oleh infeksi sekunder bakteri atau akibat aspirasi muntahan. Tanda yang menunjukkan pneumonia bila

didapatkan napas cepat di antara episode batuk, demam dan terjadinya distres pernapasan secara cepat.

Kejang. Hal ini bisa disebabkan oleh anoksia sehubungan dengan serangan apnu atau sianotik, atau ensefalopati akibat pelepasan toksin. Jika kejang tidak berhenti dalam 2 menit, beri antikonvulsan.

Gizi kurang. Anak dengan pertusis dapat mengalami gizi kurang yang disebabkan oleh berkurangnya asupan makanan dan sering muntah. Cegah gizi kurang dengan asupan makanan adekuat, seperti yang dijelaskan pada perawatan penunjang.

Perdarahan dan hernia

Perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis sering terjadi pada pertusis. Tidak ada terapi khusus. Hernia umbilikalis atau inguinalis dapat terjadi akibat batuk yang kuat. Tidak perlu dilakukan tindakan khusus kecuali terjadi obstruksi saluran pencernaan, tetapi rujuk anak untuk evaluasi bedah setelah fase akut.

Tindakan Kesehatan Masyarakat

Beri imunisasi DPT pada pasien pertusis dan setiap anak dalam keluarga yang imunisasinya belum lengkap. Beri DPT ulang untuk anak yang sebelumnya telah diimunisasi. Beri eritromisin suksinat (12.5 mg/kgBB/kali 4 kali sehari) selama 14 hari untuk setiap bayi yang berusia di bawah 6 bulan yang disertai demam atau tanda lain dari infeksi saluran pernapasan dalam keluarga.

Referensi: WHO. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. 2009 Jakarta. 117. E. Streptomycin

Pasien di atas termasuk ke dalam pasien TB dengan riwayat putus pengobatan atau kategori default. Oleh karena itu, pasien seharusnya mendapatkan pengobatan TB kategori 2, yaitu 2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3. Pada beberapa keadaan, terdapat kontraindikasi terhadap obat TB, salah satunya kehamilan seperti pada pasien ini. Pada keadaan hamil, obat TB yang menjadi kontraindikasi adalah streptomisin.

PENGOBATAN TUBERKULOSIS PADA KEADAAN KHUSUS

Dalam dokumen soal ukdi TO optima mei 2015 (Halaman 144-156)