1. C. E3M6V5
Glasgow Coma Scale (GCS) adalah skala yang dipakai untuk menentukan/menilai tingkat kesadaran. Terdiri dari penilaian terhadap tiga komponen respon yang ditunjukkan oleh pasien setelah diberi stimulus tertentu, yakni:
- Respon buka mata - Respon motorik - Respon verbal
Setiap penilaian mencakup poin-poin, dengan nilai total 3-15
Jenis Pemeriksaan
Nilai
Respon buka mata (Eye Opening, E)
Respon spontan (tanpa stimulus)
Respon terhadap suara/perintah
Respon terhadap nyeri
Tidak ada respon
4
3
2
1
Respon verbal (V)
Orientasi baik
Berbicara mengacau (bingung/disoriented)
Kata terucap jelas dengan substansi tidak jelas, tidak
membentuk kalimat (misalnya, “aduh bapak..”)
Suara tidak jelas (tanpa arti, mengerang)
Tidak ada suara
5
4
3
2
1
Respon motorik (M)
Mengikuti perintah
Melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus
saat diberi rangsang nyeri)
Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang)
Fleksi abnormal (dekortikasi: tangan satu atau
keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi saat
diberi rangsang nyeri)
Ekstensi abnormal (deserebrasi: tangan satu atau
keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal &
kaki extensi saat diberi rangsang nyeri)
Tidak ada respon
6
5
4
3
2
1
Interpretasi hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol: E…V…M…
Berdasar Advanced Trauma Life Support, GCS digunakan untuk menentukan derajat cedera kepala
Derajat Cedera Kepala
Skor GCS
Cedera Kepala Ringan (CKR)
14 – 15
Cedera Kepala Sedang (CKS)
9 – 13
Cedera Kepala Berat (CKB)
3 – 8
Referensi:Committee on Trauma, American College of Surgeons.2008. ATLS: Advanced Trauma Life Support Program for Doctors (8th ed.). Chicago: American College of Surgeons. 2. E. Gangguan skizoafektif tipe manic
Pembahasan:
Gangguan manik tanpa gejala psikotik dengan pedoman diagnostik sebagai berikut: episode seharusnya berlangsung sekurang-kurangnya satu minggu dan cukup berat sehingga mengacaukan seluruh atau hampir seluruh pekerjaan biasa dan aktivitas sosial. Perubahan suasana perasaan (mood) seharusnya disertai dengan enersi yang meninggi dan beberapa gejala (khususnya percepatan berbicara, kebutuhan tidur yang kurang, grandiositas, dan terlalu optimis)
Gangguan manik dengan gejala psikotik merupakan bentuk mania yang lebih berat. Harga diri yang membumbung dan gagasan kebesaran dapat berkembang menjadi waham dan iriitabilitas serta kecurigaan menjadi waham kejar. Selain itu, wham kebesaran atau religius tentang identitas seringkali mencolok dan gagasan yang takabur dan percepatan bicarany mengakibatkan individu tidak dapat dipahami.
Gangguan Skizoafektif tipe manik memiliki pedoman diagnostik sebagai berikut: suasana perasaan harus meningkat menonjol atau ada peningkatan suasana perasaan yang tak begitu mencolok dikombinasi dengan irritabilitas atau kegelisahan yang meningkat. Dalam episode yang sama harus jelas ada sedikitnya satu atau lebih gejala skizofrenik yang khas seperti:
a) Thought echo, thought insertion atau withdrawl dan thought broadcasting
b) Waham dikendalikan, waham dipengaruhi, atau passivity yang jelas merujuk pada pergerakan tubuh atau pergerakan anggota gerak atau pikiran, perbuatan atau perasaan khusus; persepsi delusional.
c) Suara halusinasi yang berkomentar terus-menerus terhadap perilaku pasien, atau mendiskusikan perihal perilaku pasien di antara perilaku mereka sendiri, atau jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
d) Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budayanya dianggap tidak wajar serta sama sekali mustahil, seperti misalnya mengenai identitas keagamaan atau politik atau kekuatan dan kemampuan “manusia super” (misalnya mampu mengendalikan cuaca, mampu berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain).
Sumber:
- Diagnosis Gangguan Jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJ-III. 1993. editor Dr, Rusdi Maslim.
3. B. Miopi simplek
Pandangan kabur pada anak usia 12 tahun, tanpa adanya keluhan lain, dan membaik dengan penggunaan lensa sferis negatif, merupakan kondisi dari diagnosis Miopia Simplek.
Hipermetrop: sinar yang berjalan sejajar dengan sumbu mata tanpa akomodasi dibiaskan di belakang retina. Penyebab hipermetrop adalah sumbu mata terlalu pendek (hipermetropia sumbu) atau daya bias kornea/lensa/akuos humor yang terlalu lemah (hipermetrop pembiasan). Gejalanya timbul keluhan lelah, pusing, dan nyeri kepala.
Miopia: sinar yang berjalan sejajar dengan sumbu mata tanpa akomodasi dibias di depan retina, tajam penglihatan selalu kurang dari pada 5/5. Penyebab miopia adalah sumbu mata terlalu panjang (miopia sumbu) atau daya bias kornea/lensa/akuos humor yang terlalu kuat (miopis pembiasan). Gejala yang timbul: penglihatan untuk jauh kabur, jika miopia terlalu tinggi memungkinkan timbul keluhan astenovergen sampai dengan strabismus konvergen. Jika terdapat perbedaan yang terlalu tinggi derajat miopia satu mata dengan lainnya, dapat terjadi ambliopia. Pengobatan miopia dengan lensa sferis negatif yang terkecil.
Presbiop: umumnya timbul mulai umur kira-kira 40 tahun. Di mana pungtum proksimum letaknya jauh dari jarak baca seseorang (lebih dari 35 cm). Agar pungtum proksimum letaknya lebih dekat daripada jarak baca, maka perlu ditambah adisi sferis positif.
Astigmat: sinar sejajar dengan sumbu penglihatan tidak dibiaskan pada satu titik, melainkan ke banyak titik. Jika tajam penglihatan tidak tercapai 5/5 dengan lensa sferis saja, harus dipikirkan adanya suatu astigmat.
Referensi:
Ilyas, Sidarta. 2002. Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: CV Agung Seto.
4. A. Mematikan dengan gliserin dan dikeluarkan
Pada kasus anak di atas terdapat benda asing di telinga bagian luar yang berupa benda hidup. Liang telinga luar terdiri dari cartilago dan tulang yang dilapisi oleh periosteum dan kulit. Bagian tulang merupakan bagian yang sangat sensitive. Karena itulah percobaan mengeluarkan benda asing di telinga terasa sangat sakit. Liang telinga luar menyempit pada bagian persambungan antara cartilago dan tulang. Benda asing dapat terjepit disini sehingga membuat semakin sulit pada pengangkatan benda asing. Percobaan mengambil benda asing dapat membuat benda tersebut semakin masuk kedalam dan tersangkut pada tempat penyempitan tersebut.
Benda asing yang sering terdapat pada telinga adalah manik-manik, mainan plastik, kelereng, biji jagung. Serangga lebih sering pada pasien berumur lebih dari 10 tahun. Bila benda asing tersebut adalah serangga yang hidup, maka pergerakan serangga dapat menyebabkan nyeri hebat dan bila tidak segera diatasi dapat terjadi infeksi. Pada beberapa kasus pasien dengan benda asing di telinga adalah tanpa gejala, dan pada anak-anak ditemukan secara kebetulan. Pasien yang lain mungkin merasa sakit dengan gejala seperti otitis media, pendengaran berkurang, atau rasa penuh ditelinga. Beberapa kasus sering ditemukan pada anak-anak berumur kurang dari 8 tahun.
memasukkan tampon basah ke liang telinga lalu meneteskan cairan anestesi local seperti lidokain atau desinfektan lebih kurang 10 menit. Setelah binatang mati, dikeluarkan dengan pinset atau diirigasi dengan air bersih yang hangat.
Sumber:
Sosialisman et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, 6th edn. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm 58.
5. B. Pubertas prekoks dependen gonadotropin
Sebagian besar anak akan mengawali pubertas pada umur 8-13 tahun untuk anak perempuan, dan 9-14 tahun untuk anak laki-laki.
Pubertas prekoks didefinisikan sebagai suatu keadaan saat terjadi perkembangan seksual sekunder yang terjadi sebelum umur 8 tahun pada anak perempuan dan sebelum umur 9 tahun pada anak laki-laki.
Etiologi dan klasifikasi:
1. Pubertas prekok lengkap/sejati/dependent/sentral/tergantung gonadotropin (Gonadotropin-dependent precocious puberty)
Adalah pubertas prekok yang disebabkan oleh aktivitas prematur dari poros hipotalamus-hipofisis, GnRH yang menstimulasi pelepasan Gonadotropin sebelum waktunya.
2. Pubertas prekok tidak lengkap/semu/independent/perifer/tidak tergantung gonadotropin (Gonadotropin-independent precocious puberty)
Adalah pubertas prekok yang disebabkan oleh sekresi gonadotropin ektopik atau sekresi steroid seks otonom tidak dipengaruhi oleh poros hipotalamus-hipofisis-gonad atau aktivitas GnRH, dan hal ini memicu terjadinya pubertas sebelum waktunya.
3. Varian
Perbedaan etiologi dan manifestasi klinis Gonadotropin-dependent precocious puberty dan Gonadotropin-independent precocious puberty
Klasifikasi dan Etiologi Manifestasi Klinis
Gonadotropin-dependent precocious puberty
Idiopatik
Kelainan SSP (tumor atau nontumor):
- Hypothalamic Hemartoma, - Gliomas
Hipotiroidisme berkepanjangan dan tidak diobati
- Isoseksual - Melibatkan aktivasi hipotalamus-hipofisis-gonad - Perkembangan seksual mengikuti urutan yang terjadi pada pubertas normal - Peningkatan GnRH dan LH/FSH Gonadotropin-independent precocious puberty Pria
Tumor pensekresi gonadotropin: Gangguan adrenal:
- Isoseksual atau heteroseksual - Peningkatan kadar
- Congenital Adrenal hyperplasia:
menyebabkan produksi hormon androgen berlebih akibat terjadinya
hyperplasia kelenjar adrenal.
- Adrenal tumors: hal ini juga memacu terjadinya pubertas prekoks akibat sekresi berlebih hormon androgen
Produksi androgen berlebihan Pematangan dini sel leydig dan
sel benih Wanita
- Kista ovarium
- Noplasma pensekresi estrogen
- Pria dan wanita - Hipotiroidisme berat - Sindroma McCune
Albright
hormon sex tanpa disertai peningkatan GnRH dan LH/FSH - Perkembangan seks sekunder tidak sinkron Variasi perkembangan
pubertas Telarke prematur Menarke prematur Adrenarke prematur Ginekomastia adolesen Delayed Puberty
Seorang anak dinyatakan mengalami delayed puberty atau pubertas yang terlambat jika dirinya belum menunjukkan perkembangan payudara menjelang usia 13 atau belum mengalami menarche menjelang usia 16 tahun, untuk anak perempuan dan belum mengalami pembesaran pada alat kelamin menjelang usia 14 tahun, untuk anak laki-laki. Jika melihat pilihan jawaban pada kasus ini: Pubertas prekoks independen gonadotropin, Pubertas prekoks parsial, Hipertrofi adrenal kongenital (yang dimaksud adalah hiperplasi adrenal kongenital), merupakan satu istilah yang sama sehingga bukan merupakan jawaban yang tepat.
Referensi:
1. Pulungan AB. 2010. Pubertas dan gangguannya. Dalam : Jose RL Batubara dkk, penyunting. Buku Ajar Endokrinologi Anak Edisi I. Jakarta: Balai Penerbit IDAI.
2. Styne DM. 1998. Pubertas.Dalam: Greenspan FS, Baxter JD, penyunting.Endokrinologi Dasar dan Klinik Edisi ke-4. Jakarta: EGC.
3. Setiyohadi B. 2007. Kesehatan Remaja. Dalam: Sudoyo, A.W., dkk, penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Universitas Indonesia.
6. B. Pirazinamid
Pirazinamid merupakan obat TB yang bersifat bakterisidal. Efek samping pirazinamid adalah hepatotoksisitas dengan peningkatan serum SGOT dan SGPT. Pada pasien dengan dengan hepatitis akut atau klinis ikterik maka pemberian OAT ditunda sampai hepatitis akut mengalami penyembuhan.
Pada keadaan di mana obat TB sangat diperlukan, maka diberikan streptomisin dan etambutol selama 3 bulan sampai hepatitis menyembuh dan dilanjutkan dengan pemberian rifampisin dan isoniazid. Tidak diberikan pirazinamid.
Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, SGOT dan SGPT meningkat 3 kali lipat, maka OAT tidak diberikan, dan apabila dalam pengobatan maka harus dihentikan.
Jika peningkatan kurang dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan pengawasan. Pasien dengan kelainan hati tidak boleh menggunakan pirazinamid.
Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE.
Tabel 1. Efek Samping Ringan OAT
Jika pasien mengeluh gatal-gatal, maka diberikan antihistamin terlebih dahulu sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Jika timbul kemerahan maka hentikan OAT terlebih dahulu.
Sumber:
Kemenkes RI. 2011. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta. 7. C. Massage glans penis
1. Fimosis
Fimosis adalah keadaan di mana prepusium tidak dapat ditarik ke belakang (proksimal)/membuka. Kadang-kadang lubang pada prepusium hanya sebesar ujung jarum, sehingga sulit untuk keluar (Purnomo, tahun 2003). Pada 95% bayi, kulub masih melekat pada glans penis sehingga tidak dapat ditarik ke belakang dan hal ini tidak dikatakan fimosis. Pada umur 3 tahun anak yang fimosis sebanyak 10% (Ikatan dokter Anak Indoneisa, tahun 2008).
Keadaan yang dapat menimbulkan fimosis adalah: 1) Bawaan (kongenital), paling banyak
2) Peradangan (Purnomo, tahun 2003) 2. Parafimosis
Parafimosis adalah keadaan di mana prepusium tidak dapat ditarik ke depan (distal)/menutup. Pada keadaan ini, glans penis atau batang penis dapat terjepit oleh prepusium yang bengkak. Keadaan ini paling sering oleh peradangan. Pada parafimosis sebaiknya kita melakukan reduksi sebelum disirkumsisi (Bachsinar, tahun 1993).
Pengobatan:
Preputium dikembalikan secara manual dengan memijat glans penis selama 3-5 menit Gagal insisi dorsum
Setelah edema dan proses inflamasi menghilang sirkumsisi 8. B. Ventrikel kiri dan atrium kiri
Ukuran jantung dalam proyeksi radiologi foto polos tidak dihitung menggunakan pengukuran absolut namun menggunakan rasio diameter transvesal jantung terhadap diameter transversal rongga thoraks yang disebut sebagai Cardio-Thoracic Ratio (CTR). Pengukuran CTR dilakukan menggunakan foto polos proyeksi Postero-Anterior (PA) dalam posisi erect, karena bila dilakukan dengan proyeksi Anteroposterior atau dalam posisi supine akan mengubah dimensi dada dan organ visera di dalamnya.
CTR dinilai normal apabila nilainya kurang dari 50% kecuali pada orang lanjut usia lebih dari 60 tahun, toleransi rasio ukuran jantung tersebut bisa bisa sedikit membesar tanpa adanya keadaan patologis.
o Jarak batas kanan terluar jantung dengan linea
o Jarak batas kiri terluar jantung dengan linea mediana o Diameter transversal dinding dada
=
CTR 60% pada wanita usia 30 tahun menandakan terjadinya pembesaran jantung (cardiomegali), sesuai dengan anatomi jantung yang terproyeksi pada foto polos thoraks, pinggang jantung yang terbentuk oleh sudut antara atrium kiri dan ventrikel kiri, dan apeks jantung yang merupakan bagian dari ventrikel kiri tenggelam dalam diafragma menunjukkan adanya pembesaran jantung sebelah kiri (atrium dan ventrikel kiri). Referensi:
Browne, RFJ; O'Reilly G, McInerney D (June 2004). "Extraction of the Two-Dimensional Cardiothoracic Ratio from Digital PA Chest Radiographs: Correlation with Cardiac Function and the Traditional Cardiothoracic Ratio" (PDF). Journal of Digital Imaging 17 (2): 120–3
Gambar diperoleh dari http://www.crkirk.com/thumbnail/investigations/cxr.htm 9. E. Scurvy
Defisiensi vitamin:
Beri-beri Defisiensi vitamin B1 (thiamine) Manifestasi Klinis:
berat badan turun drastis, gangguan syaraf, lemah dan lesu,
pembengkakan tungkai bawah, sesak napas, gangguan denyut jantung dan tak jarang
menimbulkan kematian karena gagal jantung
Pellagra Defisiensi vitamin B3 (nistatin) Manifestasi Klinis:
4D ‘diarrhea, dermatitis, dementia, death’
Klinis yang mencolok: rush, bersisik, mengelupas, terutama pada bagian yang tak terlindung dari sinar matahari. Tampak seperti penderita lepra (kusta) disebut ‘Asturian leprosy’
Manifestasi Klinis:
Khas: terjadinya perdarahan di bawah jaringan pelindung tulang dan di sekitar gigi.
letih dan lesu (malaise and lethargy), sesak napas, nyeri tulang, kulit menjadi kasar dan mudah memar (bruising) dan gusi bengkak serta gigi goyang
Daftar Pustaka:
1. Almatsier, Sunita. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2. http://www.pennmedicine.org/encyclopedia/em_PrintArticle.aspx?gcid=000342 3. http://img.wikinut.com/img/3dp3.ai3ty0adjde/jpeg/0/Scurvy.jpeg 4. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/438830 5. http://www.redorbit.com/news/health/110093/gastrointestinal_beriberi_a_previously_unreco gnized_syndrome/ 10. C. Miliaria rubra Pembahasan:
Miliaria adalah kelainan kulit akibat retensi keringat yang ditandai dengan vesikel miliar, tersebar di tempat predileksi. Klasifikasi berdasarkan gambaran klinis dan histopatologi
- Miliaria Kristalina (sudamina)
Terdiri atasvesikel miliar (1-2 mm) subkorneal, tanpa tanda inflamasi, mudah pecah dengan garukan dan deskuamasi dalam beberapa hari. Gambaran histopatologi menunjukkan obstruksi kelenjar keringat di stratum korneum.
- Miliaria rubra (prickly heat)
Merupakan jenis tersering, vesikel miliar atau papulovesikel di atas dasar eritematosa sekitar lubang keringat, tersebar diskret. Gambaran histopatologi menunjukkan obstruksi kelenjar keringat di stratum spinosum.
- Miliaria pustolosa
Berasal dari miliaria rubra dimana vesikelnya berubah menjadi pustule.
Gambaran histopatologi menunjukkan obstruksi kelenjar keringat di stratum spinosum. - Miliaria profunda
Merupakan kelanjutan miliaria rubra berbentuk papul, mirip folikulitis, dapat disertai pustule. Gambaran histopatologi menunjukkan obstruksi kelenjar keringat di dermo epidermal junction.
11. D. Paget’s disease
Penyakit paget pada tulang (Osteitis deformans) adalah suatu penyakit metabolisme pada tulang, di mana tulang tumbuh secara tidak normal, menjadi lebih besar dan lunak. Kelainan ini dapat mengenai tulang manapun, tetapi yang paling sering terkena adalah tulang panggul, tulang paha, tulang tengkorak, tulang kering, tulang belakang, tulang selangka dan tulang lengan atas.
Diagnosa penyakit paget sudah dapat diduga dari keluhan dan symptom, tetapi dengan radiography dapat memastikan diagnosa. Pasien penyakit paget derajat pertama sangat relatif, biasanya dapat ditemukan dari pemeriksaan tes serum alkalifospat setiap 2 hingga 3 tahun. Jika ditemukan peningkatan serum alkali posfatase dan adanya deteriorsi yang luas pada gambaran CT scan tulang, itu merupakan suatu petunjuk adanya aktivitas dari penyakit paget’s.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis paget disease adalah:
1. Biochemical marker
Adanya banyak biochemical markers yang menandakan adanyan penyakit paget, tetapi 2 yang paling penting adalah adanya peningkatan total alkali posfatase dan urinary pyrydinoline.
2. Radiography
Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan dua keadaan pada tulang, yaitu litik dan sklerotik. Pada pemeriksaan radiography pada pasien asimptomatik memberikan gambaran lokasi pembengkakan dari tulang. Radiography biasanya mempunyai spesifitas yang tinggi dan sensifitas yang rendah.
3. Rontgen tulang (menunjukkan adanya peningkatan kepadatan tulang, penebalan, pembengkokan dan pertumbuhan berlebih).
4. Scanning tulang dapat digunakan pada kasus suspek atau dugaan penyakit paget. 5. Pemeriksaan darah (peningkatan serum alkalin fosfatase).
Referensi:
Ralston, Stuart H. (Feb 14, 2013). "Paget's Disease of Bone". New England Journal of Medicine 368 (7): 644–650.
12. B. Abortus inkomplit Klasifikasi Abortus
Abortus dapat dibagi atas dua golongan, yaitu: Menurut terjadinya dibedakan atas:
1. Abortus spontan, yaitu abortus yang terjadi dengan sendirinya tanpa disengaja atau dengan tidak didahului faktor-faktor mekanis atau medisinalis, semata-mata disebabkan oleh faktor-faktor alamiah.
2. Abortus provokatus (induksi abortus) adalah abortus yang disengaja tanpa indikasi medis, baik dengan memakai obat-obatan maupun dengan alat-alat.
Abortus ini terbagi lagi menjadi:
1) Abortus medisinalis (abortus therapeutica), yaitu abortus karena tindakan kita sendiri, dengan alasan bila kehamilan dilanjutkan, dapat membahayakan jiwa ibu (berdasarkan indikasi medis). Biasanya perlu mendapat persetujuan 2 sampai 3 tim dokter ahli.
2) Abortus kriminalis, yaitu abortus yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan yang tidak legal atau tidak berdasarkan indikasi medis dan biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh tenaga tradisional.
Pembagian abortus secara klinis adalah sebagai berikut:
1. Abortus Iminens merupakan tingkat permulaan dan ancaman terjadinya abortus, ditandai perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan hasil konsepsi masih baik dalam kandungan.
2. Abortus Insipiens adalah abortus yang sedang mengancam ditandai dengan serviks telah mendatar dan ostium uteri telah membuka, akan tetapi hasil konsepsi masih dalam kavum uteri dan dalam proses pengeluaran.
3. Abortus Inkompletus adalah sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri dan masih ada yang tertinggal.
4. Abortus Kompletus adalah seluruh hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri pada kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.
5. Missed Abortion adalah abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus telah meninggal dalam kehamilan sebelum kehamilan 20 minggu dan hasil konsepsi seluruhnya masih tertahan dalam kandungan.
6. Abortus Habitualis ialah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih berturut-turut. 7. Abortus Infeksious ialah abortus yang disertai infeksi pada alat genitalia.
8. Abortus Terapeutik adalah abortus dengan induksi medis.
Abortus Nyeri Portio Jaringan
Iminens (-) Tertutup Masih dalam cavum
uteri
Insipiens (+) Terbuka Masih dalam cavum
uteri
Incomplete (-) Terbuka Teraba jaringan
Referensi:
Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. Hanifa Wiknjosatro, Abdul Bari Saifuddin, dan Trijatmo Rachimhadhi. 2006.
Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Arif Mansjoer dkk. Media Aesculapius FKUI Jakarta 2008.
13. E. Terdapat kumpulan cairan di alveoli pada kanan dan kiri lapang paru Pada pasien di atas menunjukkan gejala-gejala pneumonia.
Diagnosis Pneumonia Berat
Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal berikut ini: Kepala terangguk-angguk
Pernapasan cuping hidung
Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
Foto dada menunjukkan gambaran pneumonia (infiltrat luas, konsolidasi, dll) Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini:
Napas cepat:
Anak umur < 2 bulan : ≥ 60 kali/menit Anak umur 2 – 11 bulan : ≥ 50 kali/menit Anak umur 1 – 5 tahun : ≥ 40 kali/menit Anak umur ≥ 5 tahun : ≥ 30 kali/menit Suara merintih (grunting) pada bayi muda Pada auskultasi terdengar:
Crackles (ronki)
Suara pernapasan menurun Suara pernapasan bronkial
Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai:
Tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya Kejang, letargis atau tidak sadar
Sianosis
Referensi: Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit: WHO. 14. A. 10
Pembahasan:
Dari data tersebut dapat dibuat tabel berikut: Campak Jumlah Positif Negatif Vaksin (-) 100 (A) 990 (B) 1000 Vaksin (+) 10 (C) 900 (D) 1000 Total 110 1890 2000
Untuk menentukan faktor resiko kasus tersebut dengan menggunakan rumus : RR = (A/A+B) (C/C+D) = (100/1000) (10/1000) = 10 15. D. Autonomy
Autonomi: prinsip tentang kemandirian, kebebasan, dan membiarkan inividu bebas menentukan pilihn dan tindakan yang diinginkan.
Dalam kasus di atas pasien berhak menolak saran dokter untuk tidak dilakukan rawat inap. Sehingga dokter harus menghormati dasar etika autonomi dalam menanggapi keputusan pasien.
Sumber:
Hanafiah, MJ. 2009. Etika kedokteran dan Hukum Kesehatan. Edisi ke-4. Jakarta: EGC. 16. B. Kuning
Pembagian Triage:
Segera-Immediate (merah): pasien mengalami cedera mengancam jiwa yang kemungkinan besar dapat hidup bila ditolong segera. Misalnya: Tension pneumothorax, distress pernapasan (RR < 30x/mnt), perdarahan internal, dsb.
Tunda-Delayed (kuning): pasien memerlukan tindakan defintif tetapi tidak ada ancaman jiwa segera. Misalnya: pendarahan laserasi terkontrol, fraktur tertutup pada ekstrimitas dengan pendarahan terkontrol, luka bakar < 25% luas permukaan tubuh, dsb.
Minimal (hijau): pasien mendapat cedera minimal, dapat berjalan dan menolong diri sendiri atau mencari pertolongan. Misalnya: Laserasi minor, memar dan lecet, luka bakar superfisial.
Expextant (hitam): pasien mengalami cedera mematikan dan akan meninggal meski mendapat pertolongan. Misalnya: luka bakar derajat 3 hampir di seluruh tubuh, kerusakan organ vital, dsb.
Penderita/korban mendapatkan prioritas pelayanan dengan urutan warna: merah, kuning, hijau, hitam.
17. B. Astigmatisme miopius simpleks
Astigmat: sinar sejajar dengan sumbu penglihatan tidak dibiaskan pada satu titik, melainkan ke banyak titik. Jika tajam penglihatan tidak tercapai 5/5 dengan lensa sferis saja, harus dipikirkan adanya suatu astigmat.
Jenis astigmatisme ada 5, yaitu:
1. Astigmatisme Myopia Simplek, atau simple atau sederhana, yaitu kondisi astigmatisme di mana sinar yang jatuh ke mata satu meredian jatuh di retina dan satu lagi jatuh di depan retina. Misal resepnya C-1.00×90
2. Astigmatisme Hypermetropia Simplek, di mana sinar yang jatuh ke mata satu meredian jatuh di retina dan satunya jatuh di belakang retina. Misal resepnya C+1.00×90
3. Astigmatisme myopia kompositus, di mana kedua meredian sinar itu jatuh di depan retina. Misal resepnya S-1.00-1.00×90
4. Astigmatisme hypermetropia kompositus, di mana kedua meredian sinar itu jatuh di belakang retina. Misal resepnya S+1.00+1.00×90
5. Astigmatisme Mixtus, di mana sinar jatuh dengan satu meredian di depan retina dan satu lagi di belakang retina. Misal resepnya S +1.00-1.00×90
Ilyas, Sidarta. dkk. 2002. Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran. Jakarta.
18. E. Intermediate insulin
Para ahli sepakat bahwa insulin kerja panjang kurang sesuai untuk anak, kecuali pada regimen basal bolus. Jenis insulin yang digunakan harus disesuaikan dengan usia anak (proses tumbuh kembang anak), aspek sosioekonomi (pendidikan dan kemampuan fi nansial),sosiokultural (sikap Muslim terhadap insulin babi), dan faktor distribusi obat.
Jenis sediaan insulin dan profil kerjanya:
Insulin kerja cepat (Rapid Insulin)
Insulin kerja cepat direkomendasikan untuk digunakan pada jam makan, atau penatalaksanaan insulin saat sakit. Dapat diberikan dalam regimen 2 kali sehari, atau regimen basal-bolus.
Pada beberapa keadaan berikut, insulin kerja cepat sangat efektif digunakan:
Pada saat snack sore: akan menurunkan kadar glukosa darah yang biasa terjadi saat sebelum makan malam pada pengguna regimen 2 kali sehari yang dikombinasi dengan insulin kerja menengah.
Setelah makan, untuk menurunkan kadar glukosa darah post prandial pada anak pra-pubertas dengan kebiasaan makan yang sulit diramalkan (bayi, balita, dan anak prasekolah).
Pada penggunaan CSII (continuous subcutaneous insulin infusion) atau pompa insulin.
Profil farmakokinetik insulin kerja cepat (rapid acting). Terlihat lama kerja relatif 3-5 jam, dengan awitan kerja yang cepat 5-15 menit,
dan puncak kerja 30-90 menit. - Insulin Kerja Pendek (short acting)
Insulin jenis ini tersedia dalam bentuk larutan jernih, dikenal sebagai insulin ’reguler’. Biasanya digunakan untuk mengatasi keadaan akut seperti ketoasidosis, penderita baru, dan tindakan bedah juga pada penderita DM tipe I usia balita. Kadang-kadang juga digunakan sebagai pengobatan bolus (15-20 menit) sebelum makan, atau kombinasi dengan insulin kerja menengah pada regimen 2 kali sehari.
Profil farmakokinetik insulin kerja pendek (short acting). Terlihat lama kerja relatif 5-8 jam, dengan awitan kerja 30 – 60 menit, dan puncak kerja 2-4 jam.
- Insulin Kerja Menengah (intermediate acting)
Digunakan dalam regimen dua kali sehari dan sebelum tidur pada regimen basal-bolus. Insulin jenis ini lebih sering digunakan untuk penderita yang telah memiliki pola hidup yang lebih teratur. Keteraturan ini sangat penting terutama untuk menghindari terjadinya episode hipoglikemia. Sebagian besar diabetisi anak menggunakan insulin jenis ini. DM tipe-1 usia bayi (0-2 tahun) mempunyai pola hidup (makan, minum, dan tidur) yang masih teratur sehingga lebih mudah mencapai kontrol metabolik yang baik.
Profil farmakokinetik insulin kerja menengah (intermediateacting). Terlihat lama kerja relatif 12 -24 jam, dengan awitan kerja 2-4 jam, dan puncak kerja 4-12 jam. - Insulin Kerja Panjang (long acting)
Insulin kerja panjang tradisional (UltralenteTM) mempunyai masa kerja lebih dari 24 jam, sehingga dapat digunakan dalam regimen basal bolus.
Profil farmakokinetik insulin kerja panjang (long acting). Terlihat lama kerja relatif 20-30 jam, dengan awitan kerja 4-8 jam, dan puncak
kerja 12-24 jam. - Insulin kerja campuran
Insulin campuran memberikan kemudahan bagi penderita. Pemakaian sediaan ini dianjurkan bagi penderita yang telah mempunyai kontrol metabolik yang baik. Penggunaan sediaan ini banyak bermanfaat pada kasus-kasus sebagai berikut:
Penderita muda dengan pendidikan orang tua yang rendah.
Penderita dengan masalah psikososial individu maupun pada keluarganya.
Para remaja yang tidak senang dengan perhitungan dosis insulin campuran yang rumit.
Penderita yang menggunakan insulin dengan rasio yang stabil
. Profil farmakokinetik insulin kerja campuran
- Insulin Basal Analog
Insulin basal analog merupakan insulin jenis baru yang mempunyai kerja panjang sampai dengan 24 jam, yang termasuk insulin ini: insulin glargine, detemir, dan NPH.
Insulin glargine dan detemir direkomendasikan sebagai insulin basal. Bila dibandingkan dengan NPH, glargine dan detemir dapat menurunkan kadar glukosa darah puasa dengan lebih baik pada kelompok usia 5-16 tahun, namun secara keseluruhan tidak memperbaiki kadar HbA1c secara bermakna. Insulin glargine dan detemir juga mengurangi risiko terjadinya hipoglikemia nokturnal berat.
Sesuai dengan penjelasan di atas dan informasi yang ada pada soal, maka insulin yang tepat untuk anak ini adalah insulin intermediete.
Referensi:
Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 1. Ukk Endokrinologi Anak Dan Remaja, Ikatan Dokter Anak Indonesia World Diabetes Foundation 2009.
19. B. Vibrio kolera
Pasien mengalami diare akut yang berlangsung selama 2 hari. Diare akut adalah diare yang berlangsung kurang dari 15 hari. Diare yang dialami pasien merupakan diare sekretorik yang khas, yaitu diare dengan volume feses banyak. Penyebab diare tersebut antara lain adalah enterotoksin Vibrio cholera, atau Enteroksik E.coli (ETEC).
Karakteristik Non Inflamatory Inflamatory Penetrating Gambaran Feses Watery Volume >>
Leukosit (-) Bloody, mucus volume sedang, Leukosit PMN Mukus, volume sedikit, Leukosit MN Demam (-) (+) (+) Nyeri perut (-) (+) (+)/(-) Dehidrasi (+++) (+) (+)/(-) Tenesmus (-) (+) (-)
Komplikasi Hipovolemik Toksik Sepsis
Pada kasus di atas pemeriksaan karakteristik feses dan pemeriksaan fisik menunjukkan adanya tanda dehidrasi, maka mengarah pada diare akut yang disebabkan oleh vibrio kolera.
Transmisi penularan kolera menularkan kolera adalah air atau makanan yang terkontaminasi oleh bakteri Vibrio cholera. Vibrio cholera berkoloni pada mukosa usus halus. Setelah mencapai usus halus, maka bakteri tersebut akan mengeluarkan toksin. Toksin yang dilepaskan berupa enterotoksin. Toksin kolera dapat memengaruhi transpor cairan pada usus halus dengan meningkatkan cAMP, sekresi, dan menghambat absorbs cairan.
Manifestasi klinis yang muncul adalah:
Diare cair dan muntah setelah masa inkubasi 6-72 jam Diare cair dalam jumlah banyak
Konsistensi seperti air cucian beras Berbau amis
Tenesmus (-) Demam tidak tinggi
Tanda-tanda dehidrasi berat segera muncul: kesadaran menurun, takikardi, takipneu, mata cekung, turgor kulit kembali lambat, oliguria. Kehilangan cairan dapat berlangsung selama 7 hari.
Diagnosis pasti kolera ditegakkan dengan kultur tinja ditemukan adanya V.cholerae O1 atau O139.
Rotavirus
Virus merupakan penyebab infeksi pada anak-anak. Rotavirus menyebabkan infeksi pada epitel mukosa usus, infeksi sel-sel radang di lamina propia, pemendekan jonjot usus, pembengkakan mitokondria, dan bentuk mikrovili tidak teratur, sehingga hal tersebut mengakibatkan terjadinya gangguan absorbs cairan/elektrolit pada usus halus dan terjadinya gangguan pencernaan makanan akibat kerusakan epitel mukosa.
Eschericia coli
Eschericia coli memiliki 5 golongan yang dapat meyebabkan diare, yaitu: Enterotoxic E.coli (ETEC)
Memiliki 2 faktor virulensi yang penting, yaitu faktor kolonisasi yang menyebabkan bakteri ini melekat pada eritrosit usus halus dan enterotoksin, yaitu heat labile (HL) dan heat stabile (ST) yang menyebabkan sekresi cairan dan elektrolit yang menghasilkan watery diarrhea. ETEC tidak menginvasi mukosa usus atau merusak mikrovili.
Enteropathogenic E.coli (EPEC)
Bakteri membentuk koloni di usus dan tidak mampu menembus dinding usus. Bakteri ini sering menimbulkan manifestasi diare berair, disertai muntah, dan demam pada bayi dan anak di bawah usia 2 tahun terutama bagi yang tidak minum ASI (proong diarrhea). Enteroinvasive E.coli (EIEC)
Sering menyebabkan KLB karena keracunan makanan (food borne). Bakteri dapat menembus mukos usus halus, berkoloni dan menyebabkan disentri basiler. Dalam pemeriksaan feses sering ditemukan eritrosit dan leukosit.
Enteroadherent E.coli (EAEC)
Bakteri ini mengeluarkan sitotoksin yang menyebabkan diare berair sampai lebih dari 7 hari (prolonged diarrhea).
Enterohemoragic E.coli (EHEC)
Transmisi berupa daging yang kurang matang dimasak. Diare disertai nyeri perut hebat (kolik, kram) tanpa atau disertai sedikit panas, diare cair, darah (+).
Sumber:
1. Sudoyo, A.W et al. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Ed.IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Goldfinger SE: Constipation, Diarrhea, and Disturbance of Anorectal Function, In: Barunwald, E, Isselbacher, K. J., Petersdorf, R. G., Wilson, J.D., Martin, J.B., Fauci AS (Eds) : Harrison’s Principle of Internal Medicine, 11th Ed. McGrawHill book Company. 20. D. Gangguan mental organik
Pembahasan:
Gangguan otak organik didefinisikan sebagai gangguan di mana terdapat suatu patologi yang dapat diidentifikasi (contohnya tumor otak, penyakit cerebrovaskuler, intoksifikasi obat). Sedangkan gangguan fungsional adalah gangguan otak di mana tidak ada dasar organik yang dapat diterima secara umum (contohnya Skizofrenia, Depresi).
Gangguan mental organik meliputi berbagai gangguan jiwa yang dikelompokkan atas dasar penyebab yang lama dan dapat dibuktikan adanya penyakit, cedera atau ruda paksa otak, yang berakibat disfungsi otak. Disfungsi ini dapat primer seperti pada penyakit, cedera, dan ruda paksa yang langsung atau diduga mengenai otak, atau sekunder, seperti pada gangguan dan penyakit sistemik yang menyerang otak sebagai salah satu dari beberapa organ atau sistem tubuh.
Pada kasus d iatas, terdiagnosis Gangguan Mental Organik. Gangguan mental organik adalah diagnosis gangguan jiwa yang dapat dibuktikan adanya penyakit, cedera, atau rudapaksa otak yang akibatnya disfungsi otak. Pada kasus di atas, pasien sebelumnya mengalami kejang-kejang.
Sumber:
- Kaplan.H.I, Sadock. B.J, Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis, edisi ketujuh, jilid satu. Binarupa Aksara, Jakarta 1997. hal 502-540.
- Ingram.I.M, Timbury.G.C, Mowbray.R.M, Catatan Kuliah Psikiatri, Edisi keenam, cetakan ke dua, Penerbit Buku kedokteran, Jakarta 1995. hal 28-42.
- Diagnosis Gangguan Jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJ-III, editor Dr, Rusdi Maslim.1993. hal 3
21. B. Tension type headache
Nyeri kepala tipe tegang (Tension type headache-TTH ) didefinisikan sebagai serangan nyeri kepala berulang yang berlangsung dalam beberapa menit sampai beberapa hari, dengan
sifat nyeri biasanya berupa rasa tertekan atau diikat, bilateral, tidak dipicu oleh aktifitas fisik dan gejala penyertanya tidak menonjol.
Tension type headche adalah penyebab tersering nyeri kepala primer kronik/berulang, berhubungan dengan kontraksi otot-otot wajah dan leher. Episode TTH biasanya dikaitkan dengan peristiwa yang stessfull secara fisik dan mental.
Referensi:
Headache Classification Subcommittee of the International Headache Society (2004). "The International Classification of Headache Disorders: 2nd edition". Cephalalgia 24 (Suppl 1): 9–160.
Martin V, Elkind A. (2004) Diagnosis and classification of primary headache disorders. In: Standards of care for headache diagnosis and treatment. Chicago (IL): National Headache Foundation.
Gambar diperoleh dari https://uvahealth.com/services/neurosciences/conditions-and-treatments/11515
22. A. Ascaris lumbricoides Ascaris lumbricoides
Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000-200.000 butir sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan tidak dibuahi. Telur yang dibuahi, besarnya ± 60x45 mikron, berbentuk oval, berdinding tebal dengan tiga lapisan dan berisi embrio sedangkan yang tidak dibuahi lebih besar yaitu berukuran ± 90x40 mikron, berbentuk bulat lonjong atau tidak teratur, dindingnya terdapat dua lapisan dan dalamnya bergranula. Selain itu terdapat pula telur decorticated, yaitu telur yang tanpa lapisan albumin atau albuminnya terlepas karena proses mekanik. Dalam lingkungan yang sesuai (tanah liat, kelembapan tinggi, dan suhu yang berkisar antara 25o-30 oC), telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infeksius dalam waktu ±3 minggu.
Gambar telur cacing Ascaris lumbricoides 23. E. Pure tone audiometry
Gangguan pendengaran pada bayi dan anak umumnya didahului dengan keterlambatan bicara (delayed speech). Gangguan pendengaran dibedakan menjadi tuli sebagian (hearing impaired) dan tuli total (deaf). Tuli sebagian (hearing impaired) adalah keadaan fungsi pendengaran berkurang namun masih dapat dimanfaatkan untuk berkomunikasi dengan atau tanpa alat bantu dengar. Tuli total (deaf) adalah keadaan fungsi pendengaran yang sedemikian terganggu sehingga tidak dapat berkomunikasi sekalipun mendapat perkerasan bunyi (amplikasi).
Pemeriksaan pendengaran yang dapat dilakukan pada bayi dan anak adalah: Audiometri nada murni (pure tone audiometry)
Pemeriksaan dilakukan pada anak usia ≥ 4 tahun yang kooperatif. Alat yang digunakan adalah audiometer dan dicatat sebagai audiogram.
Sumber suara digunakan nada murni (pure tone), yaitu bunyi yang terdiri dari 1 frekuensi.
Pemeriksaan dilakukan melalui hantaran suara (air cinduction) melalui headphone serta hantaran melalui tulang (bone conduction) diperiksa melalui pemasangan bone vibrator pada posesus mastoid.
Suara dengan intesitas tersendah dicatat untuk memperoleh informasi tentang jenis dan derajat ketulian.
Behavioral Observation Audiometry (BOA)
Tes ini berdasarkan respons aktif pasien terhadap stimulus bunyi dan merupakan respons yang disadari. BOA untuk mengetahui respons subyektif sistem auditorik pada bayi dan anak dan juga bermanfaat untuk penilaian rehabilitasi pendnegaran, yaitu pada pengukuran alat bantu dengar. Pemeriksaan ini dapat digunakan pada setiap tahap usia perkembangan bayi. BA dibedakan menjadi:
Behavioral Reflex Audiometry
Respons yang dapat diamati antara lain mengejapkan mata, melebarkan mata, mengerutkan wajah, berhenti menyusu, denyut jantung meningkat, reflex Moro. Dilakukan pengamatan respons yang bersifat refleks terhadap stimulus bunyi.
Behavioral Respon Audiometry
Pada bayi normal sekitar usia 5-6 bulan stimulus akustik akan menghasilkan pola respon khas, yaitu menoleh atau menggerakkan kepala ke arah sumber bunyi di luar lapangan pandang. Teknik yang sering digunakan adalah Tes distraksi dan Visual
Reinforcement Audiometry (VRA). Pada tes VRA stimulus bunyi diberikan bersama stimulus visual, maka bayi akan memberi respons berupa orientasi atau melokalisir bunyi dengan cara menoleh ke arah sumber bunyi. Pemeriksaan VRA dapat digunakan untuk memnentukan ambang pendengaran, namun karena stimulus diberikan melalui pengeras suara, maka respons yang terjadi merupakan tajam pendengaran pada telinga yang lebih baik.
Otoacoustic Emission (OAE)
Pemeriksaan untuk menilai fungsi koklea yang obyektif, tidak invasive, tidak membutuhkan waktu lama.
Efisien untuk pemeriksaan skrinning pendengaran bayi baru lahir.
Pemeriksaan juga digunakan untuk: memonitor efek ototoksik obat, diagnois euroati auditorik, membantu proses pemilihan alat bantu dnegar, skrining noise induced hearing loss, pemeriksaan penunjang gangguan koklea.
Terdapat 2 jenis OAE, yaitu Spontaneous OAE (SPOAE) dan Evoked OAE. Auditory Brainstem Respons/Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA)
Merupakan pemeriksaan menilai integritas sistem auditorik, obyektif, tidak invasive. Dapat memeriksa bayi, anak, dewasa, penderita koma.
Bermanfaat pada kondisi pasien bayi, anak dengan gangguan sifat dan tingkah laku, intelegensia rendah, dan cacat ganda.
Pemeriksaan yang dialakukan untuk menilai fungsi pendengaran dan fungsi N. VIII. Sumber:
Swento, R. et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, 6th edn. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm 31- 42. 24. D. Glomerulonefritis akut
Glomerulonefritis adalah suatu istilah umum yang dipakai untuk menjelaskan berbagai macam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan inflamasi di glomerulus akibat suatu proses imunologis. Istilah glomerulonefritis akut pasca infeksi termasuk grup yang besar dari dari glomerulonefritis akut sebagai akibat dari bermacam-macam agen infeksi. Pada glomerulonefritis pasca infeksi, proses inflamasi terjadi dalam glomerulus yang dipicu oleh adanya reaksi antigen antibodi, selanjutnya menyebabkan aktifasi lokal dari sistem komplemen dan kaskade koagulasi.
Kompleks imun dapat terjadi dalam sirkulasi atau in situ pada membran basalis glomerulus. Glomerulonefritis akut yang paling sering terjadi pada anak di negara berkembang adalah setelah infeksi bakteri Streptococcus beta hemolitikus grup A, yaitu Glomerulonefritis Akut Pasca infeksi Streptococcus (GNAPS). Manifestasi klinis yang paling sering dari GNAPS berupa sindrom nefritik akut, manifestasi klinis lainnya dapat berupa sindrom nefrotik, atau glomerulonefritis progresif cepat.
Sindrom nefritis akut merupakan kumpulan gejala klinis akibat penurunan secara tiba-tiba dari laju filtrasi glomerulus dengan disertai retensi air dan garam, pada analisis urine ditemukan eritrosit, cast eritrosit dan albumin. Meskipun penyebab umum (80%) dari sindrom nefris akut
adalah GNAPS, tetapi karena penyebabnya beragam, maka perlu dipikirkan diagnosa diferensial yang lain. Pada penderita sindrom nefritik akut yang mempunyai gambaran klinis klasik GNAPS harus dibedakan dengan penderita yang mempunyai gambaran klinis unusual GNAPS. Gambaran klinis unusual tersebut adalah: riwayat keluarga dengan glomerulonefritis, umur < 4 tahun dan > 15 tahun, mempunyai riwayat gejala yang sama sebelumnya, ditemukan penyakit ekstrarenal (seperti arthritis, rash, kelainan hematologi), ditemukan bukti bukan infeksi kuman Streptococcus dan adanya gejala klinis yang mengarah ke penyakit ginjal kronis/CKD (anemia, perawakan pendek, osteodistrofi, ginjal yang mengecil, atau hipertrofi ventrikel kiri).
Diagnosis glomerulonefritis akut pascastreptokok perlu dicurigai pada pasien dengan gejala klinis berupa hematuri makroskopis (gros) yang timbul mendadak, sembab dan gagal ginjal akut, yang timbul setelah infeksi Streptococcus. Tanda glomerulonefritis yang khas pada urinalisis, bukti adanya infeksi Streptococcus secara laboratoris dan rendahnya kadar komplemen C3 mendukung bukti untuk menegakkan diagnosis.
Glomerulonefritis kronik lain juga menunjukkan gambaran klinis berupa hematuria makroskopis akut, sembab, hipertensi dan gagal ginjal. Beberapa glomerulonefritis kronik yang menunjukkan gejala tersebut adalah glomerulonefritis membranoproliferatif, nefritis lupus, dan glomerulonefritis proliferatif kresentik.
Referensi:
Madaio MP, Harrington JT. The diagnosis of glomerular diseases: acute glomerulonephritis and the nephrotic syndrome. Arch Intern Med. 2001;161(1):25-34.
Rodriguez B, Mezzano S. Acute postinfectious glomerulonephritis. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yashikawa N, penyunting. Pediatric nephrology. edisi ke-6. Berlin: Springer; 2009. h. 743-55.
Smith JM, Faizan MK, Eddy AA. The child with acute nephritis syndrome. Dalam: Webb N, Postlethwaite R, penyunting. Clinical paediatric nephrology. edisi ke-3. New York: Oxford; 2003. h. 367-80.
Hricik DE, Chung-Park M, Sedor JR. Glomerulonephritis. N Engl J Med. 1998;339(13):888-99. 25. C. STEMI
Infark myokard akut dengan elevasi segmen ST (ST-Elevation Myocardial Infarction) merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari STEMI, Non STEMI, dan Unstable angina. Diagnosis infark myokard akut ditegakkan berdasar anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi segmen ST ≥ 2 mm, minimal pada 2 sadapan prekordial yang berdampingan, atau ≥ 1mm pada 2 sadapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis meskipun tanpa pemeriksaan cardiac enzym sekalipun diagnosis STEMI dapat ditegakkan, mengingat terapi harus diberikan pada penderita sesegera mungkin. Prinsip penatalaksanaan infark miokard adalah time is muscle.
Sebagian besar penderita STEMI akan mengalami evolusi pada pemeriksaan EKG dengan munculnya gelombang Q, dan disebut sebagai Q-wave Myocardial Infarction, dan sebagian kecil menetap menjadi Non Q-wave MI.
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak oleh oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang telah ada sebelumnya. Stenosis arteri yang berkembang lambat biasanya tidak memicu STEMI, karena tumbuhnya pembuluh darah kolateral yang mengompensasi. Jika obstruksi trombus bersifat parsial, sementara, atau sirkulasi kolateral telah terbentuk maka pasien akan mengalami Non ST-Elevatin Acute Coronary Syndrome (Non STEMI, Unstabla angina)
Referensi:
Alwi. I. 2006. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat – Jilid III. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 26. B. Rehidrasi 30 cc/kgBB/1 jam pertama di puskesmas, lalu dirujuk ke rumah sakit
Anak usia < 1 tahun keluhan buang air besar cair, frekuensi 5x/hari, muntah (+), malas minum. Pemeriksan fisik: mata cekung, turgor kembali lambat, nadi lambat. Sesuai dengan definisinya, anak ini mengalami diare cair akut, yaitu buang air besar lembek atau cair bahkan dapat berupa air saja dengan frekuensi lebih dari 3 kali atau lebih sering dari biasanya dalam 24 jam dan berlangsung kurang dari 14 hari.
Terdapat lima lintas tatalaksana diare yang direkomendasikan IDAI: 1. Rehidrasi
2. Dukung nutrisi 3. Suplemen zinc 4. Antibiotik selektif 5. Edukasi orang tua
Salah satu komplikasi diare yang paling sering adalah dehidrasi sehingga dalam pemberian cairan yang tepat perlu disesuaikan dengan derajat diare:
KATEGORI TANDA DAN GEJALA
Dehidrasi berat 2 atau lebih tanda berikut:
Letargi atau penurunan kesadaran Mata cowong
Tidak bisa minum atau malas minum
Cubitan kulit kembali dengan sangat lambat (> 2 detik)
Dehidrasi tak berat 2 atau lebih tanda berikut: ST Elevasi ST Elevasi; T
inversi
T Inversi Q Patologis Normal
Gelisah Mata cowong Kehausan
Cubitan kulit kembali dengan sangat lambat (> 2 detik)
Tanpa dehidrasi Tidak ada tanda gejala yang cukup untuk mengelompokkan dalam dehidrasi berat atau tak berat
Berdasarkan klasifikasi di atas,kasus ini memenuhi kriteria dehidrasi berat. Tatalaksanan dehidrasi berat menggunakan rencana terapi C. Pasien dalam kasus ini sudah berada di puskesmas, berarti terdapat akses intravena (I.V.). Segera berikan 100 cc/kgBB cairan Ringer Laktat (RL) (atau cairan normal salin, atau ringer asetat bila RL tidak tersedia), sebagai berikut:
Pemberian Pertama Pemberian Kedua 30ml/kg dalam 70 cc/kg dalam
Bayi < 1 tahun 1 jam 5 jam
Anak 1-5 tahun 30 menit 2 ½ jam
Daftar pustaka:
Modul Diare. UKK Gastro-Hepatologi IDAI Edisi Pertama 2009. 27. E. Dermatografisme
Pembahasan:
Urtikaria adalah reaksi vaskuler di kulit yang ditandai dengan adanya edema setempat yang timbul cepat dan menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat dan kemerahan, bagian tepi meninggi, sekitarnya dapat dikelilingi halo. Keluhan subjektif berupa sensasi gatal disertai rasa tertusuk atau tersengat.
Klasifikasi berdasrkan lamanya serangan dibagi menjadi 2, yaitu: 1. Urtikaria akut (bila berlangsung < 6 minggu)
2. Urtikaria kronis (bila berlangsung > 6 minggu) Kriteria diagnostik
- Keluhan subjektif: gatal, rasa panas, tersengat, terbakar atau tertusuk - Predileksi: kulit dan mukosa, lokal maupun generalisata
- Urtikaria dengan atau tanpa angioedema, bila dengan angioedema dapat sulit bernapas, juga dengan atau tanpa kelainan sistemik
- Bila mengenai submukosa, subkutis, dan organ lainnya dapat angioedema. - Bentuk urtikaria: teratur atau tak beraturan
- Ukuran: bervariasi dari miliar, lentikuler sampai plakat
- Pada urtikaria fisik dapat berbentuk linear (dermografism) atau bentuk yang mengikuti bentuk tekanan.
- Urtikaria akibat penyinaran biasanya berbentuk popular urtikaria, terjadi 18-72 jam setelah paparan.
- Urtikaria kolinergik, timbul setelah berkeringat, gatal, ukurannya kecil kemudian meluas dan melebar.
- Gejala sistemik yang menyertai: pusing, sakit kepala, mual dan muntah, nyeri perut dan diare, serta dapat kesulitan bernapas.
Pemeriksaan penunjang:
- Pemeriksaan laboratorium darah rutin, urine, feses untuk mencari infeksi lokal - Pemeriksaan jumlah eosinofil dalam darah tepi, kadar IgE dalam darah
- Pada dugaan urtikaria dingin: cyroglobulin, cold hemolysin
- Uji kulit dilakukan secara bertahap setelah tidak ada erupsi kulit (minimal 6 minggu setelah lesi kulit hilang) dan memenuhi syarat uji kulit. Dilakukan ditahap lanjut: uji dermografism, uji ice cube, uji temple tertutup, uji tusuk bila uji temple negative, uji provokasi peroral bila uji tusuk negative, uji serum autolog. Tes foto temple dilakukan pada urtikaria akibat fotosensitivitas.
- Tes mecholyl intradermal bila diduga urtikaria kolinergik. - Uji eliminasi makanan bila diduga alergi terhadap makanan.
Sehingga pemeriksaan yang dapat dilakukan pada skenario tersebut adalah dengan dermatografisme.
28. C. Mengatakan bahwa tidak terjadi apa-apa dengan pasien, hal ini wajar pada setiap wanita dan berlangsung fisiologis
Klimakterium merupakan masa peralihan antara masa reproduksi dan masa senium.
Menopause adalah haid terakhir atau saat terjadinya haid terakhir. Bagian klimakterium sebelum menopause disebut premenopause dan sesudah menopause adalah pascamenopause.
Senium adalah masa sesudah pascamenopause, ketika telah tercapai keseimbangan baru dalam kehidupan wanita, sehingga tidak ada lagi gangguan vegetatif maupun psikis.
Klimakterium bukan suatu keadaan patologik, melainkan suatu masa peralihan yang normal, yang berlangsung beberapa tahun sebelum dan beberapa tahun sesudah menopause. Pada wanita dalam klimakterium terjadi perubahan-perubahan tertentu yang dapat menimbulkan gangguan-gangguan ringan atau kadang-kadang berat. Perubahan dan gangguan-gangguan itu sifatnya berbeda-beda menurut waktunya klimakterium. Pada permulaan klimakterium kesuburan menurun, pada masa pramenopause terjadi kelainan pendarahan, sedangkan terutama pada masa pascamenopause terdapat gangguan vegetatif, psikis, dan organis. Gangguan vegetatif biasanya berupa rasa panas
dengan keluarnya keringat malam, dan perasaan jantung berdebar-debar. Dalam masa pascamenopause, dan seterusnya dalam senium, terjadi atrofi alat-alat genital.
Referensi: Hanifa Wiknjosatro, Abdul Bari Saifuddin, dan Trijatmo Rachimhadhi. 2005. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
29. B. Respiratory Disstress Syndrome
Berdasarkan hasil pemeriksaan di atas didapatkan bahwa bayi tersebut mengalami sindrom gawat napas yang dapat disebabkan karena bayi lahir saat umur kehamilan ibu 34 minggu sehingga paru-paru belum matur sehingga menyebabkan bayi mengalami gawat napas.
Sindrom gawat napas (juga dikenal sebagai idiopathic respiratory distress syndrome)
Respiratory Distress Syndrome adalah penyakit yang disebabkan oleh ketidakmaturan dari sel tipe II dan ketidakmampuan sel tersebut untuk menghasilkan surfaktan yang memadai. Gangguan pernapasan ini sering terjadi pada bayi premature dengan tanda-tanda takipnoe (> 60 x/mnt), retraksi dada, sianosis pada udara kamar, yang menetap atau memburuk pada 48-96 jam kehidupan dengan x-ray thorak yang spesifik. Tanda-tanda klinik sesuai dengan besarnya bayi, berat penyakit, adanya infeksi dan ada tidaknya shunting darah melalui PDA.
Menurut Petty dan Asbaugh (1971), definisi dan kriteria RDS bila didapatkan sesak napas berat (dyspnea), frekuensi napas meningkat (tachypnea), sianosis yang menetap dengan terapi oksigen, penurunan daya pengembangan paru,adanya gambaran infiltrat alveolar yang merata pada foto thorak dan adanya atelektasis, kongesti vascular, pendarahan, edema paru, dan adanya hyaline membran pada saat otopsi.
Sindrom gawat napas (RDS) (juga dikenal sebagai idiopathic respiratory distress syndrome) adalah sekumpulan temuan klinis, radiologis, dan histologis yang terjadi terutama akibat ketidakmaturan paru dengan unit pernapasan yang kecil dan sulit mengembang dan tidak menyisakan udara di antara usaha napas. Istilah-istilah Hyaline Membrane Disease (HMD) sering kali digunakan saling bertukar dengan RDS.
Etiologi
RDS terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena kurangnya produksi surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, makin muda usia kehamilan, makin besar pula kemungkinan terjadi RDS. Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS, yaitu prematur, asfiksia perinatal, maternal diabetes, seksio sesarea. Surfaktan biasanya didapatkan pada paru yang matur. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur di mana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak napas. Gejala tersebut biasanya muncul segera setelah bayi lahir dan akan bertambah berat.
RDS merupakan penyebab utama kematian bayi prematur. Sindrom ini dapat terjadi karena ada kelainan di dalam atau diluar paru, sehingga tindakan disesuaikan dengan penyebab sindrom ini.
Kelainan dalam paru yang menunjukan sindrom ini adalah pneumothoraks/pneumomediastinum, penyakit membran hialin (PMH).
Patofisiologi
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga kesulitan berkembang, pengembangan kurang sempurna kerana dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun 25% dari normal, pernapasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik.
Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein , lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik, paru-paru nampak tidak berisi udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara bahagian distal menyebabkan edema interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi surfaktan ini.
Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan keracunan oksigen, menyebabkan kerosakan pada endothelial dan epithelial sel jalan pernapasan bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang berasal dari darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 36- 72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi yang immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD).
Manifestasi Klinis
Berat dan ringannya gejala klinis pada penyakit RDS ini sangat dipengaruhi oleh tingkat maturitas paru. Semakin rendah berat badan dan usia kehamilan, semakin berat gejala klinis yang ditujukan.
Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerosakan sel dan selanjutnya menyebabkan kebocoran serum protein ke dalam alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan. Gejala klinis yang timbul yaitu : adanya sesak napas pada bayi prematur segera setelah lahir, yang ditandai dengan takipnea (> 60 x/minit), pernapasan cuping hidung, grunting, retraksi dinding dada, dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96 jam pertama setelah lahir. Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS, yaitu:
2) Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru.
3) Alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru terlihat lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram udara lebih luas.
4) Seluruh thorax sangat opaque (white lung) sehingga jantung tak dapat dilihat. Evaluasi Respiratory Distress Skor Downe:
0 1 2
Frekuensi Napas
< 60x/menit 60-80 x/menit > 80x/menit Retraksi Tidak ada
retraksi
Retraksi ringan Retraksi berat Sianosis Tidak sianosis Sianosis hilang dengan O2 Sianosis menetap
walaupun diberi O2
Air Entry Udara masuk Penurunan ringan udara masuk Merintih Tidak merintih Dapat didengar dengan
stetoskop
Dapat didengar tanpa alat bantu
Evaluasi Respiratory Distress Skor Downe
Skor < 4 gangguan pernapasan ringan Skor 4 – 5 gangguan pernapasan sedang
Skor > 6 gangguan pernapasan ringan (pemeriksaan gas darah harus dilakukan)
Penunjang/Diagnostik
Laboratory Evaluation for Respiratory Distress in the Newborn
Test Indication
Blood culture May indicate bacteremia Not helpful initially because results may take 48 hours
Blood gas Used to assess degree of hypoxemia if arterial sampling, or acid/base status if capillary sampling (capillary sample usually used unless high oxygen requirement)
Blood glucose Hypoglycemia can cause or aggravate tachypnea
Chest radiography Used to differentiate various types of respiratory distress Complete blood
count with differential
Neutropenia correlates with bacterial infection Low hemoglobin level shows anemia
High hemoglobin level occurs in polycythemia Low platelet level occurs in sepsis
Lumbar puncture If meningitis is suspected
Pulse oximetry Used to detect hypoxia and need for oxygen supplementation
Komplikasi Penyakit
Komplikasi jangka pendek dapat terjadi:
1. Kebocoran alveoli: apabila dicurigai terjadi kebocoran udara (pneumothorak, pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema interstisial), pada bayi dengan RDS yang tiba-tiba memburuk dengan gejala klinikal hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.
2. Jangkitan penyakit karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul kerana tindakan invasiv seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat-alat respirasi.
3. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular: pendarahan intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.
Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh keracunan oksigen, tekanan yang tinggi dalam paru, memberatkan penyakit dan kekurangan oksigen yang menuju ke otak dan organ lain. Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi:
1. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa gestasi.
2. Retinopathy of Premature (ROP)
3. Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi.
Referensi:
HanifaWiknjosatro, Abdul Bari Saifuddin, dan Trijatmo Rachimhadhi. 2006. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta
Arief Mansjoer. 2008. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
30. B. 5/10 Pembahasan:
- Case Fatality Rate
adalah persentase angka kematian oleh sebab penyakit tertentu, untuk menentukan kegawatan/keganasan penyakit tersebut.
jumlah kematian penyakit X
CFR 100%
jumlah kasus penyakit X
Sehingga berdasarkan kasus tersebut CFR = 5/10 - Crude Death Rate
adalah angka kematian kasar atau jumlah seluruh kematian selama satu tahun dibagi jumlah penduduk pada pertengahan tahun.
jumlah semua kematian
CDR k (konstanta)
jumlah semua penduduk jumlah semua kematian
CDR k (konstanta)
jumlah semua penduduk - Maternal Mortality Rate
Angka kematian ibu adalah jumlah kematian ibu oleh sebab kehamilan/melahirkan/nifas (sampai 42 hari post partum) per 100.000 kelahiran hidup.
jumlah kematian ibu
MMR 100.000
jumlah kelahiran hidup 31. E. Neuromuscular junction
Myasthenia Gravis (MG) adalah penyakit autoimun di mana antibodi terbentuk terhadap reseptor acetylcholine postsynaptic pada Neuromuscular Junction (NMJ) otot skelet, hal ini mengakibatkan penurunan reseptor acetylcholine di membran post synaps sehingga menimbulkan karakteristik perlemahan otot skelet yang progresif setelah aktivitas dan diikuti perbaikan kekuatan setelah istirahat. Neuromuscular junction adalah penghubung antara sistem saraf dengan otot, hubungan ini dibentuk antara serabut saraf efferen dengan serabut otot melalui celah yang disebut synaps.
Kontraksi otot normalnya terjadi setelah aktivasi reseptor acetylcholin post sinap menyebabkan influx ion Na+ ke dalam sel sehingga terjadi depolarisasi sel otot diikuti terbukanya kanal natrium, diikuti keluarnya kalsium dari retikulum sarkoplasma. Ketika
jumlah kalsium dalam otot telah mencapai threshold, maka terjadi kontraksi otot. Penurunan jumlah reseptor acetylcholin karena antibodi yang terbentuk pada MG mengakibatkan gangguan kontraksi karena depolarisasi tidak terjadi.
Otot-otot kecil seperti otot ocular dan bulbar merupakan bagian yang paling umum terimbas dan paling berat gejalanya, meskipun kebanyakan penderitanya mengalami kelemahan umum dengan berbagai tingkat keparahan. Myasthenia gravis dapat berevolusi menjadi kegawatan yang mengancam jiwa apabila terjadi perburukan akut menyebabkan kelemahan generalisata terutama otot-otot pernapasan.
Myasthenia Gravis kini merupakan keadaan yang dapat diobati bahkan disembuhkan, terapi farmakologi seperti anticholinesterase yang mencegah degradasi acetylcholin, obat-obat antisupresan untuk mencegah terbentuknya antibodi, dan terapi plasmapharesis serta imunoglobulin intravena (IVIG) telah tersedia pada masa sekarang.
Referensi:
Grob D, Brunner N, Namba T, Pagala M. 2008. Lifetime course of myasthenia gravis. Muscle Nerve;37(2):141-9.
McGrogan A, Sneddon S, de Vries CS. 2010. "The incidence of myasthenia gravis: a systematic literature review".Neuroepidemiology 34 (3): 171–183
Gambar diperoleh dari http://jama.jamanetwork.com/article.aspx?articleid=200734
32. A. Gangguan konversi Pembahasan:
Pada kasus di atas terdiagnosis Gangguan Konversi di mana untuk diagnosis pasti harus memiliki kriteria di bawah ini, yaitu:
a) Ciri-ciri klinis yang ditentukan untuk masing-masing gangguan tertera dalam F44 (adanya kehilangan sebagian atau seluruh dari integrasi normal antara ingatan masa lalu, kesadaran akan identitas dan penghayatan serta kendali terhadap gerak tubuh).
b) Tidak ada bukti adanya gangguan fisik yang dapat menjelaskan gejala-gejala tersebut. c) Bukti adanya penyebab psikologis, dalam bentuk hubungan waktu yang jelas dengan
problem dan peristiwa yang “stressfull” atau hubungan interpersonal yang terganggu. Hipokondriasis: kriteria diagnostik pasti hipokondriasis di antaranya sebagai berikut.
a) Keyakinan yang menetap perihal adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik yang serius yang melandasi keluhan-keluhannya, meskipun pemeriksaan yang berulang tidak menunjang adanya alasan fisik yang memadai ataupun adanya preokupasi yang menetap terhadap adanya deformitas atau perubahan bentuk/penampakan.
b) Penolakan yang menetap dan tidak mau menerima nasihat atau dukungan penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang melandasi keluhan-keluhannya.
Gangguan Somatisasi: diagnosis pasti memerlukan semua hal berikut di antaranya:
a) Ada banyak dan berbagai gejala fisik yang tidak dapat dijelaskan adanya dasar kelainan fisik yang memadai, yang sudah berlangsung sekurangnya 2 tahun.