Waktu mulai kontrasepsi pasca persalinan tergantung dari status menyusui. Metode yang langsung dapat digunakan adalah:
Spermisida Kondom
Koitus interuptus Klien menyusui:
Klien menyusui tidak memerlukan kontrasepsi pada 6 minggu pascapersalinan. Pada klien yang menggunakan MAL waktu tersebut dapat sampai 6 bulan.
Jika klien menginginkan metode selain MAL, perlu didiskusikan efek samping metode kontrasepsi tersebut terhadap laktasi dan kesehatan bayi. Sebagai contoh pil kombinasi dan suntikan kombinasi merupakan pilihan terakhir. Pil kombinasi, meskipun dengan pil dosis rendah (30-35 µg EE) akan mengurangi produksi ASI, dan secara teoritis akan berpengaruh terhadap pertumbuhan normal bayi pada 6-8 minggu pascapersalinan. Tunggulah 8-12 minggu pascapersalinan sebelum mulai pil kombinasi atau suntikan kombinasi.
Referensi: Abdul Bari Saifuddin, dkk. 2006. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi Edisi 2. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
44. C. Pertusis
Pertusis yang berat terjadi pada bayi muda yang belum pernah diberi imunisasi. Setelah masa inkubasi 7-10 hari, anak timbul demam, biasanya disertai batuk dan keluar cairan hidung yang secara klinik sulit dibedakan dari batuk dan pilek biasa. Pada minggu ke-2, timbul batuk paroksismal yang dapat dikenali sebagai pertusis. Batuk dapat berlanjut sampai 3 bulan atau lebih. Anak infeksius selama 2 minggu sampai 3 bulan setelah terjadinya penyakit.
Diagnosis
Curiga pertusis jika anak batuk berat lebih dari 2 minggu, terutama jika penyakit diketahui terjadi lokal. Tanda diagnostik yang paling berguna:
Batuk paroksismal diikuti suara whoop saat inspirasi, sering disertai muntah Perdarahan subkonjungtiva
Anak tidak atau belum lengkap diimunisasi terhadap pertusis
Bayi muda mungkin tidak disertai whoop, akan tetapi batuk yang diikuti oleh berhentinya napas atau sianosis, atau napas berhenti tanpa batuk. Periksa anak untuk tanda pneumonia dan tanyakan tentang kejang.
Referensi: WHO. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta. 45. B. M. leprae
Pembahasan:
Kriteria diagnosis Morbus Hansen (lepra, kusta), berdasarkan kriteria WHO 1997 terdapat tanda cardinal berupa:
- Kelainan kulit hipopigmentasi atau eritematosa dengan anestesi yang jelas. - Kelainan syaraf tepi berupa penebalan syaraf dengan anastesi.
- Hapusan kulit positif untuk kuman tahan asam.
Diagnosis ditegakkan bila dijumpai 1 tanda utama tersebut.
Penyebab MH adalah Mycobacterium leprae yang bersifat interseluler obligat, basil tahan asam, 1 – 8 x 0,2 – 0,5 mikron. Pada pemeriksaan histopatologik akan didapatkan sel Virchow (sel lepra, sel busa)
Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995)
Pausi Basiler (PB) Multi Basiler (MB)
1. Lesi Kulit - 1-5 lesi
- Distribusi tidak simetris - Hilangnya sensasi yang jelas - >5 - Distribusi lebih simetris - Hilangnya sensasi kurang jelas
2. Kerusakan saraf (menyebabkan hilangnya sensansi / kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang terkena) - Hanya 1 cabang saraf - Banyak cabang saraf 3. BTA - +
Klasifikasi Ridley Jopling (1960) membaginya menjadi: - Lepromatosa (LL) - Borderline Lepromatosa (BL) - MD Borderline (BB) - Tuberkuloid (TT) - Borderline Tuberkuloid (BT) - Intermediet (I)
Gambaran Klinis, Bakteriologik dan Imunologik Multibasiler (MB) Sifat Lepromatosa (LL) Borderline
Lepromatosa (BL) MD Borderine (BB) 1. Lesi
- Bentuk Makula, Infiltrat difus, papul, nodul
Makula, plakat, papul
Plakat, kubah, punch
- Jumlah Tidak terhitung, praktis tidak ada kulit yang sehat
Sukar dihitung, masih ada kulit yang sehat
outdapat
dihitung, kulit sehat jelas ada - Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris - Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar,
berkilat
- Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
- Anestesi Biasanya tidak jelas Tidak jelas Lebih jelas 2. BTA
- Lesi Kulit Banyak (ada Globus) Banyak Agak banyak - Sekret hidung Banyak (ada Globus) Biasanya negatif Negatif
3. Tes Lepromin Negatif Negatif Negatif
Gambaran Klinis, Bakteriologik dan Imunologik Pausibasiler (PB)
Sifat Turbekuloid
(TT)
Borderline Tuberkuloid (BT)
1. Lesi
- Bentuk Makula dibatasi infiltrat
Makula dibatasi infiltrate, infiltrate saja
Infiltrat saja
- Jumlah Satu, dapat
beberapa
Beberapa saja atau satu dengan satelit
Satu atau
beberapa
- Distribusi Asimetris Asimetris Variasi
- Permukaan Kering bersisik Kering bersisik Halus, agak berkilat
- Batas Jelas Jelas Dapat jelas, atau
tidak
- Anestesi Jelas Jelas Tidak ada sampai
tidak jelas 2. BTA
- Lesi Kulit Hampir selalu
negatif Negatif atau hanya 1+ Biasanya negatif 3. Tes Lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Positif lemah,
atau negatif Penatalaksanaan:
Diberikan berdasarkan regimen Multi Drug Therapy (MDT) 1. Pausibasiler
- Rifampisin 600 mg/bulan, diminum di depan petugas - DDS 100 mg/bulan
A. Pengobatan diberikan teratur selama 6 bulan dan diselesaikan dalam waktu maksimal 9 bulan.
2. Multibasiler
- Rifampisin 600 mg/bulan, dosis tunggal - Lamprene 300 mg/hari, dosis tunggal Ditambahkan
- Lamprene 50 mg/hari - DDS 100/hari
A. Pengobatan dilakukan secara teratur sebanyak 12 dosis (bulan) dan diselesaikan dalam waktu maksimal 18 bulan. Setelah selesai 12 dosis dinyatakan Release From Treatment (RTF), meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan BTA (+).
Sumber:
- Kokasih, A et all. 2009. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th edn. Jakrta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 73-88
- Barakbah, Jusuf et all. 2008. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin. Surabaya: Airlangga University Press. Hal 41-54
46. D. Hookworm Hookworm
Telur cacing tambang sulit dibedakan, karena itu apabila ditemukan dalam tinja disebut sebagai telur hookworm atau telur cacing tambang. Telur cacing tambang besarnya ±60 x 40 mikron, berbentuk oval, dinding tipis dan rata, warna putih. Di dalam telur terdapat 4-8 sel. Dalam waktu 1-1,5 hari setelah dikeluarkan melalui tinja maka keluarlah larva rhabditiform. Larva pada stadium rhabditiform dari cacing tambang sulit dibedakan. Panjangnya 250 mikron, ekor runcing dan mulut terbuka. Larva pada stadium filariform (Infective larvae) panjangnya 600-700 mikron, mulut tertutup ekor runcing dan panjang oesophagus 1/3 dari panjang badan. (Gandahusada 2006; Prasetyo, 2003)
Trichuris trichiura
Seekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3.000-10.000 butir. Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan pada kedua kutub dan dilengkapi dengan tutup (operkulum) dari bahan mucus yang jernih. Kulit telur bagian luar berwarna kekuningan dan bagian dalamnya jernih. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut matang dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu tanah yang lembap dan tempat yang teduh. (Gandahusada, 2006 dan Prasetyo, 2003)
47. A. Ergotamin
Migrain merupakan sebuah gangguan kompleks yang ditandai oleh perulangan episode nyeri kepala, unilateral, dan dalam beberapa keadaan berhubungan dengan gejala visual dan sensori-dikenal dengan aura, yang sering muncul mendahului nyeri kepala namun dapat pula terjadi setelah serangan. Secara epidemiologi, migraine lebih banyak terjadi pada perempuan dan diduga kuat berhubungan dengan faktor genetik.
Pengobatan migraine terdiri dari terapi pada keadaan akut (abortive) dan preventif (profilaktik). Pasien dengan serangan berulang seringnya memerlukan keduanya. Penelusuran faktor pencetus migrain juga harus diidentifikasi untuk meminimalkan serangan ulang.
Pengobatan dalam keadaan akut, bertujuan untuk membalikkan atau setidaknya menghentikan progresivitas nyeri kepala yang berlangsung. Pengobatan preventif tidak diberikan pada saat serangan, bertujuan untuk mengurangi frekuensi dan keparahan serangan migraine, dan apabila terjadi episode serangan maka penderita akan lebih responsive terhadap pengobatan abortive.
Prioritas pengobatan pada keadaan serangan seperti pada kasus selain terapi farmakologi juga meliputi menyediakan lingkungan yang mendukung seperti ruang istirahat yang gelap dan sunyi, karena penderita migrain dalam serangan serin mengalami photophobia dan phonophobia. Sejumlah pengobatan abortive dapat digunakan dalam keadaan serangan baik berupa analgesik tunggal ataupun dalam kombinasi dengan senyawa lain, selain itu terdapat pula golongan obat migraine-specific seperti triptan dan ergot alkaloid.
Ergot dan dihydroergotamine merupakan pengobatan yang telah lama ada untuk migraine, dan terbukti memiliki efektivitas yang setara, dan harga yang lebih murah dibandingkam golongan triptan yang lebih baru.
Referensi:
American Academy of Neurology. 1995. Practice parameter: appropriate use of ergotamine tartrate and dihydroergotamine in the treatment of migraine and status migrainosus (summary statement). Report of the Quality Standards Subcommittee of the American Academy of Neurology. Neurology;45(3 Pt 1):585-7.
Bartleson JD, Cutrer FM. 2010. "Migraine update. Diagnosis and treatment". Minn Med 93 (5): 36–41.
48. E. 2 tahun bebas dengan penurunan dosis sebelumnya Syarat penghentian obat anti epilepsi:
Penghentian penggunaan OAE dimulai 2 sampai 5 tahun bebas bangkitan kejang.
1. Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan
2. Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan
3. Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari satu OAE yang bukan utama
Kemungkinkan kekambuhan setelah penghentian OAE:
Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan kekambuhannya. Epilepsi simtomatik.
Gambaran EEG abnormal.
Penggunaan OAE lebih dari 1.
Masih mendaptkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi. Mendapat terapi 10 tahun atau lebih.
Kekambuhan akan semakin kecil kemungkinanya bila penderita telah bebas bangkitan selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka pengobatan menggunakan dosis efektif terakhir, kemudian evaluasi.
Referensi:
Ahmed Z, Spencer S.S 2004. An Approach to the Evaluation of a Patient for Seizures and Epilepsy, Wisconsin Medical Journal, 103(1) : 49-55.
Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A (editors). 2003.: Pedoman Tatalaksana Epilepsi, Kelompok Studi Epilepsi Perdossi.
49. C. Asosiasi longgar Pembahasan:
- Neologisme: kata baru yang diciptakan oleh pasien dengan mengombinasikan suku kata lain.
- Apraksia: suatu kondisi di mana seseorang tidak bisa lagi melakukan gerakan ketika diminta untuk melakukannya. Tidak ada yang salah dengan otot-ototnya. Orang tersebut juga memahami perintah dan ingin membuat gerakan, tetapi tidak dapat secara fisik melakukannya.
- Asosiasi longgar: mengatakan hal-hal yang tidak ada hubungannya satu sama lain. Contoh: “saya mau makan. Semua orang dapat berjalan”. Bila ekstrim, maka akan terjadi inkoherensi. Asosiasi yang sangat longgar dapat dilihat dari ucapan seorang penderita seperti berikut ini, “….Saya yang menjalankan mobil kita harus membikin tenaga nuklir dan harus minum es krim…”.
- Ekolalia: pengulangan kata atau frasa seseorang oleh seseorang lain (psikopatologis), cenderung berulang dan menetap, dapat diucapkan dengan mengejek atau intonasi terputus-putus.
- Logorrhoe: bicara yang banyak sekali, berkaitan atau berhubungan, dan logis. 50. B. Anticholinergik
Pembahasan:
Gejala ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu kelompok atau reaksi yang ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi antipsikotik. Gejala ekstrapiramidal sering di bagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi distonia akut, tardiv diskinesia, akatisia, dan parkinsonism (Sindrom Parkinson).
a) Reaksi Distonia Akut (ADR)
Keadaan ini merupakan spasme atau kontraksi involunter, akut dari satu atau lebih kelompok otot skelet yang lazimnya timbul dalam beberapa menit. Kelompok otot yang paling sering terlibat adalah otot wajah, leher, lidah atau otot ekstraokuler, bermanifestasi sebagai tortikolis, disastria bicara, krisis okulogirik dan sikap badan yang
tidak biasa. Suatu ADR lazimnya mengganggu sekali bagi pasien. Dapat nyeri atau bahkan dapat mengancam kehidupan dengan gejala-gejala seperti distonia laring atau diafragmatik. Reaksi distonia akut sering sekali terjadi dalam satu atau dua hari setelah pengobatan dimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja. Keadaan ini terjadi pada kira-kira 10% pasien, lebih lazim pada pria muda, dan lebih sering dengan neuroleptik dosis tinggi yang berpotensi lebih tinggi, seperti haloperidol dan flufenazine.
b) Akatisia
EPS ini merupakan yang paling sering terjadi. Kemungkinan terjadi pada sebagian besar pasien yang diobati dengan medikasi neuroleptik, terutama pada populasi pasien lebih muda. Terdiri dari perasaan dalam yang gelisah, gugup atau suatu keinginan untuk tetap bergerak. Juga telah dilaporkan sebagai rasa gatal pada otot. Pasien dapat mengeluh karena anxietas atau kesukaran tidur yang dapat disalah tafsirkan sebagai gejala psikotik yang memburuk. Sebaliknya, akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik akibat perasaan tidak nyaman yang ekstrim.
c) Sindrom Parkinson
Merupakan EPS lain yang agak lazim yang dapat dimulai berjam-jam setelah dosis pertama neuroleptik atau dimulai secara berangsur-angsur setelah pengobatan bertahun-tahun. Manifestasinya meliputi:
Akinesia: yang meliputi wajah topeng, kejedaan dari gerakan spontan, penurunan ayunan lengan pada saat berjalan, penurunan kedipan, dan penurunan mengunyahyang dapat menimbulkan pengeluaran air liur. Pada bentuk yang yang lebih ringan, akinesia hanya terbukti sebagai suatu status perilaku dengan jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan kesukaran untuk memulai aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala negative skizofrenia.
Tremor: khususnya saat istirahat, secara klasik dari tipe penggulung pil. Tremor dapat mengenai rahang yang kadang-kadang disebut sebagai “sindrom kelinci”. Keadaan ini dapat dikelirukan dengan diskenisia tardiv, tapi dapat dibedakan melalui karakter lebih ritmik, kecerendungan untuk mengenai rahang daripada lidah dan responya terhadap medikasi antikolinergik.
Gaya berjalan membungkuk: menyeret kaki dengan putaran huruf en cetak dan hilangnya ayunan lengan.
Kekakuan otot: terutama dari tipe cogwheeling. d) Tardive Diskinesia
Merupakan sindrom yang terjadi lambat dalam bentuk gerakan koreoatetoid abnormal, gerakan otot abnormal, involunter, menghentak, balistik, atau seperti tik. Hal ini disebabkan defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif reseptor dopamine di puntamen kaudatus. Wanita tua yang diobati jangka panjang mudah mendapatkan gangguan tersebut walaupun dapat terjadi di perbagai tingkat umur pria ataupun wanita. Prevalensi bervariasi tetapi tardive diskinesia diperkirakan terjadi 20-40% pasien yang berobat lama. Tetapi sebagian kasus sangat ringan dan hanya sekitar 5% pasien memperlihatkan gerakan berat nyata. Namun, kasus-kasus berat sangat melemahkan sekali, yaitu memengaruhi berjalan, berbicara, bernapas, dan makan. Faktor predisposisi
dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan pengobatan berdosis tinggi atau jangka panjang. Pasien dengan gangguan afektif atau organik juga lebih berkemungkinan untuk mengalami diskinesia tardive. Gejala hilang dengan tidur, dapat hilang timbul dengan berjalannya waktu dan umumnya memburuk dengan penarikan neuroleptik. Diagnosis banding jika mempertimbangkan diskinesia tardive meliputi penyakit Hutington, Khorea Sindenham, diskinesia spontan, tik dan diskinesia yang ditimbulkan obat (contohnya levodopa, stimulant dan lain-lain). Perlu dicatat bahwa diskinesia tardive yang diduga disebabkan oleh kesupersensitivitasan reseptor dopamine pasca sinaptik akibat blockade kronik dapat ditemukan bersama dengan sindrom Parkinson yang diduga disebabkan karena aktivitas dopaminergik yang tidak mencukupi.
Penatalaksanaan:
a) Reaksi Distonia Akut (ADR)
Medikasi antikolinergik merupakan terapi ADR bentuk primer dan praterapi dengan salah satu obat-obat ini biasanya mencegah terjadinya penyakit. Paduan obat yang umum meliputi benztropin (Congentin) 0,5-2 mg dua kali sehari (BID) sampai tiga kali sehari (TID) atau triheksiphenidil (Artane) 2-5 mg TID. Seorang pasien yang ditemukan dengan ADR berat, akut harus diobati dengan cepat dan secara agresif. Bila dilakukan jalur intravena (IV) dapat diberikan benztropin 1 mg dengan dorongan IV. Umumnya lebih praktis untuk memberikan difenhidramin (Benadryl) 50 mg intramuskuler (IM) atau bila obat ini tidak tersedia gunakan benztropin 2 mg IM. Remisi ADR dramatis terjadi dalam waktu 5 menit.
b) Akatisia
Agen yang paling umum dipakai adalah antikolinergik dan amantadin (Symmetrel); obat ini dapat juga dipakai bersama. Penelitian terakhir bahwa propanolol (Inderal) sangat efektif dan benzodiazepine, khususnya klonazepam (klonopin) dan lorazepam (Ativan) mungkin sangat membantu.
c) Sindrom Parkinson
Aliran utama pengobatan sindrom Parkinson terinduksi neuroleptik terdiri atas agen antikolinergik. Amantadin juga sering digunakan. Levodopa yang dipakai pada pengobatan penyakit Parkinson idiopatik umumnya tidak efektif akibat efek sampingnya yang berat.
d) Tardive Diskinesia
Pencegahan melalui pemakaian medikasi neuroleptik yang bijaksana merupakan pengobatan sindrom ini yang lebih disukai. Ketika ditemukan pergerakan involunter dapat berkurang dengan peningkatan dosis medikasi antipsikotik tetapi ini hanya mengeksaserbasi masalah yang mendasarinya. Setelah permulaan memburuk, pergerakan paling involunter akan menghilang atau sangat berkurang, tetapi keadaan ini memerlukan waktu sampai dua tahun. Benzodiazepine dapat mengurangi pergerakan involunter pada banyak pasien, kemungkinan melalui mekanisme asam gamma-aminobutirat-ergik. Baclofen (lioresal) dan propanolol dapat juga membantu pada beberapa kasus. Reserpin (serpasil) dapat juga digambarkan sebagai efektif tetapi
depresi dan hipotensi merupakan efek samping yang umum. Pengurangan dosis umumnya merupakan perjalanan kerja terbaik bagi pasien yang tampaknya mengalami diskinesia tardive tetapi masih memerlukan pengobatan. Penghentian pengobatan dapat memacu timbulnya dekompensasi yang berat, sementara pengobatan pada dosis efektif terendah dapat mempertahankan pasien sementara meminimumkan risiko, tetapi kita harus pasti terhadap dokumen yang diperlukan untuk penghentian pengobatan.
51. B. Oftalmoskopi
Perimeter dan kampimeter: alat pengukur atau pemetaan lapang pandangan terutama daerah sentral atau parasentral.
Oftalmoskop: merupakan alat yang mempunyai sumber cahaya untuk melihat fundus okuli. Terdapat 2 kegunaan, yaitu memeriksa adanya kekeruhan pada media penglihatan yang keruh seperti pada kornea, lensa dan badan kaca, serta memeriksa fundus okuli terutama retina dan papil saraf optik.
Gonioskopi: dapat melihat keadaan sudut bilik mata yang dapat menimbulkan glaukoma. Penentuan gambaran sudut bilik mata dilakukan pada setiap kasus yang dicurigai adanya glaukoma. Pemeriksaan ini dilakukan dengan meletakkan lensa sudut.
Tonometri: suatu tindakan untuk melakukan pemeriksaan tekanan intraokular dengan alat yang disebut tonometer. Dikenal beberapa alat tonometer seperti alat tonometer Schiotz dan tonometer aplanasi Goldman.
Referensi:
Ilyas, Sidarta. 2009. Kedaruratan dalam Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai penerbit FK UI. 52. D. BPPV
BPPV adalah gangguan keseimbangan perifer yag sering dijumpai. Gejala yang dikeluhkan adalah vertigo yang datang tiba-tiba pada perubahan posisi kepala, beberapa pasien dapat mengatakan dengan tepat posisi tertentu yang menimbulkan keluhan vertigonya. Diagnosis BPPV dapat dilakukan dengan melakukan tindakan provokasi dan menilai timbulnya nistagmus pada posisi tersebut. Pemeriksaan untuk memprovokasi timbulnya nistagmus adalah perasat Dix Hallpike, perasat side lying, dan perasat roll. Pemeriksa dapat mengidentifikasi jenis kanal yang terlibat arah fase cepat nistagmus yang abnormal:
Fase cepat ke atas, berptar ke kanan : BPPV kanalis posterior kanan Fase cepat ke atas, berputar ke kiri : BPPV kanalis posterior kiri Fase cepat ke bawah, berputar ke kanan : BPPV kanalis anterior kanan Fase cepat ke bawah, berputar ke kiri : BPPV kanalis anterior kiri
Pada umumnya BPPV timbul pada kanalis posterior sebanyak 49% dan kanalis anterior sebanyak 12%.